Posts

Sedalam Apa Kamu (Mau) Membangun Cinta Bersamanya?

Oleh Tabita Davinia Utomo, Jakarta

Apa hal pertama yang terlintas di benak teman-teman ketika membicarakan tentang cinta? Biasanya, yang muncul pertama kali di benak kita adalah perasaan. Ya, topik seputar cinta (terutama ketika berada di seminar atau kelas yang membosankan) kerap kali menjadi “dopamin” ketika rasa ngantuk melanda. Disadari atau tidak, kita cenderung akan lebih antusias ketika topik pembicaraan beralih ke percintaan lawan jenis (hayo, benar enggak, wahai muda-mudi?)

Tidak heran jika cinta juga menjadi salah satu topik yang paling banyak dibahas dalam berbagai karya, baik secara lisan maupun tertulis. Iya, semudah itu kita excited ketika berbicara soal cinta, sampai-sampai ada sebuah pepatah populer yang familiar bagi kita:

Cinta itu kuat seperti maut.

Ungkapan yang tertulis dalam Kidung Agung 8:6 ini menggambarkan bahwa saking kuatnya, cinta seolah-olah memiliki daya tarik bagi manusia untuk berkorban bagi mewujudkan perasaan cintanya kepada pasangannya. Ketika sebuah relasi dimulai, perasaan cinta yang “kuat seperti maut” juga seakan-akan menggiring pada imajinasi bahwa kita dapat memberikan “diri sendiri” kepada orang yang dikasihi. Perasaan menggebu-gebu ini seolah-olah divalidasi oleh ajaran-ajaran tentang pengorbanan Yesus Kristus, sang Anak Allah yang mati di atas kayu salib (Yohanes 3:16, Filipi 2:5-8). Kita merasa bisa menjadi “Kristus kecil” setidaknya bagi orang yang kita cintai itu. Namun, tulisan ini tidak berhenti pada “cinta yang kuat seperti maut”, melainkan melampauinya dengan “cinta yang membangun kehidupan”.

“Loh, bukannya cinta hingga rela mati itu lebih besar, ya, dibandingkan cinta selama masih hidup? Kan, Tuhan Yesus rela membuktikan cinta-Nya bagi kita sampai mati di atas kayu salib.”

Betul, tetapi menurut Paulus, kasih melampaui yang namanya kematian. Paulus menjelaskannya dalam 1 Korintus 13:3:

Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku.

“Seheroik” apa pun anggapan kita terhadap tindakan yang kita (atau pasangan) lakukan dalam relasi, maknanya akan sia-sia tanpa kasih di dalamnya. Nah, kasih yang sejati digambarkan oleh Paulus dalam dan Yohanes demikian:

Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. 𑁋1 Korintus 13:4-7

Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih. Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita. 𑁋1 Yohanes 4:7-8, 10

So what? Bagiku dan pasanganku, tantangan terbesar bagi kami bukanlah mewujudkan “cinta hingga mati” melainkan membangun cinta di dalam Allah. Jika Kristus hanya mati untuk kami, maka sia-sia pengorbanan-Nya. Namun, Ia bangkit, naik ke surga, dan akan datang kedua kalinya untuk menggenapi janji keselamatan kekal manusia. Karena itulah, relasi kami sesungguhnya adalah wujud nyata bagaimana Kristus menyucikan dan menguduskan hidup kami.

“Ah, kok holy banget, sih. Skip, ah.”

Tunggu, tunggu. Kami juga manusia biasa yang juga punya drama dalam relasi, teman-teman 🤣 Anyway, poin di atas adalah prinsip yang perlu kita terus perjuangkan dalam membangun relasi; bukan hanya dalam percintaan, tetapi juga bentuk kasih kita kepada setiap orang yang kita jumpai. Jadi, prinsip Alkitabiah ini bersifat umum, ya. Nah, sekarang, izinkan kami membagikan sisi psikologis dari pengalaman kami dalam membangun relasi.

1. Berani terbuka pada kerapuhan diri tidak menjamin bisa mendekatkan satu sama lain

Dalam sebuah relasi, makin terbuka pada diri sebenarnya membuka kesempatan untuk melihat sisi lain kehidupan pasangan maupun diri sendiri. Idealnya demikian, kan? Melalui keterbukaan pada kerapuhan diri, kita lebih peka pada kebutuhan emosi dan menyampaikannya secara tepat pada pasangan. Aku belajar cukup banyak dalam berelasi dengan pasanganku, karena sebelumnya aku belum sepenuhnya menyadari bahwa aku punya isu parentless yang cukup mendistorsi konsep relasi yang aku miliki. Uniknya (dan kami percaya ini tidak lepas dari belas kasihan Tuhan), kami sudah mulai bisa memperkenalkan kerapuhan diri masing-masing sejak dia mendekatiku.

By the way, berikut beberapa poin kerapuhan diri yang kami buka dalam proses pendekatan (PDKT), termasuk setelah kami mulai berpacaran:

a. Pola asuh dalam keluarga, karena hadir atau absennya orang tua punya andil besar dalam membentuk kami jadi pribadi yang sekarang
b. Pelajaran dari relasi di masa lalu
c. Sisi kepribadian kami yang bisa jadi bibit konflik dalam relasi
d. Trauma maupun pengalaman pribadi yang tidak menyenangkan di masa lalu

“Kapan kita bisa mulai membuka kerapuhan diri ke (calon) pasangan?”

Tergantung kesiapan keduanya, dan kesiapan ini pun dipengaruhi oleh banyak hal. Dari pengalaman kami, proses perkuliahan dan konseling pribadi dari kampus yang sama menolong kami untuk memiliki kesiapan dalam membuka kerapuhan diri, serta peka pada kerapuhan orang lain. Namun, kita juga perlu waspada agar tidak segera mengizinkan (calon) pasangan mengenali kerapuhan kita jika belum ada kepercayaan (trust) di antara kedua pihak.

Mengapa? Karena kerapuhan kita bisa menjadi “keuntungan” baginya. Tentunya kita tidak ingin kerapuhan kita menjadi sesuatu yang “dieksploitasi” orang lain, kan? Itulah sebabnya kita perlu belajar membuka diri setahap demi setahap. Kalau kita maupun (calon) pasangan memiliki “tembok” yang terlalu tinggi dalam relasi, kita perlu mempertanyakan ulang keputusan untuk berelasi dengannya. Yesh, ada risiko-risiko yang perlu diambil ketika berelasi dengan orang lain, karena itulah Pdt. Wahyu Pramudya pernah mengungkapkan, “Mencintai hanya untuk pemberani.” Dibutuhkan keberanian untuk merapuh, terluka, dan kembali merajut cinta.

2. Relasi membutuhkan komunikasi yang terus-menerus dilatih

Poin pertama tadi berkaitan dengan poin ini. Yesh, tanpa ada komunikasi yang dilatih, kita tidak akan terbiasa untuk mengembangkan relasi yang terbuka satu sama lain. Nah, relasi yang terbuka membutuhkan kepercayaan dan empati, dan untuk menumbuhkannya membutuhkan waktu dan kesiapan hati kedua pihak.

Mungkin teman-teman sering membaca atau mendengarkan pernyataan serupa dari berbagai sumber yang membahas tentang relasi. Kenyataannya, belajar berkomunikasi dengan pasangan tidaklah semudah yang kita harapkan: kita dan pasangan saling tahu apa yang kita maksudkan tanpa banyak ba-bi-bu, dan bisa saling peka dengan tiap kodenya secara langsung.

Aku𑁋yang telah belajar psikologi dan konseling𑁋pun tidak luput dari kesulitan ini. Ada kalanya aku melukai pasangan dengan pernyataan yang kurang tepat, meskipun aku tidak bermaksud melakukannya. Begitu pula dengannya yang juga perlu terus belajar memberikan validasi emosiku. Namun, di situlah kami akhirnya menyadari bahwa komunikasi adalah seni yang dipengaruhi oleh banyak warna dari kehidupan kami. Warna itu berasal dari perlakuan orang tua kami (kalau bisa bertemu dengan orang tua masing-masing, itu akan menolong pengenalan kita terhadap pasangan menjadi lebih utuh), tempat asal yang berbeda, pengalaman dari relasi sebelumnya, maupun pergaulan yang dimiliki memengaruhi kepribadian, cara pandang, dan bentuk komunikasi kami.

Perbedaan-perbedaan ini ada kalanya memicu konflik, sehingga kami (melalui konseling pasangan) belajar untuk mengembangkan pola I-statement dalam berkomunikasi. I-statement ini menolong kita untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran berdasarkan sudut pandang kita; berbeda dari you-statement yang menitikberatkan konflik pada orang lain. Contohnya seperti ini:

I-statement: “Ken, kamu kelihatan enjoy, ya, sama game-nya, tapi aku merasa enggak diperhatiin waktu kamu dengerin ceritaku sambil bermain game.”

You-statement: “Kamu bener-bener, ya, nggak perhatian sama sekali!

Dalam komunikasi, kata “tidak … sama sekali”, “tidak pernah”, dan “selalu” perlu kita waspadai𑁋khususnya saat menghadapi konflik. Rasanya tidak menyenangkan, ya, ketika kita sudah mencoba berusaha memperbaiki diri, tetapi mendapatkan respons yang bernada kamu-enggak-pernah-berusaha-berubah. Tidak heran kalau sebuah konflik bisa menjadi “bom waktu”, belum lagi pengaruh dari pembelajaran kita terhadap pola komunikasi antara ayah dan ibu kita (baik-buruknya mereka pun kita pelajari sejak kecil secara sadar maupun tidak).

Ada kalanya membangun komunikasi yang sehat bersama (calon) pasangan itu tidak mudah. Namun, ketika kita berinisiatif belajar untuk mengembangkan komunikasi bersamanya, jalan itu terbuka lebar, kok. Teman-teman bisa mencari permainan yang mendorong pertanyaan bermunculan seperti yang ada di sini.

3. Yuk, konseling!

Dua poin di atas kami pelajari bersama melalui interaksi sehari-hari kami, termasuk dalam proses konseling pasangan yang sedang kami jalani. By the way, konseling pasangan ini berbeda dari bina pranikah di gereja, ya 😂 Kalau bina pranikah biasanya membahas tentang persiapan sebelum memasuki pernikahan (termasuk mempelajari pernikahan dari sudut pandang teologi, hukum, dan kesehatan keluarga), konseling pasangan adalah salah satu cara kami untuk saling mengenal diri (dibantu konselor tentunya, karena kadang-kadang kami mengalami stuck kalau sedang berkonflik). Selain itu, di dalam konseling, ada alat tes yang menolong kami untuk mengenali bibit-bibit konflik yang bisa muncul ketika ada pemicunya.

“Yah, tapi kalau konseling kayak gitu bayar, kan?”

Nah, kalau soal ini, silakan tanyakan pada lembaga konseling terdekat, ya. Teman-teman bisa juga hubungi beberapa layanan konseling di akhir artikel ini untuk informasi lebih lanjut.

Relasi kami memiliki lika-likunya masing-masing, begitu pula dengan teman-teman yang sedang menjalin relasi dengan kekasih hati. Yesh, tiap relasi itu unik adanya dan demikianlah Tuhan pun menciptakan manusia. Tiga poin di atas juga hanya sepersekian dari pembelajaran yang kami dapatkan selama berelasi. Namun, poin yang paling penting adalah kita memerlukan hikmat dan anugerah Tuhan dalam berproses menjadi pribadi yang dipulihkan untuk membangun relasi yang sehat. Keduanya hanya dapat dialami ketika kita dan (calon) pasangan memiliki hubungan pribadi dengan Tuhan, sehingga perlahan-lahan kita𑁋dengan tuntunan Roh Kudus𑁋dimampukan untuk mengasah kepekaan rohani dalam merajut kisah kasih bersama-Nya. Jadi, mohon doanya juga, ya, teman-teman, agar kami terus bertumbuh makin serupa Kristus melalui relasi ini.

Kiranya setiap pertumbuhan dan pengenalan diri yang disingkapkan membawa kita makin mengagumi dan memuliakan Tuhan yang berkarya melalui relasi kita. Selamat membangun cinta di dalam anugerah Sang Kasih!

Beberapa list lembaga konseling (silakan ditambahkan oleh teman-teman, ya)
1. Lifespring Counseling and Care Center
2. Gading Counseling & Empowerment Center
3. HOPE Counseling Center
4. Konseling Kristen (by hotline)
5. PERHATI Counseling & Care Center

Bacaan lebih lanjut:

Rogers, Shane L., Jill Howieson, dan Casey Neame, “I understand you feel that way, but I feel this way: the benefits of I-language and communicating perspective during conflict,” PeerJ (2018), 1-13.

Tsai, George, “Vulnerability in intimate relationships,” The Southern Journal of Philosophy 54 (2016), 166-182.

***

Terima kasih pada Kenny Tjhin yang menolongku menuliskan sudut pandang teologi tentang “cinta yang kuat seperti maut”. I thank God for you.

 

Mau Glowing Kok Nunggu Putus Dulu? Itu Keputusan yang Bisa Kamu Lakukan Sekarang

Oleh Tabita Davinia Utomo

“Kenapa, ya, mantanku jadi lebih glowing setelah putus?”

“Kok, mantanku kelihatan lebih bahagia sama pacar yang sekarang, ya?”

Hayo, siapa yang pernah bertanya demikian ketika melihat mantan yang terlihat lebih shinning, shimmering, dan splendid justru setelah relasi bersamanya usai?

Mungkin pikiran seperti ini sering muncul ketika kita melihat (atau bahkan mengalami sendiri) usainya relasi yang membawa dampak berupa upgrading diri, baik dari salah satu maupun kedua pihak. Karena itu, tidak jarang ada yang berpikir seperti ini:

“Duh, nyesel, deh, udah sia-siain dia…”

“Jadi pengen balikan aja, nih…”

“Kenapa, ya, mantan selalu lebih kelihatan menarik daripada pas masih jadi pacar?”

Tidak heran kalau pada akhirnya usainya relasi seolah-olah menjadi “ajang” pembaruan diri. Yang dulunya belum pernah belajar make up, sekarang jadi terlatih pakai make up. Yang sebelumnya tidak pernah pakai skincare, sekarang sudah tahu kegunaan serum dan spot gel saat jerawat menyerang. Yang awalnya sebodo amat dengan kesehatan mental, sekarang jadi semangat mempelajari—bahkan membagikan—isu di media sosial. Wah, ternyata kata “putus” bisa menjadi awal baru yang positif, ya?

Sebaliknya, ada juga yang justru menyalahkan pasangan ketika mereka tidak lagi menjalin relasi seperti dulu. Bukannya meng-upgrade diri, mereka memilih menarik diri dari semua pergaulan yang dimiliki, enggan untuk merawat diri, merasa tidak dikasihi, dan (ada juga) yang ingin mengakhiri hidup. Ironisnya lagi, label “lebay” bisa tersemat bagi orang-orang yang sedang bergumul seperti ini.

Pertanyaannya adalah… benarkah bahwa hanya dari usainya relasi maka kita baru bisa berusaha menjadi glowing (baca: meng-upgrade diri)?

Ini jawaban dari pengalamanku—yang masih tetap terus aku gumulkan hingga detik ini.

Penerimaan kasih Tuhan bagi diri sendiri adalah awal dari upgrading diri

Kalau melihat perbandingan foto-fotoku dari enam tahun yang lalu dan saat ini, mungkin orang-orang akan mengatakan bahwa aku tidak banyak berubah. Paling-paling yang tampak hanya kemampuan make up yang meningkat dan pemilihan pakaian yang lebih diperhatikan. Padahal kalau mau jujur, enam tahun lalu, aku sama sekali tidak tahu bagaimana harus memperhatikan diri sendiri. Terjebak dalam sebuah relasi yang menguras pikiran, tenaga, dan emosi membuatku “hidup segan, mati pun tak tahu caranya”. Aku justru beranggapan make up hanya menutupi kecantikan batin. Aku juga tidak tahu bahwa ada yang namanya skincare yang bermanfaat untuk mengurangi jerawat dan merawat wajah. Apalagi karena sejak kecil, mamaku mengajarkan, “Yang terpenting itu cantik hatinyaaa.” Well, kecantikan batin itu memang harus ditumbuhkan, tetapi (jujurlah, hai pencari cinta) apa yang dilihat pertama kali adalah penampilan, kan?

Namun, ketika relasi itu usai, perlahan-lahan aku menyadari bahwa ternyata selama berelasi itu, aku menolak untuk membiarkan kasih Tuhan yang berlimpah bekerja di hidupku saking tidak masuk akalnya untuk diterima. Secara teori, aku tahu bahwa Tuhan mengasihiku (Yohanes 3:16). Aku juga tersentuh setiap kali ada orang yang menceritakan bagaimana Tuhan mengubahkan hidupnya—dan tidak jarang menangis kalau teringat pada kasih Tuhan yang sempurna mau melayakkanku yang berdosa ini untuk melayani-Nya. Masalahnya adalah… aku tidak mau kalau harus kehilangan “orang yang mengasihiku”. Walaupun tahu Tuhan mengasihiku luar dan dalam, tetapi rasanya aku hanya bisa menemukan kasih tersebut dari mantanku kala itu. Bagaimana mungkin aku bisa menyadari dengan utuh kebenaran bahwa Tuhan mengasihiku dengan sempurna, kalau orang lain seolah-olah menunjukkan hal yang sebaliknya? Bagaimana kasih Tuhan itu menjadi nyata kalau aku merasa terus-menerus dituntut dan tidak pernah diafirmasi?

Ternyata, hanya “tahu” tidak akan menjamin diriku mampu menerima hal-hal yang tidak masuk akal seperti kasih Tuhan tadi. Hanya karena anugerah Tuhanlah aku bisa menerima kasih-Nya dan menghidupinya melalui iman kepada-Nya. Ketika membuka hati terhadap kasih Tuhan, afirmasi sesederhana, “Tulisanmu memberkatiku, Tabi. Thank you, ya,” sudah cukup untuk membuatku tetap beriman bahwa aku dikasihi dan dilayakkan-Nya untuk membagikan kabar baik.

Berdamai dengan diri sendiri sebagai proses upgrading diri

Aku teringat pada pengalaman seorang teman yang juga bergumul hebat setelah putus. Dia merasa tidak mudah untuk memaafkan dirinya sendiri karena dia merasa hanya mantannya yang sanggup menerimanya apa adanya. Akibatnya, saat dia mau putus, mantannya langsung bereaksi, “Kamu nggak akan bisa menemukan yang lebih baik dari aku.” Butuh waktu berbulan-bulan baginya untuk bisa memaafkan diri sendiri dan mantannya. Belakangan aku baru tahu, kalau temanku yang selalu terlihat ceria itu menyimpan kemarahan terhadap relasinya yang telah usai, yaitu karena “diagnosis” sang mantan tentang dirinya yang memiliki bipolar karena mood swing yang tidak jelas. Yang membuatku tidak habis pikir adalah selama ini temanku tidak menunjukkan gejala-gejala tersebut, walaupun setelah putus dia memang lebih kelihatan bahagia dan menikmati hidup, sih.

“Waktu itu aku takut banget kalau aku emang punya bipolar, Tab,” katanya. “Mana ada orang yang mau sama orang bipolar?”

Syukur pada Tuhan, “diagnosis” sang mantan dipatahkan oleh kondisinya yang makin membaik pasca putus. Ditambah lagi, setelah melalui proses konseling, temanku belajar bahwa masa lalunya bukanlah alasan untuk tidak memperbaiki diri, melainkan justru jadi batu loncatan dalam pengenalannya terhadap Tuhan dan diri sendiri. Plus, dia juga tidak lagi menyalahkan mantan yang memanipulasinya, tetapi memaafkannya di dalam ketidaktahuannya terhadap kondisi yang sebenarnya.

Berkaca dari pengalaman temanku itu, aku belajar untuk menerima kondisiku yang sangat rapuh setelah putus, dan memperbaikinya setahap demi setahap. Perlahan-lahan, aku menyadari bahwa aku juga ada andil dari berakhirnya relasi kami, sehingga kesadaran itu membantuku agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Aku jadi teringat pada Paulus yang menulis Filipi 3:4-14, yang salah satu pernyataan tegasnya tertuang di ayat ini:

“Aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.”

Move on tidak hanya berbicara bahwa kita tidak boleh menutup diri dari cinta yang mengetuk hati, tetapi juga bagaimana kita harus meng-upgrade diri menjadi anak-anak Tuhan yang berjuang memenuhi panggilan hidup di dalam Kristus.

Menemukan support system yang tepat untuk menjadi teman seperjalanan dalam upgrading diri

Aku bersyukur karena selama pra dan pasca putus, Tuhan mengirimkan teman-teman seperjalanan dalam proses pemulihan diri. Ada konselor yang menolongku menyadari bahwa minimnya afirmasi yang aku terima membuatku mencari pemenuhannya dari orang lain. Ada juga teman-teman yang bersedia mendengarkan dengan sabar ketika aku mengeluh berulang kali tentang relasi yang sudah usai itu. Tidak sedikit pula kata-kata penguatan yang aku terima dari post maupun story yang ada di Instagram, seakan-akan Tuhan ingin berkata agar aku tidak putus asa dalam proses pemulihan ini. Bahkan ada juga kakak KTB yang mengajariku self make-up dan berbagi tips pemilihan skincare sebagai salah satu bentuk upgrading diri.

Benarlah yang dikatakan oleh penulis Amsal dan Ibrani ini:

“Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.” – Amsal 17:17

“Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik.” – Ibrani 10:24

Makin bertambahnya usia, aku belajar bahwa support system tidak harus dalam jumlah orang yang banyak. Tidak semua orang bisa cocok dengan kita, kan? Namun, bukan berarti cukup satu-dua orang saja, karena kehilangan salah satu (atau semuanya) akan sangat berdampak buruk bagi kita. Mungkin kita bergumul dengan trust issue, sehingga untuk bisa percaya pada orang lain membutuhkan effort yang luar biasa. Tidak apa-apa, Tuhan memahami, kok. Ketika kita meminta support system kepada-Nya, Dia sanggup memberikannya dengan cara-Nya yang melampaui akal pikiran kita. Yang kita perlukan hanyalah percaya kepada-Nya dan membuka hati terhadap kehadiran orang-orang yang mengasihi kita.

Aku jadi ingat dengan analogi kentang dan sayur-sayuran lainnya yang direbus di dalam panci. Sebelum dimasak, semuanya masih mentah dan keras, sehingga diperlukan sebuah proses untuk membuatnya menjadi matang, empuk, dan bisa dimakan (misalnya saja dengan direbus). Proses perebusan itu akan membuat kentang dan sayur-sayuran saling bertabrakan. Namun, proses itulah yang membuat mereka bisa menjadi sop sayur yang bisa disantap. Sama halnya dengan analogi ini, ada kalanya kita akan saling “bertabrakan” dengan orang lain, dan pastinya hal ini tidak mudah. Ada luka yang tertoreh, kekecewaan yang tersimpan, bahkan kemarahan untuk sebuah fakta pahit yang terungkap. Namun, kalau Tuhan memang mengizinkannya terjadi, kita perlu belajar percaya bahwa proses itu membentuk kita agar menjadi teachable dan memberkati orang lain. Memang tidak mudah, tetapi semoga perkataan Ibu Lidya Siah ini bisa kita hidupi di tengah-tengah komunitas yang Tuhan percayakan:

“Jadilah komunitas yang memulihkan, ya.”

 

“Just take care what God has given to you.”

Poin terakhir ini berasal dari pasanganku, yang waktu itu masih baru dalam masa pendekatan. Jujur saja, aku belajar banyak darinya bagaimana harus memperhatikan penampilan dan merawat diri sendiri. Dari sekian banyak orang yang aku kenal, dia termasuk yang cukup concern dan berani memberikan masukan dengan terus-terang padaku. Mulai dari masker yang lusuh (dan sudah tergantikan dengan masker medis), hingga membangun kebiasaan hidup sehat seperti berolahraga. Dia bukan hanya asal bicara, tetapi juga do the talk.

“Nggak ada kata terlambat untuk self-love dan self-care. Jadi jangan kebanyakan mikirin orang lain terus, ya. Pikirin diri lo juga.”

Ungkapan pasanganku itu bukanlah tanpa alasan, karena sejak pertama kali bertemu, dia sudah memiliki kesan bahwa aku memikirkan lebih banyak hal lain daripada diriku sendiri. Ketika mendengarnya, aku bingung. Bukannya sebagai orang percaya, kita harus mementingkan orang lain di atas diri sendiri? Kalau tidak, nanti jadi egois, dong?

“Hukum yang Terutama” ini bisa menjadi pengingat bagaimana kasih kepada Allah dan sesama ternyata berhubungan dengan kasih kepada diri sendiri:

”Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” – Matius 22:37-40

Seperti poin pertama, kita tidak akan sanggup mengasihi siapa pun kalau tidak pernah mengalami kasih Tuhan secara nyata. Sebagai manusia, kasih kita cenderung dipenuhi oleh tuntutan dan ekspektasi. Ketika keduanya tidak terpenuhi, kita rentan kecewa. Itulah sebabnya, hanya kasih Tuhan yang mampu menjadi bahan bakar bagi kita untuk mengasihi-Nya, diri sendiri, dan sesama. Kita tidak akan bisa mengasihi sesama kalau kita tidak pernah men-treat diri sendiri dengan baik, kan?

“Lalu, seperti apa self-care yang bisa aku lakukan?”

Buatku pribadi, self-care tidak harus mahal dan membuat kita terpaksa melakukannya. Self-care bisa jadi adalah istirahat setelah kerja lembur berhari-hari. Bisa juga self-care merupakan perawatan wajah dan kulit dengan skincare supaya nutrisinya juga terjaga. Self-care juga bisa berupa cluttering barang-barang yang tidak digunakan lagi (menyimpan barang tanpa menggunakannya bisa menimbulkan stres tersendiri). Apa pun bentuknya, ketika kita melakukannya dengan sukacita, self-care menjadi ungkapan syukur kita kepada Tuhan atas keunikan diri kita.

Glowing yang jadi perpanjangan kasih Tuhan

Di tengah gelapnya dunia akibat dosa, Tuhan memanggil kita untuk menjadi “bintang-bintang” yang menunjukkan kehadiran-Nya bagi dunia, termasuk buat orang-orang di sekitar kita. Seperti itu juga yang Yesus katakan di dalam Matius 5:14-16:

“Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.”

“Lalu, bagaimana caranya untuk menjadi glowing seperti yang Tuhan mau?”

Salah satu doaku adalah, “Tuhan, selama aku masih hidup, tolong agar aku bisa menjadi berkat—baik dari tulisan maupun kehadiranku—setidaknya untuk satu orang saja.”

Dan itu yang aku (coba) hidupi.

Meskipun sebagai content creator, angka engagement menentukan strategi pembuatan konten, aku belajar untuk tidak mementingkan jumlah likes dan share dari post-ku. Selama ada satu orang yang terberkati dengan tulisanku, itu cukup, karena artinya Tuhan masih memercayakan tugas padaku untuk menghadirkan diri-Nya.

Begitu juga melalui pertolongan yang ditawarkan. Walaupun tidak selalu diterima, setidaknya ketika kita mau menolong orang lain, Tuhan bisa memakainya untuk menyapa yang bersangkutan agar tidak merasa sendirian. Yang perlu diingat adalah kita perlu tetap berintegritas, konsisten berbuat baik, dan menyadari bahwa kita bukan superhero yang bisa menyelamatkan semua orang. Cukup Tuhan Yesus saja yang jadi Juru selamat, jangan ambil alih peran-Nya.

 

***

Masa lalu kita memang tidak bisa diubah, tetapi kita bertanggung jawab pada apa yang sedang dan akan kita hadapi nanti. Begitu juga dengan upgrading diri, yang tidaklah harus disebabkan oleh usainya relasi atau masalah-masalah berat lainnya. Upgrading diri bisa kita mulai kapan saja, tetapi tentunya membutuhkan ketekunan agar ada hasil yang bisa kita nikmati di kemudian hari. Namun, jangan takut: Tuhan beserta dengan kita dan berkenan memulihkan hati yang hancur, sehingga setiap kepingannya yang dipulihkan menceritakan kasih-Nya yang mengubahkan hidup kita.

Kiranya melalui upgrading diri, kita dapat menikmati kehadiran Tuhan yang selalu bersama kita, mensyukuri perubahan yang diizinkan-Nya terjadi, dan membagikan kabar baik-Nya bagi orang lain melalui hidup kita.

Selamat menjadi glowing bersama Tuhan!

Imperfect: Menjadi Sempurna dalam Ketidaksempurnaan

Oleh Tabita Davinia Utomo, Jakarta
Gambar diambil dari official trailer

Film besutan Ernest Prakasa dan istrinya, Meira Anastasia yang tayang perdana di akhir 2019 lalu mungkin menjadi film yang dinantikan banyak orang. Film ini mengangkat isu yang hangat di masyarakat saat ini: insecurity.

Sesuai judul bukunya, Imperfect menceritakan tentang keadaan para wanita yang merasa insecure (tidak aman) dengan ketidaksempurnaan diri mereka. Secara khusus, film ini menyoroti kehidupan Rara yang bermasalah dengan kegemukan, Lulu yang kurus tapi dibilang chubby oleh pasangannya, empat penghuni kos ibu Dika, dan kekasih Rara. Mereka harus siap dicibir orang lain karena tidak memenuhi standar kecantikan yang berlaku di masyarakat zaman ini: tubuh langsing, pipi tirus, berkulit putih, berwajah manis, dan bisa berdandan atau up to date terhadap fashion. Namun, perlahan-lahan mereka bisa bangkit dan menunjukkan bahwa kecantikan tidak selalu harus bersumber dari kecantikan fisik semata. Di akhir film, Rara yang diperankan oleh Jessica Mila mengatakan, “Kita tidak perlu menjadi sempurna untuk bahagia.”

Sebagai orang yang sering merasa insecure dengan penampilan fisik, aku merasa tertohok dengan film ini. Meskipun terlahir sebagai orang Kristen yang sangat tidak asing dengan frasa “kamu berharga di mata Tuhan”, aku masih bergumul dengan perasaan minder karena kondisi tubuhku yang kelewat kurus berdasarkan standar body mass index. Banyak orang berkata kalau aku kurang makan. Tidak sedikit juga yang “menyalahkan” orang tuaku yang sama-sama berperawakan kurus. Akibatnya, kalau kesal, aku sering memendamnya dengan makan (terutama makan coklat)…namun ini tidak juga menambah berat badanku.

Selain itu, aku juga memiliki bekas jerawat di wajahku yang sulit hilang, ditambah lagi kedua mataku yang minusnya tinggi. Aku jadi sulit melihat jauh jika tanpa kacamata. Plus, aku juga termasuk orang yang terlambat belajar cara make-up dan memadupadankan pakaian di saat teman-temanku sudah melakukannya lebih dulu. Ini semua menambah perasaan minderku.

Tapi…meskipun dunia mungkin melihatku berdasar penampilan fisikku dan orang-orang melakukan body shaming terhadapku, Tuhan tidaklah demikian. Tuhan tidak menilaiku dengan cara seperti itu.

Kita diciptakan dengan amat baik

Ketika Allah menciptakan bumi dan segala isinya sampai di hari kelima, Alkitab mencatat metode penciptaan-Nya, yaitu dengan berfirman. Ya, hanya dengan berfirman, Allah menciptakan segala sesuatu—kecuali manusia. Di hari keenam, barulah Allah menciptakan manusia, ciptaan Allah yang paling mulia. Allah tak hanya berfirman (Kejadian 1:26), tapi juga membentuk manusia dengan tangan-Nya sendiri serupa dengan gambaran-Nya, imago Dei (Kejadian 1:27), diberi-Nya nafas kehidupan, dan diberikan pula mandat budaya (Kejadian 1:28). Penciptaan manusia terlihat kontras dari ciptaan-ciptaan yang lain, bukan?

Namun, ironisnya, gambar Allah yang mulia itu rusak karena dosa (Kejadian 3). Akibatnya, manusia mengalami keterpisahan dari Sang Pencipta…sekaligus harus bergumul dengan dosa. Tidak heran jika semakin lama dosa muncul dalam berbagai bentuk—termasuk insecurity atas bentuk fisik yang Tuhan berikan. Mungkin, kita pun termasuk salah satu di antara banyak orang yang terjebak dalam masalah ini.
Meski kita terjebak, bukan berarti tidak ada jalan keluar.

Allah mengetahui kerapuhan kita, karena itulah Dia memberikan Yesus Kristus, Anak-Nya yang Tunggal untuk menebus dosa-dosa kita dan menjadi jembatan bagi relasi kita dengan Bapa. Yang lebih indah lagi, Yesus juga membaharui citra diri kita yang rusak dengan memberikan status yang baru bagi kita orang percaya sebagai anak-anak Allah. Ada dua bagian dari firman Tuhan yang membuktikan ini:

1. Mazmur 139 yang menjelaskan bagaimana Allah menciptakan setiap orang dengan detail dan dengan keunikannya masing-masing. Sekalipun kita tidaklah sempurna, tetapi Allah tetap mengasihi kita dengan kasih yang sempurna, karena kita adalah kepunyaan-Nya.

2. Doa Bapa Kami. Yesus meneladani kita untuk menyebut “Bapa” sebagai fokus doa kita. Artinya, bagaimana pun orang lain menilai kita, kita memiliki Bapa di surga yang setia mendengarkan doa-doa kita…bahkan “keluhan-keluhan yang tidak terucapkan” (Roma 8:26).

3. Bukan kita yang membuat diri kita masing-masing bisa tetap kuat hingga detik ini, tapi karena Tuhan sendiri. Bahkan, tokoh sekaliber Paulus juga bergumul dengan “duri” dalam dirinya, sampai dia berdoa tiga kali agar Tuhan mengangkat “duri” itu. Bukannya mengabulkan doa Paulus, Tuhan justru berkata, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2 Korintus 12:9).

Mungkin dua poin di atas terasa klise di saat kita sedang bergumul dengan kondisi fisik yang tidak sesuai dengan pandangan orang pada umumnya; cita-cita yang kandas karena faktor yang tidak bisa dikendalikan; rasa minder karena merasa tidak memiliki potensi diri sebanyak teman-teman lainnya; merasa tidak mampu menghasilkan uang seperti saudara kita, atau teman yang sudah beriwirausaha di saat kita masih ditolong secara finansial dari orang tua; dan hal-hal lainnya yang menjadi pergumulanmu.

Aku pun bergumul dengan salah satu dari banyak pergumulan di atas. Temanku, kita tidak sendirian. Apa pun keadaanmu saat ini, kamu tetaplah berharga di mata Tuhan. Tidak apa-apa jika saat ini kita ingin marah kepada Tuhan untuk ketidaksesuaian dengan apa yang kita harapkan, karena toh Tuhan menciptakan marah sebagai respons emosi yang baik. Namun, jangan sampai kita hanya berkubang dalam kemarahan itu, lalu pasrah terhadap keadaan yang tidak bisa diubah. It’s okay to be fragile, but don’t cry alone. Bersamamu, ada orang-orang yang juga bergumul akan hal yang sama. Mengutip lagu “Pelukku untuk Pelikmu”, Fiersa Besari berkata, “Kita perlu untuk kecewa untuk tahu bahagia. Bukankah luka menjadikan kita saling menguatkan?”

Luka yang diserahkan pada Tuhan harus diobati, dan itu pedih. Namun, ketika kita mulai pulih, kita dimampukan-Nya untuk menerima keadaan untuk bersyukur, bahkan bisa menjadi teman bagi mereka yang bergumul dengan keadaan serupa.

Menutup tulisan ini, aku ingin membagikan sebuah lagu dari SAAT Youth Camp 2019 yang berjudul Kar’na Cinta-Mu, Tuhan. Kiranya lagu ini menjadi pengingat kita bahwa hidup kita bukan untuk menemukan kepuasan dari dunia ini, tetapi justru dari Tuhan sendiri.

Saat ‘ku melangkah dan ‘ku pandang dunia, banyak hal yang ditawarkan yang memberi bahagia
Saat ‘ku terima semua dari dunia, namun yang kudapatkan hanya bahagia yang fana
‘ku rasakan hidupku hampa dan tak berarti, menjalani hidup yang tak pasti
Namun Engkau, Tuhan, yang selalu ada, menerangiku dan b’riku harapan
Kar’na cinta-Mu yang selamatkanku dan kasih-Mu yang telah menyadarkanku
Dunia tak dapat memuaskanku, tak dapat bahagiakanku, namun Kau Yesus jawaban hidupku
‘ku ingin setia cintai Firman-Mu yang akan menjadi kebenaran hidupku
dan kuterima kebahagiaan yang sejati hanya di dalam-Mu, oh Yesus Tuhanku.

Cheers!

Baca Juga:

Penyertaan Tuhan Melampaui Segala Ketakutanku

Sejak aku percaya pada Kristus empat tahun lalu, hubunganku dengan ibuku menjadi sangat tidak baik. Penolakan dari orang terdekatku sempat membuatku ragu, sungguhkah Tuhan menyertaiku?

Lempar Balik Menjelang Akhir Tahun

Oleh Tabita Davinia Utomo, Solo

Setiap akhir tahun, kita pasti memiliki harapan atau sekadar keinginan yang ingin kita wujudkan di tahun depan. Kita juga mungkin merefleksikan kembali hal-hal apa saja yang belum tercapai di tahun ini dan bagaimana mewujudkannya di tahun dengan. Yap, inilah yang disebut sebagai resolusi. Sama seperti kebanyakan orang, aku pun memiliki resolusi dan daftar keinginan yang ingin kulakukan nanti. Berikut ini beberapa di antaranya:

  1. Aku ingin bisa Kuliah Kerja Nyata (KKN) di luar pulau Jawa
  2.  Mendapatkan judul skripsi yang tepat di semester enam dan mencari data di semester tujuh
  3. Memiliki pekerjaan tetap setelah lulus kuliah, atau melanjutkan studi pasca-sarjana
  4. Menulis sebuah buku dan menerbitkannya
  5. Membuat lebih banyak portofolio untuk usaha desain grafisku

Aku bersyukur pada Tuhan karena ada banyak hal yang telah aku lakukan di sepanjang tahun 2017, dan aku percaya tahun depan pun akan ada hal-hal menarik, yang walaupun belum kuketahui, tapi pasti akan membuatku semakin dekat dengan Tuhan. Tapi, aku sadar bahwa segala pencapaianku di tahun ini terjadi bukan karena kekuatanku sendiri atau sekadar keberuntungan. Semua pencapaian tersebut, baik yang terjadi di tahun ini maupun tahun-tahun sebelumnya adalah karena Tuhan.

Saat berefleksi di dan menyusun resolusi, ada sebuah ayat yang terus mengingatkanku tentang pentingnya bersyukur atas hari-hari yang kulalui:

“Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana” (Mazmur 90:12).

Waktu aku menuliskan tulisan ini, aku teringat dengan resolusi yang pernah kutulis dulu. Di akhir tahun 2013, aku mengikuti sebuah camp di salah satu seminari Alkitab di Malang. Pada tanggal 31 Desember malam, aku dan para peserta camp diminta untuk menuliskan kesan sepanjang tahun 2013 dan resolusi untuk tahun 2014 di atas sebuah kertas. Kertas itu kemudian digulung dan dimasukkan ke dalam sebuah botol. Dan, ketika saat ini aku membuka kembali kertas resolusi itu, ada satu bagian yang membuatku terkagum:

“Ya Bapa, aku berdoa agar di tahun 2014 nanti aku dapat belajar lebih banyak tentang-Mu. Bantu aku, Roh Kudus, agar aku dapat lebih peka terhadap kehendak Tuhan bagi keluarga, sekolah, gereja, dan masa depanku. Dan tuntun aku, agar di (akhir) tahun 2014 nanti, aku juga dapat bersyukur atas tahun itu, sama seperti saat aku bersyukur untuk tahun 2013.”

Sebuah doa yang tertulis di resolusi itu adalah doa yang sederhana. Tapi, itulah yang waktu itu aku doakan, dan Tuhan berkenan melakukannya untukku. Bahkan, sampai detik ini, setelah hampir empat tahun meninggalkan tahun 2013, Tuhan tetap setia menuntun langkah hidupku. Ketika aku berdoa supaya bisa lebih mengenal-Nya, Tuhan memberiku kesempatan untuk bergabung dengan sebuah kelompok Bible Reading. Awalnya aku ragu dengan kelompok ini karena kebanyakan anggotanya adalah para wanita yang sudah bekerja atau berkeluarga. Tapi, lambat laun dari kelompok ini aku malah jadi belajar bahwa penting sekali untuk bisa membagi waktu antara keluarga, studi atau pekerjaan, dan pelayanan. Inilah yang kemudian kucoba terapkan dalam kehidupanku juga.

Di tengah jadwal kuliah dan pelayanan yang begitu padat, aku sempat berpikir untuk mundur saja dari pelayanan supaya bisa lebih fokus membagi waktuku. Rasanya sulit berkomitmen untuk melayani Tuhan di tengah rutinitas yang sangat padat. Namun, rekan pelayanan dan kekasihku malah menegurku bahwa rencana itu bukan yang terbaik. Karena itu, aku jadi belajar untuk menerapkan manajemen waktu yang efektif dan produktif. Sejak saat itu, aku melihat ada banyak kesempatan yang Tuhan bukakan agar aku lebih memaksimalkan potensiku; dua di antaranya adalah melalui menulis buku dan menggambar.

Tahun 2018 sudah di depan mata. Melalui tulisan ini, aku mengajak teman-teman untuk terus belajar percaya dan taat pada kehendak-Nya. Aku belajar untuk terus menuliskan pengalaman-pengalamanku, baik itu di buku, atau di media online supaya aku tidak lupa akan kebaikan-kebaikan yang Tuhan sudah lakukan untuk hidupku. Di kala aku merasa terpuruk, tulisan-tulisan itu menolongku untuk tidak lupa akan kebaikan Tuhan, sekalipun ada masalah yang menerpa, dan tentunya agar aku tetap semangat menjalani hari-hariku.

Akhir kata, selamat menyongosong tahun 2018, kawan! Tetap semangat!

Baca Juga:

Apa yang Dapat Kita Pelajari dari Bayi Yesus?

Natal buatku adalah peristiwa yang sulit dimengerti. Katanya Yesus adalah Raja yang menyelamatkan dunia, tapi mengapa Dia malah datang dalam rupa seorang bayi mungil yang tak berdaya? Mengapa Dia memilih cara seperti ini?