Posts

Cerpen: Aku (Bukan) Si Pelit

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

Bukan rahasia lagi kalau aku dikenal konservatif dalam berbagai hal terlebih untuk urusan berbagi sampai-sampai temanku sering menyebutku “Anggi si pelit”. Gelar baru itu kudapat sehubungan dengan kebiasaanku yang sangat berhati-hati dalam memberikan sesuatu baik barang atau jasa.

Semasa kecil, aku akan sangat mudah mengatakan “tidak” untuk teman-teman yang meminjam pulpen atau mainanku. “Nanti mamaku marah,” “Aku masih memakainya,” atau lebih ekstrem sampai berbohong, “Aku hanya punya satu.” Aku selalu mencari alasan agar apa yang ada padaku tidak dipakai atau diminta orang lain.

Beranjak remaja dan kuliah, berbagai kecenderungan egoisku semakin kentara. Aku terkesan tidak mau sharing apa yang sudah kuketahui, tapi sebaliknya aku akan sedikit memaksa teman-temanku menjelaskan hal-hal yang tidak kumengerti. Dalam hal keuangan, aku juga begitu. Saat ada kegiatan di luar kampus, aku kadang memilih menumpang pada teman jadi uang bensinnya tidak kutanggung sendiri. Aku juga sering keberatan saat kami harus mengumpulkan uang untuk merayakan ulang tahun dosen atau teman sekelas. Dulu aku mencoba berdalih kalau semua itu kulakukan hanya untuk menghemat dan bersikap bijaksana dengan uang atau barang-barang yang kumiliki. Belakangan, sepertinya teman-temanku tidak lagi mengenal karakterku yang lain, mereka hanya mengingatku sebagai pribadi yang susah berbagi.

Aku mengakui dalam beberapa sisi hidupku, julukan ini ada benarnya, namun aku tidak nyaman kalau pada akhirnya keseluruhan hidupku disimpulkan dengan satu label negatif tersebut. Teman-temanku seharusnya bisa melihat bagaimana aku selalu berusaha menepati hal-hal yang kujanjikan, aku juga bisa mengerjakan bagianku dengan bertanggung jawab. Untuk urusan keuangan, menurutku aku bisa mengendalikan diri untuk membedakan kebutuhan dan keinginan. Dalam hal berbagi, aku pun sudah mulai belajar. Di masa pandemi lalu beberapa kali aku mengirimkan sesuatu untuk teman dan saudara yang sedang melakukan isoman. Akhir-akhir ini aku bahkan memilih mengontrak bersama teman-teman kerjaku agar bisa berbagi pakai barang dengan mereka. Aku minta maaf jika ini terkesan sesumbar, tapi aku juga ingin mereka menyadari ada sisi baik dari diriku.

Aku yakin kalau aku bukan satu-satunya orang yang merasa terganggu dengan muatan identitas baik berupa label negatif atau positif. Tidak hanya dari orang lain, kita sendiri pun terkadang mau memberikan label tertentu pada diri kita. Mungkin kita adalah “Si A Ekstrovert”, selalu ceria dan dianggap aneh jika terlihat murung. Boleh jadi juga kita menamai diri sebagai “Si B Introvert” yang bisa menjaga rahasia, jadi teman-teman sering curhat padahal kita sedang tidak siap mendengar. Barangkali kita lebih mirip dengan julukan “Si C yang menyenangkan”, enggan menolak karena khawatir melukai perasaan orang lain. Atau justru kita “Si D” yang cenderung mengatakan pikiran kita terlebih saat tidak setuju
atau tidak suka dengan sesuatu sehingga dijuluki si pemarah dan sulit diajak kompromi.

Tidak hanya berisi kesan negatif, label yang melekat pada seseorang juga ternyata ada yang berdampak baik. Contohnya dalam penelitian “The Saints and the Roughnecks” yang dilakukan sosiolog J. Chambliss. Penelitian ini mengamati dua kelompok remaja, yang sering melakukan kenakalan seperti bolos sekolah, mengkonsumsi alkohol di sekolah, melakukan vandalisme dan mencuri. Meski sama-sama nakal, masyarakat sekitar mencoba memberikan label yang berbeda bagi keduanya, yang satu sebagai “The Saints” (Orang Baik) dan yang lain dengan julukan “The Roughnecks” (orang Kasar). Dari hasil observasinya selama dua tahun, ia menemukan bahwa 7 dari 8 remaja kelompok The Saints bisa berubah. Sebaliknya, anak-anak yang berada dalam kelompok The Roughnecks tetap hidup dengan kenakalan mereka. Hasil ini tampak sejalan dengan teori pelabelan di mana dikatakan pada dasarnya jika seseorang berulang kali diberitahu/dicap dengan “sesuatu yang negatif atau sesuatu yang positif,” maka pada akhirnya dia akan cenderung memenuhi label tersebut.

Dari Alkitab kita juga bisa belajar bahwa baik penyebutannya bernilai baik atau buruk, label apapun yang melekat pada diri seseorang tidak bisa dipakai untuk menggambarkan keseluruhan hidup seseorang. Akhir kisah Thomas pasti jauh berbeda seandainya Tuhan Yesus hanya memandangnya sebagai “Si tukang ragu-ragu” atau “Pribadi yang sulit percaya.” Sebaliknya, Ia memberi kesempatan pada Thomas untuk mengulurkan dan mencucukkan jarinya ke lambung-Nya (Yohanes 20:24-29). Atau seperti cerita Simon yang bertemu dengan Yesus dan dinamai Kefas yang artinya Petrus (Yohanes 1:40-42). Kefas adalah nama dalam Bahasa Aram untuk Yunani Petrus yang secara harfiah artinya “Batu” atau “Batu Karang”.

Kita pasti setuju sebutan “Batu Karang” menggambarkan stabilitas atau keteguhan. Namun, tampaknya penyebutan ini bertentangan tidak saja dengan kepribadiannya, tetapi juga dengan sejumlah peristiwa dalam kehidupan Petrus di hari-hari selanjutnya ia bersama Yesus. Dalam Lukas 5 kita bisa membaca bagaimana ia akhirnya menuruti perintah Yesus untuk kembali menyebarkan jala meskipun sempat mempertanyakannya. Di lain hari, dengan kuasa-Nya Petrus berhasil berjalan di atas air hingga keraguannya membuat ia mulai tenggelam. (Matius 14:22-33) Kita juga tidak asing dengan kisah sebelum ayam berkokok. Petrus, “Si Batu Karang yang Teguh” menyangkal bahwa dia mengenal Yesus (Lukas 22:54-62).

Tidak hanya berlaku bagi Simon dan Petrus. Entah diberikan atau kita sendiri yang menyematkannya, julukan tidak selalu mewakili keseluruhan hidup kita. Perjalanan, pengalaman membawa kita mengalami pasang surut, termasuk dalam kepribadian dan karakter. Lebih dari itu kita juga harus mengetahui—terlepas dari apa yang telah atau belum kita lakukan—kuasa Allah cukup besar untuk membantu kita berubah. Tidak ada kesalahan atau dosa yang terlalu fatal untuk diampuni oleh anugerah-Nya. Tak satupun kebiasaan yang terlalu melekat untuk diubahkan oleh kasih-Nya. Ia sanggup membantu kita menghancurkan label yang menyandera kehidupan kita selama ini. Identitas kita tidak ditentukan oleh label atau pengakuan lain sejenisnya.

Kendati aku juga masih berjuang untuk tidak terpengaruh dengan label dan julukan diriku, aku berdoa semoga kamu juga merasakan kasih karunia Allah untuk menyingkirkan apapun label kejam yang membebanimu. Entah kamu seorang yang dikenal sebagai pecandu dan bergumul menyingkirkan hal-hal yang mengikatmu. Kamu yang sedang belajar untuk makan dengan benar dan olahraga teratur karena terganggu dengan mereka yang memanggilmu “Si Gemuk.” Kamu yang terus berusaha menikmati pekerjaanmu kendati sebagian keluarga menganggap pilihan kariermu kurang pas. Bahkan kamu yang selalu memperjuangkan hal-hal yang dampaknya mungkin tak kasat mata atau tidak berwujud.

Semoga Allah senantiasa menolong kamu dan aku untuk semakin menemukan kemerdekaan dalam kasih-Nya dan berjalan mendekati visi-Nya bagi kita masing-masing (Yeremia 29:11).

Soli Deo Gloria

Ingatlah 3 Hal Ini Sebelum Menghakimi Orang Lain

Oleh Vanessa
Artikel asli dalam bahasa Inggris: What My Assumptions Taught Me About Judging Others

Beberapa bulan lalu, seorang kenalanku bersikap dingin dan menjauhiku. Ketika kutanya kenapa, dia bilang kalau ekspresiku berlebihan di pertemuan terakhir dengannya. Kucoba mengerti alasannya dan meminta maaf, tapi baginya tindakanku itu tidak akan membuat relasi kami sama seperti dulu.

Tentu respons itu adalah keputusannya dan aku pun tahu bahwa untuk relasi yang sehat perlu ada batasan yang jelas. Tetapi, melihat ke belakang aku mendapati sulitnya merespons terhadap situasi penolakan seperti itu. Dari diskusiku dengan konselorku, aku sadar kalau reaksi berlebihanku muncul dari rasa sakit dan trauma masa kecil yang belum selesai. Fakta ini membuat peristiwa penolakan itu terasa lebih sakit, tapi sekaligus juga memberiku rasa lega. Alih-alih merasa bersalah dan malu, aku jadi sadar bahwa aku pun butuh dipulihkan.

Kita semua ingin dipandang, dimengerti, dan diterima sebagaimana adanya. Kita ingin semua orang mau menegur kita dengan kasih ketika dibutuhkan, tapi kita juga ingin mereka berbicara dengan kita, untuk mengerti siapa dan bagaimana sih kita itu sebenarnya. Aku ingat akan seniorku di tahun pertama kerja yang berkata, “Rasanya menyenangkan jika kita dikenal baik.” Itu memang betul, tapi lebih daripada sekadar dikenal baik, yang lebih baik ialah: kita dikenal sampai jelek-jeleknya, tapi tetap dikasihi.

Kasih yang melampaui kesan pertama

Kasih yang Allah berikan pada kita untuk kita berikan pada orang lain adalah kasih yang “menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu” (1 Korintus 13:7). Inilah kasih yang kita semua inginkan, tapi kusadari kalau kasih ini jugalah yang sulit untuk kuberikan. Kasih yang mengharuskanku untuk berhenti dan berpikir, untuk memahami siapa orang yang kutemui. Seringkali aku berpikir meremehkan dan buru-buru mencari topik bicara lain.

Seorang temanku bercerita tentang tetangga lamanya yang dikenal menyebalkan. Suatu kali, ketika dia membuang sampah, tetangga itu mendekatinya dan mengomel karena sampah itu tidak diletakkan di tempat yang spesifik. Alih-alih menanggapinya berdasarkan kata orang kalau tetangga itu menyebalkan, temanku tetap tenang dan minta maaf. Sikapnya yang damai itu menohok sang tetangga, yang akhirnya malah jadi terbuka dan mulai mengobrol dengan temanku. Melalui obrolan mereka, temanku mendapati sebenarnya tetangganya itu orang baik yang pernah dilukai oleh orang lain. Sikapnya yang defensif adalah caranya untuk melindungi dirinya dari terluka.

Aku harap kita semua seperti temanku itu, tapi sejujurnya, bukankah kita semua cenderung menghakimi orang lain berdasarkan apa yang mata kita lihat? Setelah menghakimi, lantas kita pun ‘membuang’ mereka dalam kotak yang berisikan asumsi-asumsi kita sendiri?

Ketika Allah membuatku memikirkan kembali

Meskipun kali ini akulah yang ditolak, aku tahu kalau aku sendiri pernah menolak dan menghakimi orang lain dengan buru-buru mengambil kesimpulan berdasarkan apa yang kulihat. Ada masa-masa ketika Tuhan memaksaku untuk melihat kembali suatu hal secara utuh supaya aku memahami bahwa apa yang kupikirkan tak selalu benar.

Beberapa tahun lalu, aku ikut mission-trip bersama beberapa jemaat. Di akhir pekan, ada seseorang yang kata-katanya menggangguku. Kata-katanya tidak buruk, tapi karena itu menggangguku aku memutuskan kalau orang itu tidak akan kudekati, dan segera aku pun mengabaikan orang itu.

Namun Tuhan punya rencana lain. Lewat interaksi kami selama beberapa minggu, aku menyadari kalau orang yang kuanggap mengganggu itu ternyata murah hati, dan dia selalu berusaha untuk menunjukkan sikapnya yang tulus dan mengasihi pada orang lain. Orang itu pun menjadi teman baikku yang sampai hari ini aku senang meluangkan waktu bersamanya. Kalau seandainya aku terjebak pada pikiranku akan kesan pertama yang buruk, aku tidak akan mengalami pertemanan yang indah.

3 hal untuk diingat

Salah satu ayat favoritku adalah 1 Samuel 16:7, “Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” Rasanya menenangkan sekaligus menantang mengetahui bahwa Allah melihat kita sebagaimana adanya kita. Menenangkan karena kita sungguh dikasihi oleh Tuhan Semesta Allah; menantang karena jika kita dikasihi sedemikian rupa, masa kita bertindak sebaliknya terhadap orang lain?

Setelah menyadari ini, aku berdoa agar Tuhan menolongku setiap hari untuk menjadi orang yang mampu melihat melampaui apa yang dilihat mata, dan untuk mengasihi orang lain dengan cara yang mencerminkan Kristus—dengan anugerah, belas kasih, dan pengertian. Untuk mewujudkan itu, aku mengingat 3 hal ini:

1. Lihat jangan dari sudut pandang sendiri

Setiap orang punya masalah masing-masing, dan itu bisa mempengaruhi bagaimana mereka meresponsku. Mengingat hal ini memberiku sedikit jarak untuk untuk mencerna sikap dan respons mereka.

2. Tanya sebelum membuat kesimpulan

Matius 18:15 menjelaskan bagaimana kita seharusnya menegur orang lain. Meskipun teguran itu tidak menyenangkan, ketika aku punya keberanian untuk memberitahu seseorang tentang sikap atau kata-katanya yang melukaiku, penjelasan ataupun permohonan maaf dari mereka menolongku untuk memahami situasi dari sudut pandang yang berbeda. Aku pun terdorong untuk melihat ke dalam diriku sendiri, akan apa yang jadi pikiranku yang berdosa.

3. Maafkan, sebagaimana kita telah diampuni (Kolose 3:13)

Pengampunan tidak hanya untuk dosa-dosa ‘besar’ yang dilakukan pada kita, tapi juga bagi kesalahan-kesalahan yang tampak kecil. Bagian dari mengampuni adalah belajar untuk merelakan dan tidak selalu mempermasalahkan setiap hal. Ingatlah, kasih menutupi banyak sekali dosa (1 Petrus 4:8).

Aku berdoa kiranya kasih yang tidak bersyarat yang kuterima dari Tuhan setiap hari menolongku untuk mengasihi orang lain. Daripada menorehkan luka dalam hidup mereka, aku mau belajar untuk turut serta dalam pemulihan mereka.

Semoga tulisan ini memberkati kita semua.