Posts

Cerpen: Rapat Kedua

Oleh Meili Ainun

“Gak bisa begini. Kalian datang telat!” suara Vika memenuhi ruangan rapat. Siang itu, panitia kebaktian padang yang dipimpin Vika melangsungkan rapat kedua. Sambil menyandarkan punggungnya ke kursi, Vika membuka aplikasi WA di HPnya. Dengan kesal, HP itu dia tunjukkan ke semua anggota yang hadir.

“Jelas-jelas dalam WA grup udah diingatkan kalau kita ada rapat hari ini jam 2 siang. Dan aku juga udah minta kalian untuk email rencana tiap divisi sebelum rapat hari ini. Tapi sampai sekarang, aku belum terima laporan apa-apa dari kalian.”

“Vik, santai sedikitlah. Ini kan baru rapat kedua. Kita masih punya banyak waktu,” Benny menyahut sambil menyengir.

Vika melirik Benny kesal lalu berdiri dari kursinya. Dengan cepat dia berjalan ke papan kaca yang dipasang di tembok ruangan. Jarinya menunjukkan selembar karton lebar yang tertulis ‘Kebaktian Padang’. “Lihat nih, timeline yang kita susun. Hari ini seharusnya kalian semua sudah lapor rencana masing-masing divisi.”

Semua bergeming. Tidak ada yang bersuara memberikan komentar, saling menunggu ada yang berbicara. Sebenarnya tidak ada yang meragukan kemampuan Vika memimpin rapat. Setiap acara yang dipimpinnya berjalan baik dan sesuai rencana. Tapi, saking terobsesinya dia pada kesuksesan sebuah acara, Vika menuntut kesempurnaan dari setiap anggota timnya. Lebih dari itu, dia juga sulit dikritik, selalu merasa kalau cara dan idenya adalah yang paling benar. Alhasil, di balik acara yang tampak sukses terselip banyak luka hati antara dia dengan anggota panitianya.

Dua menit berlalu dengan lambat. Tak ada yang bersuara. Barulah suara Benny memecah keheningan.

Sorry, Vik. Kami gak sengaja datang telat tadi. Kamu kan tau, kebaktian selesai lebih lama dari biasanya hari ini. Dan.. Ya… Soal email, kalau aku memang lupa buat. Kantor lagi sibuk, nih. Tiba-tiba ada yang mengundurkan diri. Jadi pekerjaanku dobel. Sorry, ya. Aku usahakan susun acara secepatnya. Terus langsung email kamu, deh.” Nada bicara Benny ramah tetapi jelas. Yang lain mengangguk setuju dengan komentar Benny karena mereka semua juga sibuk dengan pekerjaan yang tidak jarang mengharuskan mereka bekerja lembur. Kebanyakan anggota panitia ini baru lulus dan masuk kerja, jadi masih kesulitan membagi waktu antara pekerjaan dan pelayanan.

Masih dengan wajah kesal, Vika berkata, “Oke. Kalau kalian tidak sempat email, kalian bisa ceritakan rencana kalian sekarang.” Kemudian Vika memulai pertanyaan pada Siska yang menundukkan kepalanya. “Kamu gimana, Siska? Apa rencanamu untuk transportasi?”

“Eh..Hmm… Aku kepikiran mau pinjam beberapa mobil teman-teman. Kalau gak cukup, baru pesan online,” Siska menjawab dengan terbata-bata. Dia gemetar, takut kalau jadi sasaran murkanya Vika. “Ta-tapi… aku..aku… gak berani tanya ke mereka, apakah mereka bersedia pinjamkan mobil atau gak. Belum tentu juga mereka akan ikut. Yaa.. aku gak tau, sih. Gimana, ya?”

“Aduh! Kamu gimana, sih? Kenapa kamu tanya aku? Itu tugasmu. Kamulah yang harus tanya ke mereka, memastikan mereka bersedia atau tidak meminjamkan mobilnya. Masa aku yang harus turun tangan? Buat apa ada divisi transportasi kalau gitu?”

Siska yang tadinya berusaha menatap Vika, kembali menundukkan kepalanya. Terlihat butiran air mengalir di pipinya. Suasana rapat siang itu semakin jauh dari kondusif. Alih-alih sebuah rapat anak muda gereja yang asyik, banyak canda, dan bisa sambil ngemil, rapat itu ibarat sesi interogasi di pengadilan dengan Vika yang berlagak hakim.

“Tenang. Tenang, Vika. Sabar. Berikan waktu pada Siska untuk memikirkan caranya. Aku yakin dia pasti bisa. Ya kan, Sis?” Benny mengarahkan wajahnya ke Siska dengan seberkas senyum.

Siska mengangguk pelan. Dia tidak biasa dibentak juga diinterogasi. Tak semua teman terbiasa dengan gaya rapat yang penuh ketegangan seperti ini. Untunglah Benny bisa hadir menengahi. Tak terbayangkan bila di rapat hari ini Benny absen. Mungkin akan lebih banyak lagi yang menangis.

“Oke. Mari kita lanjutkan. Bagaimana dengan konsumsi?” Nada bicara Vika makin ketus.

Meski sudah membuat Siska menangis, Vika bersikukuh rapat ini harus dilanjutkan. Lagi-lagi, Vika memang tak terlalu peduli dengan perasaan orang lain. Yang tertanam di benaknya selalu tentang bagaimana mencapai target tepat waktu. Minggu kedua sudah harus ada progress ini dan itu, maka harus mutlak tercapai. Alasan apa pun bagi Vika dianggap sebagai alibi semata.

Mori, dari divisi konsumsi mengangkat tangannya. Dia sudah menyusun rencana, tetapi karena ini baru minggu kedua, rencana ini belum sempat dibedah detail. Rencananya simpel. Karena kebaktian padangnya di sebuah taman wisata yang ada restorannya, makan langsung di sana jadi opsi yang gampang.

“Kedengarannya cukup bagus untuk pesan makanan di tempatnya langsung. Tapi. Tunggu dulu. Kebaktian Padang kita kan tanggal merah, hari libur. Kamu yakin kita bisa dapat tempat?”

“Ng… Yah… Gimana, ya?” Bagai tersambar petir di siang bolong, Mori lupa kalau taman wisata itu pasti ramai di tanggal merah. “Benar juga, aku gak kepikiran. Aku sempat nanya, restoran itu tidak menerima reservasi sebelumnya. Jadi kita harus datang langsung. Aduh.. Gimana dong? Apa lebih baik nasi kotak saja ya?”

Lagi-lagi Vika dibuat kesal. “Mori, Mori, seharusnya ini semua sudah kamu pikirkan sebelum kita rapat. Kalau seperti ini kan jadi buang-buang waktu. Kamu langsung putuskan saja, maunya divisi konsumsi apa?”

Mori bingung. Dia berharap kalau langsung ditembak gitu, ya Vika sendiri saja yang putuskan. Memutuskan hal penting dalam hitungan detik itu bukan sifat Mori. Untuk mengambil satu keputusan dia butuh waktu lama buat merenung dan menganalisa. Tapi, setelah keputusan diambil, dia tidak serta merta yakin. Ragu masih terus ada dan diam-diam dia akan menceritakannya ke orang lain, berharap mereka akan membantunya memberi pertimbangan.

Sesi rapat yang tak kunjung menunjukkan hasil ini terus dilanjutkan Vika. Setiap divisi dicecarnya. “Kurang detail. Harus lebih spesifik! Lumayan, tapi cari alternatif lain. Catat semuanya, bla bla bla.”

Tak ada pujian yang keluar dari ucapan Vika. Setelah semua divisi tuntas dikritiknya, dia menutup rapat dengan doa. Tak ada tawa riang. Semua buru-buru keluar ruangan. Hanya satu orang yang tinggal tetap sembari menatap Vika yang membereskan catatan rapatnya.

“Kenapa? Ada yang masih mau dibicarakan?” Vika sadar kalau ada satu orang yang belum keluar dan terus menatapnya.

“Vika, aku tahu kamu itu seorang ketua yang baik. Acara yang kamu pimpin biasanya berjalan baik,” dengan nada santun Benny menyusun kata-kata ini. Tapi, belum juga tuntas, sudah dipotong duluan oleh Vika.

“Langsung saja deh Ben. Kamu mau bicara apa?”

“Oke, aku langsung to the point. Tolong dengarkan dulu dan jangan marah,” Benny mengambil jeda untuk mengambil napas dan menghembuskannya pelan. “Aku pikir kamu perlu mengubah sedikit gaya kepemimpinanmu. Aku tahu kamu adalah orang yang teratur, terencana, dan rapi. Tapi tidak semua orang seperti kamu. Teman-teman yang ada dalam tim kita, misalnya. Masing-masing memiliki cara kerja yang berbeda. Aku pikir ada baiknya kamu mencoba memahami keadaan mereka.”

“Jadi maksudmu aku harus mengalah? Membiarkan mereka melakukan segala sesuatu seenaknya saja?”

“Bukan. Bukan itu maksudku. Tetap perlu ada disiplin, tapi dengan lebih ramah, misalnya,” ucap Benny. Tanpa dicerna, nasihat ini langsung ditentang. “Aku gak bisa bersikap ramah. Itu bukan aku. Kalau mereka tidak suka, aku bisa kok kerjakan semua ini sendirian.”

“Aduh.. Kamu ini gampang marah, deh. Dengarkan dulu. Aku tahu kamu bisa mengerjakan semua ini sendirian. Tapi kita semua kan dalam satu tubuh Kristus. Paulus saja bilang ada banyak anggota, tetapi satu tubuh. Tiap anggota itu berbeda, tapi saling membutuhkan satu sama lain…” Benny menghentikan sejenak ucapannya. Ditatapnya Vika yang tak mau menatap balik, malah tangannya sibuk mengayun-ayunkan bolpen. Benny melanjutkan wejangannya, “Gak ada yang bisa kerja sendirian karena kita adalah satu dalam tubuh Kristus. Percaya atau tidak, kamu juga membutuhkan orang lain.”.

Hening menyebar di seantero ruangan. Hanya suara AC yang bisa terdengar jelas diiringi suara bolpen yang masih diayun-ayun Vika. Dalam hatinya, Vika pun sebenarnya sadar bahwa caranya memimpin itu lebih banyak melukai orang lain ketimbang menyemangati mereka. Tapi, jika bicara soal perubahan sikap, Vika selalu gagal mewujudkannya. Setiap kali dia berdiri di depan banyak orang, detak jantungnya berdegup lebih kencang. Bukan karena takut, tetapi dia terpacu untuk menjadikan semua target tercapai. Empatinya seolah menguap. Yang terlintas di pikirannya hanya: sukses, sukses, dan suksesnya acara. Namun, untaian kata-kata Benny yang lembut siang itu menembus benteng hatinya.

“Vik… I know you’re a good leader. Tapi, pemimpin yang baik itu gak cuma yang tegas dan disiplin, tapi juga yang punya hati, Vik,” kata-kata ini membuat Vika menurunkan tatapannya menuju lantai, pun tangannya berhenti mengayun bolpen. “Hati…” dia membatin.

Benny melanjutkan ucapannya, “Yang perlu diubah hanya cara kamu memimpin saja, Vika. Buka hatimu dengan cara cobalah untuk mendengarkan kesulitan mereka. Siska, misalnya. Kamu kan tau dia memang pemalu. Untuk berbicara seperti tadi saja dia butuh keberanian yang besar. Jadi untuk bertanya kepada teman-teman lain, dia memang butuh bantuan.”

Ucapan Benny sebenarnya ingin membuat Vika membela diri, tapi dia tidak menanggapi. Semenit lebih Vika diam. Matanya terpejam. Teringat lagi adegan ketika Siska menangis, ketika nada bicaranya meninggi. “Ya… Aku rasa kamu ada benarnya, Ben. Tapi itu sulit. Seperti kamu bilang, aku ini memang sangat terencana dan ingin semuanya berjalan baik. Aku gak bisa mengubah diriku begitu saja.”

“Siapa juga yang ingin mengubah Vika? Siapa yang berani?” Benny tertawa. Dalam hati dia senang kalau Vika dapat menerima pendapatnya. “Kamu tidak perlu berubah jadi orang lain. Jadi dirimu sendiri saja. Hanya cobalah lebih sabar, dan tolong teman-teman yang butuh bantuanmu. Kepantiaan ini, kebaktian padang ini, semua kita lakukan buat Tuhan kan, Vik? Dialah yang seharusnya disenangkan dalam semuanya.”

Ucapan Benny ada benarnya. Kali ini Vika tak punya amunisi untuk membantah. Buat Tuhan, frasa ini sering didengar dan diucapnya dalam doa, tapi pada praktiknya Vika lupa akan sosok utama ini. Sungguhkah Tuhan berkenan pada caranya memimpin? Jikalaupun acara sukses tetapi kepanitiaan ini menjadi lahan subur tumbuhnya kepahitan, sungguhkah Tuhan dimuliakan?

Ditelannya ceramah singkat itu ke dalam hati dan pikirannya, yang memunculkan segaris tipis senyum dari bibirnya. Tiada kesal pun benci pada Benny. “Yah…akan kucoba. Kamu bersedia kan menolongku?”

“Tentu saja. Aku siap untuk menolong. Semua anggota panitia siap, mau, dan dengan senang hati menolong, Vik. Bukankah kita sama-sama anggota tubuh Kristus?”

Vika berdiri dengan semangat dan bersiap keluar dari ruangan. “Thanks, Benny. Tapi laporan acaramu tetap kutunggu, ya. Gak boleh telat lagi kayak tadi.”

Benny tersenyum lebar sembari melakukan sikap “hormat grak” pada Vika. “Siap, bu ketua! Ayo, kita pulang.”

***

Dunia kita bukanlah dunia yang seragam. Dalam satu gereja yang berisi kumpulan orang percaya pun tetap kita jumpai berjuta perbedaan, sebab memang begitulah Allah menciptakan dunia dengan penuh keragaman. Segala sifat, watak, juga latar belakang yang berbeda inilah yang menjadikan tubuh Kristus itu kaya.

Dengan adanya perbedaan, di sinilah kita belajar untuk membangun sinergi, saling menopang dan melengkapi satu dengan lainnya. Jika semua sama, di manakah tantangannya?

“Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain” (Roma 12:4-5).

Cerpen: Bekerja Sama dalam Perbedaan

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

Di hari-hari pengujung semester ini, aku sedikit lebih sibuk dari biasanya. Pembelajaran dan ujian sudah selesai, aku tinggal menyelesaikan penilaian dan hal-hal yang perlu untuk pembagian rapor peserta didik di minggu mendatang.

Tahun ini aku dipercaya menjadi wali kelas. Ada tiga puluhan rapor yang perlu kutuntaskan, tapi belum semua terisi karena beberapa guru pelajaran belum menyerahkan penilaian akhir mereka.

Pagi itu sekolah masih sepi meski arloji di tanganku sudah menunjukkan angka sembilan. Sejak pandemi, pembelajaran dilakukan dari rumah, namun kami guru diharuskan hadir di sekolah. Hal itu karena tidak seratus persen murid kami memiliki fasilitas untuk belajar daring. Biasanya dua sampai lima murid datang menemuiku untuk belajar tatap muka atau sekadar mengumpulkan tugas. Selain itu, kebijakan ini juga kurasa baik. Bertemu langsung dengan rekan guru membuatku lebih leluasa bertukar pikiran dengan mereka.

Kuteguk secangkir kopi di mejaku. Rekan guru yang kutunggu belum juga tiba. Aku memperhatikan kolom kosong di lembar penilaian kelasku yang artinya guru yang bersangkutan belum menyerahkan nilainya. Seminggu sudah berlalu dari tanggal pengumpulan yang sudah ditentukan. Aku sulit mentolerir hal-hal seperti ini. Aku lalu mengirim pesan pada mereka.

“Halo Bapak/Ibu. Saya Anggi, Wali Kelas 9-A. Mohon kerjasamanya untuk segera mengirimkan nilai dari pelajaran yang diampu ya. Saya membutuhkannya untuk pengisian rapor. Terima kasih.”

Sembari menunggu balasan, aku berjalan keluar menghirup udara sejuk. Kulayangkan pandang pada alam dari sekeliling sekolahku yang tidak berpagar. Hamparan rumput, sawah, pegunungan serta gembala yang menuntun kawanan kerbaunya terlihat jelas. Dari jauh tampak juga kepulan asap dari pondok petani yang mungkin sedang merebus air atau sekedar membakar ubi. Aku meyakini hal itu setelah beberapa kali menyaksikan tradisi “marsiadapari” yang masih lazim bagi petani di desa ini. Bentuk gotong-royong saat musim panen yang dilakukan secara bergantian dari sawah yang satu ke yang lain. Biasanya sekitar pukul 10 pemilik sawah akan menyajikan kopi atau ubi sebagai camilan yang disantap sembari istirahat sejenak. Pemandangan estetik yang jarang ditemui di tempat pengabdianku sebelumnya. Namun jika mengingat kendala yang kualami dalam pekerjaanku seperti hari ini, tidak jarang aku ingin kembali ke kota.

“Aku tidak suka memindahkan nilai-nilai itu mendekati deadline,” aku menghempaskan nafas, melangkah kembali ke ruangan.

Menjadi wali kelas sebenarnya bukan pengalaman pertama untukku. Sebelum menjadi guru Aparatur Sipil Negara di sekolah ini, aku sudah mengajar di sekolah dan beberapa kali menerima tanggung jawab yang sama. Di sekolah sebelumnya, setiap bulan para guru menginput nilai di lembaran excel pada laman penilaian yang disediakan sekolah. Dengan begitu, urusan penilaian tidak menumpuk di akhir semester, kami hanya perlu menambahkan nilai terakhir. Data-data itu juga bisa diakses kapanpun dengan mudah. Di sana, kami tidak hanya memiliki fasilitas yang memadai, namun ada rekan guru yang mumpuni sebagai pendidik dan mau beradaptasi dengan perubahan untuk perbaikan yang diperlukan.

Walau masih bekerja di bidang yang sama, namun aku menemukan banyak perbedaan di sekolahku sekarang. Tidak hanya dari fasilitas yang masih minim, aku juga kesulitan menyesuaikan diri dengan kemampuan, pola pikir dan ritme kerja rekan di sini. Aku pernah kesal dengan seorang rekan guru. Saat itu kami harus mengirimkan materi les sore tambahan. Sebelumnya pengumpulan dan proses evaluasi dilakukan secara manual. Aku melihat beberapa kendala dengan cara seperti itu, aku lantas mengusulkan penggunaan fitur kolaborasi yang disediakan Google. Dengan begitu, setiap guru tinggal mengunggah file yang dimaksud dan pengevaluasian juga bisa dilakukan di sana. Usulku sempat diterima, namun pelaksanaanya tidak lancar. Meski sudah diberitahu cara pengerjaanya, masih ada guru yang kesulitan hingga merepotkan operator sekolah kami untuk melakukannya. Menganggap pengerjaannya lebih rumit, akhirnya pengumpulan materi kembali dilakukan secara manual. Aku juga mendengar ada label “carmuk” yang disematkan padaku terkait dengan ide itu. Alih-alih mendapat respons yang baik, aku disebut sedang cari perhatian ingin dipuji. Aku kesal dan menaruh penggolongan tertentu tentang mereka dalam pikiranku.

Di waktu yang berbeda, aku pernah mengajukan kepada kepala sekolah agar diadakan pelatihan penggunaan laptop yang berkelanjutan bagi guru-guru. Selama bekerja di sekolah ini, aku melihat beberapa teman guru masih terkendala khususnya dalam menggunakan fitur aplikasi yang sering diperlukan. Sebut saja ketika harus menghitung nilai menggunakan rumus otomatis atau ketika harus melakukan pengaturan ukuran dokumen. Terkesan sepele, tapi aku sendiri menyaksikan bagaimana hal itu mempengaruhi kinerja kami. Aku yakin jika pelatihan diberikan secara rutin, guru-guru akan terbiasa juga semakin paham.

“Sebelumnya sudah pernah ada pelatihan seperti itu dari Dinas Pendidikan,” respon pak kepala sekolah saat itu.

“Pelatihan tentu tidak cukup sekali atau dua kali Pak. Kita bisa karena terbiasa,” ujarku meyakinkan. “Kita bisa memberdayakan guru-guru yang lebih paham untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan Pak” lanjutku sembari menyebutkan nama beberapa guru yang menurutku bisa dilibatkan.

“Ide dari Pak Anggi akan saya pertimbangkan, nanti saya kabari lagi.”

Hari-hari terus berlalu, tapi hingga kini aku belum juga menerima kelanjutan jawaban itu. Terakhir, aku membenarkan anggapanku. Mayoritas rekan kerja di sekolah ini anti perubahan, termasuk bapak kepala sekolah. Mereka enggan mengubah kebiasaan dengan dalih tidak tahu atau rumit. Belajar hal-hal baru tentu bukan perkara gampang bagi siapapun, tapi bukankah seyogyanya belajar merupakan proses yang berlangsung sepanjang hayat?

“Pagi Anggi, ngapain kamu?” Sabeth tetiba datang. Kehadirannya membuyarkan lamunanku.

“Eh Kakak. Tumben lama?”

“Iya, tadi ke rumah siswa dulu diskusi sama orang tuanya.”

Kak Sabeth mengajar IPS. Aku bersyukur memiliki dia menjadi salah satu rekan kerja di tempat ini. Usia kami hanya terpaut 2 tahun, tapi aku banyak belajar darinya. Kak Sabeth sering mengingatkanku untuk memandang persoalan dari sudut berbeda. Ia juga yang mengajakku mengumpulkan buku-buku bekas dari teman-teman di kota untuk menambah koleksi di kontrakannya yang diubah mirip perpustakaan terbuka bagi anak-anak desa.

Desa tempat sekolahku sekarang berada di ujung Kabupaten Tapanuli bagian Tengah. Dengan kondisi jalan bebatuan belum beraspal, truk bak terbuka adalah satu-satunya angkutan keluar masuk desa, maka tidak heran akses yang sulit ini juga mempengaruhi tersedianya variasi koleksi bacaan yang ada. Perpustakaan hanya tersedia di sekolah dan itu pun masih terbatas.

“Aku lagi mengisi rapor kak tapi belum semua guru menyerahkan nilainya,” keluhku menunjukkan daftar nilai yang kosong.

“Sudah hubungi guru-gurunya?”

“Tidak ada respon kak.”

“Belum merespon mungkin. Coba tunggu, sebentar lagi mereka juga datang.”

“Iya datang tapi entah jam berapa. Kira-kira mereka sadar nggak ya kak sudah mengganggu pekerjaan rekannya?” Aku membela diri. “Seandainya setiap bulan nilai itu langsung dikumpulkan dalam satu sistem pasti hal-hal seperti ini tidak terjadi. Malas berubah ya begini. Diingatkan nggak mau terima,” aku mengoceh kesal

Kak Sabeth tidak menanggapiku. Aku kembali bekerja dengan laptop sembari berharap agar nilai yang kuperlukan segera diserahkan.

“Siang Pak Anggi, Bu Sabeth,” sapa Ibu Dina berjalan menuju meja kerjaku.

“Pak Anggi. Ini nilai yang diminta, maaf melewati waktu pengumpulannya. Rumus di lembar kerja excel-nya error entah apa sebabnya. Jadi saya hitung manual pakai kalkulator.” Terangnya menyerahkan dokumen yang membuatku kesal sedari pagi.

“Bah, kok bisa begitu bu?” tanya kak Sabeth mengambil jeda dari kegiatannya.

“Semua nilai Ibu kalkulasi manual?” Aku mengernyitkan kening membayangkan waktu yang dihabiskan untuk menghitungnya.

“Iya Pak. Saya kurang mengerti masalahnya. Selesai memasukkan semua nilai, saya coba gunakan rumusnya tapi tidak berhasil, daripada bengong ya saya hitung pakai kalkulator saja.”

Kami bertiga memeriksa permasalahannya. Ternyata Bu Dina menginput beberapa tanda baca yang tidak diperlukan jadi rumus yang dimaksud tidak bekerja semestinya.

“Wah, hanya perlu diganti yang itu ya,” Bu Dina mengangguk, menyadari kesalahannya ternyata sangat sepele.

Darahku berdesir cepat mengingat isi pikiranku sebelumnya. Beberapa kali aku kesal dengan teman-teman guru yang kurang mahir menggunakan laptop. Tidak jarang aku menganggap mereka enggan atau malas mempelajarinya. Pikiranku yang lebih sering terfokus pada kekurangan mereka, membuatku lupa kalau aku punya kesempatan untuk membantu mereka secara langsung. Meski beberapa usulku ditolak, aku merasa justru dengan begini, aku lebih leluasa membagikan hal-hal yang belum mereka ketahui.

“Ah, andai aku menyadari lebih awal,” gumamku.

Aku tersenyum menyadari kekeliruanku. Situasi dan rekan kerja yang kumiliki sekarang memang berbeda. Tapi tidak seharusnya hal itu menjadi pembenaran untuk bertindak laksana hakim dengan pikiran-pikiranku yang jahat (Yakobus 2:4). Mereka mungkin tidak mahir menggunakan beberapa fitur di laptop, namun membuat penggolongan tertentu dalam pikiranku bukanlah hal yang benar. Sama seperti mereka, aku juga pasti memiliki keterbatasan dalam bidang lain. Aku hanya perlu menyampingkan ego agar perbedaan yang ada tidak berujung konflik. Menggunakan sudut pandang yang benar memberi kita kesempatan untuk menjadi rekan kerja yang mau menolong kesukaran mereka (Amsal 17:17). Kita mungkin berbeda dalam banyak hal, tapi bekerja sama tidak selalu harus sama. Meski masih harus terus belajar, biarlah kiranya ini menjadi komitmen untuk kita. Terkhusus sebagai pendidik, hal ini menjadi bagian dari tanggung jawab moral untuk menjadi teladan, mengikut Bapa yang mengasihi semua orang—tanpa pilih kasih ( Yakobus 2:1-10, 14-17).

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Duta Pengampunan di Tengah Budaya Pengenyahan

Belakangan ini kita tidak asing dengan fenomena para pelanggar yang viral, lalu diangkat menjadi duta. Ada hal menarik yang bisa kita jelajahi dari fenomena ini.