Posts

3 Hal yang Hilang Jika Kita Menikah dengan Pasangan Tidak Seiman

Oleh Antonius Martono

Semua manusia mencari kenyamanan. Ketika manusia telah menemukannya maka sangat sulit bagi mereka untuk meninggalkannya dan pergi menghadapi risiko-risiko baru. Begitu juga halnya dengan memilih pasangan hidup. Terkadang kita sudah memiliki firasat dan keyakinan untuk segera mengakhiri sebuah relasi tapi, kita tidak memiliki keberanian untuk melepaskannya. Rasanya terlalu berat. Terlalu sayang merelakan segala hal yang telah diinvestasikan dalam relasi tersebut. Lebih menyedihkannya lagi kita harus menghadapi rimba kesedihan dan kebingungan pencarian setelahnya.

Memang melepaskan seseorang yang telah membuat kita nyaman selama ini tidak pernah menjadi hal yang mudah, sekalipun kita tahu bahwa hubungan tersebut jelas tidak akan berfungsi dengan baik dalam jangka waktu panjang, seperti pacaran beda keyakinan.

Namun, meninggalkan kenyamanan sesaat demi menaaati firman Tuhan adalah hal yang layak untuk diperjuangkan. Firman Tuhan pada 2 Korintus 5:14a mengatakan bahwa: “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya.” Tidaklah berlebihan jika kita menerapkan ayat ini dalam mencari pasangan hidup kita kelak. Sebab jika kita menikahi pasangan yang berbeda keyakinan, maka kita akan kehilangan beberapa kenikmatan di bawah ini yang telah Tuhan sediakan di dalam sebuah pernikahan Kristen.

1. Kehilangan nikmatnya hidup sesuai rancangan Tuhan

Bayangkan jika ada sebuah kuasa yang mewajibkan semua manusia berjalan menggunakan tangan ganti dari kaki. Meskipun bisa tapi, dalam jangka waktu panjang tangan manusia akan mengalami keram. Sebab tangan manusia bukan dirancang untuk berjalan. Begitupun dengan pernikahan. Pernikahan Kristen bukan sekedar kontrak sosial bukan juga sekedar berpadunya cinta ekslusif antara seorang laki-laki dan perempuan. Sehingga mereka memutuskan untuk menikmati cinta tersebut dalam sebuah komitmen pernikahan. Pernikahan Kristen dirancang Tuhan lebih dari itu, yaitu untuk mencerminkan relasi Kristus dengan gereja-Nya. Jadi pernikahan Kristen bukan sekedar bicara tentang ‘aku cinta kamu, aku sefrekuensi, dan nyambung dengan kamu maka dari itu mari kita habiskan waktu bersama.’ Melainkan pernikahan Kristen seharusnya mencerminkan bagaimana Kristus berkorban, melindungi, memaafkan, dan memimpin gereja yang Ia kasihi. Cerminan kasih Kristus inilah yang dapat terhilang saat menikah dengan mereka yang berbeda keyakinan.

2. Kehilangan nikmatnya persahabatan kudus dalam perjalan mengikut Kristus

Pernikahan Kristen dirancang untuk saling menajamkan pribadi satu dengan yang lainnya. Dalam pernikahan Kristen setiap pasangan perlu saling merawat kehidupan batin pasanganya. Mereka harus saling memperhatikan apakah ada hal-hal yang menghalangi setiap pasangan untuk semakin serupa dengan Yesus Kristus, yang adalah tujuan manusia diciptakan. Menikah dengan pasangan yang berbeda keyakinan tidak dapat memenuhi tujuan ini. Sebab salah satu pasangan tidak mengenal pribadi Yesus Kristus. Mereka akan kesulitan mengerti perjalanan rohani dan pergumulan batin seorang percaya seperti: dibenci karena menjadi seorang pengikut Kristus, menghayati Tuhan beserta kita, dan menikmati relasi intim dengan Tuhan. Semua ini adalah pengalaman unik yang hanya dapat dirasakan oleh orang percaya. Mereka yang tidak percaya tidak akan mengalaminya sebab mereka berjalan di dalam perjalanan rohani yang berbeda dengan tujuan akhir yang berbeda juga. Akan sangat sulit untuk saling menopang dan mendukung pasangan yang sedang berjalan dalam perjalanan dan tujuan yang saling terasing.

3. Kehilangan nikmatnya menjadi rekan sekerja Allah

Manusia adalah wakil Tuhan untuk memerintah di bumi. Tuhan menyatukan Adam dan Hawa dalam sebuah pernikahan dengan maksud untuk memenuhi amanat tersebut. Lewat keluargalah nilai-nilai kerajaan Allah mulai ditegakkan. Oleh sebab, itu setiap pasangan harus telah menikmati dan mengerti nilai-nilai kerajaan Allah. Agama yang dipeluk seseorang akan menentukan nilai-nilai hidup mereka dan ini akan mempengaruhi cara mereka mengambil keputusan. Bagaimana mereka menghabiskan uang, mengatur rumah tangga, menghabiskan waktu, membesarkan anak, dan masih banyak hal lain yang akan dipengaruhi oleh keyakinan agama seseorang. Perbedaan dalam isu-isu kecil seperti ini dapat memimpin kepada pertengkaran dan perceraian. Bukannya membangun kerajaan Allah justru malah membangun sebuah ring pertandingan.

Gelora asmara memang kuat, tapi bukan berarti tidak bisa dikuasai. Jika sudah terlanjur berpacaran dengan yang berbeda keyakinan maka lebih baik relasi tersebut dibatasi. Menarik diri dari mengekspresikan kasih romantis dan segera mengakhirinya. Sehingga cerita tidak berlanjut dan mengikat terlalu kuat. Sebab, semakin banyak cerita akan semakin pilu menghapusnya, semakin enggan menggantinya dengan cerita yang baru.

Namun, ada satu cerita kasih yang dimulai jauh sebelum kita dilahirkan, bahkan jauh sebelum dunia ini dijadikan. Cerita yang menghangatkan hati setiap orang yang menerimanya. Cinta itu berasal dari Yesus Kristus. Lewat hidup-Nya sengatan kasih itu selalu dirasakan mereka yang mau rendah hati menerima-Nya. Sedangkan di atas kayu salib Dia membuktikan cinta-Nya pada dunia. Kasih-Nya begitu meluap dan Dia mau agar kita menikmati limpahan kasih-Nya, termasuk kasih-Nya yang telah disediakan-Nya dalam sebuah pernikahan Kristen.

Baca Juga:

Jangan Pernah Berakhir Cerita Cinta Kita

Cerita cinta yang romantis, inilah yang sering kita dambakan dalam relasi antara sesama manusia, walaupun tak jarang dambaan ini berakhir pada kekecewaan. Namun, aku ingin mengajakmu untuk melihat kisah cinta yang lain.

4 Hal Baik yang Dijanjikan Pernikahan

Kisah cinta dua insan yang berlanjut ke jenjang pernikahan tentu adalah kisah yang manis. Banyak orang mendambakan relasi demikian. Namun, tak jarang orang-orang membangun pernikahan atas dasar harapan mereka sendiri: pernikahan akan memenuhi kebutuhanku, pernikahan bisa mengubah pasanganku, dan pernikahan bisa sebebas mungkin.

Tapi, apa sih kata Alkitab tentang pernikahan? Dikutip dari buku “Kerikil-kerikil tajam Pernikahan” pada tulisan David Egner, Alkitab menunjukkan bahwa harapan Allah atas pernikahan sangat berbeda dari harapan kita.

Tuhan, Berikan Aku Pasangan yang Suka Mencuci Piring!

Oleh God’s Little Flower
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 主啊,请赐我一个爱洗碗的丈夫吧!(有声中文

Meski rasanya memalukan, tapi judul artikel ini faktanya adalah doaku bertahun-tahun lalu.

Aku belum lama jadi orang Kristen kala itu dan terdorong untuk mendoakan calon suamiku di masa depan. Aku merinci 10 kriteria yang harus ada pada “suami idealku”. “Suka mencuci piring” ada di nomor 9. Alasan dari tertulisnya kriteria itu adalah, “Tuhan, aku amat tidak suka mencuci piring. Bukankah cocok jika suamiku nanti sangat suka mencuci piring?”

Kupikir kamu bisa menebak kelanjutan ceritanya. Tentunya Tuhan tidak memberiku suami yang suka mencuci piring, namun pada kenyataannya Tuhan menggunakan rutinitas remeh mencuci piring untuk mengajari kami pelajaran penting tentang pernikahan.

Siapa yang akan mencuci piring?

Ketika suamiku dan aku bertunangan, kami menghadiri beberapa seminar dan kelas tentang pernikahan. Banyak pembicara menyebutkan bahwa alasan utama konflik antar pasangan adalah pembagian pekerjaan rumah tangga yang tidak jelas.

Jadi, untuk menghindari ribut-ribut tentang urusan bersih-bersih rumah, aku dan suamiku berdiskusi bagaimana kita nanti membagi tugas saat menikah.

Kami setuju untuk membagi pekerjaan rumah dengan seimbang. Siapa yang bertanggung jawab untuk suatu tugas bergantung pada kekuatan, kepribadian, dan kesukaannya.

Berbicara kebenaran kepada satu sama lain

Berdasar prinsip, “…buanglah dusta dan berkatalah benar..”(Efesus 4:25), aku jujur berkata kepada suamiku kalau aku tidak suka mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ada banyak alasan untuk ini. Pertama, aku tidak punya standar kebersihan yang tinggi. Kedua, aku tidak suka pekerjaan yang simpel tapi berulang-ulang. Ketiga, aku gampang lelah. Alih-alih bersih-bersih rumah, aku lebih memilih menolong suamiku untuk urusan lain, semisal membuatkan slide presentasi dan membaca ulang artikel-artikelnya.

Pandangan suamiku mirip-mirip denganku. Dia bahkan punya standar makanan yang lebih rendah dariku, dan dia juga tidak berekspektasi punya rumah yang selalu rapi dan bersih setiap waktu. Daripada menikmati hidup dalam kemewahan, dia lebih memilih punya hidup sederhana dan istri yang bahagia. Jika aku bisa menolongnya mengerjakan hal-hal kecil dalam risetnya, dia akan amat senang.

Jadi, kami memutuskan bersama tujuan dari pekerjaan rumah tangga yang kami lakukan adalah memastikan bahwa kondisi rumah tidak akan mengganggu keseharian kami. Dengan demikian, kami bisa meminimalkan waktu yang dihabiskan untuk mengurus pekerjaan rumah.

Setelahnya, kami akan mengevaluasi pembagian tugas kami dengan sering, membagikan unek-unek dan perasaan, juga menyesuaikan kembali rencana kami berdasarkan kondisi. Contohnya, kami biasanya makan di rumah setiap akhir pekan, tapi supaya bisa punya waktu istirahat lebih banyak, kami memutuskan makan di luar lebih sering.

Kasih melenyapkan ketakutan

Selain urusan rumah tangga, aku dan suamiku menerapkan prinsip yang sama terhadap aspek-aspek lain dalam kehidupan kami dan dengan jujur mendiskusikannya. Contohnya, bagaimana kami menggunakan uang, meluangkan waktu pelayanan di gereja, seberapa sering kami mengunjungi rumah orang tua, bagaimana kami merespons pendapat keluarga yang lain, bagaimana membina komunikasi saat salah satu pergi dinas, dan sebagainya.

Kami membagikan apa yang jadi pendapat dan pemikiran kami, merumuskan tujuan bersama, mengatur ekspektasi, sampai akhirnya kami menghasilkan kesepakatan. Sering juga kami mengevaluasi rencana-rencana dan menyusunnya ulang jika dibutuhkan.

Banyak hal dalam hidup pernikahan itu tidak sepenuhnya benar tidak sepenuhnya salah. Antara suami dan istri perlu memiliki pengertian dan melihat dari sudut pandang yang sama. Agar pengertian bersama bisa tercapai, kuncinya adalah dua pihak harus bersedia berkomunikasi dengan jujur.

Kasih dari suamiku dan penerimaannya atasku menolongku untuk mengekspresikan pikiran dan perasaanku tanpa sungkan. Dia sering mengakui kelemahannya, dan itu menolongku mengerti kebutuhannya dan bersimpati pada perasaannya. Tujuh tahun hidup dalam pernikahan telah menolong kami mengalami lebih dalam kasih Tuhan seperti yang tertulis dalam 1 Yohanes 4:18, “Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan.”

Belakangan ini, aku bercerita pada suamiku tentang doa cuci piring yang kunaikkan bertahun-tahun lalu. Dia tersenyum dan menjawab, “Aku membayangkan sedikit sekali orang yang suka cuci piring. Kalau bisa menebak, mungkin Tuhan Yesus juga tidak suka mencuci piring!” Tapi, selama bertahun-tahun ini, suamiku bersedia mengambil tanggung jawab mencuci piring karena dia memang tahu aku tak suka mencuci piring.

Melihat ke belakang, aku bersyukur karena Tuhan tidak menjawab doaku yang egois itu, malahan Dia mengizinkanku untuk mengalami kasih-Nya melalui suami yang tidak suka mencuci piring, tapi bersedia mengesampingkan kepentingan pribadinya dan berkorban untukku.

Inilah pelajaran amat penting yang kupelajari dalam pernikahan.

Baca Juga:

Apakah Sakit Kankerku Merupakan Bagian dari Rencana Tuhan?

Kanker payudara tidak pernah menjadi rencanaku selama lima tahun, atau rencana-rencana lain yang kubuat dalam hidup. Aku tidak merokok, tubuhku rasanya sehat dan bugar, pun tak ada catatan sejarah keluargaku yang mengidap kanker payudara.

Sebuah Surat Untuk Istriku (Kelak)

Penulis: Shawn Quah, Singapura
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: A Letter To My Future Wife

A-letter-to-my-future-wife

Yang terkasih Istriku (kelak),

Rasanya seperti mimpi, sudah sehari kita menjadi suami-istri. Memandangmu selangkah demi selangkah mendekati altar dalam balutan gaun pengantin nan anggun kemarin, membuatku tidak henti-hentinya bersyukur kepada Tuhan yang telah membawa dirimu ke dalam hidupku.

Saat aku masih sendiri dan merasa kesepian, aku memohon kepada Tuhan untuk memberiku pasangan yang dapat mengisi hidupku dengan arti. Betapa salahnya berdoa seperti itu. Melalui seorang sahabatku, Tuhan mengajarkan apa yang seharusnya aku doakan. Aku seharusnya memohon Tuhan membentuk karakterku agar aku dapat menjadi pasangan yang tepat bagi istriku kelak.

Kita sudah saling mengenal cukup lama sebelum aku benar-benar memperhatikanmu. Kita bersahabat, masing-masing melayani Tuhan dalam bidang kita masing-masing. Aku sangat senang ketika kita mulai dekat dan aku tidak bisa berhenti tersenyum sendiri (apakah rasa sukaku saat itu terlalu kentara?)

Tuhan tahu betapa aku membutuhkan pasangan sepertimu, seseorang yang tidak hanya dapat menyemangatiku, tetapi juga yang bisa menjadi tempat aku membagikan pikiran dan perasaanku yang terdalam. Kamu juga sangat cocok dengan ibuku (sejak awal aku sudah yakin bahwa ibuku akan menyukaimu!), dan perhatianmu kepada adikku yang punya kebutuhan khusus sangat menyentuhku. Masakanmu yang enak jelas menjadi nilai tambah yang merebut hati keluarga besarku.

Harus kuakui, kamu tidak sama seperti sosok istri yang dulu aku bayangkan dalam puisi-puisiku—kamu jauh lebih baik. Tuhan tahu bahwa kamu adalah orang yang akan dapat menantangku untuk bertumbuh menjadi pribadi yang Dia inginkan.

Bulan-bulan menjelang pernikahan kita, aku sempat ragu apakah kita akan menjadi pasangan yang serasi—kita berdua tahu betapa berbedanya tipe kepribadian kita. Namun, kamu selalu mengingatkanku bahwa ini adalah perjalanan yang kita sepakati bersama, dan Yesus akan memelihara kita melaluinya. Dengan komitmen itu, kita bisa mengatasi setiap perbedaan pendapat yang muncul di antara kita. Proses yang kita lalui bersama juga menolongku lebih memahami kebiasaan-kebiasaanmu yang unik, hal-hal yang kamu anggap penting, juga besarnya cintamu kepadaku. Jelas kita juga telah melewati masa-masa yang sulit, namun ada banyak pelajaran berharga yang kudapatkan melaluinya, dan aku tidak akan pernah mau menukarkannya dengan apa pun juga.

Suaraku agak gemetar saat mengucapkan janji nikah kita kemarin, kamu tentu memperhatikannya (aku bahkan melihatmu menahan tawa). Belum pernah aku sebahagia itu dalam hidupku. Aku ingin bersamamu hingga tua dan keriput nanti. Bersama-sama kita akan saling berbagi rumah yang berantakan (kalau kita nanti punya anak, semoga), saling berbagi tawa, keluhan, air mata, dan juga kata-kata penuh cinta.

Aku berdoa agar Tuhan menuntunku untuk makin mengenal Dia setiap hari, supaya aku akan menjadi suami yang dapat memimpin, mengasihi, dan menghargaimu sebagaimana yang Dia kehendaki.

Suamimu (kelak)
Februari 2016

Rasaku luruh seperti daun yang jatuh
ditiup angin yang menemani dalam sepi
jauh dari keramaian, berpayung senyap
kukatup mata dan merajut harap
ingin berjumpa dia yang ‘kan buatku lengkap

Hingga hangat menyapa meski sekejap
mengembalikan rasaku yang hampir saja lenyap
perlahan kubuka mata, tersenyum pada cahaya
sambut Pribadi yang menghujaniku dengan cinta
lega menemukan, di dalam Dia sajalah aku lengkap