Posts

Bagaimana Mencari Tahu Apakah Pekerjaan Kita Berkenan Buat Tuhan atau Tidak?

Oleh Hendra Winarjo

Sobat muda, pernahkah kamu bertanya, “Kerjaanku sekarang ini sesuai gak ya sama kehendak Tuhan?

Pertanyaan ini tentu wajar untuk kita tanyakan, apalagi kalau kita sudah kuliah semester akhir atau sedang bingung dengan apa yang sedang dikerjakan sekarang. Sebagai pelayan Tuhan yang melayani jemaat, aku pun cukup sering mendapat pertanyaan serupa khususnya oleh teman-teman mahasiswa dan fresh graduate. Nampaknya ada kekhawatiran jika pekerjaan kita—baik nanti ataupun sekarang—itu tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, apalagi jika tidak mendatangkan kemuliaan bagi Tuhan.

Mencari jawaban dari pertanyaan itu tidak selalu mudah. Mungkin jawaban kebanyakan orang terkesan menyederhanakan, “Kalau kamu mau menghubungkan pekerjaanmu dengan pekerjaan Tuhan, maka kerjakan saja apa yang jadi panggilanmu.” Pada dasarnya, aku setuju bahwa sebagai orang Kristen kita wajib mengerjakan apa yang jadi panggilan (vocation) kita. Tetapi, kita mungkin keliru jika mengekslusifkan kata ‘panggilan’ itu hanya berfokus pada suatu bidang tertentu saja. Martin Luther dan John Calvin, dua tokoh reformasi gereja juga mengajar bahwa Tuhan tidak hanya memanggil umat-Nya untuk melayani sebagai pendeta, tetapi Tuhan memanggil dan memperlengkapi tiap umat-Nya dalam berbagai profesi atau ladang pekerjaan masing-masing.

Pemisahan antara pekerjaan yang ‘rohani’ dan ‘sekuluer’ adalah kekeliruan. Tidak semua pekerjaan yang dianggap pekerjaan “sekuler” sungguh-sungguh “duniawi,” serta tidak semua pekerjaan “rohani” sungguh-sungguh “rohani.” Misalnya, rasul Paulus menyebutkan bahwa pekerjaan atau aktivitas kita bahkan dimulai dari hal yang paling sederhana seperti makan atau minum, semuanya dapat memuliakan Allah (1Kor. 10:31). Artinya, bagi Paulus, asalkan segala sesuatu kita kerjakan untuk kemuliaan Allah, maka untuk apa kita perlu memisahkan secara tajam antara pekerjaan rohani atau sekuler, sebab semuanya itu pada akhirnya diarahkan bagi Tuhan.

Akan tetapi, aku tidak setuju apabila kita akhirnya jadi menyimpulkan kalau pekerjaan yang yang berkenan pada Tuhan itu sebatas mengerjakan apa yang kita yakini sebagai panggilan kita lalu menolak hal-hal lain yang sebenarnya dapat kita kerjakan. Tidak semua orang punya jawaban yakin dan spesifik dari pertanyaan, “Apa kamu sudah tahu apa panggilan Tuhan atas hidupmu?” meskipun, memang ada sebagian orang Kristen yang sudah tahu secara pasti mereka dipanggil untuk menjadi seorang dokter, desainer, pengusaha, atau bahkan pendeta, dan lain sebagainya. Juga, yang pasti lainnya adalah Allah tidak mungkin memanggil umat-Nya untuk berprofesi sebagai penjahat, pembunuh, dan hal-hal lain yang tidak kudus, yang tidak memuliakan nama-Nya.

Nah, lantas bagaimana buat orang yang tidak tahu pasti apa yang jadi panggilan hidupnya? Apakah mereka tidak dapat memuliakan Tuhan melalui apa yang mereka kerjakan sekarang?

Jawabannya ialah tentu Tuhan dapat dimuliakan meskipun kita sendiri mungkin ragu dengan pekerjaan kita. Pekerjaan Tuhan bersifat luas, dan itu tidak melulu bicara sesuatu yang kita senang untuk lakukan. Ketika Allah memanggil Gideon untuk memimpin Israel berperang melawan Midian, Gideon tidaklah suka akan panggilan ini. Dia seorang yang penakut, tetapi Tuhan menyertainya dan menjadikan Gideon berkat bagi seisi bangsanya. Atau, ada pula contoh lain ketika Allah memakai Babel, bangsa yang tidak mengenal-Nya untuk menghukum orang Israel karena dosa dan pelanggaran mereka. Babel dipakai Allah untuk mengerjakan keadilan-Nya meskipun mereka sendiri tidak sadar bahwa mereka sedang ‘dipakai’ Tuhan. Kita yang hidup di masa kini dapat dengan mudah mengetahui dari teks Alkitab bahwa dari perspektif Allah, Babel dipakai-Nya untuk menggenapi rencana Allah.

Jadi, meskipun saat ini kita masih bingung dengan apa yang jadi panggilan Allah bagi kita, kita dapat dengan setia melakukan apa yang Tuhan sudah berikan bagi kita untuk kita kerjakan. Kita masih bisa mengerjakan pekerjaan Allah dan memuliakan-Nya, dengan atau tanpa kita mengetahui terlebih dulu dengan pasti serta spesifik apa panggilan Tuhan atas hidup kita, asalkan kita juga memakai pekerjaan kita saat ini untuk menghadirkan sifat-sifat Allah, seperti keadilan atau pun kasih Allah kepada sesama. Dengan cara inilah, kita tetap dapat menghubungkan pekerjaan kita dengan pekerjaan Tuhan, sambil berdoa agar Tuhan menunjukkan kepada kita apa panggilan Tuhan atas hidup kita.

Mari kita belajar dari tokoh Hong Du Sik dalam film drama Hometown Cha Cha Cha. Sekalipun Hong Du Sik tidak memiliki sebuah pekerjaan tetap, tetapi melalui pekerjaan serabutannya, seperti menjadi fotografer, kuli bangunan, tukang paket, dan lain seterusnya, ia dapat menolong banyak penduduk desa Gongjin di Korea Selatan. Mungkin bagi sebagian orang Kristen, orang seperti Hong Du Sik tidak mengerjakan pekerjaan Tuhan, sebab ia tidak mengerjakan satu pekerjaan spesifik yang menjadi panggilannya. Namun, sebetulnya orang seperti Hong Du Sik sedang mengerjakan pekerjaan Tuhan, bahkan memuliakan Tuhan, karena apa yang ia kerjakan itu telah menghadirkan kasih Allah kepada sesamanya.

Hal ini sesuai dengan apa yang diucapkan oleh Rasul Paulus di dalam 1 Korintus 10:31, “Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.”

Berhenti Mencari Tahu Apa yang Jadi “Panggilan” Hidupmu dan Mulailah Menghidupi Hidup itu Sendiri

Artikel ini ditulis oleh YMI

Momen ketika kamu berhasil menemukan panggilan hidupmu sering digambarkan sebagai momentum besar yang akan mengubah hidupmu selamanya. Jadi, kita pun terus mencarinya, menanti, dan berharap momen itu datang. Kita membayangkan kelak kita melakukan pekerjaan yang mengubah hidup–menulis cerita-cerita tentang kaum marjinal, membuka rumah singgah atau yayasan buat anak-anak yang rentan, atau pergi melakukan perjalanan misi.

Pengejaran kita yang tanpa henti untuk menemukan panggilan hidup sedikit banyak dipengaruhi juga oleh media yang kita konsumsi, yang bilang mimpi harus dikejar, dan suara hati yang berbisik harus didengar supaya kita tahu tujuan hidup kita yang lebih besar.

Lantas kita meminta kelompok komsel untuk mendoakan kita, membaca apa pun yang membuat kita tahu mana yang kehendak Tuhan supaya kita menemui panggilan-Nya… atau bisa juga ikut kuis-kuis tentang kepribadian supaya tahu apa sih yang sebenarnya jadi ‘panggilan’ kita.

Tapi…hari-hari berlalu… ‘panggilan’ itu masih entah di mana. Bos kita di tempat kerja masih saja toxic, teman kita sudah dipromosikan jabatannya… dan kita sendiri dengan tak sabar menanti kapan weekend karena sudah capek kerja.

Setiap hari kita terus memberi tahu diri kita kalau hidup akan berubah—perjalanan kita akan lebih mulus, minim masalah, pokoknya yang baik-baik—itulah yang kita deskripsikan sebagai menemukan ‘panggilan’.

Tapi… gimana kalau panggilan itu sebenarnya sudah ada di depan kita? Gimana kalau Tuhan sudah menunjukkanya dengan jelas? Gimana kalau kita coba menikmati hidup di tempat di mana Tuhan sudah letakkan kita, dengan rendah hati melayani orang-orang di sekitar kita, serta melakukan segala sesuatunya tanpa mengharap balasan?

Maukah kamu menghidupi panggilan semacam itu?

1. “Panggilan” kita adalah tentang melakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan, meskipun itu tidak menyenangkan

Kita bermimpi pekerjaan kita membuat suatu proyek yang mengubah dunia, tapi kenyataannya kita berdiri dua jam di depan mesin fotokopi, mencetak ratusan lembar laporan untuk rapat besok. “Hadeh, gak seharusnya aku kerja gini…” kita menggerutu sembari menendang mesin printer yang macet.

Dalam Alkitab, Yusuf dipanggil untuk menjadi pemimpin di Mesir, tetapi ada momen ketika dia harus melewatkan hari-harinya di penjara—yang ditafsirkan oleh para ahli sejarah selama 12 tahun!—atas tindakan yang tidak dia lakukan. Namun, Yusuf setia pada tempat di mana Tuhan menempatkan dia (Kej 39,40), dan pada waktu-Nya, dia menjadi orang kedua di Mesir setelah Firaun (Kej 41:37-43). Pada akhirnya, Yusuf bisa membawa keluarganya ke Mesir dan menyelamatkan mereka dari kelaparan (Kej 46).

Seperti Yusuf, apa yang kita lakukan sekarang mungkin terasa kurang berkesan dan seolah tidak mengubah dunia, tapi Tuhan telah menempatkan kita pada suatu peran untuk sebuah tujuan. Bisa jadi yang kita lakukan sekarang adalah batu loncatan untuk rencana-Nya kelak, dan masa-masa sekarang adalah momen terbaik untuk melatih diri kita.

Setialah pada tempat di mana kamu berada dan lakukan yang terbaik—meskipun tugasmu cuma sekadar memfotokopi ratusan lembar dokumen laporan untuk suatu rapat yang membosankan—dan izinkan Tuhan memimpinmu pada tahap selanjutnya sesuai waktu-Nya.

2. Panggilan kita adalah untuk menaati apa yang Tuhan telah perintahkan untuk kita lakukan

Rasanya keren membayangkan kelak ada begitu banyak orang yang terinspirasi oleh kita saat kita menghidupi ‘panggilan’ kita. “Bukan, itu bukan aku, itu Tuhan”, kata kita di depan ribuan orang yang mendengarkan cerita kesaksian kita.

Namun, dalam pencarian akbar kita akan panggilan, apakah kita telah melewatkan satu panggilan terbesar? Bagaimana jika pada akhirnya “panggilan” kita adalah untuk hidup menjadi serupa dengan Kristus dan menghidupi hidup yang membawa orang lain kepada-Nya.

Efesus 5:1 berkata kita adalah ‘penurut Allah’, dan kita dipanggil untuk hidup sebagai umat Allah yang kudus (Ef 5:3). Ssemua itu dimulai dengan melakukan apa yang Dia telah perintahkan kita untuk lakukan—saling mengasihi (1 Yoh 4:7), mengampuni yang telah menyakiti (Ef 4:32), peduli pada yang lemah dan terpinggirkan (Yak 1:27)—semua inilah panggilan-Nya bagi kita.

Jadi, bagaimana kita mau mengasihi teman kerja yang menyebalkan? Apakah kita menjauhinya, menyumpahi supaya semua yang menyakiti kita kena sial? Atau, apakah kita dengan murah hati memberi pada orang yang butuh?

Orang-orang di sekitar kita mengamati apa yang kita bicarakan, lakukan, cara kita menghadapi cobaan, stres, juga kepahitan hidup. Hal-hal yang kita lakukan (atau tidak) menunjukkan pada orang-orang siapa Tuhan yang kita sembah dan layani.

Kita mungkin gak akan pernah mendapat standing ovation dari melakukan semua hal di atas, tapi dalam banyak cara, mungkin apa yang kita perbuat menjadi cara-Nya untuk mengubah hidup seseorang. Kelak saat kita tiba di surga, kita mendengar Tuhan berbicara, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia” (Mat 25:23).

3. “Panggilan” kita adalah menggunakan setiap kesempatan yang ada sebaik mungkin

Kita pernah mendengar kesaksian tentang orang-orang yang merasa mendapat ‘beban yang luar biasa’ yang Tuhan tanamkan di hati untuk melakukan ini dan itu. Dari situlah mereka tahu kalau itu panggilan mereka. Jadi, kita pun menanti ‘panggilan’ itu datang dengan cara yang sama.

Tapi di saat yang sama, kita menolak ikut serta jadi relawan. Kita bilang “aku doain dulu ya” pada orang yang telah mengajak.

Seiring Tuhan mengarahkan langkah kita (Amsal 16:9), kita akan menjumpai sesuatu yang menggugah hati ketika kita memberi diri untuk mengamil kesempatan yang ada. Contohnya, peduli pada hewan-hewan yang ditelantarkan bisa mendorong kita untuk kelak jadi aktivis yang menyuarakan tanggung jawab pada setiap orang yang berkeputusan memelihara hewan. Peduli yuang dimaksud itu tak cuma banyak cerita di medsos, tapi misalnya kamu ikut aktif merawat seekor anjing berkutu yang terlantar lama.

Panggilan kita mungkin tidak muncul dengan segera, tiba-tiba nongol setelah kita berdoa, atau setelah kita ikut tes kepribadian yang ke-100 kali… bisa jadi panggilan itu tersembunyi di pojokan jika kita memutuskan untuk menjelajahi setiap kesempatan yang datang pada kita.

Arti dari semua ini bukannya kita harus menyerah atas impian dan hasrat yang kita ingin raih (Tuhan menempatkan dua hal itu tentu dengan alasan), tapi kita bisa berhenti mencarinya dengan cara yang serampangan. Kita bisa menemukan panggilan dengan mulai hidup di sini, di saat ini dan melakukan apa yang Tuhan telah berikan pada kita. Saat kita sungguh merenungkan apa yang Tuhan mau kita lakukan, inilah sebenarnya panggilan-Nya juga.

Drama Skripsi dan Wajah-wajah yang Menopang

Oleh Alvianus Gama

“Alex!”, sahut mamaku dari arah kamarnya saat aku sedang bergegas menaiki tangga ke kamarku di lantai atas.

“Ya Ma, kenapa?”, jawabku pendek.

“Mama mau ngobrol dulu bentar”, jawab mama dengan muka yang terlihat serius.

Aku menoleh ke arahnya dengan penuh pertanyaan. Ada apa gerangan?

“Mama sama papa udah sebulan ini berdoa tiap malem buat kuliah kamu. Tapi setiap kali berdoa kok rasanya nggak damai ya, jadi mama mau nanya langsung aja ke kamu, sebenarnya kuliah kamu tuh gimana? Coba cerita dong…”, kata mamaku penuh harap.

Aku tertunduk diam. Ini adalah pertanyaan yang paling aku takutkan selama ini. Takut akan konsekuensi yang akan aku hadapi nanti.

Mamaku adalah seorang ahli hukum yang sukses dalam pekerjaannya. Ia seorang yang antusias dan penuh semangat, selalu memotivasi aku dan kakakku untuk maju dalam segala hal. Dalam kesibukannya bertemu dengan klien setiap hari, ia selalu bisa menyisihkan waktu untuk memperhatikan keluarga dan orang-orang yang dikasihinya. Sedangkan papaku adalah seorang yang berpendirian keras dan berkemauan kuat, yang mendidik anak-anaknya dengan caranya sendiri. Papa adalah sosok ayah yang selalu menemukan berbagai macam cara untuk memperbaiki peralatan rumah yang rusak, mulai dari meja yang patah kakinya, keran air yang bocor, hingga mobil yang mogok, atau motor yang rusak. Agaknya inilah yang membuatku lebih mudah untuk bercerita kepada mama untuk segala urusan, termasuk kuliahku. Cerita ke papa? Hmmm nanti dulu.

“Gimana Lex? Ayo cerita dong…”, ujar mamaku menantikan jawaban.

Aku menghela nafas panjang. Susah rasanya untuk membuka mulutku dan mulai cerita. Saat itu, aku seolah tak punya alasan lain untuk menghindar dari pertanyaannya selain menarik tangan mamaku dan mengajaknya ngobrol di kamarku. Di dalam kamar pun, aku tetap sulit untuk mengungkapkan apa yang ada di kepalaku dalam kata-kata. Di momen-momen sunyi yang menyiksa itu, tanpa aku bisa kuasai, air mata mengalir begitu saja. Aku lihat mama menatapku heran, menyaksikan anak laki-lakinya terisak sambil menunggu penjelasan.

”Kenapa kamu nak? Coba jujur aja, cerita ke mama, gimana sebenarnya?” ujarnya lembut sambil memegang tanganku erat.

Jantungku berdegup kencang. Aku berusaha menenangkan hati dan emosiku. Dengan nafas yang tak beraturan, aku mulai menceritakan pada mamaku bahwa sebenarnya sudah 2 tahun ini aku menelantarkan kuliahku. Selama ini aku berbohong pada mamaku terkait kuliahku.

Aku tertunduk malu dan berusaha sebisa mungkin menghindari tatapan langsung mamaku. Perlahan aku bisa mendengar mamaku juga ikutan menangis. Ia tampak begitu terpukul dan nggak percaya kalau anak yang selama ini dia banggakan, yang punya IPK bagus dan di atas rata-rata teman kuliahnya, anak yang nyaris nggak pernah punya masalah, tiba-tiba membawa kabar yang tak pernah ia sangka-sangka, seperti mendengar suara geledek di siang bolong.

Sejak 2 tahun yang lalu, aku sebetulnya sudah masuk dalam semester akhir dari kuliahku dan menurut hitungan waktu, aku seharusnya sudah menyelesaikan skripsiku di paruh kedua tahun 2020. Tapi pada kenyataannya, alih-alih membereskan skripsi, untuk sekadar memilih topik dan menentukan judul pun belum aku lakukan. Sudah hampir 4 semester ini aku nggak bayar uang kuliahku. Parahnya lagi, kalau ditanya terkait uang kuliah, aku selalu menemukan cara untuk berbohong bahwa aku sudah membayarnya, padahal belum aku bayar dan ngga ada satu pun terkait skripsiku yang aku kerjakan. Entah kenapa, untuk urusan skripsi ini, aku ngerasa nggak bisa, aku frustasi. Aku merasa stuck di program studi yang aku pilih ini. Semua ini terasa mudah aku lakoni karena situasi pandemi Covid-19 yang memaksa semua perkuliahan dan tugas akhir dilakukan secara daring, sehingga tidak ada kecurigaan sedikitpun dari mamaku karena aku tidak perlu lagi pergi ke kampus, hanya diam di kamar seolah-olah sedang mengikuti perkuliahan secara daring.

Sebenarnya, jauh di lubuk hatiku terdalam, aku sangat menyukai pelajaran bahasa lebih daripada program studi Akuntansi yang aku ambil sekarang. Bahkan dalam masa-masa awal perkuliahan, aku sudah membayangkan untuk menjadi ahli bahasa, bertemu, bernegosiasi dan berbincang-bincang dengan banyak orang. Dalam hati, aku pun bertekad untuk pindah jurusan ke program studi bahasa dan memulai dari awal. Setidaknya itu yang ada dalam pikiranku untuk aku lakukan ke depan.

Dan kalau aku ingat lagi, beberapa bulan sebelum mengikuti tes masuk perguruan tinggi, aku pernah mengikuti tes minat dan bakat untuk mengetahui program studi mana yang cocok buatku dan menurut hasil tes, aku cocok untuk masuk program studi Akuntansi karena aku terbukti jago dengan angka-angka. Entah kenapa, setelah 4 tahun aku jalani perkuliahan ini, aku benar-benar merasa telah salah memilih program studi. Bukan ini yang aku sukai. Bukan ini Tuhan.

“Selama ini mama pikir kalau kamu sedang nyelesain skripsi, karena kamu yang bilang gitu kan ke mama!” ujar mamaku melanjutkan. Hatiku hancur melihatnya. Aku terdiam membisu. Ia merasa gagal menjadi orangtua. Mama yang selama ini tegar dan bersemangat, saat itu kulihat menutupi mukanya dan berulang kali menyatakan ketidakpercayaannya akan berita yang ia terima. Ia mencoba membujukku untuk tetap meneruskan studiku karena sudah kepalang tanggung, tinggal menyelesaikan skripsi saja, tapi aku bersikukuh dengan keinginanku untuk pindah jurusan. Kami pun bersitegang mengenai masalah ini dan sore itu berlalu tanpa ada jalan keluar. Kami menyudahi pembicaraan tanpa ada keputusan apa-apa. Sore yang dingin.

Tanpa kusangka, keesokan sorenya, aku dikejutkan dengan berita yang aku terima. Tanpa sepengetahuanku, setelah berdiskusi dan meminta saran dari beberapa anggota keluarga, mamaku memberanikan diri untuk datang ke kampus dan berkonsultasi dengan ketua program studi. Ia mencoba untuk mengajukan permohonan agar skripsiku dapat diberi perpanjangan waktu. Mengetahui hal ini, tentu saja membuatku mengamuk. Aku bukan anak kecil lagi yang bisa diatur ini dan itu. Aku merasa seolah-olah mamaku tidak mendengar sama sekali keluhanku selama 2 tahun ini. Aku sudah bilang aku nggak sanggup, tapi kenapa tetap memaksakan keinginan ini?

Mama mencoba meyakinkan aku kalau Tuhan yang kasih jalan untuk aku mendapat perpanjangan waktu, artinya Tuhan akan membantuku untuk menyelesaikannya. Di sisi yang lain, aku jadi bertanya-tanya, bukankah itu artinya Tuhan tidak mendengar doaku buat pindah program studi? Apa Tuhan pun nggak melihat kalau aku nggak sanggup? Aku speechless.

Keesokan harinya, mama kembali mendatangi kamarku untuk menanyakan keadaanku. Ia khawatir dengan reaksiku kemarin setelah aku meluapkan kekesalan dan amarah yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Namun ia tetap bersikukuh dengan pendiriannya agar aku dapat menyelesaikan kuliahku saat ini. Ia mengingatkanku akan semua perjuangan yang sudah aku lakukan, mulai dari awal perkuliahan hingga kerja praktek. Ia memintaku untuk belajar menjadi orang yang bertanggung jawab dan menyelesaikan apa yang sudah aku mulai.

Ada satu kalimat yang hingga saat ini aku ingat, yang berkata bahwa kalau Tuhan sudah menolongku hingga sejauh ini, Tuhan juga akan menolong menyelesaikan perjalanan ini. Agaknya Tuhan mulai melembutkan hatiku saat itu. Amarahku mereda dan aku mulai mencoba untuk melihat masalah yang kuhadapi dari sisi lain. Aku sadar aku begitu egois dan ingin menang sendiri. Aku pun tahu mama bukan orangtua yang memaksakan kehendak kepada anak-anaknya. Ia orang yang fair, berani mengakui kesalahannya dan selalu berterus terang kepada anak-anaknya.

Yang lebih membuatku semakin menyadari bahwa Tuhan mendengar doa dan usaha mamaku adalah ketika aku diberitahu bahwa pihak Fakultas akan berusaha sebisa mungkin agar aku bisa kembali mendapat kesempatan menyelesaikan skripsi yang sudah tertunda selama 2 tahun. Yang membuat terheran-heran, semua urusan itu bisa diselesaikan hanya dalam satu hari saja, padahal selama 2 tahun statusku tanpa kabar itu aku yakin akan berakhir dengan keputusan DO dari kampus.

Saat ini aku merasa senang dan bersemangat. Walaupun papa dan kakakku tidak mengutarakan perasaan mereka, tapi mereka menunjukkan sikap menopang. Tiap orang tampaknya ingin berbuat sesuatu untuk menyemangatiku, dengan cara mereka sendiri. Aku merasa didukung dan ini semakin membesarkan hatiku. Setiap babak baru dalam perjalanan hidup kita berisi tanda tanya dan ketidakpastian. Kita jadi ragu-ragu dan takut. Pada saat seperti ini aku ingat pemazmur yang berbisik meminta topangan dari Tuhan,”Topanglah aku sesuai dengan janji-Mu…” (Mazmur 119:16).

Saat tulisan ini dibuat, pihak fakultas memberiku 3 bulan waktu perpanjangan agar aku bisa menyelesaikan skripsiku. Berita baiknya lagi, aku bisa mendapat pembimbing skripsi yang aku idolakan selama ini, dosen yang sangat menolong dan memotivasi aku untuk menyelesaikan skripsiku. Aku merasa seperti seorang pendosa yang mendapat anugerah pengampunan yang besar dari Tuhan. Aku tahu ini memang saat-saat yang berat dan penuh perjuangan, tapi aku siap memulai kembali dan aku tahu Tuhan akan menyanggupkan aku. Mungkin perjuanganku dalam menyelesaikan skripsi ini hanya 3 bulan saja, tapi perjalanan hidupku masih puluhan tahun ke depan. Akan jadi apa aku nanti? Apa rencana Tuhan dengan hidupku?

Saat aku bingung, bimbang, dan takut, aku teringat wajah-wajah yang menopang aku. Wajah mama, wajah papa, wajah kakakku dan orang-orang yang mengasihiku. Aku semakin mantap. Terima kasih Tuhan untuk mereka. Terima kasih Tuhan untuk kasihmu.

“TUHAN menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya; apabila ia jatuh, tidaklah sampai tergeletak, sebab TUHAN menopang tangannya” –Mazmur 37:23-24.

Gimana Kalau Kamu Gak Pernah Menemukan Passionmu?

Oleh Jiaming Zeng
Artikel asli dalam bahasa Inggris: What If I Can’t Find My Passion?

“Gimana cara menemukan passion?”

Pertanyaan itu kuketik di Google, di tahun pertama kuliah pasca-sarjana. Kutanya dosenku, teman sebayaku. Kata mereka, passion itu sesuatu yang membuat kita antusias di pagi hari; sesuatu yang saat kita mau tidur pun, masih terbayang di pikiran; atau, sesuatu yang ingin sekali kamu lakukan sepanjang hidupmu. Itu semua kata mereka, bukan kataku.

Ada satu hal yang selalu kupikirkan tentang passion. Inilah yang dulu kuceritakan ke orang tuaku ketika aku masih kecil. Ini jugalah yang kucari tahu di Google, saat aku berdebat tentang keputusan-keputusan hidupku di tahun pertama kuliah doktoral. Aku selalu ingin jadi penulis. Aku membayangkan diriku menulis novel fiksi seperti J.K Rowling atau Jane Austen.

Namun, bagi orang tua Asia, menulis bukanlah pilihan karier yang gemilang. Lagipula, aku suka matematika, memecahkan masalah, dan mengerjakan proyek-proyek riset. Tapi, aku tidak memikirkan angka-angka sebelum tidur. Pun rumus-rumus matematika tidak muncul di pagi hari saat aku bangun. Faktanya, aku tak bisa membayangkan bagaimana hidupku jika bekerja di bidang matematika sepanjang usiaku.

Dilema ini menyiksaku selama setahun pertama. Apakah artinya hidup jika aku tidak mengerjakan apa yang kusuka? Apa jadinya jika aku dapat gelar Ph.D tapi di bidang yang bukan minatku?

Kebenarannya: tak peduli seberapa besar passion menggerakkan kita, seberapa cinta kita pada pekerjaan… kita selalu bertanya pada diri kita sendiri seperti yang dikatakan Pengkhotbah: untuk apakah kita berjerih lelah? Apakah artinya? (Pengkotbah 2:20-23). Bahkan Raja Salomo, dengan kesuksesan dan kebijaksanaannya, tak mampu menemukan makna dari perbuatan tangannya.

Pekerjaan—atau status, relasi, hobi—bukanlah tempat di mana kita harus menemukan makna. Makna datang dari relasi kita dengan Allah. Pengejaran kita akan passion, atau hal lain takkan pernah sungguh-sungguh memuaskan kita. Namun, kita bisa menemukan sukacita dan kepuasan dalam pekerjaan, seperti yang Salomo amati: “setiap orang yang dikaruniai Allah kekayaan dan harta benda dan kuasa untuk menikmatinya, untuk menerima bahagianya, dan untuk bersukacita dalam jerih payahnya–juga itupun karunia Allah” (Pengkhotbah 5:19).

Menemukan sukacita dalam berjerih lelah

Bagiku, krisis menemukan passion tidak hilang dalam semalam. Aku tetap melanjutkan studi doktoral. Aku mengambil kelas-kelas wajib, menyelesaikan tiap tugas, dan berusaha mencari topik untuk disertasi. Aku bisa bertahan di sana karena itu adalah pekerjaanku.

Seiring dengan fokusku yang bergeser dari ambisi pribadi, sikapku terhadap penelitianku juga mulai berubah. Aku mulai melihat langkah potensial dan aplikatif dari model matematikaku. Alih-alih mengembangkan algoritma, aku lebih tertarik untuk mencari penerapan praktis agar bisa diterapkan di dunia nyata.

Area penelitian yang kupilih adalah pelayanan kesehatan. Usul ini diberikan dari pembimbingku, tapi awalnya aku menolak. Memikirkan pertumbuhan sel kanker atau menganalisa efek dari kemoterapi pada kematian pasien terasa mengerikan buatku. Namun, seiring aku bekerja dan belajar, aku sadar kalau hari-hariku yang membosankan di depan komputer bisa menjadi penjelajahan menantang, yang memberikan dampak pada hidup para pasien.

Pekerjaanku bukanlah tentangku atau tentang pengejaranku akan passion. Hasil dari kerjaku bisa menolong orang-orang dalam mengambil keputusan tentang kesehatan mereka. Dan, di sinilah aku menemukan sukacitanya. Tuhan selalu menempatkanku di tempat yang tepat. Tapi sebelumnya, aku tidak bisa melihatnya. Barulah saat aku mengalihkan fokusku dari diriku sendiri kepada Tuhan, aku sadar bahwa Dia memberiku sesuatu yang tidak hanya kunikmati sendiri, tapi juga bisa menolong orang lain.

Tujuan utama dalam bekerja bukanlah untuk memuaskan kita, tapi untuk kita menjadi penatalayan dari apa yang Tuhan telah berikan pada kita di dunia ini. Dalam pengejaran kita mencari passion, kita seringkali menjadi buta dari apa yang Tuhan telah siapkan buat kita. C.S Lewis berkata:

“Give up yourself, and you’ll find your real self. Lose your life and you will save it. […] Nothing that you have not given awal will ever be really yours.”

Lepaskan dirimu, maka akan kau temukan dirimu yang sesungguhnya. Lepaskan hidupmu, maka kau akan mendapatkannya. Sesungguhnya tidak ada yang tidak kau lepaskan yang pernah benar-benar menjadi milikmu.

Untuk menemukan passion, kita harus melepaskan ambisi kita, dan bukalah diri untuk menerima apa yang Tuhan telah tetapkan buat kita.

Membarui konsep kita tentang passion

Sikap melepaskan mengubah hati dan pikiran kita. Kita akhirnya dapat melihat lebih banyak daripada sebelumnya. Seiring aku belajar melepas berhala dalam diriku, Tuhan menunjukkanku bahwa ada lebih banyak kebebasan ketika aku berfokus pada-Nya. Caraku dulu untuk menemukan passion adalah salah dan terlalu menyederhanakan. Hidup dan impian jauh lebih rumit dan dipenuhi banyak kemungkinan lebih dari yang bisa kubayangkan. Dan…ketika Tuhan adalah penulis hidupku, Dia memberiku kebebasan untuk percaya dan taat pada suara-Nya lebih dari pada suara hatiku sendiri.

Ketika aku belajar percaya dan taat bimbingan-Nya, aku melihat Tuhan pun sebenarnya peduli akan mimpi-mimpiku di masa kecil. Ketika aku siap, Dia akan menuntunku kembali pada impian itu pada cara yang tak terduga. Contohnya, Tuhan memberiku kesempatan untuk menulis bagi-Nya lewat majalan kampus. Memang bukan novel fiksi yang kubayangkan, tapi tulisan tentang kasih dan penyertaan-Nya. Dan… di sinilah aku sekarang, menulis buatmu. Hidupku saat ini memang tidak seperti impianku dulu, tetapi aku yakin apa yang Tuhan berikan selalu lebih masuk akal daripada pikiranku.

Di tahun pertamaku aku tak pernah menemukan apa yang jadi passion-ku, tapi aku belajar bahwa ada cerita yang lebih besar. Melalui prosesnya, aku menemukan kebebasan, penghiburan, dan sukacita dari pekerjaanku. Tak ada yang tahu bagaimana kelak aku akan menulis atau tetap bekerja di riset. Yang kutahu adalah perjalanan ini masih berlangsung. Aku percaya Tuhan selalu ada untuk membimbing dan menunjukkanku jalan. Lagipula, Tuhanlah yang menenun hal-hal kecil yang kita lakukan menjadi sebuah kisah yang jauh lebih besar dan hebat dari apa pun yang kita bayangkan.

3 Pelajaran Penting dalam Bekerja di Tahun yang Baru

Oleh Yosheph Yang, Korea Selatan

Tahun 2020 merupakan tahun yang spesial bagiku. Aku menyelesaikan studi pascasarjanaku di Korea Selatan dan mendapat pekerjaan pertamaku. Ketika melihat kembali dan merenungkan bagaimana Tuhan memimpin jalanku hingga aku mendapatkan pekerjaan ini, sungguh aku berterima kasih atas pimpinan-Nya dalam hidupku.

Teruntuk kamu yang sedang bergumul dalam hal pekerjaan, aku berharap sedikit kisahku dapat memberkatimu. Inilah tiga hal yang Tuhan ajarkan padaku melalui pekerjaan pertamaku.

1. Percayalah sepenuhnya pada kedaulatan Kristus

Tahun 2020 sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Pandemi Covid-19 memberi dampak besar hampir di seluruh aspek kehidupan. Di tahun 2020 ini aku mengirimkan dua aplikasi pendaftaranku untuk studi post-doctoral di Jerman dan Amerika. Aku berdoa agar Tuhan meloloskan rencana ini supaya kemampuan penelitianku bertambah, aku bisa mendapat posisi sebagai profesor di universitas yang baik, dan aku bisa memberitakan Kristus kepada mahasiswa yang kuajar nantinya. Aku yakin bisa diterima, mengingat aku punya relasi dengan dosen di Jerman dan jumlah jurnal publikasiku mencukupi. Tapi, Tuhan tidak mengabulkan doaku. Kedua aplikasi pendaftaranku ditolak.

Upayaku menawar Tuhan dalam doaku kupahami saat ini sebagai kesalahanku memahami kondisi dan janji Tuhan dalam Matius 6:33 yang berkata, “Tetapi carilah dahulu kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” Ayat ini tidak ditulis terbalik, jika semuanya ditambahkan pada kita maka kita dapat mencari kerajaan Allah. Ayat ini dengan tegas mengatakan carilah dahulu kerajaan-Nya, bukan kehendak hati kita sendiri.

Mentor rohaniku berkata, “Tuhan akan mengirim kamu ketika kamu siap dipakai oleh-Nya”. Momen kegagalan ini kumakani sebagai latihan persiapan sebelum Tuhan memakaiku kelak. Aku menyerahkan diriku sepenuhnya pada kedaulatan Kristus, yang di dalamnya termasuk menangkal nafsu duniawi atas obsesiku menjadi dosen di universitas yang bagus. Tuhan ingin aku taat kepada firman-Nya terlepas apa pun kondisiku. Dia ingin aku memberitakan Kristus terlepas di mana pun dan apa pun pekerjaanku.

Suatu hari dosen pembimbingku bertanya, “Bagaimana kalau kamu mendaftar sebagai dosen di Korea?” Tidak terpikir olehku untuk mendaftar sebagai dosen di sini karena aku orang Indonesia, warga negara asing, dan universitas di Korea dikenal karena tuntutan kerjanya yang berat. Tapi singkat cerita, aku mempertimbangkan saran itu dan mencari lowongan pekerjaan sebagai dosen di beberapa universitas. Dikarenakan aku belum memperoleh ijazah kelulusan dan tidak memiliki pengalaman sebagai postdoc, aku tidak dapat memenuhi syarat pendaftaran untuk mendaftar sebagai dosen di beberapa universitas. Tetapi Tuhan melalui kedaulatan-Nya membuka pintu untuk aku mendaftar sebagai dosen peneliti di salah satu universitas di Korea. Melalui kasih karunia dan pimpinan Kristus, aku diterima di posisi tersebut. Seperti tertulis di Amsal 16:9, “Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan arah langkahnya”. Ketika kita berserah sepenuhnya kepada Kristus, Tuhan akan menentukan arah langkah kita.

2. Hidupilah hidup yang digerakkan oleh firman Tuhan

Pekerjaan yang kuterima membuatku harus pindah ke kota lain. Artinya, aku harus mulai lagi beradaptasi dengan lingkungan dan komunitas yang baru. Banyak hal menambah beban pikiranku: urusan administrasi universitas yang kebanyakan dilakukan dalam bahasa Korea, hubungan dengan para dosen dan senior di jurusanku yang tak semudah yang kupikirkan, ditambah lagi aku harus mengajar kelas daring buatku yang tidak pernah punya pengalaman mengajar. Ini semua jadi tantangan baru buatku.

Namun, di balik semua beban itu, Tuhan memberiku komunitas gereja yang baru. Sama seperti di universitas sebelumnya, aku bersekutu bersama Navigators di kampus tempat kerjaku di sini. Aku berterima kasih atas mentor rohaniku yang baru, dia tidak hanya membantuku dalam urusan pertumbuhan rohaniku, tetapi juga dalam beberapa urusan administrasi di universitas. Walaupun mentorku juga memiliki pekerjaan di tempat lain, ia berusaha bersekutu denganku setiap jam makan siang di kampus tempat kerjaku. Kami bersama-sama merenungkan Firman Tuhan dan berdoa. Melalui persekutuan yang hampir setiap hari bersama mentorku, aku melihat lebih dalam lagi betapa pentingnya Firman Tuhan dalam kehidupanku.

“Beginilah firman Tuhan, Penebusmu, Yang Mahakudus, Allah Israel: “Akulah Tuhan, Allahmu, yang mengajar engkau tentang apa yang memberi faedah, yang menuntun engkau di jalan yang harus kautempuh. Sekiranya engkau memperhatikan perintah-perintah-Ku, maka damai sejahteramu akan seperti sungai yang tidak pernah kering, dan kebahagiaanmu akan terus berlimpah seperti gelombang-gelombang laut yang tidak pernah berhenti” (Yesaya 48:17-18).

Seperti ayat di atas, damai sejahtera yang sesungguhnya di dalam segala permasalahan yang muncul di dalam kehidupanku hanya bisa diperoleh ketika aku memperhatikan firman Tuhan dengan benar setiap hari. Mazmur 119—yang merupakan Mazmur terpanjang di Alkitab—dengan sangat jelas mengajarku betapa pentingnya Firman Tuhan. Firman-Nya membantuku dalam hidup kudus, memberi aku kekuatan, kegembiraan, penghiburan, kebijaksanaan, dan terang bagi jalan-jalanku.

Memegang janji Tuhan dan hidup di dalam Firman-Nya sangat membantuku menghadapi segala beban di dalam pekerjaan pertamaku. Mazmur 62:7-9 Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah. Percayalah kepada-Nya setiap waktu, hai umat, curahkanlah isi hatimu di hadapan-Nya; Allah ialah tempat perlindungan kita. Tuhan melalui kedaulatan-Nya membantuku untuk mengatasi masalah-masalah di pekerjaan pertamaku. Ketika aku berseru dengan memegang janji Tuhan di dalam kehidupanku, Ia memberikanku kekuatan untuk menghadapi masalahku satu persatu.

3. Carilah wajah Tuhan, bukan hanya pemberian-Nya

Di kontrak pekerjaan pertamaku, aku diwajibkan untuk mempublikasi sedikitnya 6 jurnal ilmiah selama 2 tahun. Kontrakku tidak akan diperbarui jika aku tidak bisa memenuhi syarat tersebut. Di bulan awal pekerjaanku, pikiranku dipenuhi dengan bagaimana aku bisa menulis sebanyak itu di dalam 2 tahun.

Mentorku menolongku mengatasi kekhawatiranku. Katanya, orang yang benar-benar percaya sepenuhnya kepada kedaulatan Kristus akan merasakan kebebasan yang sesungguhnya atas hasil apa pun di dalam kehidupannya. Orang yang tidak bisa melihat ini kebanyakan dikarenakan mereka lebih melihat apa yang “tangan” Tuhan berikan dibandingkan wajah Tuhan. Mereka berusaha mencari berkat-Nya, tetapi tidak ingin selalu terhubung dengan-Nya.

Daud dengan jelas mengalami kebebasan atas hasil apa pun di dalam kehidupannya. Walaupun Daud dikejar oleh musuh-musuhnya, ia tetap mencari wajah Tuhan. Mazmur 27:8, “Hatiku mengikuti firman-Mu: “Carilah wajah-Ku”; maka wajah-Mu kucari, ya Tuhan.” Bagi Daud, Tuhan adalah gembalanya dan sekalipun ia berjalan dalam lembah kekelaman, ia tidak takut bahaya sebab Tuhan besertanya (Mazmur 23).

Kebebasan yang sesungguhnya atas hasil di dalam hidup juga dialami Sadrakh, Mesakh, dan Abednego. Seperti tertulis di kitab Daniel, mereka percaya sepenuhnya kepada kedaulatan Allah. Mereka tidak fokus kepada apakah nantinya mereka diselamatkan atau tidak jika mereka dilemparkan ke perapian yang menyala-nyala. Mereka fokus kepada Allah sehingga mereka sanggup tidak gentar akan hasil akhir apakah yang akan mereka terima. “Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu” (Daniel 3:17-18). Bagi Sadrakh, Mesakh, dan Abednego, kepuasan mereka datang dari hubungan mereka bersama Allah bukan dari apa yang akan Allah berikan. Dan, Allah melalui kasih karunia-Nya menyelamatkan mereka dari bahaya pada akhirnya.

Seperti contoh-contoh iman di atas, aku berusaha menyerahkan hidupku sepenuhnya kepada Kristus dengan melihat kepada Kristus bukan kepada apa yang Dia (akan) berikan kepadaku. Aku tidak tahu apakah aku bisa memenuhi syarat perpanjangan kontrak kerja pertamaku. Tugasku hanya melakukan apa yang aku bisa lakukan dan menyerahkan hasil semuanya kepada Kristus. Apabila Tuhan berkenan, maka Dia akan membuka jalan-jalanku.

Melihat kembali bagaimana Tuhan memimpin jalanku untuk pekerjaan pertamaku, aku berterima kasih kepada Tuhan. Pimpinan Tuhan di tahun 2020 menjadi salah satu batu Eben-Haezer di dalam kehidupanku. Aku berharap aku tetap bisa mengingat apa yang telah Tuhan perbuat di dalam hidupku dan terus memuji Tuhan seumur hidupku.

Kemudian Samuel mengambil sebuah batu dan mendirikannya antara Mizpa dan Yesana; ia menamainya Eben-Haezer, katanya: ”Sampai di sini Tuhan menolong kita.” (1 Samuel 7:12)

Kiranya teman-teman sekalian juga bisa terus melangkah dengan iman dan mata yang tertuju kepada Kristus di tahun 2021 ini.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Tumpaslah Kemalasan, Sebelum Itu Menghancurkan Kita

Kemalasan membawa dampak yang berbahaya, baik secara internal maupun eksternal. Ia dapat menghancurkan kita bersamaan dengan semua yang ada di sekitar kita. Mungkin tidak bersifat instan, tetapi bersifat pasti.

Berkat yang Kuterima dari Kegagalanku

Oleh Marion Sitanggang, Jakarta

Sejak SMP aku bercita-cita menjadi seorang Psikolog Anak. Profesi itu adalah dambaan bagiku karena aku bisa menolong para orang tua yang kesulitan menghadapi anak-anak mereka, sekaligus membangun kesadaran akan pentingnya kesehatan psikis anak-anak yang berpengaruh terhadap masa depan mereka.

Supaya cita-cita ini terwujud, aku belajar sungguh-sungguh. Setelah lulus SMA, aku ikut seleksi di beberapa perguruan tinggi negeri, aku memilih jurusan Psikologi di setiap PTN yang kupilih. Tapi, beberapa kali ujian, semuanya gagal. Aku pun ngambek pada Tuhan. Setiap hari pertanyaan di kepalaku, “Kenapa gagal? Kenapa Tuhan kok gak kasih kesempatan itu? Tuhan kan tahu aku pengen banget, kan Tuhan juga sudah lihat usahaku yang hampir setiap hari lembur belajar? Kenapa?”

Larut dalam kecewa membuatku menyerah pada disiplin rohaniku. Aku berdoa seadanya, kalau ingat saja. Ke gereja kalau tidak sedang malas saja. Di pikiranku saat itu, terserah Tuhan saja, toh aku meminta juga Dia gak kasih.

Meski gagal masuk jurusan Psikologi, aku tetap kuliah tahun itu. Aku diterima di salah satu perguruan tinggi di bawah Kementrian Perindustrian di jurusan Manajemen Bisnis. Jurusan ini kupilih ngasal saja. Yang penting saat ujian tidak ada materi fisika, jadi tentunya kupikir nanti saat kuliah tidak ada mata kuliah fisika.

Semester pertama aku kuliah tanpa semangat. Aku datang, duduk, diam, lalu pulang. Aku tidak belajar kala ujian, tidak ikut kegiatan. Aku tak peduli kuliahku benar atau tidak. Tapi, setelah ujian akhir semester pertama, IP-ku malah 3,67. Bukannya bersyukur, aku malah bertanya, “Kenapa Tuhan? Di saat aku berontak, Engkau malah memberiku sesuatu yang membuatku merasa bersalah sudah mengutuki keadaan. Tuhan, apa mau-Mu?”

Kebingungan itu mendorongku untuk mencoba berdamai dengan kenyataan. Mungkin aku memang tidak bisa kuliah di jurusan idamanku, tapi mungkin juga Tuhan ingin menunjukkan hal lain yang lebih baik. Saat itu, seniorku di kampus sering mengajakku untuk ikut persekutuan. Seniorku mengajakku bergabung dalam kelompok kecil dan aku bersedia.

Sepanjang masa-masa aku tergabung dalam persekutuan dan melayani di sana, aku tertampar oleh banyak sekali ayat-ayat Alkitab. Salah satunya dari Yesaya 55:8, “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN.” Aku teringat bagaimana pedihnya hatiku ketika berhadapan dengan kegagalan. Di awal-awal kuliah aku masih sering menangis dan berandai jika saja aku kuliah di Psikologi. Apalagi setiap ada pengumuman masuk Perguruan Tinggi Negeri, kegagalan itu masih terbayang dan membuatku bertanya lagi pada Tuhan.

Namun seiring waktu, Tuhan nyatanya malah menyertaiku. Kisah hidupku tidak selesai ketika aku gagal, melainkan Tuhan melanjutkannya dengan penyertaan-Nya yang sempurna. Hari lewat hari aku diajar-Nya untuk berdamai dengan keadaan. Melalui doa, persekutuan, dan ibadah Minggu, pelan-pelan aku mengerti bahwa segala sesuatu pastilah terjadi dengan alasan. Aku membayangkan, jika seandainya aku sungguh mendapatkan apa yang aku mau, besar kemungkinan aku akan jadi orang yang serakah dengan segala keinginan dagingku hingga melupakan-Nya. Aku mungkin akan jadi orang yang sombong karena merasa berhasil dengan upayaku sendiri.

Tuhan sungguh baik, Dia menunjukkanku bahwa yang menjadikan hidupku baik bukanlah karena aku mendapatkan apa yang kuinginkan, melainkan karena Dia menyertaiku senantiasa. Hari-hariku melayani-Nya menjadi saat-saat penyembuhanku. Aku sadar Tuhanlah yang sepenuhnya berkuasa. Aku terlalu rakus mengejar mimpi tanpa peduli akan kehendak-Nya, tanpa melibatkan-Nya. Aku telah sombong, merencanakan segala yang baik tanpa sikap berserah.

Kisah yang awalnya gagal Tuhan rangkai dengan amat baik. Sekarang aku telah lulus dari studiku dan meraih IPK 3,74, lebih daripada yang kuminta. Sungguh Tuhan itu baik, teramat baik!

* * *

Kawanku, ceritaku ini adalah cerita tentang kekecewaanku dan bagaimana Tuhan bekerja seturut kehendak-Nya. Setiap tahun akan ada orang-orang yang gagal masuk PTN sepertiku. Aku tahu betapa sesaknya di hati, sampai kata-kata pun hilang dan hati hanya bisa bertanya, “Kenapa?”

Aku berdoa kiranya kamu yang masih bergumul dengan pedihnya kegagalan dapat bertahan melewati saat-saat tersulit sekalipun. Dan untuk kamu yang tahun ini akan mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi negeri, kiranya Tuhan beserta langkahmu.

Siapa pun kamu yang membaca tulisan ini, aku harap kiranya inilah yang jadi pengingat bagi kita semua: bahwa ketika keadaan tidak sesuai dengan rencana dan harapan kita, sekalipun kita sudah berusaha semampu kita atau bahkan lebih, pandanglah pada Yesus. Di tengah perasaan kecewa dan terpuruk, semoga kita bisa melembutkan hati, menerima keadaan, dan mencari Tuhan. Menangislah jika ingin menangis, marahlah jika ingin marah, tetapi jangan sampai menghambat dirimu untuk dituntun Tuhan.

Tuhan tidak pernah membiarkan anak-anak-Nya jatuh sampai tergeletak. Tangan-Nya selalu menopang. Dia selalu ada menunggu kita untuk datang kepada-Nya.

Tuhan memberkati dan menyertai kita setiap waktu.

Dalam Kegagalanku, Rencana Tuhan Tidak Pernah Gagal

Oleh Dita Eka Octalina Napitupulu, Bekasi

Tahun 2012 merupakan tahun yang berat bagiku ketika aku dinyatakan tidak lulus di universitas negeri yang kuimpikan sejak masa SMA. Aku belum menyerah, kucoba mengikuti seleksi dari jalur lain, tapi hasilnya pun sama: gagal.

“Gagal”, kata ini hinggap di pikiranku hingga aku berpikir untuk tidak usah kuliah saja setelah SMA. Namun, keluarga dan orang-orang terdekatku tidak menyerah menyemangatiku. Aku ingat sahabatku berkata, “ke mana pun kita coba lari dari hadapan-Nya, Dia pasti akan menaruh kita di tempat yang memang sudah Dia pilih.”

Kalimat itu menegurku. Kucoba bangkit kembali dari kegagalan, merenungkan segala kebaikan Tuhan, dan bertekad untuk terus mengandalkan-Nya atas segala pencapaian dan upayaku meraih masa depan.

Ditempa di tempat lain

Singkat cerita, aku melanjutkan pendidikanku di perguruan tinggi swasta. Di luar dugaanku, IPK semester pertamaku hasilnya baik, tapi aku malah jadi angkuh dan berpuas diri. Akibatnya, semester dua sampai semester ke-empat, IPK-ku mengalami penurunan yang signifikan. Aku takut, tapi juga sadar bahwa Tuhan telah memberikanku hikmat, tetapi aku malah menyalahgunakannya. Alih-alih tekun belajar dan bersyukur, aku malah sombong dan tidak mengandalkan Tuhan. Setelah semester empat, aku memperbaiki diriku dengan tekun belajar dan bertekad untuk terus mengandalkan Tuhan.

Di semester lima, aku merasa kemampuan studiku cukup baik. Aku pun mendaftarkan diri untuk menjadi asisten lab. Aku cukup percaya diri bisa diterima, tapi di tahapan wawancara akhir aku malah gagal. Aku tidak mau menyerah. Lowongan asisten lab yang kedua dibuka dan aku pun mendaftar lagi. Aku berdoa, belajar lebih sungguh. Namun, setelah ujian tertulis dan wawancara yang dilakukan dalam satu hari bersamaan, aku harus menerima kenyataan kembali bahwa aku “Tidak Lulus”.

“Oh Tuhan,” sebutku dalam hati. Apalagi ini? Dalam hatiku timbul kekecewaan besar. “Kenapa Tuhan aku harus gagal lagi? Sekarang aku sudah di kampus swasta, lantas kenapa aku harus kecewa lagi?” Kenapa? Kenapa? Kenapa?”

Dalam kekecewaanku, aku merasakan suara dalam hatiku berbisik, “Apa yang sedang kamu cari, Nak? Bukankah Aku sudah cukup bagimu? Hanya tinggal kamu percaya saja dengan-Ku.” Aku terdiam.

Lowongan asisten lab dibuka untuk ketiga kalinya. Di kampusku ada berbagai divisi dan beragam mata kuliah, sehingga ada banyak lowongan asisten lab yang dibuka. Aku tidak berniat untuk mendaftar lagi, tapi orang terdekatku bilang, “Coba saja ikut, sekali lagi saja, biar tiga kali.”

Aku memutuskan untuk ikut seleksi kembali, tapi aku berdoa bukan supaya aku diterima, melainkan supaya kehendak Tuhan saja yang terjadi. Kumantapkan motivasiku, bahwasannya aku mengikuti seleksi ini karena aku ingin Tuhan dimuliakan lewat apa pun yang kukerjakan.

Tahap demi tahap kulakukan, hingga akhirnya aku tiba pada tahapan wawancara akhir. Ketika hasilnya diumumkan, aku lulus menjadi seorang aslab! Puji Tuhan! Air mataku menetes saat itu.

Peristiwa gagal dan diterimanya aku menjadi aslab mungkin hal yang biasa dalam dinamika perkuliahan, tetapi bagiku pengalaman itu menjadi suatu momen yang mempererat relasiku pada Tuhan. Bukan semata-mata karena aku diberi-Nya keberhasilan pada seleksi ketiga, melainkan karena Tuhan senantiasa menyertaiku baik kala aku senang maupun aku susah. Tuhan terus memampukanku menyelesaikan studiku hingga akhirnya aku dapat lulus dengan predikat cum laude pada tahun 2016 dengan tepat waktu. Semuanya terjadi atas perkenanan Tuhan.

Seringkali kita mungkin tidak mengerti akan apa yang Tuhan inginkan atas hidup kita, bagaimana rancangan-Nya, dan kegagalan apa yang kelak akan kita alami. Terlepas dari berbagai kekhawatiran, Tuhanlah yang memampukan kita dan Tuhan jugalah yang menjamin masa depan setiap kita. Kuncinya hanya satu: percaya dan selalu mengandalkan-Nya. Tuhan sanggup bekerja dengan luar biasa dalam hidup kita.

Baca Juga:

Tak Cuma Sungai, Hati Kita Pun Perlu Dinormalisasi

“Kita sering mendengar kata “hati” dalam khotbah-khotbah di mimbar gereja. Kita juga tak asing dengan pernyataan, “Tuhan Yesus ada di hatiku.” Saking seringnya kita mendengar kalimat itu, mungkin kita pun mengira bahwa di Alkitab ada banyak ayat yang berkata, “Tuhan Yesus ada di hatiku.”

Padahal, jika dicermati, hanya ada satu bagian dalam Alkitab yang secara khusus merujuk pada kalimat Yesus hidup dalam hati seseorang.”

Jadilah Tuhan, Kehendak-Mu

Oleh Tetti Manullang, Bekasi

Aku seorang mahasiswa S2 jurusan Science Accounting di Yogyakarta. Iklim belajar di kampus ini jauh berbeda dengan kampus S1-ku di Jakarta, sehingga tahun pertama studi master menjadi masa tersulit dalam hidupku.

Sebelum masuk kelas, kami diharuskan untuk memahami materi kuliah terlebih dahulu untuk bisa mengikuti proses diskusi di kelas. Resume perkuliahan, presentasi, serta review artikel dari jurnal internasional menjadi santapanku setiap minggu. Oh, masih ditambah lagi dengan tugas akhir berupa proposal untuk setiap mata kuliah yang ada.

Hasil studiku di semester pertama sangat jauh di bawah harapan. Aku sudah berupaya sekuat tenaga untuk mengikuti ritme perkuliahan, tetapi tetap saja aku tertinggal dari teman-temanku. Aku merasa gagal dan kecewa. Aku takut beasiswaku dicabut, mengingat ada standar nilai minimal yang harus dicapai di tiap semester.

Keadaan ini membuatku semakin giat dan semangat untuk memperbaiki nilaiku di semester berikutnya. Tidur pagi dan kembali bangun di pagi yang sama sudah menjadi suatu hal yang biasa bagiku. Aku menghabiskan akhir pekan dengan belajar di kamar atau perpustakaan. Kadang aku juga belajar kelompok bersama teman-temanku sampai malam di kampus.

Hubungan pribadiku dengan Tuhan masih terjaga, tetapi hanya secara kuantitas. Waktu untuk saat teduh dan berdoa selalu kusediakan, tetapi hanya menjadi rutinitas yang tidak terlalu berarti. Bahkan, aku terlibat dalam pelayanan sebagai BPH di Keluarga Mahasiswa Kristen Pascasarjana di kampusku. Namun, karena tuntutan perkuliahanku yang tinggi, aku hanya mengerjakan tugasku secara teknis tanpa merasakan pertumbuhan apapun. Aku sama sekali tidak menikmati pelayananku. Pergi ke gereja menjadi prioritas terakhir kala itu, mungkin hanya 4 atau 5 kali dalam setahun. Aku tidak mau membiarkan waktu belajarku terbuang sedikitpun. Hidupku hanya didedikasikan untuk kepentingan akademis.

Memasuki semester 4, tahap pengerjaan tesis dimulai. Berkat bimbingan seminggu sekali dengan dosen pembimbingku, Pak Ertambang Nahartyo yang disapa Pak Er, proposalku selesai dengan cepat.

Pada hari Kamis yang cukup santai, pikiranku melayang pada ketiak sebelah kananku bagian bawah yang sudah sebulan ini terasa sangat pegal. Awalnya, kukira rasa pegal itu akibat aku sering membawa buku dan laptop yang cukup berat. Namun, aku mulai curiga ketiga mendapati adanya benjolan di area tersebut. Aku pun browsing untuk mencari informasi, kutemukan banyak saran untuk memeriksakan diri ke dokter onkologi. Segera aku menelepon dokter onkologi di Yogya dan membuat janji konsultasi. Jadwalnya masih dua minggu lagi. Berjaga-jaga jika bukan kabar baik yang kuterima, aku memesan tiket ke Jakarta satu hari setelah jadwal konsultasiku agar bisa ditemani keluarga selama melakukan pengobatan.

Aku menarik napas dalam-dalam. Dadaku terasa sesak dan aku menangis dengan suara keras. Sudah kucoba menutup mulut dengan kedua tanganku, tetap saja tidak terbendung. Aku merasa sangat takut. Takut menghadapi vonis dokter, takut menerima kenyataan apabila benjolan di tubuhku ini adalah tumor ganas, dan takut tidak dapat menyelesaikan studiku tepat waktu. Belum lagi, aku memiliki mimpi untuk mengajukan beasiswa pendidikan doktoral dengan syarat lulus studi master tepat waktu. Bagaimana jika kesempatan itu menjauh dariku? Kucoba mengendalikan pikiranku untuk tetap tenang dan berpikir positif.

Kamis yang kutunggu pun tiba. Aku pergi ditemani Mbak Ida, teman kosku, untuk menemui dokter onkologi. Aku di-USG, dan hasilnya menunjukkan bahwa aku mengalami pembengkakan kelenjar getah bening. Untuk mengetahui struktur jaringannya, aku harus segera dioperasi.

Mendengar hal itu, duniaku terasa berhenti sejenak. Aku terdiam sambil berusaha menahan tangisku. Aku dikuasai penuh oleh rasa takutku. Mbak Ida banyak menanyakan kepada dokter seputar penyakitku. Ia bertanya apakah memungkinkan bagiku untuk dioperasi tahun depan setelah lulus kuliah, mengingat posisiku kala itu yang sedang dalam masa penulisan tesis. Namun, dokter menghimbauku untuk segera dioperasi secepatnya dan jangan ditunda.

Keesokan harinya, aku ditemani Mbak Ida untuk menghadap Pak Er. Beliau menyambutku dengan semangat, tetapi aku malah terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya berkata, “Saya mau pamit, Pak.” Aku melanjutkan kalimatku dengan tangisan. Mbak Ida yang menjelaskan kepada beliau bahwa aku akan pulang ke Jakarta untuk berobat.

It’s okay. Pastikan kamu akan sembuh. Kalau saya mengajar di Jakarta, kita janjian bertemu di sana, ya,” respon Pak Er seperti berusaha menenangkanku.

“Semua akan lulus pada waktunya. Cepat sembuh, Tet. Yang penting sembuh, tesis bisa menyusul.”

Ketika duduk manis di kereta dalam perjalanan pulang ke Jakarta, pikiranku melayang-layang. Hati ini gelisah. Sesekali aku menarik nafas panjang karena merasa sesak di dada. Aku begitu takut akan apa yang akan kuhadapi. Aku pun berdoa untuk menenangkan diri.

“Ya, Allah, rasanya sudah terlalu lama aku melupakan-Mu. Aku merasa terlalu kuat untuk menghadapi semuanya sendiri. Aku seperti tidak membutuhkan-Mu. Aku mengandalkan kekuatanku dan menjadi allah atas hidupku sendiri.

Siapakah aku? Aku bukan siapa-siapa, memandang kasut-Mu pun aku tak layak. Aku hanya hamba-Mu yang lemah dan tak berdaya. Ampuni aku, ya Allah. Terima kasih untuk teguran-Mu, terima kasih tidak membiarkanku berjalan semakin menjauh, terima kasih atas kesetiaan-Mu.

Saat ini aku datang, untuk menyerahkan segala kekhawatiranku, segala takutku, masa depanku, harapanku, cita-citaku. Ya Allah, jika engkau tak mengizinkan aku lulus tahun ini tak mengapa, jika aku harus mengubur mimpi doktorku tak mengapa, jika hasil buruk yang harus kuterima tentang penyakitku tak mengapa. Pegang tanganku selalu, jangan biarkan aku sendiri. Kuserahkan semuanya ke dalam tangan-Mu, jadilah seturut dengan kehendak-Mu. Amin.”

Aku menyanyikan lagu NKB No. 14 “Jadilah Tuhan Kehendak-Mu’’. Lagu ini semakin meneguhkanku untuk berserah kepada-Nya.

“Jadilah, Tuhan kehendak-Mu!
Kaulah Penjunan, ku tanahnya.
Bentuklah aku sesuka-Mu, kan ku nantikan dan berserah.

Jadilah, Tuhan kehendak-Mu!
Tiliklah aku dan ujilah.
Sucikan hati, pikiranku dan di depan-Mu, ku menyembah.

Jadilah, Tuhan kehendak-Mu!
Tolong, ya Tuhan, ku yang lemah!
S’gala kuasa di tangan-Mu; jamahlah aku, sembuhkanlah!”

Setelah berdoa dan mengangkat pujian, rasanya beban dan ketakutanku hilang. Kusadari selama ini aku lupa, bahwa beasiswa yang berusaha kupertahankan dan perkuliahan yang kuperjuangkan mati-matian itu berhasil kudapatkan hanya karena kemurahan-Nya. Musim kehidupan ini Tuhan pakai untuk menarikku kembali kepada-Nya.

Aku akhirnya menjalani operasi. Puji Tuhan, tidak ditemukan keganasan! Aku dapat kembali melanjutkan perkuliahan.

Selama kurang lebih dua bulan, aku belum bisa menggunakan tangan kananku dengan normal. Untuk melakukan beberapa aktivitas sehari-hari seperti mandi, mengganti perban, mencuci, membawa tas, atau mengendarai motor, aku masih harus dibantu oleh orang-orang di sekitarku. Aku semakin tersadar akan kebaikan Tuhan yang luar biasa lewat kehadiran keluarga yang selalu menopang dan menghiburku, teman-teman yang membantuku mengejar ketertinggalan di kampus, dan Pak Er yang membimbingku dengan sepenuh hati.

Atas penyertaan dan pertolongan Tuhan, aku berhasil menyelesaikan studi masterku dalam waktu 1 tahun 11 bulan. Dialah sang pemilik hidup kita. Terpujilah Tuhan kini dan selamanya.

Baca Juga:

5 Hal yang Bertumbuh Ketika Aku Memberi Diri Melayani

Salah satu pemberian terbaik yang bisa kulakukan adalah dengan memberi diriku melayani di gereja. Aku melayani sebagai pengiring nyanyian jemaat atau pemain musik. Sambil terus melayani dan belajar firman-Nya, ada lima hal dalam diriku yang bertumbuh:

Aku Tidak Lolos Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri, Haruskah Aku Kecewa?

aku-tidak-lolos-seleksi-masuk-perguruan-tinggi-negeri-haruskah-aku-kecewa

Oleh Louise Angelita Kemur, Jakarta

Jika aku mengingat kembali masa-masa ketika aku mulai kuliah, semua yang kudapatkan saat ini hanyalah anugerah. Aku pernah berharap bisa kuliah ke luar negeri untuk mendalami dunia seni dan desain, atau setidaknya masuk di perguruan tinggi negeri. Untuk mewujudkan impianku itu, sejak SMA aku berusaha keras untuk mendapatkan nilai yang bagus. Tapi, ternyata Tuhan berkata lain. Setelah lulus SMA, aku tidak berhasil mendapatkan beasiswa studi ke luar negeri ataupun masuk ke perguruan tinggi negeri yang aku inginkan.

Dulu tidak pernah terbayang dalam pikiranku kalau jurusan kuliah yang kuambil sekarang ternyata bertolak belakang dengan jurusan yang kuambil di SMA. Sekarang aku belajar tentang Bisnis, sedangkan di SMA aku masuk jurusan IPA. Ibuku adalah seorang dokter sehingga awalnya aku sempat mengira kalau aku akan kuliah di kedokteran nantinya.

Orangtuaku ingin salah satu anaknya meneruskan karier sebagai dokter. Lalu, guru-guru dan teman-temanku di SMA juga mendorongku untuk masuk ke jurusan kedokteran karena mereka beralasan kalau nilai-nilaiku yang baik itu akan memudahkanku untuk diterima di jurusan kedokteran. Akhirnya aku mencoba mendaftarkan diriku ke Jurusan Kedokteran di salah satu perguruan tinggi negeri melalui jalur tanpa tes seraya berharap supaya prestasiku selama SMA bisa menolongku untuk diterima di sana.

Ketika aku harus kecewa

Tapi, ternyata Tuhan tidak membukakan jalan untukku berkuliah di perguruan tinggi negeri itu. Ketika mendaftar lewat jalur undangan (non-tes), aku gagal, lalu aku juga mencoba kembali di jalur tes namun hasilnya tetap sama.

Tidak berhenti sampai di situ, aku juga mencoba mendaftar di perguruan tinggi swasta. Aku coba untuk mendaftar di Jurusan Kedokteran, Arsitektur, dan Desain Interior di beberapa perguruan tinggi. Setelah mengikuti rangkaian seleksi, aku diterima di Jurusan Kedokteran di salah satu kampus di Jakarta. Tapi, ayahku tidak setuju karena takut apabila aku tidak menikmati kuliahku di sana, selain itu beliau juga kurang percaya dengan kualitas pendidikan di sana. Aku juga diterima di Jurusan Desain Interior di salah satu kampus di Tangerang, tapi setelah aku melakukan survei ke kampus itu, aku merasa kalau lingkungannya tidak nyaman untukku.

Waktu itu aku hanya bisa berserah kepada Tuhan. Jika Dia mengizinkanku untuk bisa kuliah di tahun itu, aku sungguh bersyukur. Tapi, jika tidak pun aku mau tetap percaya kepada-Nya. Aku telah beberapa kali gagal masuk ke perguruan tinggi yang kuingini, dan juga aku sendiri masih ragu dengan perguruan tinggi mana yang sebenarnya aku inginkan. Walaupun aku sudah mempersiapkan yang terbaik untuk mengikuti tes itu, tapi selalu saja ada pertanyaan yang menggantung di benakku, “Apakah ini yang benar-benar kamu inginkan?”

Ayahku mendorong anak-anaknya untuk kelak dapat berwirausaha dengan membuka bisnis sendiri. Kemudian aku berpikir mengapa tidak mencoba saja untuk belajar tentang kewirausahaan itu? Akhirnya aku mencoba mendaftar ke Jurusan Bisnis di perguruan tinggi tempat kakakku belajar.

Awalnya ayahku sempat meragukan keputusanku itu. Tapi, menurutku, perguruan tinggi tempat kakakku belajar itu sangat baik dan aku pernah mengikuti kompetisi di sana. Aku sempat pesimis karena aku mendaftar di gelombang kedua sebelum terakhir dan ternyata tes masuknya sangat sulit. Namun, syukur kepada Tuhan karena aku dinyatakan lolos untuk masuk ke Jurusan Bisnis dan keluargaku masih memiliki tabungan yang cukup untuk melunasi semua biaya masuknya.

Kekecewaan yang perlahan berbuah manis

Dulu aku pernah merasa khawatir kalau sehabis lulus SMA aku tidak bisa langsung kuliah di tahun itu. Aku juga khawatir tentang apa yang orang lain pikirkan terhadapku, sampai-sampai aku juga menjadi ragu apakah Jurusan Bisnis yang kuambil ini adalah yang paling tepat buatku atau bukan. Pilihanku untuk kuliah di jurusan Bisnis membuat beberapa teman dan guru-guruku di SMA kecewa. Mereka berharap kalau aku seharusnya berusaha lebih untuk mendapatkan kuliah di Jurusan Kedokteran. Selama tahun pertama kuliahku aku merasa dihantui oleh pandangan mereka.

Tapi, ternyata setelah aku menjalani kuliah ini selama dua tahun, perlahan aku mulai menikmatinya. Tuhan memberiku berbagai kesempatan untuk berkarya di kampus, salah satunya dengan terlibat aktif dalam lembaga Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Dari lembaga itu aku belajar tentang kepemimpinan. Salah satu anugerah Tuhan yang awalnya tak pernah aku pikirkan adalah aku mendapatkan kepercayaan untuk menjadi wakil ketua di kegiatan orientasi mahasiswa baru untuk angkatan 2016. Selain di BEM, aku juga aktif terlibat dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) orkestra sebagai seorang violist. Aku bersyukur karena aku bisa memaksimalkan talenta dan hobiku dalam kegiatan ini.

1 Korintus 2:9 mengatakan “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia.” Ayat ini benar adanya. Apa yang dipikirkan oleh manusia ternyata berbeda dengan apa yang dirancangkan oleh Yang Mahakuasa. Pikiran-Nya jauh lebih rumit dan tinggi. Rencana-Nya jauh lebih besar dan indah.

Dari kampusku sekarang inilah aku belajar tentang kepemimpinan dalam organisasi yang kuikuti. Pengalaman yang aku dapatkan itu bisa kuterapkan dalam pelayananku sebagai ketua remaja di gereja. Aku belajar mengatur jadwal pelayanan dengan efektif, mendistribusikan tanggung jawab secara adil kepada masing-masing panita.

Dari pengalaman ini, aku belajar bahwa memilih perguruan tinggi bukanlah semata-mata karena gengsi. Kita tidak boleh lupa cita-cita dan talenta apa yang kita miliki. Pilihlah jurusan yang membuat kita menikmati setiap prosesnya. Namun, jangan lupa juga untuk selalu libatkan Tuhan dan orangtua kita dalam membuat keputusan ini.

Sebuah anugerah dalam jawaban tidak

Aku belajar bahwa ketika Tuhan menjawabku dengan jawaban “tidak”, itu pun merupakan sebuah anugerah. Jawaban tidak itu memberi kita kesempatan untuk percaya kepada-Nya senantiasa dan percaya bahwa Dia memberikan sesuatu yang indah tepat pada waktu-Nya asalkan kita berani untuk mempercayai-Nya, mendengarkan-Nya, dan melakukan perintah-Nya.

Aku juga belajar bahwa apapun jawaban Tuhan untuk kita, yang wajib kita lakukan adalah percaya sepenuhnya dan berserah kepada Tuhan. Kita juga harus berani melakukan yang terbaik dalam kesempatan itu. Aku bersyukur Tuhan menyediakan orang-orang yang melengkapi setiap kebutuhanku.

“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN” (Yesaya 55:8).

Baca Juga:

Surat Kepada Diriku yang Dulu adalah Seorang Gay

Aku tahu kalau saat ini kamu tidak merasa kalau Tuhan benar-benar mengasihimu karena Dia memintamu untuk berhenti menjalin hubungan sebagai seorang gay. Kamu merasa bahwa satu-satunya kebahagiaanmu telah dihancurkan. Hatimu terasa sakit dan kamu pun mengeluh, “Bagaimana mungkin sesuatu yang kuanggap wajar ternyata salah?”