Posts

Jatuh Hingga ke Titik Nadir, Perjalananku Melepas Keangkuhan

Oleh Prillia Setiarini

Dikenal, disanjung, dikagumi. Kurasa tak akan ada orang yang menolak diperlakukan demikian. Dipandang secara positif oleh orang lain tentulah membawa rasa bangga bagi diri kita sendiri juga keluarga.

Aku ingat betul, saat SMA dulu aku ikut banyak kegiatan di sekolah. Tak cuma aktif, prestasiku juga cukup membanggakan. Aku diterima masuk ke salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Tapi, tanpa kusadari, rasa banggaku inilah yang membentuk fondasi hidupku. Kuletakkan identitasku pada pencapaian-pencapaianku dan aku menjadi semakin haus untuk mengejarnya.

Di awal masa-masa kuliahku, banyak orang bertanya. “Sekarang sudah kuliah ya? Di mana kuliahnya?” Kujawab dengan penuh percaya diri, “Di situ, di institut terbaik bangsa.” Reaksi decak kagum pun muncul. Tidak sedikit dari mereka yang menimpali dengan, “Wah! Kamu pasti pintar banget! Orang yang lulus ujian masuk ke sekolah itu kan persentasenya sangat kecil!” Ada juga yang menunjukkan raut muka yang begitu kagum, walaupun tidak melontarkannya dengan kalimat.

Sesudah itu ego yang aku miliki pun naik jadi begitu tinggi. Aku menganggap diriku termasuk orang yang sangat pintar, aku mahasiswa dari sekolah yang bergengsi, aku, aku, dan aku. Aku pun berubah menjadi orang yang sangat sombong. Aku menaruh ekspektasi yang sangat tinggi dalam hidupku, sampai aku tidak melibatkan Tuhan dalam rencana hidupku. Aku begitu perfeksionis dan hampir semua ekspektasiku, yang kurasa ada di luar jangkauan, rupanya dapat aku raih. Aku pun jatuh dalam dosa yang begitu Tuhan benci: kesombongan.

Namun, Tuhan tidak membiarkanku terjatuh terlalu jauh. Seiring waktu, ego yang aku miliki mulai terkikis. Aku benar-benar merasa Tuhan membimbing dan mendewasakan aku melalui relasi dengan teman kuliah, teman gereja, teman persekutuan kampus (PMK), teman komunitas, keluarga, saudara, dan semua yang ada di sekitarku. Tidak hanya itu, aku juga mendapatkan teguran yang cukup keras melalui kesehatanku. Ekspektasi yang aku sebutkan sebelumnya membuat pikiran, jiwa, hati, dan mentalku menjadi ambisius. Pada tahun 2012 kesehatan mentalku terganggu yang salah satu penyebabnya adalah sikap perfeksionis dan ambisiku tersebut.

Kejadian yang paling mengubah pikiranku adalah saat aku berada di rumah pemulihan untuk orang-orang yang bermasalah karena mentalnya terganggu dan pecandu narkoba. Aku mendapat perlakuan yang begitu buruk di sana. Makanan yang diberikan tidak enak sama sekali, kasur yang disediakan sangat berbeda dengan kasur di kamarku, dan pasien-pasien di sana membuatku berpikir, “Apakah aku sebegitu rendahnya sehingga tempat yang membantuku pulih yaitu tempat yang seperti ini?”.

Rumah pemulihan tersebut menjadikan harga diriku begitu rendah. Aku merasa aku seperti orang buangan. Di rumah tersebut banyak orang yang sengaja dititipkan oleh keluarganya. Padahal keluarga dari orang tersebut memang tidak mau mengurusnya lagi. Hampir 40% dari pasien-pasien di sana tidak pernah dijenguk lagi oleh keluarganya. Bahkan ada yang tidak tahu lagi bagaimana kabar keluarganya. Mungkin sedikit gambaran, di sana ada pasien wanita berumur paruh baya yang ditemukan di pinggir jalan. Pemilik rumah pemulihan tersebut berniat untuk membantu hidup dari seorang wanita ini. Ya, seperti itulah keadaan pasien-pasien di sana.

Kesombongan memang tidak pernah membawa kebaikan. Pada suatu masa di Perjanjian Lama, kerajaan Edom yang terkenal hebat dan tidak terkalahkan menerima penghukuman karena kesombongannya. Dalam Obaja 1:3 tertulis bahwa kerajaan Edom terletak di pegunungan yang curam, sehingga musuh akan sulit menyerang. Edom pun adalah bangsa yang kaya. Mereka dilimpahi dengan tembaga dan posisi geografis yang strategis karena berada di pusat rute perdagangan. Namun, dari segala kebaikan yang memenuhi mereka, Edom dipenuhi keangkuhan. Mereka yakin tidak akan terkalahkan sehingga mereka pun menindas umat Allah (Obaja 1:10-14).

Seperti yang terjadi pada bangsa Edom yang yakin betul bahwa tak ada satu pun kuasa yang akan mengalahkan mereka hingga mereka bertindak semena-mena, kesombongan dapat menipudaya pikiran kita. Kita berpikir kita dapat hidup tanpa Allah, yang kemudian akan membuat kita merasa kebal dari otoritas, teguran, dan kelemahan.

Namun, terpujilah Tuhan yang tak pernah menolak siapa pun yang berbalik datang pada-Nya. Allah memanggil kita untuk merendahkan diri di hadapan-Nya (1 Petrus 5:6) dan Dia membimbing kita untuk percaya bahwa Dialah satu-satunya Pribadi yang harus kita andalkan.

Dengan tuntunan dan anugerah-Nya, harga diriku yang hancur itu perlahan-perlahan membaik. Perjalananku untuk pulih dimulai dengan membuka kembali Alkitabku. Dikatakan pada Mazmur 139:13 bahwa Tuhan yang menenun aku (dan kita semua) dalam kandungan ibuku. Dalam bayanganku, itu berarti Tuhan sudah memerhatikan aku dari sebelum aku lahir. Sebelum aku menjadi aku, Dia sudah merencanakan hidupku. Hal itu sangat-sangat menguatkan aku. Aku juga melihat orang tuaku dan sikap teman-teman terhadap aku. Ternyata mereka menghargai aku. Kombinasi itu semua membuatku sadar bahwa harga diriku sebenarnya tidak pernah rusak. Aku sedang dibentuk oleh Tuhan dan serangkaian kejadian tersebut menyadarkan betapa Tuhan benar-benar sayang aku dan aku dijadikan murid oleh-Nya.

Pengalamanku ini telah menyadarkanku bahwa identitas berupa pencapaian, harta benda, atau jabatan bukanlah fondasi yang kokoh. Dasar yang teguh hanya bisa dibangun di atas iman percaya pada Kristus. Walaupun aku masih bisa jatuh, tetapi aku percaya bahwa Allah Bapa melalui pertolongan Roh Kudus akan terus membimbing hidup aku dan kamu hari ini, seterusnya, sampai pada maranatha!

Sekarang, kalau aku mendapatkan pujian, aku akan berkata, “Makasih ya. Itu semua hanya anugerah dari Tuhan”. Karena jika Tuhan tidak memberikan perkenanan-Nya, aku memang tidak mungkin bisa melakukan dan melewati semua itu. Semua pencapaian yang pernah aku raih dan yang akan aku raih, aku mau menyerahkan semuanya hanya untuk kemuliaan Tuhan.

Soli Deo gloria.

Tentang Minta Tolong dan Kesombongan

Oleh Astrid Winda Sondakh, Minahasa

“Kenapa harus merasa tidak enakan untuk minta tolong?”

Itu salah satu pertanyaan yang dilontarkan temanku saat kami sedang chat di WhatsApp. Dia heran dan menanyakan alasanku yang selalu tidak enakan dalam meminta bantuan. Aku berpikir bahwa ketika aku meminta tolong, aku dapat merepotkan orang lain. Karena itu, aku selalu berusaha kuat melakukannya seorang diri.

“Karena aku takut mengganggu kesibukan mereka,” kataku menjawab pertanyaan itu dengan sederhana.

“Tapi, apakah pernah terpikir olehmu, kalau terkadang orang-orang merasa senang untuk membantu?” 

Pertanyaan itu membuatku terdiam. Jujur, aku sama sekali tak pernah memikirkan tentang hal itu. Apa iya, ada orang yang senang untuk dimintai tolong? Bukannya akan merepotkan bagi orang tersebut jika membantu orang lain? Maksudku, bagaimana bisa seseorang merasa senang dan bersedia membantu orang lain, padahal pasti orang tersebut juga punya masalah dan kesibukannya sendiri.

“Terkadang rendah diri, minder, tidak mau minta tolong dan sebagainya juga termasuk sombong, lho.. Karena tanpa sadar kita hanya terus mengandalkan kekuatan kita sendiri. Padahal kita tahu bahwa kita butuh bantuan orang lain sebab kita tidak bisa melakukan semua hal sendirian,” temanku melanjutkan wejangannya. 

Di situ aku tersadar bahwa apa yang dikatakan temanku benar. Seringkali aku merasa bahwa tidak meminta bantuan  adalah hal baik karena aku tidak perlu menyusahkan orang lain. Tapi, di sisi lain, nyatanya aku seakan tidak menghargai keberadaan sesamaku. Padahal kita diciptakan Tuhan untuk saling membantu, seperti yang tertulis dalam Galatia 6:2,  “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.” Bertolong-tolongan adalah sebuah kata kerja aktif yang tidak mungkin dilakukan oleh satu orang. Bertolong-tolongan berarti ada yang menolong, dan ada yang ditolong. 

Aku juga merenungkan perkataan temanku bahwa kita tidak harus membiarkan diri kita dikuasai dengan pikiran yang berlebihan (overthinking), karena itu bisa menghambat kita membangun relasi dengan orang sekitar. Lewat sikap kita yang menutup diri untuk minta tolong atau ditolong, secara tidak langsung kita telah menutup kemungkinan atau kesempatan untuk membangun relasi dengan orang-orang, termasuk juga dengan pertumbuhan rohani kita. 

Temanku membagikan hal ini karena dia juga pernah merasakan hal yang sama denganku, namun sekarang dia sudah bisa mengendalikan masalah tersebut, walaupun tidak dipungkiri bahwa hal itu membutuhkan proses.

Menurutnya, ketika kita mulai berani minta tolong, ketika kita mulai merendahkan hati, justru semakin banyak relasi yang bisa kita bangun. Dan malahan, kita bisa merasa lebih lega dari sebelumnya. Ya, kita bisa lega karena ketika kita memberanikan diri untuk minta tolong, kita juga bisa mendapatkan orang-orang yang akan mendukung kita dengan senang hati, dan lebih dari itu kita akan merasa bahwa kita tidak sendiri. 

Hal yang aku pelajari bahwa ketika kita merasa sendiri, sebenarnya kita tidak benar-benar sendiri. Ada orang-orang di luar sana yang Tuhan kirimkan untuk menemani dan menolong kita. Namun, karena kekerasan hati kita yang tidak mau untuk terbuka, kita jadi terus merasa sendirian, merasa buntu, bahkan mungkin sampai menyalahkan Tuhan. 

Aku belajar, bahwa sebenarnya hal yang perlu kita kendalikan di sini adalah sikap dan respon hati kita. Mengapa kita takut untuk terbuka? Mengapa kita takut minta tolong? Mengapa kita takut mengakui kelemahan kita? Mungkin jawabannya karena kita merasa takut untuk ditolak, dihakimi, terlihat lemah, dan sebagainya. Memang, pada kenyataannya tidak dapat dipungkiri bahwa ketika kita mulai terbuka, bisa saja kita mengalami penolakan atau hal semacamnya, namun hal itu bukanlah jadi penyebab untuk kita takut terbuka. Justru ketika kita berani membuka diri akan apa yang jadi kerentanan kita, kita bisa mendapat pelajaran, dan menerima kemurahan hati dari orang-orang yang tulus menolong  Seperti nasihat Paulus agar kita saling bertolong-tolongan, percayalah ketika kita meminta pertolongan pada Tuhan dan sesama, Tuhanlah yang akan menggerakkan hati orang-orang di sekitar kita untuk menolong kita.  Tugas kita bukanlah overthinking, tetapi memahami bahwa apa pun respon orang terhadap kita, kita pasti akan mendapat pelajaran dan pengalaman dari proses tolong-menolong

Saat itu juga, setelah bertukar pendapat dengannya, pola pikirku mulai berubah. Aku menyadari, ketika aku terus menutup diri untuk tidak minta tolong di saat membutuhkan pertolongan, berarti aku juga menutup diri dari hal-hal yang justru sebenarnya dapat membuatku berkembang, misalnya seperti pola pikir, keterampilan, dan lain sebagainya. 

Mengakui kelemahan kita dan menjadi rendah hati untuk terbuka dan meminta bantuan pada orang lain, artinya mengizinkan diri kita untuk bertumbuh, dan juga mengizinkan orang lain untuk menjadi bagian dari pertumbuhan kita. Lebih dari itu, kita mengizinkan Tuhan untuk membentuk pribadi kita melalui sesama yang merupakan perpanjangan tangan-Nya.

Kulukai Orang Lain dengan Keegoisanku

Oleh Sari, Jakarta

Setiap tanggal 10 Oktober ditetapkan sebagai Hari Kesehatan Mental Sedunia. Media sosial dipenuhi dengan twibbon untuk memperingati hari itu. Masa-masa sekarang yang dirasa sulit, ditambah dengan hadirnya pandemi, turut memberikan pengaruh besar pada kesehatan mental orang-orang di seluruh dunia.

Aku pribadi pun merasakan dampaknya. Makin hari, aku semakin menyadari bahwa bukan hanya kesehatan fisik dan rohani saja yang penting, melainkan kesehatan mental yang sering kuabaikan juga penting. Aku melihat orang-orang di sekitarku pun mulai aware. Mereka mulai melakukan konseling kepada konselor-konselor professional. Ketika aku dan kamu gagal menyadari pentingnya merawat kesehatan mental, maka saat kendala datang, bisa saja kita melakukan pengobatan atau pencegahan dengan cara yang tidak tepat. 

Saat kondisiku tidak stabil 

Pada suatu momen, aku menyadari bahwa kondisi mentalku sangat tidak stabil. Aku bekerja dengan gelisah, aku takut salah… dan ketika atasanku mendapati aku melakukan kesalahan, aku langsung panik. Tidak jarang aku menyalahkan orang lain. Aku tidak lagi menikmati apa yang aku kerjakan, fokusku saat itu adalah bagaimana pekerjaanku bisa cepat selesai, tidak ada yang salah dan berharap berakhir dengan pujian yang diberikan baik oleh rekan kerja dan atasanku. Tapi melakukan itu semua rasanya sangat melelahkan, hingga di kondisi yang ekstrem aku tidak menyukai ketika orang lain mengerjakan pekerjaan dengan baik dan dipuji oleh atasanku. Aku ingin berada di posisi yang paling baik dari semuanya, aku ingin hanya aku yang bisa diandalkan. Aku menjadi orang yang lebih suka dihargai dan dipandang lebih dari orang lain. Bukan dalam pekerjaan saja, ketika berinteraksi dengan teman sepermainan dan keluarga pun aku merasakan hal yang sama.

Di tengah kondisi itu, aku pun tidak lagi menikmati relasiku bersama Tuhan. Aku tetap bersaat teduh, namun seadanya. Aku tetap berdoa, namun tidak menikmati doa-doaku. Fokusku adalah hanya bagaimana aku bisa mendapatkan promosi di pekerjaanku. Tetapi, syukur kepada Allah yang mengaruniakan Roh Kudus yang pelan-pelan menggelisahkanku dan menolongku untuk melihat apa yang salah dengan diriku di tengah-tengah perjuangan menikmati doa, baca Alkitab dan ibadah yang kulakukan. 

Di ibadah Minggu yang aku ikuti secara daring, tema khotbah yang diangkat membahas bagaimana ambisi terhadap kedudukan merupakan musuh dan hal yang paling tidak disukai oleh Allah. 

Di awal khotbahnya, sang pendeta memulai dengan kalimat, “dosa pertama berhubungan dengan kuasa.” Allah membuang malaikat Lucifer dari kerajaan sorga karena kesombongannya (Yehezkiel 28:17-18). Kejatuhan manusia dalam dosa pun dimulai ketika Iblis menggoda Hawa, yang menyingkapkan sisi kesombongan manusia yang ingin menjadi seperti Allah dengan memakan buah pengetahuan baik dan buruk (Kejadian 3). 

Banyak orang melakukan berbagai cara agar mendapati posisi atau kedudukan yang diinginkannya, salah satunya aku. Aku melakukan banyak cara agar aku bisa dipromosi secepatnya sampai tidak menyadari bahwa aku sedang melukai diriku, sesama bahkan terlebih Tuhan. Hidupku dipenuhi dengan ketakutan-ketakutan, takut kalau posisi itu akhirnya diberikan kepada orang lain. 

Aku lantas teringat kepada sebuah kisah di Alkitab, yaitu kisah Saul dan Daud. Ketika Saul menjadi raja dan Daud yang baru saja mengalahkan Goliat. Orang-orang Israel merayakan kemenangan Daud mengalahkan Goliat dan ketika itu perempuan-perempuan yang hadir menari dan menyanyi, “Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa (1 Samuel 18:7).” Seketika itu juga, Saul menjadi marah dan benci kepada Daud hingga berencana untuk membunuhnya. Padahal kalau dipikir-pikir, Saul saat itu adalah raja Israel yang sah, dia telah dipilih dan diurapi, tetapi dia ketakutan bilamana suatu hari Daud merebut kedudukannya sebagai raja di Israel. Kisah ini menjadi salah satu bukti bahwa lagi-lagi manusia sangat ambisius terhadap kedudukan dan manusia berani melakukan banyak cara untuk mendapatkan serta mempertahankannya.

Di tengah dunia yang mendorong kita untuk memamerkan apa yang kita lakukan dan apa yang kita miliki, menjadi hal yang tak mudah untuk bijak memandang pencapaian dan kedudukan kita. Kita tergoda meletakkan identitas kita pada posisi, kekayaan, dan status. Ketika tidak mendapatkan apa yang orang lain punya kita menjadi minder bahkan dalam kondisi yang ekstrem menjadi depresi hingga mau mengakhiri hidup. Dalam kondisiku saat itu, satu hal yang aku sadari adalah semakin aku mengejar, semakin aku merasakan kekosongan. Dan lagi-lagi, aku diingatkan bahwa jiwa kita hanya dapat dipuaskan oleh Allah. Jika kita mengejar apa yang ada di tengah dunia ini akan tidak ada habis-habisnya dan itu sangat melelahkan.

Dan di ibadah Minggu yang kuikuti itu, aku juga diingatkan bahwa Allah selalu punya rencana buat anak-anak-Nya, bagian yang sudah ditentukan Allah untuk menjadi bagian kita akan tetap menjadi bagian kita sesusah dan semustahil apapun itu. Tetapi, kalau memang ketika kita sudah berjuang untuk mendapatkannya dan memang Allah tidak merencanakannya buat kita selelah apapun kita mengejarnya maka itu tidak akan menjadi bagian kita. Salah satu hamba Tuhan pernah mengatakan demikian, “teruslah berdoa sampai Tuhan menjawab. Asal doa itu sesuai kehendakNya, mustahil tidak dijawab.”

Teman-teman, kondisi ini bukanlah kondisi yang mudah untuk diatasi. Aku pun masih sangat bergumul hingga saat ini. Tetapi, aku jadi diingatkan kembali bahwa aku tetap berharga di mata-Nya sekalipun aku tidak memiliki apa yang sedang diperjuangkan oleh dunia. Aku merasakan lelahnya mengejar apa yang dikejar oleh dunia ini, dan aku merasakan jadi orang yang paling jahat ketika mulai melukai orang lain dengan keegoisanku. 

Kondisi apa yang sedang teman-teman alami yang membuat teman-teman merasa tidak berharga, tidak dihargai bahkan tidak dianggap oleh orang lain hingga berniat sampai mengakhiri hidup? Berdoa dan minta ampunlah kepada Tuhan, Dia tetap mengasihi kita. Kita berharga di mata-Nya dan Dia selalu mengerjakan bagian-Nya dengan sempurna dalam hidup kita.

Kala kucari damai
Hanya kudapat dalam Yesus
Kala kucari ketenangan
Hanya kutemui didalam Yesus

Tak satupun dapat menghiburku
Tak seorangpun dapat menolongku
Hanya Yesus jawaban hidupku

Bersama Dia hatiku damai
Walau dalam lembah kekelaman
Bersama Dia hatiku tenang
Walau hidup penuh tantangan

‘Kesombongan’ Terselubung di Balik Bersyukur

Oleh Paramytha Magdalena

Suatu ketika aku mendengar seseorang berkata, “Aku bersyukur karena keadaanku tidak seperti si A atau si B. Aku bersyukur masih diberikan kesehatan, setidaknya nggak pernah mengalami sakit yang separah itu.”

Di media sosial pun serupa. Di postingan yang bernada penderitaan dan pilu, beberapa warganet mengetikkan, “Ya ampun, lihat postingan ini membuatku jadi lebih banyak bersyukur karena aku masih berkecukupan dan tidak kekurangan.”

Kupikir cuma orang lain saja yang bersyukur dengan cara tersebut, sampai suatu ketika aku dan suamiku sedang berkendara di atas sepeda motor. Di sudut jalan, tampak seorang ibu dan anak yang sedang berjalan kaki sambil meminta-minta di tengah cuaca yang panas. Tanpa sadar, aku berkata, “Puji Tuhan ya, kita masih diberi kecukupan sampai sekarang.” Ucapan syukur sejenis ini pun rupanya terucap lagi ketika aku melihat salah satu anggota dari keluarga besarku mengalami kekacauan rumah tangga yang mengakibatkan anak mereka terlantar secara finansial. “Puji Tuhan ya, kita masih diberi kerukunan.”

Setelah reflek ucapan itu keluar dari mulutku, aku terdiam sejenak. Aku merasa ada yang salah di balik ungkapan syukur itu.

Secara sekilas, mungkin perkara ucapan syukur ini bukan menjadi masalah yang berarti. Bukankah sudah sewajarnya orang bersyukur atau berterima kasih pada Tuhan? Dan bukankah pula bersyukur itu hal yang baik dan positif untuk dilakukan?

Namun, tujuan yang baik bila dilakukan dengan cara yang salah bisa saja hasilnya pun jadi melenceng. Merenungkan pertanyaan itu, aku mendapat teguran keras dari firman Tuhan. Ada banyak nats yang mengatakan tentang ucapan syukur. Salah satunya dari 1 Tesalonika 5:18 yang berkata, “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.” Kita tidak diminta mengucap syukur karena suatu hal, semisal karena kita melihat orang lain lebih kurang beruntung daripada kita. Kita diminta mengucap syukur dalam segala hal. Artinya, kita mengucap syukur secara otentik, suatu ucapan syukur yang seharusnya datang dari hati atas setiap berkat, sekecil apa pun itu yang diberikan Tuhan bagi kita.

Terkadang kita tak mampu menyelami misteri kasih Ilahi. Allah, dalam hikmat dan kebijaksanaan-Nya pastilah memberikan berkat dan mengizinkan tantangan yang sesuai dengan kemampuan anak-anak-Nya. Adalah hal yang ganjil apabila kita menjadikan penderitaan orang lain sebagai alasan kita bersyukur, sebab itu justru malah melahirkan kontradiksi: di satu sisi kita seolah ‘mendekat’ pada Tuhan, tapi di sisi yang lain itu menjauhkan kita dari sesama.

Kuakui bahwa motivasiku ketika mengucap syukur tidaklah tepat, dan syukur kepada Allah atas teguran yang Dia berikan bagiku. Kekurangan orang lain tidak seharusnya kita jadikan bahan perbandingan, tetapi dengan mengikuti teladan Kristus, kita bisa menyelidiki bagian apakah yang bisa kita lakukan untuk menolong mereka?

Kita mengucap syukur bukan karena hidup kita lebih baik daripada orang lain.

Kita mengucap syukur karena Allah itu baik. Pribadi-Nya selalu hadir dan ada bagi kita.

Kita mengucap syukur karena kita ada oleh perkenanan-Nya.

Mengucap syukur yang berpusat pada Allah, itulah yang dikehendaki-Nya.

Aku pun mulai belajar bersyukur dengan cara yang tepat, meskipun masih jatuh dan bangun.

Baca Juga:

Bukan dengan Amarah, Ini Seharusnya Cara Kita Menghadapi Komentar Jahat di Media Sosial

Komentar-komentar jahat yang dilontarkan di medsos seringkali membuat kita tergoda ingin membalas atau mengumpat. Namun, itu bukanlah cara yang paling tepat untuk menanggapinya.

Ketika Aku Terjerat Dosa Memegahkan Diri

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When I Was Blinded By Success

Ada suatu masa di mana aku pernah menawarkan diriku untuk menulis satu artikel per minggu untuk membantu tim pelayananku mencapai target. Meskipun kemampuan menulisku dalam bahasa Inggris rasanya biasa saja, tapi aku suka menghubungkan pengalaman dan pemikiranku dengan firman Tuhan dan menuliskannya.

Setelah lembur di kantor, aku biasanya membuka laptopku di rumah dan mencoba menulis sebuah artikel baru. Pemimpin tim pelayananku sempat khawatir kalau aku tidak akan mampu mengerjakan pelayanan ini. Katanya, tidak ada paksaan untukku melakukannya. Tapi, seringkali aku berkata, “Tidak apa-apa kok, aku bisa melakukannya.”

Aku senang melihat respon yang baik dari pemimpin timku. Tetapi seiring bulan berganti, aku tidak menjaga kondisi hatiku dan aku mulai membanggakan diri atas pekerjaan yang kulakukan. Aku ingin agar tim pelayananku merasa senang karena pelayananku. Seiring aku memfokuskan diri pada menulis artikel, sikap hatiku mulai menyimpang. Tanpa kusadari, setiap respons baik yang diberikan oleh pemimpin timku ternyata membuatku merasa kalau aku sanggup mengerjakan semuanya sendirian. Waktu-waktuku membaca firman Tuhan bergeser fokusnya karena tujuanku untuk menemukan ide-ide baru untuk menulis, bukan untuk mencari ketenangan di dalam Tuhan.

Ketika akhirnya aku kehabisan pengalaman baru untuk kutulis, aku mulai menulis cerita-cerita biasa yang sebenarnya tidak layak untuk diterbitkan. Dan akhirnya, artikel-artikelku jadi perlu banyak diedit, dan bahkan beberapa diantaranya ditolak untuk diterbitkan.

Aku mulai merasa malu. Aku seharusnya membantu meringankan beban tim pelayanan dengan kontribusiku, tapi mungkinkah aku malah menambahkan beban mereka? Hari-hari ketika kualitas tulisanku sangat buruk akhirnya menghancurkan rasa banggaku.

Selama beberapa minggu, rasa sakit hatiku tidak kunjung reda meskipun aku sudah berusaha keras untuk melupakan artikelku yang diedit habis-habisan dan ditolak. Setelah beberapa waktu, aku mengumpulkan keberanianku dan membicarakan hal ini dengan seorang teman yang kupercaya. Dia mendengarkanku dengan sabar dan menyarankanku untuk beristirahat sejenak dari menulis artikel untuk meluruskan kembali hatiku. Mungkin itulah yang sebenarnya kubutuhkan.

Kami tidak merencanakan secara spesifik apa yang akan dilakukan selama aku absen menulis, namun dalam hatiku aku tahu bahwa ini artinya aku harus berhenti mulai menulis untuk beberapa waktu kedepan dan sungguh sungguh menggunakan waktuku untuk beristirahat dalam hadirat Tuhan. Dan ini juga berarti menyerahkan segala rencanaku pada-Nya.

Ketika aku bersaat teduh esok paginya, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Aku tidak bersaat teduh dengan tujuan agar aku punya bahan untuk ditulis. Aku bisa memfokuskan diri untuk mencari Tuhan dengan segenap hatiku, dan meneduhkan diriku dalam hadirat Tuhan— tempat di mana aku tahu aku bisa menemukan kedamaian.

Akhirnya aku menyadari bahwa ketika aku terlalu berfokus untuk menulis artikel, aku menjalani waktu teduhku dengan motivasi hanya untuk menemukan konten-konten untuk ditulis dan kata-kata yang lebih baik yang bisa kugunakan. Meskipun itu sebenarnya tidaklah salah, namun yang Tuhan inginkan adalah anak-anak-Nya datang mencari-Nya dalam roh dan kebenaran (Yohanes 14:2). Ketika aku mengakui pada Tuhan motivasiku yang salah dalam mencari-Nya, Ia pun menjamah hatiku.

Dalam kondisi hatiku yang hancur pagi itu, Tuhan mengingatkanku bahwa kekuatanku berasal dari Tuhan saja, dan Dia akan memberiku nyanyian baru untuk memuji-Nya (Mazmur 28:7). Kekuatanku berasal dari keteduhan relasiku dengan-Nya sebelum memulai hari. Meskipun aku telah gagal, tapi Tuhan akan memberiku kekuatan untuk memulai kembali, seperti rahmat-Nya yang selalu baru setiap pagi. Kebanggaan manusia atau kecukupan diri di luar Tuhan dalam bentuk apapun tidak akan menuntun kita pada kekuatan yang teguh, yang hanya berasal dari Tuhan.

Pada saat itu aku menyadari—baik dalam menulis ataupun pekerjaan lain—aku tidak bisa berbuat banyak tanpa kekuatan Tuhan. Di dalam hadirat Tuhan, aku bisa bermegah dalam kelemahanku meskipun aku gagal (2 Korintus 12:9-10).

Menulis artikel untuk pelayanan harus dilakukan dengan motivasi untuk memuliakan Tuhan—sebagai pengingat kesetiaan-Nya padaku—dan juga dengan harapan untuk membawa orang lain pada-Nya. Bukannya menjadi hamba-Nya yang setia dan menggunakan talentaku agar orang lain bisa melihat kemuliaan-Nya, dahulu aku malah menulis untuk diriku sendiri.

Setelah aku mengakui dosaku, aku melihat bagaimana kecerobohanku dalam menjaga hatiku membuat dosa memegahkan diri bisa menyelinap. Aku telah dibutakan oleh imaji kesuksesanku, aku menipu diriku sendiri dengan gambaran kecukupan diri, dan ini membuatku pergi menyimpang dari anugerah Tuhan.

Sukacita Tuhan ada di dalam kita, dan kasih-Nya pada kita tidak berubah dalam keberhasilan maupun kegagalan kita. Seiring aku mendekat pada Tuhan, Dia menunjukkan padaku bahwa Dialah yang akan terus menguatkan kita, bahkan pada saat kita kekuatan kita hilang. Jika aku tidak dihentikan untuk menulis dalam masa itu, aku bisa saja melewatkan pengalaman untuk merasakan kembali kebaikan Tuhan.

Meskipun aku gagal untuk menerbitkan artikel lagi, aku merasa puas. Pagi itu, Tuhan membawaku pada kepuasan yang mendalam di dalam hadirat-Nya.

Kasih-Nya tidak tidak akan goyah, dan nilai diri kita di hadapan-Nya tidak ditentukan oleh kesuksesan kita. Dia pencipta kita. Dia tahu bagaimana caranya mengangkat dan menguatkan kita ketika kekuatan kita hilang. Di dalam-Nya, aku bisa bersuka bahkan di dalam kelemahanku dan bermegah tanpa rasa takut (2 Korintus 12:9-10).

Dengan pengalaman tersebut, aku belajar untuk melambatkan tempoku dalam menulis, agar aku bisa beristirahat di dalam Tuhan. Di dalam-Nya, aku melihat harta yang lebih berharga dari kesuksesan dunia apapun yang bisa kucapai.

Sekarang, ketika aku membuka laptopku lagi dan mulai mengetik, aku tidak lagi melakukannya sebagai sebuah beban yang kukenakan pada diriku sendiri. Hal yang lebih penting adalah untuk tinggal di hadirat-Nya, di mana aku telah merasakan sukacita penuh.

Baca Juga:

Ketika Aku Belajar Memahami Arti Doa yang Sejati

Dulu, aku adalah orang yang kaku dalam menetapkan waktu berdoa. Aku pernah menolak permintaan tolong dari ibuku di saat aku seharusnya berdoa. Tapi, itu bukanlah respons yang tepat. Melalui sebuah teguran, aku pun lalu belajar tentang apa arti doa yang sejati.

Bukan Cuma Soal Nilai, Inilah yang Kupelajari dari Proses Skripsiku yang Panjang

Oleh Ellen Vanesa, Sukoharjo

Sejak aku kecil, ibuku selalu mengajariku untuk menjadi yang “terbaik” di antara yang terbaik. Aku diminta untuk mendapat nilai ulangan minimal 90, tidak boleh kurang. Kalau nilaiku lebih rendah dari teman-teman yang lain, aku pasti akan dimarahi hingga terkadang aku pun takut untuk pulang ke rumah.

Seiring waktu berjalan, prinsip yang diajarkan oleh ibuku itu tertanam kuat hingga aku tumbuh menjadi seorang pemudi. “Aku harus mendapat nilai 100 atau IPK 4,00!” aku menanamkan hal ini dalam hatiku. Di satu sisi, obsesi untuk mendapat nilai sempurna itu merupakan motivasi supaya aku melakukan sesuatu sebaik-baiknya. Tapi, di sisi lain, aku jadi seorang yang mudah putus asa ketika melihat orang lain lebih berhasil dariku.

Satu peristiwa yang menegurku

Saat aku kuliah di semester-semester awal, aku mendapatkan IPK yang cukup memuaskan, di atas 3,5. Ketika pengambilan Kartu Hasil Studi (KHS), di sana juga terdapat KHS temanku yang lain. Kalau KHS temanku yang kulihat itu nilainya lebih rendah dariku, aku akan tersenyum dan berpuas diri. Tapi, kalau yang kulihat adalah KHS dengan nilai yang lebih tinggi dari nilaiku, aku akan merasa kecewa dan iri serta bertanya-tanya, “Kenapa ya nilaiku tidak bisa lebih tinggi daripada dia?”

Ketika masa-masa mengerjakan skripsi berlangsung, banyak temanku yang sudah lebih dulu seminar dan ujian. Aku merasa depresi, tertekan, dan gagal karena apa yang kulakukan hasilnya tidak sesuai dengan harapanku. Nilai-nilai yang kuraih pada semester sebelumnya tidak cukup tinggi daripada teman-temanku yang lain, sehingga ujian skripsiku pun tertunda. Selain itu, aku pun masih harus menyelesaikan beberapa revisi di skripsiku.

Buat teman-temanku yang lain, apa yang kualami mungkin sudah biasa terjadi bagi mereka. Bahkan, ada teman-temanku yang nilai di KHSnya lebih rendah dariku tetapi mereka tetap bersyukur dan menerima hasil tersebut. Sedangkan aku, tidak ada satupun hal yang dapat kusyukuri. Yang kulakukan hanyalah mengeluh dan mengeluh.

Selama beberapa minggu aku pun terpuruk. Aku bertanya pada Tuhan, “Mengapa hal ini terjadi padaku, Tuhan?” Aku berusaha menyegarkan pikiranku. Aku coba bermain game, hangout, dan tidak memikirkan skripsiku. Tapi, semuanya itu tidak benar-benar menghiburku. Aku mungkin bisa tertawa, tapi pikiranku tetap tertuju kepada skripsiku.

Hingga suatu ketika, aku datang ke persekutuan remaja dan pemuda di salah satu gereja di kota Solo. Biasanya setiap hari Sabtu aku memang selalu mengikuti acara ini. Tapi, hari itu sesuatu yang besar terjadi kepadaku. Kakak pembinaku membahas renungan tentang “Jaminan Kemenangan” dengan berlandaskan ayat dari 1 Korintus 10:13 yang isinya berbunyi:

“Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai, Ia akan memberikanmu jalan keluar, sehingga kamu dapat menanggungnya.”

Aku merasa tertampar mendengar ayat ini. Pencobaan-pencobaan yang aku alami ini merupakan pencobaan biasa yang tidak melebihi kekuatanku, lalu mengapa aku harus takut? Mengapa aku harus depresi? Aku pun menangis. Aku sadar akan kesalahanku dan meminta ampun pada Tuhan dengan berdoa.

Dalam doaku, aku mengakui bahwa aku lebih sering mengeluh daripada bersyukur. Aku lebih sering mengandalkan diriku sendiri daripada Tuhan. Aku percaya bahwa masalah yang kualami saat ini Tuhan izinkan terjadi bukan untuk mencelakakanku, tetapi untuk membentuk diriku. Aku pun belajar untuk mengubah pola pikirku. Jika sebelumnya aku mengeluh, merasa lelah dengan segala revisi, dan kecewa karena ujian skripsiku yang lebih lama daripada teman-temanku, sekarang aku mau belajar memahami bahwa proses panjang ini diizinkan Tuhan supaya aku menghasilkan skripsi yang lebih baik dan belajar untuk lebih bersyukur atas apa yang terjadi dalam hidupku. Sebelum aku menutup doaku, aku pun memohon kekuatan dan ketenangan dari Tuhan supaya aku bisa mempercayai-Nya seutuhnya.

Puji Tuhan, setelah berdoa, hatiku sungguh terasa plong dan pikiranku tenang. Di sinilah aku mulai bisa tersenyum kembali. Perlahan-lahan, aku mengumpulkan semangatku. Aku lebih tekun dan sabar untuk mencari setiap penyelesaian dari revisi-revisi yang dosenku ajukan. Skripsiku tidak tuntas dalam sekejap, tetapi puji Tuhan selama beberapa waktu, akhirnya skripsiku itu selesai. Saat ini skripsiku sudah mendapatkan “ACC” dari satu dosen pembimbingku. Aku masih butuh “ACC” dari satu dosen lainnya. Ketika revisi datang, aku sudah tidak lagi mengeluh. Malah, aku mengerjakan revisi-revisi itu dengan enjoy. Aku tidak lagi memandang skripsiku sebagai kegagalan, tetapi sebagai sarana untukku belajar bersyukur.

Tuhan mengizinkan masalah-masalah terjadi untuk memproses kita

Aku pernah menonton sebuah video motivasi di Youtube. Video itu bertutur bahwa setiap orang memiliki waktunya sendiri. Ada yang lulus kuliah di usia 22, ada pula yang di usia 25. Ada yang sehabis lulus langsung mendapat kerja, ada pula yang menganggur beberapa waktu. Ada yang sudah mendapat kerja, tapi dia tak bisa menikmati pekerjaannya.

Makna kehidupan ini tidak ditentukan dari cepat lambatnya seseorang dalam berproses. Setiap orang memiliki waktunya masing-masing untuk meraih kesuksesannya. Aku ingat kisah Thomas Alva Edison. Dia gagal sebanyak 999 kali sebelum akhirnya sukses menemukan penemuan bola lampu yang mengubah dunia. Aku merasa dikuatkan. Ya, aku percaya setiap orang punya waktunya sendiri. Tugasku adalah menikmati prosesnya dan tidak perlu iri atas pencapaian orang lain.

Aku percaya Tuhan akan memberikan jalan keluar atas permasalahan yang kita hadapi. Mungkin jalan keluar itu tidak berupa keadaan yang berubah 180 derajat. Tapi, seperti yang kualami, Tuhan bisa saja memakai hal-hal kecil untuk mengubah cara kita memandang suatu masalah. Lewat firman Tuhan di gereja, lewat video motivasi di YouTube, aku percaya itulah cara Tuhan menegur dan memberiku jalan keluar untuk tidak lagi memandang kegagalanku sebagai sebuah masalah yang begitu besar, melainkan sebagai sarana Tuhan membentuk diriku.

Tuhan bisa saja membuat perjalanan hidup kita selalu lancar. Tapi, melalui masalah yang terjadi, Tuhan ingin kita dibentuk menjadi pribadi yang lebih sabar, tekun, dan mampu memandang sesuatu dari sudut pandang-Nya.

Sekecil apapun masalah kita, bawalah itu ke dalam doa. Tuhan pasti mendengar dan menjawabnya sesuai waktu-Nya. Kiranya sharing dariku ini boleh menguatkan teman-teman untuk terus bersyukur dan percaya kepada Tuhan.

Baca Juga:

Ketika Aku Hampir Terjebak ke dalam Dosa Hawa Nafsu

Aku pernah membiarkan diriku berada dalam kondisi berduaan saja dengan lawan jenisku, hingga suatu ketika hal yang di luar ekspektasiku pun terjadi dan aku hampir saja terjerat ke dalam dosa hawa nafsu.

Siapa Yang Seharusnya Dipuji?

Senin, 5 Mei 2014

Siapa Yang Seharusnya Dipuji?

Baca: Yeremia 9:23-26

9:23 Beginilah firman TUHAN: “Janganlah orang bijaksana bermegah karena kebijaksanaannya, janganlah orang kuat bermegah karena kekuatannya, janganlah orang kaya bermegah karena kekayaannya,

9:24 tetapi siapa yang mau bermegah, baiklah bermegah karena yang berikut: bahwa ia memahami dan mengenal Aku, bahwa Akulah TUHAN yang menunjukkan kasih setia, keadilan dan kebenaran di bumi; sungguh, semuanya itu Kusukai, demikianlah firman TUHAN.”

9:25 “Lihat, waktunya akan datang, demikianlah firman TUHAN, bahwa Aku menghukum orang-orang yang telah bersunat kulit khatannya:

9:26 orang Mesir, orang Yehuda, orang Edom, bani Amon, orang Moab dan semua orang yang berpotong tepi rambutnya berkeliling, orang-orang yang diam di padang gurun, sebab segala bangsa tidak bersunat dan segenap kaum Israel tidak bersunat hatinya.”

Siapa yang mau bermegah, baiklah bermegah karena yang berikut: bahwa ia memahami dan mengenal Aku. —Yeremia 9:24

Siapa Yang Seharusnya Dipuji?

Nilai IQ Chris Langan lebih tinggi dari IQ Albert Einstein. Lingkar bisep Moustafa Ismail berukuran sekitar 79 cm dan ia dapat mengangkat beban seberat 272 kg. Bill Gates diperkirakan memiliki kekayaan milyaran dolar. Orang-orang yang berkemampuan luar biasa atau kaya-raya mungkin tergoda untuk memandang diri mereka lebih tinggi daripada yang sepantasnya. Namun tanpa perlu menjadi seseorang yang sangat pintar, kuat, atau kaya, kita bisa saja memuji diri sendiri atas semua prestasi yang kita raih. Setiap pencapaian mengandung pertanyaan: Siapa yang seharusnya dipuji?

Pada masa bangsa Israel dihukum, Allah berfirman kepada mereka melalui Nabi Yeremia. Dia berkata, “Janganlah orang bijaksana bermegah karena kebijaksanaannya, janganlah orang kuat bermegah karena kekuatannya, janganlah orang kaya bermegah karena kekayaannya” (Yer. 9:23). Sebaliknya, “Siapa yang mau bermegah, baiklah bermegah karena yang berikut: bahwa ia memahami dan mengenal Aku” (ay.24). Allah menghendaki umat-Nya untuk meninggikan Dia dan kemuliaan-Nya di atas apa pun.

Jika kita membiarkan pujian manusia itu untuk memegahkan diri sendiri, kita melupakan bahwa “setiap pemberian yang baik . . . diturunkan dari Bapa segala terang” (Yak. 1:17). Lebih baik kita memberikan pujian dan kemuliaan kepada Allah, tidak hanya untuk menjaga hati kita dari kesombongan, tetapi juga karena memang Dia layak menerima pujian itu. Dialah Allah, Pribadi yang “melakukan perbuatan-perbuatan yang besar . . . keajaiban-keajaiban yang tak terbilang banyaknya” (Ayb. 5:9). —JBS

Bukanlah ‘ku, tetapi hanya Kristus
Layak benar dipuji, disembah.
Bukanlah ‘ku, tetapi hanya Kristus
Patut tetap dimuliakanlah. —Whiddington
(Nyanyikanlah Kidung Baru, No. 28)

Kita diciptakan untuk memberikan kemuliaan kepada Allah.

Menjadi Pusat Perhatian

Sabtu, 19 April 2014

Menjadi Pusat Perhatian

Baca: Roma 5:1-11

5:1 Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus.

5:2 Oleh Dia kita juga beroleh jalan masuk oleh iman kepada kasih karunia ini. Di dalam kasih karunia ini kita berdiri dan kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah.

5:3 Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan,

5:4 dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan.

5:5 Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.

5:6 Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka pada waktu yang ditentukan oleh Allah.

5:7 Sebab tidak mudah seorang mau mati untuk orang yang benar–tetapi mungkin untuk orang yang baik ada orang yang berani mati–.

5:8 Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.

5:9 Lebih-lebih, karena kita sekarang telah dibenarkan oleh darah-Nya, kita pasti akan diselamatkan dari murka Allah.

5:10 Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya!

5:11 Dan bukan hanya itu saja! Kita malah bermegah dalam Allah oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, sebab oleh Dia kita telah menerima pendamaian itu.

Kita malah bermegah dalam Allah oleh Yesus Kristus, Tuhan kita. —Roma 5:11

Menjadi Pusat Perhatian

Saya tidak akan pernah melupakan hari Minggu Paskah di tahun 1993 ketika Bernhard Langer memenangi turnamen golf Masters. Ketika ia berjalan di lapangan dari lubang ke-18 untuk menerima jaket hijau—salah satu anugerah yang paling didambakan dalam dunia olahraga golf profesional—seorang wartawan berkata, “Pastilah hari ini hari yang terbaik di hidup Anda!” Dengan yakin, Langer langsung menjawab: “Menjadi juara di turnamen terbesar di dunia memang hal yang luar biasa, tetapi yang lebih berarti bagiku adalah menjadi juara pada hari Minggu Paskah—untuk merayakan kebangkitan Tuhan dan Juruselamatku.”

Langer memiliki kesempatan untuk membanggakan dirinya sendiri, tetapi ia justru mengalihkan pusat perhatian orang kepada Yesus Kristus. Ini persis seperti maksud Paulus ketika ia berkata, “Bukan hanya itu saja! Kita malah bermegah [membanggakan diri] dalam Allah oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, sebab oleh Dia kita telah menerima pendamaian itu” (Rm. 5:11).

Kita dengan mudah menemukan berbagai cara untuk menarik perhatian orang pada pencapaian kita sendiri, dan membuat daftar berisi hal-hal yang baik dari diri kita sendiri. Bahkan Paulus mengakui bahwa ia memiliki banyak hal yang dapat ia banggakan—tetapi ia menganggap semuanya itu sebagai “sampah” supaya ia mengenal Kristus (Flp. 3:8). Patutlah kita mengikuti teladan Paulus.

Jadi, jika kita sangat ingin membanggakan sesuatu, banggakanlah Yesus dan segala karya yang telah diperbuat-Nya untuk hidupmu. Usahakanlah mengalihkan pusat perhatian orang kepada Yesus. —JMS

Bukan yang ‘ku capai, tetapi yang ‘ku terima,
Anugerah yang diberikan sejak aku percaya;
Buang kebanggaan, rendahkan harga diri—
Aku hanyalah pendosa selamat oleh anugerah! —Gray

Kita tidak bisa meninggikan nama Yesus sementara kita membanggakan diri sendiri.