Posts

Menghadapi Disrupsi: Mencoba, atau Menyerah?

Oleh Ari Setiawan, Yogyakarta

Siapa sih yang suka kondisi ini?

Sudah sebulan lebih sejak peraturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan di Jakarta dan sekitarnya. Sekarang kota-kota lainnya ikut mengajukan PSBB wilayah. Desa-desa pun tak ketinggalan menetapkan status lockdown mandiri. Para pelajar, pekerja, dan umat beragama pun diminta melakukan aktivitasnya dari rumah saja.

Nyaman? Aku sih tidak!

Pertama kali mengikuti ibadah online 22 Maret 2020 lalu, entah kenapa aku pun mewek, berasa sedih, melow, dan gloomy. Ini baru satu hal yang “tercabut” dari kebiasaan kita. Bagi yang biasa nongkrong atau traveling bareng teman, hari-hari ini jadi sulit karena kita harus melaksanakan physical distancing. Para pelajar dan pekerja pun harus membiasakan diri menggunakan ragam teknologi supaya tugas dan tanggung jawabnya dapat terlaksana walau secara fisik mereka berdiam diri di rumah. Anak kos sepertiku, agak susah mencari tempat makan yang masih berjualan. Kalau pun ada, harus menyesuaikan dengan sistem take away.

Disrupsi pun terjadi! Berbagai kegiatan yang biasanya dilakukan dengan tatap muka terpaksa harus dikurangi atau ditiadakan. Banyak aktivitas, seolah tercabut dari akarnya. Kebiasaan lama perlu diubah untuk menuju sebuah pola yang baru. Siapa yang suka dengan kondisi seperti ini?

Belajar dari RPG/MMORPG

Di tengah kesuntukan seperti ini, mungkin sebagian besar kita mencari hiburan dengan main gim alias game. Salah satu gim yang jadi perbincangan terkini ialah Final Fantasy VII Remake yang dimainkan pada konsol PS4. Aku sih tidak ikut main, tidak cukup uang untuk beli konsolnya, hehe…. Tapi, melihat ulasan yang ditayangkan di YouTube, aku jadi kangen keseruan beberapa tahun silam saat memainkan gim Final Fantasy VII pada konsol PS1.

Aku tentu tidak akan mengulas gim ini karena tidak semua pembaca memainkannya. Hal yang bisa aku pahami dan sampaikan dari gim bergenre Role Playing Game (RPG) maupun Multiplayer Massive Online – RPG (MMORPG) adalah sistem permainan yang mirip dengan kehidupan manusia. Di awal permainan, biasanya kita akan diberikan musuh yang tergolong “mudah”. Setelah itu, karakter kita akan melawan bos, yang lebih susah ditaklukkan.

Dari berbagai pertarungan yang telah dimenangkan dari gim bergenre RPG dan MMORPG, karakter pun bisa naik level, juga skill-nya ikut naik. Semakin sering naik level, semakin mudah menghadapi musuh. Sesuatu yang awalnya nampak susah, ketika semakin sering diperhadapkan dalam pertarungan, lama-lama akan nampak biasa saja.

Ciptaan yang beradaptasi

Seperti nama genre di atas, atau yang diartikan gim berbasiskan permainan peran, tentu terinspirasi dari sesuatu yang nyata, yaitu makhluk hidup. Sistem permainan yang menyediakan tantangan yang susah dan terus dilakukan hingga menjadi nampak biasa, juga kita hidupi. Saat kita bayi, kita diberi tantangan untuk bisa berjalan dengan dua kaki. Bagi bayi, berjalan ini susah. Awalnya dia hanya bisa merangkak, mencoba berdiri, lalu jatuh. Tapi dengan segala upaya, sang bayi terus berusaha mengatasi tantangan sulit itu sampai akhirnya dia bisa berjalan dan berlari. Di usia kita sekarang, terlebih bagi yang memiliki fungsi kaki normal, apakah berjalan jadi proses yang sulit seperti kita masih bayi dulu?

Aku rasa kondisi kita saat ini, baik kita pekerja maupun pelajar, kita tentu sudah melewati banyak tantangan hidup. Hasilnya, kita paham banyak ilmu dan pengetahuan, baik hard skill maupun soft skill, mulai dari ilmu alam, ilmu sosial, sampai kemahiran kita membuat beragam konten kreatif audio visual, atau juga berbicara di depan umum.

Beberapa bulan ini, secara masif kita semua mendapatkan tantangan yang dikarenakan oleh pandemi virus corona. Sebagian besar kita, mau tidak mau harus tercabut dari akar kebiasaan kita. Apakah mudah? Tentu bukan tantangan yang mudah diselesaikan. Namun kita bisa belajar dari satu tokoh Alkitab yang juga mengalami disrupsi dalam kehidupannya.

Disrupsi dalam Kisah Para Rasul pasal 10

Terdisrupsi tentu bukan hal yang menyenangkan karena seseorang tercabut dari kebiasaan lamanya. Perasaan tidak senang pun muncul karena keadaan bertentangan dengan ideologi atau pemahaman yang dipegang seseorang. Dalam banyak kisah bangsa Israel merupakan bangsa pilihan Allah oleh karena janji yang Dia berikan pada Abraham (Kejadian 17:708). Setelah bangsa Israel terpecah, justru perasaan istimewa inilah yang membuat bangsa Yahudi tidak mudah bergaul dengan bangsa lainnya, bahkan dengan orang Samaria, yang sebenarnya satu rumpun dengan mereka. Dalam Yohanes 4:9b, dituliskan keterangan, “Sebab orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria.”

Ideologi akan keistimewaan bangsa Yahudi pun terbawa oleh para rasul, salah satunya Simon Petrus. Kita kita membaca Kisah Para Rasul 10, Petrus berkeyakinan kuat bahwa seorang Yahudi dilarang keras bergaul dengan orang-orang bukan Yahudi, atau bahkan masuk ke rumah mereka. Namun, Tuhan berkata lain. Melalui tiga kali penglihatan akan binatang berkaki empat, binatang menjalar, dan burung, Tuhan mengatakan agar Petrus menyembelih lalu memakannya. Tuhan juga datang pada Kornelius, dan meminta agar bawahannya menjemput Petrus datang padanya.

Petrus pun terdisrupsi dari pemahamannya untuk tidak menajiskan orang non-Yahudi. Seperti tertulis dalam ayat 28b: “Tetapi Allah telah menunjukkan kepadaku, bahwa aku tidak boleh menyebut orang najis atau tidak tahir.”

Dari secuplik kisah Petrus yang terdisrupsi itu, ada tiga hal yang bisa kita petik:

1. Belajar untuk bertanya maksud dan kehendak Allah. Tentu kita perlu memahami bahwa segala sesuatu dalam hidup kita terjadi karena Tuhan berkenan. Kita mungkin tidak tahu maksud dan tujuan Tuhan lewat disrupsi yang terjadi, tetapi tidaklah salah jika kita bertanya pada-Nya.

2. Belajar lebih peka akan suara Tuhan. Kita perlu memahami bahwa Tuhan dapat menyampaikan suatu pesan lewat hal-hal yang ada di sekitar kita. Lewat penglihatan, bahkan lewat tantangan pun Tuhan menyatakan suara-Nya. Dalam kesulitan melepas atau memikirkan kembali idealisme kita pun, Tuhan dapat menyatakan suara-Nya.

3. Melihat suatu tantangan disrupsi sebagai cara untuk memuliakan Allah. Apa pun yang kita perbuat seharusnya membawa kemuliaan bagi nama-Nya. Memenangkan tantangan tentu bukan demi pujian atas diri kita sendiri.

Menghadapi disrupsi: mencoba, atau menyerah?

Pandemi COVID-19 dan segala disrupsi yang terjadi menciptakan era normalitas yang baru. Kita jadi belajar untuk hidup dengan lebih higienis: rajin cuci tangan dan pakai masker saat bepergian. Sebagian gereja, yang sebelumnya tidak familiar atau bahkan tidak punya akun media sosial, sekarang memanfaatkan medium ini untuk menyampaikan pesan firman Tuhan dan juga menjalin relasi dengan jemaat.

Mungkin masih ada beberapa bentuk disrupsi yang kita menjadi tantangan kita saat ini. Dan saat ini kita dihadapkan pada pilihan untuk mencoba membiasakan diri atau menyerah. Bagiku, ketika kita mencoba dan mungkin gagal, kita masih bisa kok mencoba terus-menerus sampai kita terbiasa. Dengan bertanya maksud dan kehendak Allah, peka akan suara Tuhan, serta melihat suatu tantangan disrupsi sebagai cara untuk memuliakan nama Allah, maka Dia tentu akan menguatkan kita untuk terus menerus mencoba.

Maka, apakah kita mau terus mencoba atau menyerah?

Baca Juga:

Melayani di IGD, Caraku Menikmati Berkat Tuhan

Memutuskan tidak pulang kampung dan melayani di garda terdepan awalnya adalah keputusan yang berat. Ada rasa takut, tapi dengan anugerah-Nya, ketakutanku berubah menjadi semangat dan sukacita melayani.

Hal yang Kulupakan Ketika Aku Asyik Menggunakan Instagram Story

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

Sekitar setahun lalu, Instagram menciptakan inovasi baru yang sangat digemari oleh para penggunanya hingga saat ini: Instagram Story—yang sering disingkat menjadi Instastory ataupun Snapgram. Melalui fitur ini, kepada followers-nya, seseorang bisa membagikan gambar dan video yang dapat diedit terlebih dahulu secara real-time atau dalam waktu yang hampir bersamaan saat peristiwa tersebut terjadi.

Awalnya, seperti kebanyakan teman-temanku, aku menikmati fitur Instastory dengan cukup aktif. Setiap harinya aku bisa mengunggah 1-5 konten pada Instastoryku. Namun, sampai di satu titik, aku memutuskan untuk berhenti menggunakan fitur ini hingga waktu yang tidak ditentukan. Alasan aku berhenti menggunakan Instastory bukanlah karena fitur ini salah. Akan tetapi, aku berhenti karena kelemahanku sendiri, yang mungkin juga merupakan kelemahan bagi banyak orang, yaitu self-esteem, atau dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai “harga diri”.

Jika ditilik lebih dalam, melalui bacaan dari Wikipedia maupun beberapa jurnal psikologi yang pernah kubaca, pada dasarnya self-esteem berarti bagaimana seseorang menilai harga dirinya sendiri.

Dalam pergumulanku pribadi, aku merasa bahwa Instastory telah merusak caraku menilai harga diriku sendiri.

Aku cenderung menempatkan dan mencari harga diriku melalui pengakuan-pengakuan dan pandangan dari orang lain. Ketika zaman beralih menjadi digital, cara yang paling mudah dan efektif untuk ‘menghitung’ harga diriku adalah melalui media sosial. Instastory memberiku kesempatan untuk meliput kehidupanku secara real-time. Para followers-ku bisa mengetahui apa yang sedang aku kerjakan, apa yang sedang aku makan, apa yang sedang aku rasakan, dan banyak hal lainnya melalui tiap-tiap gambar atau video yang kuunggah.

Inilah hal yang menurutku membuat Instastory lebih berbahaya daripada media sosial lainnya seperti Path, Facebook, ataupun Twitter. Melalui visual dan audio yang disajikan secara real-time, tanpa sadar aku telah menjadikan Instastory sebagai sarana untukku memamerkan kehidupanku kepada orang lain. Aku bisa menunjukkan betapa menyenangkannya aktivitas yang kulakukan, betapa enak dan mahalnya makanan yang aku makan, betapa sibuk dan kerennya pekerjaanku, dan banyak hal lainnya.

Tanpa kusadari, aku berjuang untuk melihat diriku terlihat lebih berharga dengan memamerkan kehidupan yang kujalani. Aku jadi sangat tergoda untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain tentang betapa kerennya dan menyenangkannya hidupku. Bahkan, seringkali, tanpa kusadari aku ingin supaya orang lain iri melihat diriku dan kehidupanku.

Sebenarnya, bukanlah hal yang salah untuk mencari dan menemukan harga diri. Dalam pandangan dunia, self-esteem adalah hal yang penting karena hal ini akan mendorong manusia termotivasi untuk menjalani hidupnya. Bahkan, Abraham Maslow, seorang psikolog yang juga teoritikus menempatkan self-esteem atau harga diri sebagai peringkat kedua dalam piramida kebutuhan psikologis manusia.

Jadi, sebenarnya tidak ada yang salah dengan self-esteem selama kita mencarinya di tempat yang benar. Namun, sayangnya adalah dunia kita saat ini telah kehilangan tempat mencari self-esteem yang benar.

Dalam pergumulanku saat itu, aku membaca sebuah artikel berjudul “Find Your Self-esteem in Someone Else” yang ditulis oleh Jon Bloom. Kutipannya adalah sebagai berikut:

Sekitar pergantian abad ke-20, teori tentang “self-esteem” muncul di bidang psikologi, dan pada tahun 1960 teori ini diterima oleh budaya Barat dan dianggap sebagai salah satu akar utama dari kesehatan mental. Tetapi sesungguhnya teori ini tidak mengatasi masalah mendasar, yaitu keterpisahan dari Allah. Setelah lebih dari 50 tahun mencoba menerapkan teori ini sebagai obat untuk penyakit kita akan identitas, kita mendapati bahwa diri kita hanya semakin terisolasi dan hubungan kita dalam komunitas dan masyarakat hanya menjadi lebih retak. Semua ini terjadi karena kita kita mencari harga diri kita di tempat yang salah dan untuk alasan yang salah.

Perjuanganku untuk menaikkan nilai harga diriku melalui pengakuan dan penghargaan dari orang lain melalui media sosial sesungguhnya berasal dari keterpisahanku dengan Allah. Sadar atau tidak sadar, seringkali aku merasa tidak ada seorangpun yang bisa ataupun mau mengapresiasi, menghargai, mengasihi, dan mengakui diriku kalau aku tidak tampil menawan di hadapan orang lain. Hal ini jelas tidaklah benar. Alkitab dengan jelas mengatakan:

“Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau, maka Aku memberikan manusia sebagai gantimu, dan bangsa-bangsa sebagai ganti nyawamu” (Yesaya 43:4).

“Bukankah burung pipit dijual lima ekor dua duit? Sungguhpun demikian tidak seekorpun dari padanya yang dilupakan Allah, bahkan rambut kepalamupun terhitung semuanya. Karena itu jangan takut, karena kamu lebih berharga dari pada banyak burung pipit” (Lukas 12:6-7).

Firman Tuhan dengan jelas menyatakan bahwa diriku begitu berharga di hadapan-Nya. Aku diciptakan segambar dan serupa dengan Allah, sang pencipta alam semesta. Bahkan, kejatuhan manusia ke dalam dosa tidak sedikitpun menghilangkan kasih-Nya kepadaku dan juga kepada seluruh umat manusia. Kita tetap dipandang-Nya berharga, begitu berharga hingga Allah sendiri melalui Yesus Kristus datang ke dunia, mati di kayu salib dan bangkit untuk menebus dosa-dosa kita.

“Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Roma 5:8).

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:16).

Mungkin bagi beberapa orang, ayat-ayat di atas terasa seperti hapalan di luar kepala. Namun, ayat tersebut adalah bukti nyata bahwa kasih-Nya kepada kita telah dinyatakan di atas kayu salib. Darah-Nya yang tercurah sudah membuktikan betapa berharganya aku dan kamu di hadapan Allah.

Harga diriku tidak ditentukan dari seberapa banyak likes atau comment yang aku dapatkan di tiap-tiap gambar atau story yang kuunggah. Harga diriku dan harga dirimu begitu mahal, seharga darah yang telah Yesus curahkan untuk menebus dosa-dosa kita.

Pada akhirnya, aku sadar bahwa ketika aku menggunakan Instastory dan media sosial lainnya, seharusnya aku tidak mencari harga diriku di sana. Harga diriku tidak ditemukan pada media sosial. Harga diriku yang sesungguhnya hanya kutemukan pada salib Kristus.

“Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat” (1 Petrus 1:18-19).

Baca Juga:

Ketika Keraguan akan Imanku Membawaku Pada Yesus

Aku dilahirkan di keluarga bukan Kristen yang cukup taat beribadah. Bahkan, kedua orangtuaku pernah menyekolahkanku di sebuah sekolah yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Namun, sampai di satu titik, aku mulai meragukan iman yang kupercayai yang pada akhirnya menuntunku kepada Yesus.

Apakah Kamu Berkoneksi Melalui Teknologi?

Berkolaborasi dengan ilustrator Wan Xiang
Material: Ilustrasi Pensil dan Edit Digital

Apakah Kamu Berkoneksi Melalui Teknologi? Kita tidak dapat memungkiri dampak positif dari teknologi. Suka atau tidak, teknologi telah masuk ke dalam banyak aspek dalam hidup kita.
Sekarang inilah pertanyaan besarnya: Bagaimana kamu menggunakan teknologi?

apakah-kamu-berkoneksi-melalui-teknologi-01
Pernahkah kamu kencan tanpa membawa ponselmu? Mungkin percakapanmu akan menjadi sangat berbeda.

Apakah teknologi telah menggantikan interaksi tatap muka yang begitu berharga?

apakah-kamu-berkoneksi-melalui-teknologi-02
Kapan terakhir kali kamu Skype atau Facetime dengan seorang teman atau orang yang kamu kasihi? Tidakkah luar biasa melihat mereka dapat terlihat begitu dekat meskipun terpisah 10.000 mil?

Apakah teknologi membantumu untuk terhubung dengan hidup orang lain?

apakah-kamu-berkoneksi-melalui-teknologi-03
Malas pergi keluar rumah? Telepon saja layanan pesan antar dan tadaaaa – makanan telah siap di depan pintu rumahmu!

Apakah teknologi telah membuat hal-hal menjadi lebih mudah atau membuat kita malas?

apakah-kamu-berkoneksi-melalui-teknologi-04
Apakah hal pertama yang kamu lakukan ketika pulang dari sekolah atau kantor? Bersandar di sofa? Tanpa kamu sadari, satu jam telah berlalu…

Apakah teknologi telah mengambil alih hidup kita?