Posts

Mereka Tanggung Jawab Kita

Oleh Arbentia Pratama Sumbung, Jakarta

Dua hari yang lalu, setelah selesai bertugas di daerah Salemba, panas matahari yang menyengat membuatku memutuskan untuk sejenak berteduh di sebuah mini market. Tidak lama kemudian, seorang anak menghampiri aku dengan wajah memelas, lalu menyodorkan tangan untuk meminta sedikit uang.

Karena tidak ada uang kecil, aku pun mengajak anak itu untuk makan bersama. Aku mengajaknya mengobrol sembari ia melahap setiap suap nasi dengan semangat.

Anak itu bernama Putra, umurnya delapan tahun. Ia tidak bersekolah. Ibunya sudah meninggal karena sakit jantung dan ayahnya pun tidak tinggal bersamanya, sehingga ia tinggal bersama neneknya di emperan pasar di daerah Senen. Putra dan sang nenek mengemis untuk dapat bertahan hidup.

Pertemuan dengan Putra membuatku teringat pada banyaknya anak di Jakarta dengan nasib yang sama. Saat mereka seharusnya pergi ke sekolah untuk belajar, keadaan membuat mereka harus mencari uang sejak dini untuk sesuap nasi.

Terkadang aku merenungkan kesenjangan sosial yang terjadi di depan mata. Di mal-mal besar, banyak orang yang rela mengantre berjam-jam hanya untuk mencoba makanan dan minuman yang sedang trending, atau berburu promo yang tak ada habisnya. Padahal, di luar sana masih banyak orang miskin di jalanan yang tidak memiliki tempat tinggal dan setiap hari berjuang untuk mencari makan.

Sempat aku terjebak dalam cara berpikir bahwa kesulitan yang mereka hadapi adalah kesalahan mereka sendiri. Mengapa mereka harus datang ke kota besar dan berujung mengemis dan memulung, ketika mungkin mereka bisa memiliki kehidupan yang lebih baik di kampung halamannya? Tetapi, aku sadar bahwa aku tidak seharusnya menghakimi. Bagianku adalah menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk membantu.

Aku pun membuka Alkitab dan melihat bahwa fenomena kemiskinan sudah ada sejak dahulu, salah satunya adalah ketika seorang pengemis meminta uang kepada Petrus di bait suci (Kisah Para Rasul 3:3). Dalam Injil Lukas 14:13, Yesus pun berkata, “Tetapi apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta. Dan engkau akan berbahagia, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu”.

Banyak pemahaman baru yang kuperoleh setelah membaca firman Tuhan. Jika kita bisa menangis di dalam gereja, maka kita pun harus juga bisa menangis untuk jiwa-jiwa di luar gereja yang membutuhkan pertolongan tangan kita. Jika kita bisa mengangkat tangan tinggi-tinggi untuk memuji dan menyembah Tuhan di dalam gereja, maka kita pun harus bisa mengulurkan tangan di luar tembok gereja.

Aku percaya bahwa kekristenan sejati tidak terbatas pada apa yang kita lakukan di dalam gereja, tetapi terlebih lagi soal apa yang kita lakukan setelahnya. Sebagai orang percaya, kita semua terpanggil untuk menghadirkan kasih Tuhan dan menjadi Alkitab berjalan bagi mereka yang membutuhkan dengan mengasihi mereka yang terhina, terlupakan, sendirian, dan tersakiti.

Mengutip kata-kata John Keith Falconer, “Saya punya satu terang lilin kehidupan dan saya lebih memilih menerangi tempat-tempat yang penuh dengan kegelapan daripada tempat yang penuh dengan terang.”

Setiap kita adalah lilin yang membawa terang Ilahi. Pelayanan di gereja adalah sesuatu yang baik, tetapi api semangat itu harus kita bawa dan teruskan juga ke tempat-tempat yang membutuhkan terang pengharapan yang kita terima dari Yesus. Kita dapat memulai dari tempat dan orang-orang yang terdekat dengan kita.

Dilansir dari sebuah situs pelayanan, ada:

140 juta anak yatim di dunia dan 150 juta anak jalanan.

Setiap 1 jam ada 72 anak-anak dan wanita diperdagangkan sebagai budak,

setiap 1 jam ada 237 orang meninggal karena HIV/AIDS,

setiap 1 jam ada 869 orang meninggal karena kelaparan kronis, dan

setiap 1 jam ada 1250 orang meninggal karena penyakit yang seharusnya bisa disembuhkan.

Seperti Alkitab menulis, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius 25:40), melayani Tuhan adalah ketika kita melayani sesama kita. Apa yang bisa kita lakukan untuk menolong orang-orang yang menderita dan butuh pertolongan?

Tuhan menempatkan mereka di dalam kehidupan kita, karena mereka adalah tanggung jawab kita. Kiranya perenunganku dapat membangkitkan semangat kita untuk mulai berbuat sesuatu bagi sesama kita yang membutuhkan. Tuhan Yesus memberkati kita semua.

Baca Juga:

Berhenti Memikirkan Hal-hal Negatif

Pernahkah kamu tenggelam dalam pikiran-pikiran negatif? Apa yang biasanya kamu lakukan untuk menghentikannya?

Kejenuhan, Celah Si Jahat Untuk Hambat Produktivitas

Oleh Santina Sipayung, Batam

Berjam-jam duduk di kelas. Berhari-hari mengerjakan tugas. Berbulan-bulan menyelesaikan skripsi. Bertahun-tahun bekerja di tempat yang sama. Tak dapat dipungkiri, menjalani rutinitas atau mengerjakan sesuatu dalam jangka waktu yang lama seringkali membuat kita merasa jenuh.

Sebenarnya, apa itu kejenuhan?

Kejenuhan adalah sindrom yang ada pada tataran emosi. Area kejenuhan pada mental ialah perasaan kehilangan idealisme, gagal sebagai pribadi, dan menyebabkan kesulitan berkonsentrasi. Kejenuhan pada mental dapat ditandai dengan tidak lagi memiliki pengharapan dan cepat menuduh diri sendiri. Bahkan, citra diri di dalam Kristus terkadang dapat terkikis karena kondisi mental yang negatif. Apabila dibiarkan berlarut-larut, kejenuhan bisa menjadi stres yang berkepanjangan dan dapat menyebabkan sakit jiwa.

Kejenuhan yang terjadi pada tataran mental turut berimbas pada area fisik. Kondisi fisik yang menurun karena kejenuhan turut menyebabkan kecenderungan darah tinggi serta serangan otak karena kelelahan. Kelelahan tersebut juga dapat menyebabkan migrain, sakit kepala, dan flu yang tidak kunjung sembuh.

Orang yang mengalami kejenuhan seringkali memiliki kesulitan untuk menyelesaikan aktivitas yang sudah dimulai atau malas melakukan rutinitas yang seharusnya dijalani. Ia jadi cepat bosan, tidak sabar, dan sulit menghargai diri sendiri dan orang lain. Iblis dapat menggunakan celah kejenuhan untuk menurunkan produktivitas dan membuat kita tidak lagi bergairah dalam menjalankan aktivitas rohani maupun pelayanan-pelayanan kita.

Lalu, siapakah orang yang rentan mengalami kejenuhan?

Orang yang rentan mengalami kejenuhan adalah orang-orang yang ambisius, pernah memiliki akar pahit, dan orang yang tidak sanggup berkata “tidak” pada orang lain. Ketiga hal tersebut memberi tekanan pada diri mereka yang berujung pada depresi.

Kejenuhan menjadikan kita kesulitan bertumbuh dan menghalangi peluang kita untuk maju. Oleh karena itu, tentu saja kejenuhan harus diatasi. Berikut adalah langkah konkret yang dapat kita lakukan untuk mengatasi kejenuhan.

1. Sadari dan akui kejenuhan itu

Langkah pertama untuk mengatasi kejenuhan adalah menyadari perasaan jenuh dan belajar untuk mengakui kejenuhan yang kita rasakan. Seringkali kita berusaha untuk menyangkal kejenuhan dan berusaha untuk terus memforsir diri kita agar dapat menyelesaikan pekerjaan demi pekerjaan dalam rutinitas kita, meski tidak lagi dapat mencapai hasil yang maksimal.

2. Kenali diri dan ketahui kapasitas diri

Setelah menyadari kejenuhan, selanjutnya kita perlu mengenali diri sendiri. Apa saja kondisi yang membuat diri kita jenuh? Kita dapat sejenak berhenti dari aktivitas kita untuk merenung. Jangan lupa juga untuk berdoa dan ceritakan pergumulan kita kepada Tuhan.

Selain itu, kita juga harus mengetahui kapasitas diri kita dan memohon bimbingan Tuhan sebelum memutuskan untuk berkegiatan. Pekerjaan dan aktivitas yang bertumpuk dapat kita bagi menjadi pekerjaan prioritas, mendesak, dapat ditunda, atau pekerjaan yang dapat ditinggalkan. Mengenali kesibukan kita akan membantu kita mengenal Allah yang menganugerahkan setiap aktivitas yang kita miliki. Kita dapat menyerahkan diri dan hidup kita sepenuhnya ke tangan Tuhan karena kita adalah kepunyaan-Nya. Ketika kita membiarkan Allah mengambil alih hidup kita dan melakukan semuanya untuk Tuhan, niscaya kita dapat terlepas dari kejenuhan.

3. Mencari tahu kegiatan untuk keluar dari kejenuhan

Pertanyaan kedua untuk direnungkan adalah, kegiatan apa yang dapat membantu kita untuk mengatasi kejenuhan? Melakukan hobi bisa menjadi solusi untuk mengatasi rasa jenuh. Misalnya, ketika mulai bosan belajar atau mengerjakan tugas selama berjam-jam, selingi dengan bermain musik, berolahraga, menggambar, atau hobi lainnya.

Dalam konteks membaca Alkitab atau bersaat teduh, ada orang yang bisa mengatasi jenuh dengan bersaat teduh dari kitab tertentu (Amsal) selama sebulan, tetapi ada juga yang lebih suka membaca renungan dari kitab yang berbeda-beda setiap harinya. Ada juga yang lebih suka menonton video khotbah dibandingkan membaca buku, atau berselang-seling setiap harinya agar tidak jenuh.

Ketika merasa jenuh, ingatlah bahwa kita tidak pernah sendiri. Tuhan Yesus membuka tangan-Nya lebar-lebar dan menanti kita untuk mencurahkan isi hati kita pada-Nya. Dalam Matius 11:28, Ia berkata, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.”

Pada-Nya ada jawaban dari setiap pergumulan kita dan pada-Nya ada kelegaan bagi setiap kita. Saatnya datang pada-Nya dengan penuh kerendahan hati dan izinkan Tuhan memegang kendali hidup kita. Tuhan Yesus memberkati.

Baca Juga:

Tuhan Membentukku Lewat Pekerjaan yang Tak Sesuai dengan Passionku

Ketika pekerjaanku tidak sesuai passionku, yang terpikir olehku adalah resign. Tapi, Tuhan membuatku bertahan di pekerjaan itu sampai waktu tia tahun lebih! Dan, tak kusangka, pekerjaan ini dipakai-Nya untuk membentukku.

5 Hal yang Menolongku Mengatasi Kebiasaan Menunda

Penulis: Jolene C
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: 5 Ways To Fight Procrastination

5-Ways-to-Fight-Procrastination

Aku orang yang suka menunda. Ini adalah pergumulanku sejak lahir. Kelahiranku sendiri pun kutunda. Aku tidak bersiap pada posisi yang seharusnya pada saat ibuku hendak melahirkan—mungkin karena aku merasa terlalu nyaman di dalam sana—jadi, ibuku harus menjalani operasi Caesar.

Aku menunda pekerjaan dengan melakukan banyak “perencanaan” dan “penelitian”. Aku beralasan bahwa aku perlu memastikan segala sesuatu sudah siap lebih dulu sebelum aku mulai bekerja. Atau, dengan alasan, “Hidupku tidak berpusat pada pekerjaan”, aku akan memakai waktuku untuk mengobrol dengan teman-temanku, mendengarkan podcast, belajar memainkan lagu baru dengan ukulele, pergi berolahraga, bertemu dengan para sepupu … sampai batas waktu yang diberikan hampir habis. Begitu batas waktu mendekat, aku akan panik untuk menyelesaikan pekerjaanku tepat waktu (biasanya hasilnya agak berantakan), lalu aku akan berkata pada diri sendiri, “Sebenarnya aku bisa melakukan hal ini dengan lebih baik. Lain kali aku berjanji tidak akan menunda-nunda lagi.”

Tetapi, aku mengulanginya. Aku melanggar janjiku sendiri lagi dan lagi. Kebiasaan itu bahkan sudah menjadi pola yang bisa ditebak dalam hidupku. Tanpa sadar aku pun mulai menganggap diriku sendiri memang tidak bisa menyelesaikan tugas tepat waktu—jadi aku pun tidak memperbaiki kebiasaanku menunda.

Jauh di dasar hati, sebenarnya aku benar-benar ingin menjadi orang yang produktif. Aku ingin melakukan pekerjaan yang memberi nilai tambah dan manfaat, dan aku yakin semua orang yang bergumul dengan kebiasaan menunda sebenarnya juga punya kerinduan yang serupa. Aku pun capek dengan diriku sendiri yang suka menunda. Mungkin terdengar ironis, tetapi begitulah kenyataannya.

Aku juga merasa perlu melakukan sesuatu dengan kebiasaan burukku itu karena aku diingatkan bahwa Kristus telah membebaskan kita dari belenggu dosa. Hidup kita telah ditebus-Nya dan menjadi milik-Nya. Demikian juga dengan waktu kita. Pencipta kita telah menempatkan kita di dunia ini untuk menggenapi tujuan-tujuan-Nya.

Berikut ini ada lima strategi yang kugunakan hingga saat ini untuk melawan kebiasaan menunda, semoga bisa menolongmu juga.

1. Berkata tidak kepada kebiasaan menunda.

Terkadang kita tidak menyadari kuasa yang Tuhan berikan bagi kita untuk berubah. Kita berdalih, “Aku tidak bisa mengubah kebiasaan menunda ini!” Namun, bukankah sebenarnya kita bisa berkata tidak kepada keinginan untuk menunda?

Menurutku sendiri, bisa. Katakan tidak kepada kebiasaan menunda dengan langsung menghentikan aktivitas yang bukan menjadi pekerjaan utama kita. Misalnya dengan menutup jendela Google Chrome yang sedang membuka 10 laman tentang berita politik, ekonomi, dan hiburan terkini. Memang topiknya menarik untuk dibaca—tetapi tidak untuk dibaca pada jam kerja!

Mintalah kekuatan dari Tuhan untuk melawan keinginan menunda. Berbicaralah kepada Yesus, ambillah waktu teduh untuk menjernihkan pikiran kita. Ingatkan diri sendiri, “Yesus tidak menyelamatkan aku untuk bermalas-malasan di tempat tidur dan menghindari tugas yang seharusnya dikumpulkan pada dua minggu lalu.”

Menghindari atau membiarkan kebiasaan menunda hanya akan membuat kita makin menunda. Hadapilah kebiasaan itu, namun jangan turuti kemauannya.

2. Memberi instruksi kepada diri sendiri.

Seringkali aku meluangkan waktu terlalu banyak untuk memikirkan apa yang hendak aku lakukan—dan tidak segera mulai melakukannya. Untuk berhenti melakukannya, aku belajar berbicara kepada diri sendiri.

Misalnya, suatu pagi aku mulai berpikir untuk menunda jadwalku untuk lari pagi: “Lima menit lagilah baru bangun… Cuacanya enak sekali untuk tidur… lari paginya besok saja…”

Aku akan memberi instruksi kepada diriku sendiri:
“Sudah waktunya bangun…. kamu tinggal duduk, pakai kaus kaki, pakai sepatu, keluar dari kamar. Ayo, kamu bisa… kita pergi lari ya… SEKARANG.”

Cara ini dapat menolong kita untuk berhenti berpikir terlalu banyak, dan mendorong kita melakukan pekerjaan kita dengan lebih cepat dan efektif. Strategi ini sangat menolong terutama untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak terlalu membutuhkan banyak pemikiran, misalnya merapikan tempat tidur, mencuci pakaian, mandi, olahraga, dan sebagainya. Bila kita memiliki tugas yang lebih besar, kita dapat membagi-baginya lagi menjadi tugas-tugas yang lebih kecil sehingga lebih mudah untuk mulai dikerjakan—dan lebih mudah diselesaikan. Strategi ini juga sangat menolong jika kita selalu menemukan diri kita kembali pada kebiasaan buruk dan tidak melakukan apa yang seharusnya kita lakukan.

3. Melibatkan teman untuk melatih rasa tanggung jawab kita.

Aku baru benar-benar menyadari betapa buruknya kebiasaan menunda ketika aku melihat dampaknya terhadap teman-temanku. Karena aku suka menunda dan bekerja setengah hati, jadwal mereka kacau balau, mereka menjadi stres dan harus meluangkan waktu ekstra untuk bekerja. Aku telah mengkhianati kepercayaan mereka dengan tidak melakukan bagianku tepat waktu. Aku sadar bahwa aku harus jujur mengakui kesalahanku dan memperbaiki diri.

Tuhan mengetahui bahwa kita, manusia, cenderung ingin menghindari tanggung jawab. Sebab itu, Dia menempatkan kita dalam komunitas, agar kita dapat saling mendukung satu sama lain. Daripada berjuang sendirian untk melawan kebiasaan menunda, kita dapat melibatkan teman-teman kita untuk membantu. Kita bisa minta mereka untuk mengingatkan kita. Latih diri untuk bertanggung jawab terhadap mereka. Ingatkan dirimu bahwa penundaanmu bisa menyakiti mereka.

“Percayalah kepada mereka yang percaya kepadamu” kata teman-temanku. Kita akan jatuh lagi dan lagi karena kita manusia, tetapi mereka yang benar-benar peduli akan selalu berada di dekat kita, karena mereka percaya kita dapat menjadi pribadi yang lebih baik. Kita perlu melakukan hal yang sama bagi mereka.

4. Berhenti menjadi seorang pahlawan.

Aku mulai menyadari bahwa ketidakmampuanku menilai batas kemampuanku membuat aku cenderung membuat terlalu banyak janji dan komitmen yang kemudian tidak bisa kupenuhi. Ketika ada terlalu banyak hal yang harus kulakukan, aku menjadi kewalahan dan kesulitan memulai apa pun. Akibatnya, situasi tersebut membuatku harus pontang-panting di menit-menit terakhir.

Sebab itu, aku kemudian belajar untuk tidak lagi berpikir bahwa aku bisa melakukan segalanya. Aku punya waktu yang terbatas, punya tubuh yang terbatas. Aku belajar untuk membawa bebanku sendiri dan memastikan aku menyelesaikan pekerjaanku sendiri sebelum aku berusaha membantu membawakan beban orang lain. Fokuslah pada hal-hal yang benar-benar penting. Jagalah daftar kerja kita agar tidak terlalu panjang, sependek mungkin jika bisa. Pastikan setiap hal yang kita terima tidak akan membuat kita menunda pekerjaan yang menjadi tanggung jawab utama kita.

5. Menjauhkan hal-hal yang bisa memecah fokus kita.

Adakalanya pekerjaan utamaku tertunda karena ada banyak hal yang memecah fokusku. Salah satu hal yang kulakukan adalah mematikan telepon atau memasang mode flight saat sedang bekerja. Dunia akan baik-baik saja meski kita tidak menjawab telepon selama beberapa jam, dan teman-teman yang ingin mengobrol akan menemukan orang lain yang sedang tidak ada pekerjaan/waktunya senggang. Pada saat yang sama, kita sendiri bisa menyelesaikan sebagian pekerjaan kita. Situasi kita ini tentunya perlu dijelaskan kepada orang-orang di sekitar kita, supaya mereka memahami mengapa kita tidak mengecek telepon seluler kita pada jam kerja. Aku belajar bahwa teknologi seharusnya menjadi sarana yang berguna untuk menata hidup, bukan sesuatu yang mengatur hidup kita.

Tidak ada orang yang dapat membuat kita berhenti menunda kecuali diri kita sendiri. Sekarang mulai ada yang mengembangkan aplikasi ponsel untuk menolong kita lebih fokus dengan pekerjaan kita (misalnya: aplikasi Self Control). Namun, bila kita sendiri tidak punya niat yang kuat, aplikasi semacam itu pun tidak banyak menolong. Begitu juga desakan terus menerus dari seorang teman atau orangtua. Kita mungkin tidak akan pernah bisa menggunakan waktu kita dengan sempurna, namun kita dapat terus melatih diri menggunakan waktu kita seefektif mungkin. Mari belajar menjadi pengelola yang baik dan setia dari karunia-karunia Allah selama masa hidup kita yang singkat di bumi.

Aku ingin hidupku berarti—dalam setiap detik, menit, dan jam, dalam tiap harinya. Mari mulai mengoptimalkan jam-jam yang produktif dan saling mengingatkan satu sama lain.

Allah di Balik Kabut Asap

Penulis: Markus Boone

kabut-asap-2015
Sumber foto: daerah.sindonews.com, 22 Oktober 2015

Kemarau panjang beberapa bulan kemarin mungkin membuat hati kecil kita bertanya-tanya, mengapa Allah tidak kunjung mendatangkan hujan; mengapa Dia membiarkan bencana asap melanda dan menyebabkan jutaan orang menderita sakit karena asap yang begitu pekat masuk dalam hidung, tenggorokan dan paru-paru mereka. Pertanyaan senada mungkin pernah (dan akan) terbersit di benak kita ketika hujan terus turun dan bencana banjir menyapa. Mengapa Allah membiarkan bencana datang? Apakah Allah kurang berkuasa? Ataukah mungkin Dia kurang peduli?

Setidaknya ada beberapa hal yang menurutku bisa kita renungkan tentang pribadi Allah di balik bencana kabut asap yang hampir setiap tahun terjadi.

1. Allah konsisten dengan hukum-hukum alam yang ditetapkan-Nya

Bayangkanlah seorang guru yang membuat peraturan dalam kelas, tetapi sangat sering mengubah-ubah peraturan yang dibuatnya sendiri. “Hari ini peraturan nomor satu tidak berlaku ya, besok saja berlakunya.” Lalu seminggu kemudian ia berkata, “Minggu ini peraturan yang kemarin saya umumkan tidak jadi berlaku karena ada murid-murid yang tidak setuju.” Apa kesan kita terhadap guru yang demikian?

Bayangkanlah apa yang akan terjadi jika setiap kali kita berdoa Allah mengubah hukum-hukum alam yang dirancang-Nya sendiri. Kekacauan! Begitu gereja berdoa, Allah langsung memadamkan api di hutan. Orang-orang yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan tidak jadi dihukum. Pemerintah tidak merasa perlu berusaha keras memperbaiki sistem pengawasan dan pelestarian lingkungan. Penduduk tidak akan sadar betapa pentingnya menjaga alam yang dikaruniakan Allah. Apapun yang dilakukan orang dengan hutan setiap tahunnya, semua akan baik-baik saja. Tidak ada panggilan pertobatan.

Di balik kabut asap kita melihat Allah yang konsisten dengan apa yang sudah dirancang-Nya. Dia bukan Allah yang kebingungan dalam menegakkan aturan untuk alam ciptaan-Nya sendiri (Mazmur 119:89-91). Bencana kabut asap, sebagaimana halnya masalah lubang ozon dan pemanasan global, terjadi karena ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Tidak bisa dibereskan hanya dengan mengeluh dalam doa dan menuntut Allah melakukan “hal-hal ajaib”. Perlu ada refleksi sekaligus reformasi dalam kehidupan setiap kita, bagaimana kita menyikapi alam yang dikaruniakan Tuhan. Polisi, jaksa, dan hakim harus menegakkan keadilan bagi orang-orang yang merusak alam. Pemerintah harus membuat peraturan yang lebih jelas serta menciptakan infrastrukur yang dapat mencegah terulangnya kebakaran hutan dalam skala masif.

2. Allah baik dan panjang sabar terhadap umat manusia

Mengapa kita dan jutaan orang lainnya merasa prihatin sekaligus marah dengan munculnya kabut asap? Pertama-tama tentunya karena kabut asap membawa dampak yang buruk. Tiba-tiba kita merasa sangat terganggu karena ada begitu banyak hal baik yang direnggut dari kehidupan kita (atau sesama kita) oleh asap. Kebebasan beraktivitas, jarak pandang yang jauh ke depan, udara yang bersih dan segar, kesehatan, keindahan alam, bahkan nyawa orang-orang yang kita kasihi. Anugerah yang mungkin kerap kurang kita sadari dan syukuri ketika semua baik-baik saja.

Kedua, kita prihatin dan marah karena tahu bahwa bencana asap tidak tidak terjadi dengan sendirinya. Pepatah lama berkata, “di mana ada asap di situ ada api”. Memang ada faktor cuaca yang membuat bencana ini berkepanjangan. Namun, penyebab utamanya adalah ulah pihak-pihak tertentu yang sengaja merusak dan membakar hutan untuk kepentingan mereka.

Kalau kita saja prihatin dan marah, tidakkah Allah, Pemilik alam ini jauh lebih berhak untuk prihatin dan marah? Tidak hanya kepada para pembakar hutan, tetapi kepada setiap manusia yang tidak menghargai dan memelihara alam ciptaan-Nya dengan baik. Bencana asap terjadi bukan karena Allah mengabaikan manusia, melainkan karena manusia mengabaikan Allah dan tidak peduli kepada alam semesta yang dipercayakan-Nya kepada manusia.

Di balik kabut asap kita melihat Allah yang sesungguhnya telah mencurahkan banyak hal baik dalam hidup manusia, sekaligus yang sabar terhadap manusia yang tidak menghargai segala pemberian baik-Nya. Allah bukannya menutup mata terhadap dosa. Ada hari yang telah ditetapkan-Nya untuk menghakimi dan menghukum semua orang yang melawan Dia (Kisah Para Rasul 17:31). Namun, saat ini, Dia masih memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk bertobat (2 Petrus 3:9).

3. Allah menyediakan pilihan bagi manusia dan pemulihan bagi seluruh ciptaan-Nya

Menyadari bahwa banyak bencana yang terjadi—termasuk bencana kabut asap—bersumber dari pilihan-pilihan yang diambil manusia sendiri, pertanyaan yang mungkin timbul adalah: mengapa sejak awal Allah memberikan manusia kebebasan untuk memilih? Bukankah Allah tahu kalau manusia kerap salah memilih? Tidakkah lebih baik bila manusia tidak diberi pilihan?

Bayangkanlah sebuah dunia tanpa pilihan. Mungkin tidak ada bencana kabut asap di sana. Tetapi tidak ada pula kegairahan mengeksplorasi alam dan mengembangkannya. Berbagai pengembangan varietas tanaman baru yang tahan hama dan kaya nutrisi kini bisa dinikmati dan mencukupkan kebutuhan pangan banyak orang di dunia. Hal-hal luar biasa ini terjadi ketika manusia memilih untuk menjadi rekan dan bukan musuh alam. Allah menciptakan manusia untuk menyatakan kehadiran, pemeliharaan, dan kebijakan-Nya kepada segenap ciptaan lainnya (Kejadian 1:26-28). Sebab itu kita diciptakan berbeda, punya akal budi, bisa memilih.

Benar bahwa pilihan-pilihan manusia yang telah jatuh dalam dosa tidak lagi mencerminkan tujuan Sang Pencipta, dan justru kerap membawa bencana (seperti bencana kabut asap). Namun, Alkitab memberitahukan kita sebuah kabar baik. Allah menyediakan pemulihan bagi setiap orang yang mau bertobat (2 Tawarikh 7:14). Dan, pertobatan manusia akan membawa pemulihan juga bagi segenap alam, karena manusia yang bertobat kini kembali akan menjalankan perannya sebagai pengelola yang baik dari alam ciptaan Allah. Bahkan suatu hari kelak, ketika Kristus datang kembali, kita akan hidup bersama-Nya dalam langit dan bumi yang baru (Wahyu 21). Sebuah pemulihan total!

Di balik kabut asap, kita melihat Allah yang menciptakan kita secara istimewa di antara segenap ciptaan-Nya. Dia memberi kita kemampuan untuk berpikir, memilih, berkreasi, menyatakan kehebatan dan kebijaksanaan-Nya di tengah alam semesta. Kita juga melihat Allah yang pemurah, yang menyediakan pemulihan bagi setiap manusia yang mau bertobat, dan bagi segenap ciptaan-Nya.

Bagaimanakah kita akan menanggapi Allah di balik kabut asap?

 

Walau banyak mulut yang meratap
Karena siksaan dari serbuan asap
Janganlah berpikir Allah tidak mendekap
Oleh karena Dia tetap Allah yang mantap

Manusia jangan hanya meratap
Tapi pikir baik-baik kenapa ada asap
Yang tak bertobat jangan merasa mantap
Oleh karena penghukuman datang berderap