Sukma tinggal di Jakarta. Dia adalah seorang anak tunggal yang punya kepribadian phlegmatis; traveler yang suka baca buku dan nonton bioskop; murid yang masih terus belajar; dan pendosa yang sudah diselamatkan oleh anugerah Tuhan.

Posts

Rabu Abu, Momen untuk Kita Berbalik dari Dosa

Oleh Sukma Sari Dewi Budiarti, Jakarta
Ilustrasi oleh: Betsymorla Arifin (@betsymorla)

Tahun 2019 telah memasuki bulan ketiga dan tidak terasa bulan depan kita akan bersama-sama merayakan Jumat Agung dan Paskah. Namun, sebelum hari besar itu diperingati, hari ini kita mengawalinya dengan Rabu Abu.

Terlepas dari gerejamu melaksanakan atau tidak, artikel ini kutulis bukan untuk memperdebatkannya, melainkan untuk memberikan pengetahuan kepada teman-teman tentang keberagaman tradisi Kristen yang kaya dan perlu kita syukuri.

Aku lahir dan tumbuh dalam keluarga Katolik. Aku pun mengenyam pendidikan dari SD hingga SMA di sekolah Katolik. Aku menemukan beberapa tradisi yang berbeda dari teman-temanku yang Protestan, salah satunya adalah hari Rabu Abu yang diperingati sebagai awal dari masa prapaskah. Meski begitu, ada juga beberapa denominasi dari gereja Protestan yang turut memperingati dan melaksanakan ibadah Rabu Abu.

Di dalam liturgi gerejawi, Rabu Abu menandai dimulainya masa prapaskah yang berjarak 40 hari sebelum Paskah. Kita akan diberi torehan abu di dahi kita sebagai bentuk penyesalan atas dosa-dosa yang sudah kita perbuat (Yunus 3:6). Abu yang digunakan tentu bukan abu gosok untuk mencuci piring, tapi berasal dari daun palma dari perayaan Minggu Palma setahun lalu yang kemudian dibakar dan abunya digunakan pada ibadah Rabu Abu.

Sekilas mengenai Rabu Abu

Penggunaan abu dalam liturgi berasal dari masa Perjanjian Lama di mana abu digunakan sebagai lambang atas perkabungan, ketidakabadian, penyesalan, dan juga pertobatan. Orang yang menyesali dosanya kemudian menaburkan abu di atas kepalanya, atau di seluruh tubuhnya (Ester 4:1,3). Di masa kini, terkhusus di gerejaku, abu tersebut diberikan oleh imam atau prodiakon bagi umat yang berusia 18-59 tahun. Sambil abu ditorehkan, mereka akan berkata, “Bertobatlah dan percaya kepada Injil” atau “Ingat, engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu”.

Melihat kembali ke perjalanan sejarah Kekristenan, gereja perdana juga menggunakan abu sebagai simbol perkabungan dan memohon pengampunan. Pada masa itu, mereka yang mengakui pertobatan di hadapan umum akan dikenakan abu di kepala mereka. Agak berbeda dengan abad-abad pertama, gereja di abad pertengahan menggunakan abu untuk mereka yang akan menghadapi ajal. Mereka dibaringkan di atas kain kabung dan diperciki abu sambil imam mengatakan, “Ingat engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu.” Meski begitu, makna abu tetap sama, yaitu sebagai lambang perkabungan, ketidakabadian, dan pertobatan.

Ritual Rabu Abu sendiri ditemukan dalam manuskrip Gregorian Sacramentary yang diterbitkan sekitar abad ke-delapan. Sekitar tahun 1000, seorang imam Anglo-Saxon bernama Aelfric berkhotbah demikian, “Kita membaca di kitab-kitab Perjanjian Lama dan Baru bahwa orang-orang yang bertobat dari dosanya menaburi diri mereka dengan abu dan membalut tubuh mereka dengan kain kabung. Sekarang, marilah kita melakukannya sedikit pada masa awal prapaskah. Kita menaburkan abu di kepala kita sebagai tanda bahwa kita wajib menyesali dosa-dosa kita terutama selama masa prapaskah.”

Di gerejaku, bagi umat percaya yang mengikuti ibadah Rabu Abu diwajibkan untuk menjalani puasa dan pantang selama 40 hari. Puasa yang dimaksudkan di sini adalah makan satu kali kenyang. Saat umat menjalani puasa dan pantang selama 40 hari, biasanya tiap wilayah di satu gereja akan diberikan satu amplop pada masing-masing keluarga. Amplop yang biasa disebut amplop APP (Aksi Puasa Pembangunan) ni diisi dengan uang yang nantinya digunakan gereja untuk menolong sesama yang membutuhkan. Untukku sendiri, biasanya salah satu pantangan yang kulakukan adalah tidak jajan. Uang jajanku itulah yang nanti kumasukkan ke dalam amplop ini.

Sahabatku, terlepas dari ada tidaknya tradisi Rabu Abu dalam gereja kita, sudah seharusnya kita menghidupi hidup yang senantiasa mawas diri. Kita menyadari bahwa kita adalah ciptaan dari Sang Pencipta, sadar bahwa diri kita adalah manusia berdosa, dan hidup yang kita hidupi saat ini adalah kesempatan yang begitu berharga, karena Tuhan Yesus telah menebus kita dengan harga yang teramat mahal.

Kiranya setiap hari di dalam hidup kita, tidak hanya dalam masa Prapaskah ini, kita senantiasa menyesali dosa-dosa yang telah kita lakukan dan oleh anugerah Kristus kita berjuang untuk menjaga kekudusan, mengasihi sesama, dan juga tidak mementingkan diri sendiri.

Selamat memasuki masa Prapaskah!

Tuhan Yesus memberkati.

Baca Juga:

Diam dan Tenang: Senjata Ampuh yang Mengalahkan Kekhawatiran

Aku berusaha menguatkan diriku untuk tidak khawatir. Tapi, apakah benar aku sungguh berusaha untuk tidak khawatir? Atau, aku cuma mengabaikannya saja?

Belajar dari Kisah Aldi, Yang Kita Butuhkan Bukan Hanya Makanan Jasmani Saja

Oleh Sukma Sari, Jakarta

Baru-baru ini, ada kisah penyelamatan dramatis terhadap remaja Indonesia bernama Aldi Novel Adilang. Aldi adalah seorang nelayan dari suku Wori yang berusia 19 tahun. Sehari-harinya Aldi bekerja sebagai penjaga rompong (sebuah rakit untuk menangkap ikan) yang letaknya sejauh 125 kilometer dari daratan. Nahas, pada tanggal 14 Juli 2018, angin berembus kencang dan memutus tali yang mengikat rompongnya. Aldi lalu hanyut ke Samudera Pasifik bersama rompongnya. Empat puluh sembilan hari setelahnya, yaitu pada tanggal 31 Agustus 2018, barulah Aldi ditemukan di perairan sekitar Guam, teritori Amerika Serikat di Pasifik. Aldi diselamatkan oleh kapal pengangkut batu bara dan dibawa ke Jepang. Setelah segala proses pengurusan dokumen selesai, Aldi lalu dapat pulang kembali ke Sulawesi Utara dan bertemu dengan keluarganya.

Saat diwawancarai oleh media, Aldi mengakui bahwa tujuh minggu terombang-ambing di laut hampir membuatnya putus asa. Untuk bertahan hidup, Aldi menghemat perbekalan yang tersedia di rompongnya. Saat semuanya habis hanya dalam seminggu pertama, Aldi mencari cara lain. Aldi memancing ikan, menadah hujan, dan meminum air laut dari perasan bajunya. Bukan cuma berjibaku dengan lapar dan haus, Aldi pun harus mempertahankan dirinya dari cuaca samudera yang ekstrem dan serangan ikan-ikan buas. Hingga di suatu hari, Aldi merasa hidupnya telah berada di titik nadir. Fisiknya lemas, psikisnya tidak berdaya. Daratan tak kunjung digapai, dan harapan untuk bertemu kembali dengan kedua orang tuanya seperti mustahil. Aldi ingin bunuh diri saja.

Namun, sesuatu dari dalam diri Aldi menahannya untuk melakukan itu.

“Saat itu (mau bunuh diri), saya kembali masuk ke rumah rakit. Saya membaca Alkitab,” kata Aldi dalam cuplikan wawancaranya kepada media.

Aldi lalu membaca Matius 6, yang isinya adalah Doa Bapa Kami. Setelah itu, dia terus melanjutkan pembacaan Alkitabnya, juga menyanyikan lagu-lagu rohani. Di tengah kondisi di mana harapan seolah padam, Alkitab menjadi satu-satunya pengingat Aldi bahwa sesungguhnya harapan itu tidak pernah hilang. Aldi lalu percaya dengan kekuatan Tuhan hingga akhirnya pada tanggal 31 Agustus 2018, sebuah kapal pengangkut batu bara melintas. Kapal sudah berjalan sejauh satu mil melewati Aldi. Tapi, karena awak kapal itu mendengar teriakan Aldi, kapal pun berbalik arah dan melepaskan tali untuk menolongnya. Pada tanggal 6 September 2018, kapal tersebut tiba di Jepang. Perwakilan dari Kedutaan Besar Indonesia membantu pengurusan dokumen Aldi, dan pada tanggal 8 September 2018 Aldi bisa pulang ke Indonesia menggunakan pesawat dari Jepang.

Kisah Aldi yang terombang-ambing di tengah laut tanpa makanan dan minuman mengingatkanku akan kondisi yang pernah aku lalui ketika aku tidak memiliki relasi yang baik dengan Tuhan. Di luar aku hidup, tetapi aku merasa di dalam diriku perlahan-lahan aku mati. Aku masih tetap beraktivitas seperti biasa, mengerjakan pekerjaanku di rumah maupun di kantor. Tapi, aku tahu bahwa ketika aku mengerjakannya, aku merasa seperti mayat hidup.

Aku tidak asing dengan kalimat “Doa adalah nafas hidup orang percaya”, dan kupikir kalimat itu benar adanya. Tanpa doa, tubuh rohaniku pun mati. Apabila tubuh manusia akan mengalami komplikasi saat kekurangan asupan makan dan minum, maka sebagai orang percaya yang kekurangan asupan makanan rohani berupa doa dan firman Tuhan, sudah tentu juga tubuh rohaniku akan mengalami komplikasi. Aku jadi seorang yang berjalan sendiri tanpa tuntunan Tuhan, dan relasiku dengan sesamaku pun jadi terdampak. Aku berprasangka buruk dengan orang lain, sering melawan ibuku, bahkan timbul rasa mengasihani diri yang tidak ada habisnya.

Ketika Tuhan Yesus dicobai Iblis di padang gurun, Dia berkata: “Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah” (Matius 4:4). Makanan jasmani memang penting, tetapi bagi orang percaya, makanan rohani pun sama pentingnya. Makanan rohani itu tidak lain dan tidak bukan kita dapatkan dari Alkitab, yang adalah firman Tuhan yang hidup. Tuhan tidak meninggalkan kita sendirian tanpa petunjuk untuk menjalani kehidupan kita di dunia. Dia memberikan kita firman-Nya, yang di dalamnya kita bisa mengetahui apa yang menjadi kehendak-Nya. Tidak ada cara lain untuk kita bisa mengetahui kehendak Tuhan selain daripada membaca dan menyelidiki firman-Nya.

Firman Tuhan yang terwujud dalam Alkitab bukanlah sekadar untaian kata yang ditulis rapi, tetapi itu sangat bermanfaat untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, dan mendidik orang dalam kebenaran (2 Timotius 3:16). Pemazmur bahkan berkata, “[Taurat Tuhan] lebih indah dari pada emas, bahkan dari pada banyak emas tua; dan lebih manis dari pada madu, bahkan dari pada madu tetesan dari sarang lebah” (Mazmur 19:11).

Sahabat, marilah kita setia membaca dan menyelidiki firman Tuhan, sebab firman-Nyalah roti kehidupan yang memberikan nutrisi buat jiwa kita.

Baca Juga:

Melalui Pelayanan di Gereja, Tuhan Mengubahkanku

Aku bersyukur atas kesempatan melayani di gereja yang Tuhan berikan. Tapi, lama-lama pelayanan itu terasa seperti sebuah beban berat buatku, hingga aku pun jadi kecewa dengan rekan-rekan pelayananku lainnya.

3 Hal yang Kupelajari dari Masa Single yang Panjang

Oleh Sukma Sari, Jakarta

Udah punya pacar belum?” adalah pertanyaan umum yang sering kudengar saat pulang ke kampung halaman atau bertemu dengan saudara. Pertanyaan itu diajukan kepadaku sejak tahun 2007. Padahal, saat itu aku baru menginjak kelas 2 SMA dan usiaku pun belum 17 tahun. Artinya, sampai saat ini, pertanyaan itu sudah diajukan kepadaku selama lebih dari 10 tahun. Dan, pastinya aku akan terus mendengar pertanyaan itu kalau aku belum menemukan pasangan hidupku.

Pertanyaan seperti itu sepertinya bukanlah pertanyaan yang ada akhirnya. Jika seandainya aku sudah memiliki pacar pun, tentu akan ada pertanyaan lainnya yang akan diajukan. “Kapan nikah?” dan setelah menikah berganti lagi jadi “kapan punya anak?” kemudian “kapan nambah momongan?” dan berbagai pertanyaan lainnya yang akan datang. Kembali lagi ke pertanyaan sudah punya pacar atau belum, biasanya aku akan menjawab “belum”, sambil tersenyum lebar seakan tanpa beban. Tapi, apakah benar tanpa beban?

Seiring berjalannya waktu, tak bisa kupungkiri ada perasaan khawatir dan takut di dalam diriku. Aku takut kalau-kalau aku mendapat pasangan hidupku di usia yang tak lagi muda. Atau, takut apabila mamaku tidak bisa menyaksikanku berjalan menuju altar karena usianya yang semakin menua. Aku sudah tidak tahu berapa banyak pesta pernikahan yang aku hadiri selagi aku berstatus single dan sudah berapa banyak konsep yang kubuat untuk hari bahagiaku nanti. Harus kuakui, orang-orang yang sedang bergumul dengan pasangan hidup dan menghadapi pertanyaan-pertanyaan seperti di awal tulisan ini mungkin sudah hafal sekali dengan penggalan ayat pembuka dari Pengkhotbah 3.

“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya” (Pengkhotbah 3:1).

Ya, untuk segala sesuatu ada waktunya. Aku adalah salah satu dari sekian banyak orang yang juga mengimani ayat itu. Dalam perenunganku di masa single ini, aku belajar bahwa sesungguhnya ada banyak hal yang bisa dipelajari dalam hidup, temasuk dari masa single yang tengah kujalani. Tiga hal yang kupelajari inilah yang menolongku untuk tetap menikmati proses dan memperlengkapiku untuk kelak menjadi seorang penolong yang sepadan bagi pasanganku.

1. Masa single adalah masa untuk melayani Tuhan

Berbicara tentang melayani Tuhan itu bukan berarti mereka yang sudah berpacaran atau menikah tidak bisa melayani Tuhan lagi. Hanya saja, menurutku mereka yang telah berkeluarga memiliki fokus tambahan untuk mengurusi keluarganya. Seperti yang dimaksudkan Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus:

“…Dan anak-anak gadis memusatkan perhatian mereka pada perkara Tuhan, supaya tubuh dan jiwa mereka kudus. Tetapi perempuan yang bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan suaminya” (1 Korintus 7:34).

Ada beberapa orang yang kutemui, yang semasa single-nya aktif melayani, tapi ketika berkeluarga malah mandek melayani. Waktu mahasiswa rutin datang persekutuan, tapi setelah menikah ingat ada persekutuan untuk alumni saja sudah syukur. Alasannya karena sudah ada keluarga yang harus dilayani. Memang keluarga adalah prioritas, tetapi kupikir tentunya akan lebih baik lagi jika sekeluarga aktif melayani bersama-sama.

Kembali ke masa single, menurutku masa ini adalah masa yang tepat untuk melayani. Selain tidak terbagi fokus, tentunya masa-masa single memberi kita kesempatan untuk memiliki lebih banyak waktu melayani. Tapi, hal ini bukan berarti lantas kita yang single tidak berusaha mencari pasangan hidup. Kata orang, jodoh memang di tangan Tuhan, tapi kita juga harus mencarinya. Jika Tuhan berkenan, mungkin saja dia yang kamu cari selama ini adalah partner pelayananmu

Saat ini aku melayani sebagai pemimpin Kelompok Tumbuh Bersama (KTB) di kampus. Selain itu aku melayani di gereja sebagai lektor dalam ibadah Minggu. Jika di saat weekend aku tidak memiliki agenda, maka aku akan menyempatkan diri untuk mengikuti ibadah persekutuan alumni atau menghadiri kegiatan kaum muda di gereja. Tentunya tujuan utama aku datang ke acara ini adalah untuk mendengarkan firman Tuhan dan juga menikmati fellowship dengan orang-orang percaya lainnya. Bagiku, jika aku menemukan pasangan hidupku di sini, maka hal ini kuanggap sebagai bonus.

2. Masa single adalah masa untuk memperlengkapi diri

Apa yang menjadi kriteria pasangan hidupmu? Selain lawan jenis dan seiman tentunya, adakah kriteria lain seperti pandai bermain musik, takut akan Tuhan, dan seorang pemimpin rohani masuk ke dalam kriteria-kriteriamu? Adakah kriteria-kriteria lainnya?

Seorang pria yang seiman, takut akan Tuhan dan seorang yang mengenal pelayanan gereja adalah kriteriaku yang selalu kusebut dalam setiap doaku. Tapi, tanpa kusadari, di titik inilah aku jatuh. Aku lupa bahwa ketika Tuhan menciptakan Hawa bagi Adam, Tuhan tidak berkata:

“baiklah aku menciptakan seorang pendamping yang akan terus mengaguminya seumur hidupnya.”

Akan tetapi Tuhan berkata: “Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (Kejadian 2:18).

Lantas, aku berkaca pada diriku sendiri: sudahkah aku menjadi penolong yang baik, yang sepadan bagi pasanganku kelak? Banyak hal yang bisa dilakukan untuk memperlengkapi diri sendiri selagi menantikan pasangan hidup. Selain aktif melayani dan mengikuti pertemuan-pertemuan ibadah, ada banyak buku bacaan rohani yang baik dan berkualitas yang aku baca. Bagaimana Oswald Chambers mengajak kita merasakan perjalanannya selama setahun penuh bersama Tuhan dalam bukunya berjudul My Utmost For His Highest atau bagaimana Rick Warren dalam bukunya Purpose Driven Life menolong kita menemukan jawaban tentang siapa kita sesungguhnya.

Namun bagiku, tidak ada yang lebih dahsyat dan hebat membukakan arti hidup yang sesungguhnya selain daripada Alkitab yang kumiliki saat ini. Buku-buku yang kubaca mungkin amat berguna untuk menambah wawasanku. Akan tetapi, hanya firman Tuhan saja yang berkuasa untuk mengubahkan hidupku.

“Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk meperbaiki kelakukan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (2 Timotius 3:16).

3. Masa single adalah kesempatan untuk menikmati setiap hal-hal kecil

Sekali lagi, bukan berarti ketika sudah berpacaran atau menikah kita tidak bisa mensyukuri hal-hal kecil di dalam hidup. Salah satu hal kecil yang bisa kunikmati saat ini adalah kesempatan untuk melakukan hobi traveling-ku.

Meski aku takut ketinggian, aku lebih suka pergi ke pegunungan daripada ke daerah pantai. Mungkin karena cuaca di pegunungan lebih dingin daripada di pantai. Merasakan sensasi perjalanan menggunakan motor trail untuk menuju puncak dengan kemiringan 10-40 derajat, beberapa belokan tajam hingga tiba di ketinggian 2900 meter di atas permukaan laut untuk menikmati matahari pagi di negeri di atas awan. Selain menikmati keindahan alam, traveling juga memberiku kesempatan untuk berjumpa dengan penduduk lokal, belajar tentang budaya dan kebiasaannya, dan kupikir ini jugalah salah satu cara untuk mengenal keramahan Indonesia.

Kelak, kalau sudah menikah, tentunya kesukaanku traveling harus dipikirkan ulang. Mengingat ada kebutuhan-kebutuhan lainnya yang harus dipenuhi. Tapi, jikalaupun nanti aku tetap bisa melakukan traveling, yang paling membedakan adalah tentu aku tidak lagi pergi traveling sendirian.

Pada akhirnya, menjadi single bukanlah sebuah bencana seperti yang dikatakan oleh banyak orang. Aku memang single, tetapi aku bukanlah orang yang kesepian karena melalui relasi yang intim dengan Tuhan, aku mendapati kebenaran bahwa dengan ataupun tanpa pasangan, anugerah Allah selalu cukup buatku.

Aku percaya, bahwa relasiku yang intim dengan Allah itu dapat menolongku untuk berhikmat dalam mencari pasangan hidup yang sepadan buatku.

Baca Juga:

Menikah Bukanlah Satu-satunya Tujuan Hidup

Sementara aku turut berbahagia atas pasangan-pasangan muda yang akan segera menikah, aku mendapati bahwa saat ini pernikahan itu dipahami sebagai tujuan hidup yang ingin dicapai secepat mungkin oleh banyak orang.

Aku Merasa Cacat Karena Kelainan Mata, Namun Inilah Cara Tuhan Memulihkan Gambar Diriku

Oleh Sukma Sari, Jakarta
Ilustrasi oleh Galih Reza Suseno

Aku dilahirkan sebagai bayi yang normal dan sehat di sebuah desa di Jawa Timur 26 tahun lalu. Namun, beberapa bulan kemudian, orangtuaku menyadari ada yang berbeda dengan mata sebelah kananku. Setelah diperiksa, dokter mendapati kalau pupil dan bola mata kananku tidak bereaksi terhadap cahaya karena ada pembekuan darah di saraf mata sebelah kanan.

Ketika duduk di bangku SD, aku menyadari bahwa mataku berbeda. Selama ini hanya mata kiriku saja yang bisa melihat normal. Jika mata kiriku melirik ke kiri atau kanan, mata kananku tidak bisa mengikutinya. Dalam keadaan normal, mata kananku pun terlihat lebih kecil daripada mata kiri. Lalu, jika mata sebelah kiri kututup, otomatis aku tidak bisa melihat apa-apa. Gelap. Kalau aku mulai kelelahan, mata sebelah kananku akan makin mengecil, bahkan nyaris tertutup.

Kondisi fisikku yang berbeda dari anak-anak lainnya membuatku minder. Beberapa teman di sekolah sering mengejek kondisi mata kananku. Mereka suka menyamakanku dengan seorang mantan presiden Indonesia yang juga memiliki kendala penglihatan. Seakan belum cukup dengan ejekan dari teman-teman sekolah, saat aku bepergian, entah di kendaraan umum atau saat mengantre dan ada anak kecil yang melihat ke arahku, mereka akan spontan berkata kepada ibunya. “Ih, matanya kecil sebelah.” Atau, jika anak kecil itu mengenalku, dia akan menanyakan, “Mengapa matanya kecil sebelah?” Dan, jika ditanyakan pertanyaan seperti itu, aku hanya menjawab “kecapean” sambil memberikan senyum terbaikku.

Aku ingat, dulu dokter pernah mengatakan jika mataku sedari dini sudah ditangani, mungkin ada jalan keluar yang bisa diambil. Saat aku berusia 5 tahun, aku takut untuk menjalani CT-Scan. Alat itu tampak begitu mengerikan buatku. Ibuku pun sempat kesal karena aku selalu menangis menolak jika diminta menjalani CT-Scan. Ketika aku dewasa, aku sempat menyesali betapa penakutnya aku dulu. Seandainya saja dulu aku berani, mungkin dokter bisa menangani lebih lanjut kondisi mataku.

Kekuranganku membuatku lupa bahwa di luar sana ada orang-orang yang tidak seberuntung aku, tetapi mereka tidak berputus asa. Selain itu, aku juga sempat meragukan kasih sayang Tuhan. Jika Tuhan mengasihi anak-Nya, apakah mungkin Dia memberikan sesuatu yang begitu pahit untuk ditelan?

Meski kondisi fisikku berbeda, namun aku termasuk anak yang berprestasi selama di sekolah. Setiap pembagian rapor, aku selalu masuk di jajaran 10 besar. Jauh di dalam hatiku, aku tahu sebenarnya prestasiku ini hanya untuk menunjukkan kepada orang-orang bahwa aku ini cukup pintar. Saat itu aku berpikir bahwa orang-orang akan menerimaku jika aku pintar. Selama masa SMP dan SMA, tidak ada lagi yang mengejekku, tapi kenangan pahit semasa SD dulu mematrikan dalam benakku bahwa aku cacat dan tumbuh menjadi seorang yang tidak percaya diri.

Ketika aku menyadari identitas diriku yang sejati

Bukan perjalanan yang singkat bagiku untuk bisa memahami bahwa aku diciptakan untuk tujuan Allah yang mulia. Waktu itu aku masih merasa malu dengan kondisi mataku dan sulit menerima kenyataan bahwa aku sedikit berbeda. Aku sering membandingkan diriku dengan orang lain dan berandai-andai jika aku memiliki mata seperti mereka. Selama bertahun-tahun aku hidup dengan melabeli diriku sendiri sebagai seorang yang cacat. Sampai suatu ketika terjadi sebuah peristiwa yang pada akhirnya menyadarkanku akan identitasku yang sesungguhnya.

Aku mulai mengenal Kristus saat mengikuti persekutuan di kampus. Dalam ibadah Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR), pembicara di sana menyampaikan pesan bahwa manusia diciptakan untuk tujuan mulia Allah. Akan tetapi, dosa telah merusak relasi manusia dengan Allah, dan segala upaya manusia untuk memulihkan relasi ini gagal. Oleh karena itulah, Kristus diutus Bapa untuk memulihkan relasi yang rusak ini melalui karya penebusan di kayu salib.

Firman Tuhan yang diberitakan hari itu membuatku terpesona dan pesan bahwa darah Yesus tertumpah bagiku itu sangat menggetarkan hatiku. Selepas KKR itu, aku tahu bahwa hidupku tidak akan pernah sama lagi. Tuhan telah “menangkapku”. Sejak aku menerima Kristus, aku merasa duniaku seakan jungkir balik. Apa yang dulu kurasa merupakan suatu kebanggaan dalam diriku (seperti prestasi juara di sekolah) ternyata adalah suatu penyakit! Aku disadarkan bahwa identitasku yang sesungguhnya bukan didasarkan pada apa kata orang, bukan juga dari kebanggaan duniawi atas apa yang telah kuraih.

Dalam salah satu sesi sharing bersama kakak seniorku di kampus, dia memberiku sebuah ayat dari Yohanes 9:3. Di awal perikop itu, ketika murid-murid Yesus menjumpai seorang yang buta, mereka bertanya pada Yesus siapakah yang membuat orang itu buta? Apakah karena dosa orangtuanya, atau karena dosa orang itu sendiri? Yesus pun menjawab: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.”

Sharing tersebut membuatku merasa terhibur dan dikuatkan. Aku percaya bahwa melalui diriku, Allah ingin mengerjakan sesuatu. Dia ingin aku menjadikan kelemahanku sebagai pengingat agar aku tidak mengandalkan kekuatanku sendiri dan berserah kepada-Nya. Aku bersyukur karena pada akhirnya, kekurangan fisikku dan pergumulanku untuk menerima gambar diriku seutuhnya bisa dipakai Allah untuk menjadi sebuah kesaksian yang kuharap akan memberkati orang-orang yang membacanya.

Aku percaya, bahwa Tuhan menciptakan diriku bukanlah karena suatu kecelakaan, tapi Dia telah merencanakan semuanya, dan segala sesuatu yang dicipta oleh-Nya itu baik adanya (Kejadian 1:31). Aku juga belajar untuk melihat ke bawah, bahwa ada orang yang tidak seberuntung aku, namun mereka sanggup untuk bersyukur akan keadaannya.

Jika dulu aku enggan menatap diriku di cermin, kini aku bisa berkaca dan berkata pada diriku sendiri, “Aku dicintai-Nya!” Kalau dulu aku begitu pesimis akan kesembuhanku, sekarang aku bisa mengikuti terapi untuk membuat otot mata sebelah kananku tetap bergerak sama dengan otot mata sebelah kiri. Prestasi-prestasi yang kuperjuangkan bukan lagi menjadi ajang pembuktian diri supaya aku diterima oleh teman-temanku, melainkan sebagai sebuah ungkapan syukur atas Allah yang begitu baik untukku.

Ada sebuah lagu berjudul “Semua Baik” yang liriknya begitu menyentuh. Lirik-lirik sederhana ini selalu menjadi pengingatku bahwa Allah adalah Allah yang teramat baik. Dia merancangkan masa depan yang terbaik buatku.

Dari semula, t’lah Kau tetapkan hidupku dalam tangan-Mu, dalam rencana-Mu, Tuhan
Rencana indah t’lah Kau siapkan bagi masa depanku yang penuh harapan
S’mua baik, s’mua baik, apa yang t’lah Kau perbuat di dalam hidupku
S’mua baik, sungguh teramat baik, Kau jadikan hidupku berarti

Sahabat, jika saat ini ada dalam dirimu suatu kondisi atau penyakit yang membuatmu merasa berbeda dengan orang lain, jangan pernah menyerah dan putus asa. Aku dan kamu dicipta Tuhan baik adanya. Percayalah, segala sesuatu terjadi bukan karena kebetulan. Segala hal yang terjadi dalam kehidupan kita, Tuhan maksudkan untuk mendewasakan, mendidik, dan membentuk kita menjadi makin serupa dengan Dia.

“Tetapi jawab Tuhan kepadaku: ‘Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.’ Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku” (2 Korintus 12:9).

Baca Juga:

Dalam Peliknya Masalah Kemiskinan, Kita Bisa Berbuat Apa?

Apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi kemiskinan dan menolong mereka yang kurang beruntung? Pertanyaan ini pernah membuatku bingung. Awalnya aku menganggap bahwa kemiskinan adalah realita yang terlalu besar. Tapi, sejatinya ada satu hal yang bisa kita perbuat.

Untuk Indonesia, Aku Tetap Optimis!

Untuk-Indonesia-Aku-Tetap-Optimis

Oleh Sukma Sari

Tujuh puluh dua tahun bukanlah perjalanan yang singkat, apalagi bagi suatu bangsa. Jika kita menoleh sejenak ke belakang, ada begitu banyak peristiwa yang telah dialami oleh bangsa kita, Indonesia. Jauh sebelum mendeklarasikan kemerdekaannya, bangsa ini harus merasakan pedihnya masa-masa kolonialisme—dijajah oleh bangsa lain. Bahkan, setelah merdeka pun, bangsa ini tetap harus menghadapi banyak masalah.

Sebagai warga negara Indonesia yang lahir jauh setelah bangsa ini meraih kemerdekaannya, aku tidak tahu bagaimana euforia yang terjadi tatkala naskah proklamasi dibacakan. Yang aku ingat adalah masa ketika negeri ini memasuki masa transisi yang disebut dengan reformasi. Ruko miliki teman sekolahku habis terbakar. Sepanjang perjalananku dari rumah hingga ke sekolah, aku melihat banyak ujaran-ujaran kebencian bernada rasis yang dituliskan di warung atau toko-toko.

Karena segala kenangan buruk inilah, seringkali aku jadi membandingkan Indonesia dengan negara-negara maju di Asia. Melihat praktik korupsi yang menggerogoti birokrasi, peredaran obat terlarang yang terselubung, kriminalitas, juga kasus-kasus intoleransi membuatku merasa jengah akan kondisi bangsa ini. Kadang, aku jadi bertanya-tanya: Mengapa aku seorang Indonesia? Mengapa aku lahir dan besar di Indonesia? Mengapa Indonesia tidak seperti negara lain yang lebih maju?

Namun, tatkala pikiranku bertanya-tanya demikian, ada sebuah ayat yang juga terlintas di benakku. Ayat ini seolah menjawab semua pertanyaan-pertanyaanku itu. Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu (Yeremia 29:7). Ayat ini tidak asing di telingaku. Biasanya, ketika ibadah dengan tema kebangsaan, ayat ini sering disebutkan.

Ayat ini menegurku. Aku rasa bukan suatu kebetulan jika saat ini aku berstatus sebagai seorang warga negara Indonesia. Jika Tuhan begitu mengasihi Niniwe—kota besar yang berpenduduk lebih dari 120.000 jiwa, yang semuanya tidak bisa membedakan kanan dan kiri dan semua ternaknya (Yunus 4:11), lantas, siapakah aku sampai-sampai aku tidak mengasihi bangsa ini? Lambat laun, aku menyadari bahwa terlepas dari segala permasalahan yang menyelubungi negeri ini, masih ada banyak hal yang patut disyukuri. Terlepas dari segala kekurangannya, negeri ini adalah negeri yang indah.

Indonesia adalah negara kepulauan. Wilayahnya dikelilingi oleh perairan. Penduduknya beragam, berasal dari berbagai suku, budaya, dan bahasa yang berbeda-beda namun bersepakat untuk bersatu menjadi suatu bangsa Indonesia. Orangtuaku adalah orang Kristen, sedangkan sebagian besar keluargaku menganut agama Islam. Selain berbeda kepercayaan, keluarga besarku juga berasal dari berbagai macam suku. Ketika tiba hari lebaran, kami turut mengikuti tradisi mudik dan menikmati sukacita kebersamaan. Keberagaman keluarga inilah yang mengajarkanku apa arti toleransi antar umat beragama sesungguhnya, bahkan sebelum aku duduk di bangku sekolah.

Ketika aku pergi menjelajah ke daerah Sukamade, aku bertemu dengan serombongan turis dari Swiss. Mereka mengungkapkan kekaguman mereka akan keindahan pantai-pantai Indonesia. Lalu, dalam perjalananku ke Yogyakarta bulan Maret lalu, aku bercakap-cakap dengan seorang turis dari Maroko. Katanya, satu hal yang amat dia sukai dari Indonesia adalah keramahan penduduknya. Jika orang luar saja mampu kagum terhadap Indonesia, masakan aku yang adalah warga Indonesia tidak bangga dan bersyukur atas negeri ini?

Bersyukur dan bangga saja aku rasa belum cukup untuk mencintai negeri ini. Aku jadi teringat akan sebuah kutipan yang pernah disebutkan oleh John F. Kennedy, seorang mantan presiden Amerika Serikat yang berkata: Jangan pernah tanya apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakanlah apa yang sudah kamu berikan kepada negaramu. Salah satu kontribusi yang telah kuberikan kepada Indonesia adalah dengan menjadi warga negara yang proaktif. Ketika tiba waktunya pesta demokrasi digelar, aku menggunakan hak suaraku. Ketika saat ini aku sudah bekerja sebagai karyawan swasta, aku memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Dengan nomor ini, aku belajar untuk membayar pajak yang adalah kewajibanku sebagai warga negara. Setiap Rupiah pajak yang diserahkan kepada negara inilah yang akan menjadi penggerak pembangunan sarana dan prasarana di seluruh wilayah Indonesia. Tatkala kita membayar pajak, kita sedang berkontribusi untuk membangun negara ini.

Sahabatku, perjuangan kita saat ini belumlah usai. Perjuangan kita sekarang bukanlah perjuangan melawan penjajah dengan mengangkat bambu runcing seperti masa pra-kemerdekaan. Perjuangan kita adalah bagaimana kita bisa menjaga dan mengisi kemerdekaan yang Tuhan sudah berikan. Mari bersama-sama kita berjuang menjaga kesatuan dan persatuan, juga kerukunan antara suku, agama, dan budaya. Kita boleh bermimpi setinggi mungkin untuk bangsa ini. Jika kamu punya kesempatan untuk menuntut ilmu hingga ke luar negeri, pergilah. Tetapi, jangan lupa untuk kembali karena negeri ini membutuhkanmu.

Terlepas dari banyak permasalahan yang melanda negeri ini, aku tetap optimis. Negeri ini bisa menjadi lebih baik, selama aku dan kamu tetap percaya dan tidak berpangku tangan. Percayalah, Allah yang dahulu memimpin bangsa Israel keluar dari tanah Mesir adalah Allah yang sama yang memberkati Indonesia sekarang dan seterusnya.

Satu hal yang perlu kita imani adalah Allah selalu menyertai.

Baca Juga:

Mengapa Aku Mengagumi Superhero Sejak Kecil

Sejak aku masih kecil, aku begitu terobsesi akan superhero. Sebagai seorang anak SD yang sering diolok-olok oleh oleh teman-temanku, aku jadi berharap andai saja aku bisa memiliki superhero yang mampu melindungiku. Obsesiku akan superhero inilah yang akhirnya membuat teman-teman sekelasku menganggapku aneh.

Keluar dari Zona Nyaman

Oleh: Sukma Sari

Tidak ada kenyamanan di zona pertumbuhan, tidak ada pertumbuhan di zona nyaman

Kalimat ini mengingatkanku pada mutiara. Perhiasan yang indah itu tidaklah terbentuk dalam situasi yang nyaman. Sebaliknya, butiran-butiran mutiara itu terbentuk oleh lapisan-lapisan mineral yang dikeluarkan tiram ketika ada tamu tak diundang (pasir, misalnya) yang masuk ke dalam cangkangnya dan menyebabkan iritasi.

Aku juga punya cangkang pribadi yang indah dan nyaman. Dunia kecilku sendiri. Sebagai anak tunggal dalam keluarga, selama 19 tahun aku telah membangun dunia kecil yang terdiri dari aku, daku, dan diriku. Aku tidak punya saudara kandung, hanya punya orangtua yang selalu sibuk. Aku tidak perlu berbagi apapun dengan siapapun. Aku senang dengan dunia kecilku, dan aku ingin duniaku selalu seperti itu!

Ketika aku mulai kuliah, aku menemukan bahwa kehidupan ternyata jauh lebih besar daripada dunia kecilku. Aku bertemu dengan orang-orang yang beda pandangan hidupnya, beda cara berpikirnya, beda kebiasaannya, beda gaya-hidupnya, dan aku sangat tidak nyaman dengan semua itu. Aku tidak mengerti mengapa orang tidak bisa melihat apa yang kulihat atau melakukan apa yang kulakukan, tetapi, mengapa aku harus memusingkan diri dengan pendapat mereka? Jadi, aku memutuskan untuk mulai membatasi interaksiku dengan orang lain. Lagipula kata “berbagi” itu tidak ada dalam kamusku.

Namun, pada masa itu juga, Tuhan membawaku mengenal anugerah keselamatan-Nya di dalam Yesus Kristus. Di sanalah titik balik dalam hidupku. Menjadi seorang pemimpin kelompok kecil di kampus memaksaku untuk keluar dari cangkangku. Aku harus bertemu secara teratur dengan anggota kelompokku, baik itu kakak tingkat maupun adik tingkat. Aku harus berbagi hidup dengan mereka, mendengarkan mereka, dan berusaha memahami mereka. Sungguh tidak mudah. Rasanya dunia yang telah kubangun dengan hati-hati selama 19 tahun kini hancur berantakan. Sebagai contoh, dalam dunia kecilku dulu, aku tidak pernah berpikir bisa mengasihi orang yang tidak sependapat denganku atau orang yang telah menyakitiku dengan perkataan dan perbuatan mereka. Tetapi, dalam Matius 22:39, Yesus memberi perintah: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”.

Hari ini, setelah sekian tahun berlalu, aku sungguh bersyukur Tuhan telah menarikku keluar dari dunia kecilku. Masa-masa tidak nyaman itu telah mempersiapkanku untuk masuk ke dalam dunia kerja, di mana aku harus berinteraksi dengan banyak orang yang jauh dari sempurna (termasuk diriku). Aku harus berbagi hidup dengan mereka. Bisa dibilang setiap hari, aku harus menghadapi beragam orang dengan visi, kepentingan, dan sikap yang berbeda-beda. Betapa aku senantiasa diingatkan untuk selalu bergantung dan belajar dari Juruselamatku yang Mahakasih.

Kamilah tanah liat dan Engkaulah yang membentuk kami, dan kami sekalian adalah buatan tangan-Mu,” seru nabi Yesaya sembari mengakui dosa-dosanya dan dosa-dosa bangsanya di hadapan Allah (Yesaya 64:8). Sebelum menjadi bejana yang indah dan berguna, tanah liat harus melewati serangkaian proses pembentukan. Pertama-tama, pembuat bejana akan membersihkan tanah liat dari segala macam kotoran yang melekat. Setelah itu, ia akan menekannya berulang-ulang sampai lembut dan mudah dibentuk. Ia lalu akan memanaskan tanah liat yang sudah dibentuk pada suhu tinggi. Semua proses ini samasekali tidak menyenangkan, tetapi jika tidak dilakukan, tanah liat akan tetap menjadi tanah liat, dan tidak akan berubah menjadi bejana yang indah. Proses serupa juga kualami dalam zona pertumbuhanku.

Apakah kamu merasa Allah sedang menarikmu keluar dari cangkang pribadimu? Mungkin Dia telah menunjukkan beberapa area dalam hidupmu yang perlu kamu perbaiki. Mungkin Dia sedang menunjukkan beberapa kebiasaan yang perlu kamu latih sebagai persiapan untuk babak hidupmu selanjutnya. Percayalah pada pimpinan-Nya, meski sepertinya mustahil mengubah cara hidupmu selama ini. Sang Pembuat bejana tahu keindahan karya-Nya setelah nanti selesai dibentuk.

Tidak ada kenyamanan di dalam zona pertumbuhan, tetapi anugerah Tuhan akan memampukan kita untuk terus bertumbuh makin serupa dengan-Nya. Ketika kita menemui banyak tantangan dalam perjalanan pertumbuhan kita, mari ingatkan diri selalu: “Jangan menyerah! Sabar! Tuhan belum selesai membentuk diri kita!”

Saat Aku Menyadari Tidak Semua Impian Dapat Menjadi Kenyataan

Oleh: Sukma Sari

The Day I Realized Not Every Dream Would Come True

Pernahkah kamu memiliki banyak keinginan, harapan, dan cita-cita?
Pernahkah kamu menuliskan hal-hal yang kamu impikan tercapai pada titik tertentu dalam hidupmu?
Pernahkah kamu mendapati bahwa sebagian impianmu tidak akan pernah menjadi kenyataan, dan sebagian harapanmu mustahil untuk diwujudkan?

Aku pernah.

Aku memiliki banyak keinginan, banyak cita-cita. Dulu, aku rajin menuliskan setiap impian dan keinginanku. Namun, suatu hari, aku mendapati bahwa apa yang kuimpikan tidak bisa kucapai pada tenggat waktu yang sudah aku tentukan. Perasaan marah dan kecewa berkecamuk di dalam diriku. Aku bertanya kepada Tuhan, mengapa Dia mengizinkan aku gagal mencapai apa yang aku inginkan. Aku tahu tak seharusnya aku mempertanyakan Tuhan, tetapi saat itu kekecewaan begitu menguasaiku. Kondisiku bisa dibilang sangat buruk.

Hingga pada suatu malam sebelum tidur, aku membaca postingan teman di salah satu media sosial. Sepotong refrain dari lagu berjudul Trust His Heart, yang berbunyi:

God is too wise, to be mistaken
God is too good, to be unkind
So when you don’t understand, when you don’t see His plan
When you can’t trace His hand
Trust His Heart

Dalam bahasa Indonesia kurang lebih berarti:

Allah begitu bijak, tak mungkin salah
Allah begitu baik, tak mungkin jahat
Saat kau tak mengerti, (saat kau) tak paham rencana-Nya,
(saat kau) tak melihat tangan-Nya,
Percaya hati-Nya.

Syair itu membuatku merenungkan apa yang kualami. Benar bahwa banyak impianku yang tidak menjadi kenyataan, namun aku telah melupakan sejumlah fakta yang penting. Aku lupa bahwa ada satu Pribadi yang selalu bekerja di balik layar. Aku lupa bahwa setelah aku diselamatkan, hidup yang kujalani sekarang ini bukanlah milikku sepenuhnya. Bukan aku yang memegang kendali penuh atas hidupku. Aku lupa bahwa meskipun aku memiliki pensil dan kertas, Allah memiliki alat tulis yang lengkap!

Allah tidak hanya berbicara melalui lagu itu, tetapi juga melalui Firman-Nya. Dia menolongku untuk memahami dengan jelas bahwa Dialah sesungguhnya yang memegang kendali penuh atas hidupku. Dia berfirman dalam Yeremia 29:11, “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.

Aku tersadar bahwa aku telah bersikap seperti seorang anak kecil yang menuntut semua keinginannya harus terpenuhi dan doanya dijawab segera begitu ia memintanya. Aku tidak sedang hidup sebagai seorang hamba yang mengenal dan percaya kepada Tuannya, Allah yang memegang kendali penuh atas hidupku.

Sobat, tidaklah salah jika kita punya banyak impian dan keinginan. Tetapi, janganlah kita pernah lupa bahwa kita memiliki Allah yang berdaulat, yang memegang kendali atas segala sesuatu. Kita boleh saja memegang pensil dan menulis semua impian dan keinginan kita, tetapi ingatlah bahwa Allah memegang penghapusnya. Izinkan Dia menghapus keinginan-keinginan kita yang tidak benar, dan menuliskan rencana-Nya yang lebih baik dalam hidup kita. Dan, perhatikanlah bagaimana Dia bekerja di balik layar hidup kita masing-masing.

Ketika kamu merasa keadaan di sekelilingmu tidak berjalan sesuai dengan keinginanmu, jangan takut! Allah, Sang Pencipta sedang dan akan terus bekerja menggenapi rencana-Nya di dalam dan melalui dirimu.