Posts

Konflik Ada untuk Dihadapi dan Diatasi

Hari ke-20 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 4:2-3

4:2 Euodia kunasihati dan Sintikhe kunasihati, supaya sehati sepikir dalam Tuhan.

4:3 Bahkan, kuminta kepadamu juga, Sunsugos, temanku yang setia: tolonglah mereka. Karena mereka telah berjuang dengan aku dalam pekabaran Injil, bersama-sama dengan Klemens dan kawan-kawanku sekerja yang lain, yang nama-namanya tercantum dalam kitab kehidupan.

Aku pernah pergi jalan-jalan bersama beberapa teman baikku. Aku menganggap mereka punya pemikiran yang sama denganku. Tapi, tak butuh waktu lama, mereka yang kuanggap sepemikiran ini malah berdebat hal-hal yang kecil, mulai dari urusan selera, kebiasaan pribadi, sampai kepada masalah tentang keputusan apa yang terbaik buat kelompok kami.

Perdebatan ini melukai relasiku dengan seseorang dalam kelompok itu. Sebelumnya kami tak pernah bertengkar hebat, tapi semenjak itu, kami jadi merasa sensi satu sama lain dan tidak bahagia. Rasanya mustahil untuk meluangkan waktu 24 jam seminggu bersamanya dengan kondisi seperti ini.

Hingga akhirnya, temanku itu memberanikan diri untuk mengutarakan apa perasaannya terhadapku. Proses ini membutuhkan waktu dan tentunya melibatkan rasa sakit di hati kami berdua. Tetapi, setelah amarah kami mereda, aku mulai menyadari betapa konyolnya sikapku selama ini dalam menghadapi perbedaan pendapat yang ada. Kami pun berdamai. Melihat ke belakang, aku bisa mengatakan sejujurnya bahwa perselisihan itu berubah menjadi hal yang baik buat kami berdua: kami jadi lebih mengerti satu sama lain, bahkan pada akhirnya berteman lebih akrab.

Dalam bagian terakhir dari kitab Filipi, Paulus menggiring perhatian kita kepada sebuah situasi yang serupa ketika ia memohon dengan sangat pada dua orang wanita, Euodia dan Sintikhe, untuk menerima perbedaan yang ada di antara mereka.

Tidak banyak hal yang diketahui tentang kedua wanita ini. Tetapi dalam Filipi 4:3, Paulus berkata bahwa kedua wanita ini “berjuang dengan aku dalam pekabaran Injil” dan “yang nama-namanya tercantum dalam kitab kehidupan” bersama-sama dengan teman sekerja Paulus lainnya. Penjelasan Paulus mengindikasikan bahwa kedua wanita ini ada dalam satu pihak, bekerja untuk sebuah maksud yang sama, dan mengarah ke satu tujuan akhir yang sama—surga.

Ketika kita berada di tengah-tengah konflik, seringkali lebih mudah bagi kita untuk menonjolkan perbedaan. Tetapi, menyadari bahwa kita adalah anak-anak dari Tuhan yang sama, rekan sekerja untuk sebuah maksud yang sama, dan penduduk surga di masa depan akan membantu kita untuk tidak membesar-besarkan perbedaan-perbedaan yang sepele. Akan menjadi lebih baik bagi kita untuk memfokuskan diri pada hal yang benar-benar penting, yaitu apa yang mempersatukan kita di dalam Kristus.

Dalam ayatnya yang ketiga, Paulus meminta temannya yang setia, Sunsugos, untuk membantu proses perdamaian kedua wanita tersebut. Ayat ini menggarisbawahi peran penting yang dapat kita lakukan untuk mempertahankan kesatuan tubuh Kristus. Meskipun kita tidak terlibat secara langsung dalam konflik yang ada, sudah sepatutnya kita peduli terhadap saudara-saudara kita di dalam Kristus dengan berusaha untuk menguatkan mereka dan melakukan apa yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka berdamai.

Paulus mendambakan perdamaian sejati untuk kedua wanita ini. Ia tidak ingin mereka hanya berdamai seadanya, tetapi lebih dari itu “supaya sehati sepikir dalam Tuhan” (ayat 2). Kata dalam bahasa Yunani yang digunakan di sini adalah “phroneo” yang bermakna “melatih pikiran” atau “untuk membuat seseorang tertarik”. Artinya, kita tidak dipanggil untuk sekadar mengucapkan permintaan maaf di bibir saja. Sebaliknya, kita harus meluangkan waktu dan tenaga untuk mengatasi perbedaan yang ada dengan berkomunikasi satu sama lain, bersedia untuk saling mendengarkan, serta mengimplementasikan pengampunan dan cinta kasih.

Konflik adalah hal yang tidak terhindarkan. Seringkali bahkan menimbulkan rasa tidak nyaman dan menyakitkan, dan untuk mengatasinya pun memakan waktu. Meskipun begitu, konflik itu diperlukan untuk membantu kita semakin bertumbuh dalam kasih yang lebih besar bagi satu sama lain. Kapan pun konflik menghadang, kiranya kita mengingat nasihat Paulus kepada jemaat Filipi. Dengan fokus pada identitas kita di dalam Kristus dan apa yang dapat kita bagikan sebagai saudara seiman, kita dimampukan untuk mengatasi konflik dan memperoleh kesatuan sejati di dalam-Nya.—Chong Shou En, Singapura

Handlettering oleh Novelia Damara

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Mengapa perdamaian dan kesatuan teramat penting dalam tubuh Kristus?

2. Apakah Roh Kudus tengah mendorongmu untuk berdamai dengan seseorang? Siapakah yang dapat membantu kalian untuk mengadakan perdamaian?

3. Apakah Tuhan sudah menunjukkan kepadamu orang yang perlu kamu bantu untuk berdamai dengan orang lain?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Chong Shou En, Singapura | Proyek besar Shou En selanjutnya adalah mengalahkan kebiasaan menunda-nunda. Shou juga menyukai musik, olahraga, dan menikmati waktu luangnya bersama keluarga dan teman-teman. Yang paling penting, dia rindu untuk menyenangkan hati Tuhan lebih lagi.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Ketika Tuhan Memulihkan Keluargaku yang Hancur

ketika-tuhan-memulihkan-keluargaku-yang-hancur

Aku dibesarkan di keluarga broken-home. Sejak aku masih kecil, aku sudah sering menyaksikan kebencian, kecemburuan, amarah, dan emosi-emosi negatif yang memperburuk keadaan keluargaku. Ayahku sering mengancam ibuku untuk bercerai, tapi karena usiaku dan saudara-saudaraku yang masih kecil, ibuku tidak setuju.

Ketika aku berusia 11 tahun, kakak lelaki dan perempuanku melarikan diri dari rumah karena tidak tahan lagi dengan masalah-masalah yang harus dihadapi. Waktu itu, keluargaku tidak tergabung ke dalam kelompok agama atau kepercayaan apapun, dan aku juga bukan orang percaya. Sekalipun aku memiliki banyak teman-teman yang Kristen, tapi aku tidak tahu apa-apa tentang Yesus.

Ketika aku duduk di bangku SMP, kedua orangtuaku kembali ingin bercerai. Aku begitu marah dan kecewa karena adik lelaki dan perempuanku menjadi korban dari kemarahan orangtuaku. Keadaan keluarga kami pun memburuk, sehingga adik perempuanku harus tinggal di rumah bibiku selama beberapa bulan. Bahkan, adik lelakiku hampir saja diadopsi oleh orang lain, tapi ibuku menolak. Akhirnya, pamanku memutuskan untuk mengasuh adikku untuk sementara supaya menghidarkannya dari hal-hal yang tak diinginkan. Tatkala kedua orangtuaku bertengkar, sesudahnya ibuku akan pergi menginap di rumah saudaranya selama beberapa hari. Di usiaku yang ke-13 tahun, aku pindah ke sebuah asrama yang jauh dari rumah. Tapi, aku selalu merasa pedih tiap kali berpikir tentang keluargaku. Aku merasa terjebak di dalam situasi tanpa harapan.

Suatu hari, aku pergi ke kamar temanku yang Kristen dan meminjam ponselnya untuk mendengarkan musik. Karena dia seorang Kristen dan melayani sebagai pemusik di gereja, jadi hampir seluruh lagu di ponselnya adalah lagu rohani. Ketika aku mendengar lagu Hillsong yang berjudul “Shout to the Lord”, aku merasa tenang dan nyaman. Sejujurnya, aku tidak tahu apa yang saat itu terjadi kepadaku, tapi aku merasa hatiku tersentuh dan air mataku mulai menetes. Sejak saat itu, aku sering meminjam ponsel temanku hanya untuk mendengarkan lagu-lagu rohani. Setiap kali aku mendengarnya, hatiku merasa terhibur dan tenang.

Di usiaku yang ke-14 tahun, untuk pertama kalinya aku pergi ke gereja. Waktu itu, pendeta di sana menyampaikan khotbah tentang harapan untuk umat manusia. Ketika dia berkata bahwa dia mau berdoa untuk orang-orang yang membutuhkan harapan, aku pun berdiri. Aku mencoba meniru temanku. Aku menutup mataku, tapi aku tidak tahu apa yang harus aku katakan karena aku tidak pernah berdoa dan tidak tahu caranya berdoa. Tatkala pendeta itu berdoa, tangisanku tak dapat kubendung lagi dan sesudahnya aku malah merasa lebih baik. Aku menyadari bahwa ada sesuatu yang terjadi kepadaku, tapi aku tidak tahu itu apa.

Sejak saat itu, aku mulai rutin datang ke gereja untuk belajar lebih banyak tentang Yesus. Aku juga mengikuti sekolah Minggu untuk mendengarkan cerita-cerita tentang Yesus. Semakin aku belajar tentang Yesus, semakin aku yakin bahwa Dialah pengharapan yang aku cari selama bertahun-tahun ini. Aku menyadari bahwa Yesuslah satu-satunya harapan yang bisa mengubahkan hidupku hingga akhirnya aku memberi diriku dibaptis pada usia 15 tahun.

Sebagai orang percaya yang baru, ada tantangan yang harus kuhadapi. Ketika aku memberitahu kedua orangtuaku bahwa aku ingin dibaptis dan meminta ibuku menjadi saksinya, ayahku marah besar. Bahkan, dia tidak segan untuk mengusirku dari rumah jika aku menjadi orang Kristen. Aku coba menjelaskan pada mereka bahwa satu-satunya yang bisa memulihkan keluarga kami hanyalah nama Yesus, tapi ayahku malah menamparku. Aku tidak menyerah. Aku terus datang ke gereja secara rutin dan berdoa supaya keluargaku mau membuka hati mereka untuk menerima kebenaran firman Tuhan.

Suatu hari, aku bertanya pada ayahku tentang mana yang lebih dia pilih; Aku yang dahulu (mengonsumsi alkohol, suka merusak barang-barang, mencemarkan nama baik Ayah, dan selalu membalas perkataan orangtuaku), atau aku yang baru (rajin datang ke persekutuan doa, menanggalkan tabiat burukku, juga berhenti merokok dan minum alkohol). Aku berkata pada Ayah bahwa aku menghormatinya sebagai ayahku seperti Yesus telah mengajarkan kita untuk menghormati orangtua kita. Aku mengucap syukur karena akhirnya ayahku mau menerima imanku kepada Yesus dan mengizinkan ibuku menjadi saksi di hari aku dibaptiskan. Bermula sejak itu, aku terus membagikan harapan tentang Yesus kepada Ibu dan saudaraku. Aku berkata pada mereka bahwa keluarga kami bisa dipulihkan jika kami percaya dan berharap kepada-Nya. Saudara-saudaraku mulai datang ke gereja dan ibuku menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamatnya tatkala dia melihat perubahan-perubahan terjadi di keluarga kami. Kami terus saling menguatkan dan mendoakan satu sama lain. Aku melihat perubahan besar terjadi dalam kehidupan keluargaku.

Sekarang, delapan tahun telah berlalu dan aku dapat dengan yakin mengatakan bahwa keluargaku telah sepenuhnya dipulihkan oleh anugerah dan belas kasihan dari Tuhan Yesus. Ibuku sering berkata, “masa lalu sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.” Ayahku mulai datang ke gereja dan ibuku selalu mendoakannya. Ibuku sekarang melayani sebagai majelis di gereja, dan saudara-saudara perempuanku melayani di bidang musik dan kaum muda. Aku sendiri melayani sebagai pemimpin pujian, pemain musik, dan pernah juga menjabat sebagai ketua kelompok penjangkauan kaum muda.

Dulu, aku adalah seorang yang tak memiliki pengharapan, tapi telah kutemukan harapan itu di dalam Yesus yang menguatkanku. Kisah pertobatanku dimulai dari sebuah lagu “Shout to the Lord”; sekarang aku yakin sepenuhnya bahwa Yesus adalah kekuatanku, Tuhanku, Juruselamatku, dan harapanku yang kekal. Aku berharap kisah yang kubagikan ini boleh menjadi bukti akan betapa besarnya kuasa Tuhan. Tuhan mampu memulihkan kita terlepas dari apapun keadaan kita; Dia adalah harapan untuk mereka yang kehilangan pengharapan.

Jika saat ini kamu sedang menghadapi masalah atau merasa bahwa tidak ada harapan, percaya dan bersandarlah pada Yesus! Kamu akan menemukan bahwa Dialah harapan yang kamu cari.

Baca Juga:

Kematian Chester Bennington: Mengabaikan Rasa Sakit Bukanlah Cara untuk Pulih

Kasus ini hanyalah salah satu dari sekian banyak kasus bunuh diri yang menimpa kalangan selebriti. Tapi, kematian Chester Bennington, seorang vokalis grup band Linkin Park tentunya amat mengejutkan bagi banyak penggemarnya.

Ketika Aku Memahami Arti dari Didikan Orangtuaku

ketika-aku-memahami-arti-didikan-orangtuaku

Oleh Yesi Tamara Sitohang, Semarang

Dulu, aku berpikir masa-masa remajaku adalah fase yang paling buruk dalam hidupku. Aku tinggal dengan orangtua kandungku, tapi hidupku tidak bahagia. Aku menolak ungkapan yang mengatakan “Rumahku, Istanaku”. Bagiku, rumahku adalah tempat yang buruk karena orangtuaku tidak menganggapku sebagai seorang anak, melainkan seorang pekerja yang bisa diperas tenaganya setiap waktu.

Kehidupan ekonomi keluarga kami tidak begitu baik, sehingga kedua orangtuaku harus bekerja banting tulang setiap harinya. Sebagai anak sulung, aku menggantikan peran ibu untuk melakukan segala pekerjaan rumah dan menjaga adik-adikku. Selama sekitar enam tahun, aku nyaris tidak pernah keluar rumah selain pergi ke sekolah dan ke gereja. Setiap hari aku harus mencuci pakaian keluarga, mencuci piring, membersihkan rumah, memasak untuk adik-adikku, dan juga menjaga warung kecil yang kami buka di depan rumah. Terkadang aku jadi merasa iri dengan teman-teman sebayaku yang bisa pergi bergaul, jalan-jalan ke mal, atau menonton film di bioskop.

Aku merasa jenuh dengan rutinitas yang kulakukan. Jadi, sepulang sekolah aku selalu mencari-cari alasan supaya bisa pulang terlambat ke rumah. Kadang, aku juga secara sembunyi-sembunyi pergi untuk bertemu temanku. Ketika ‘kenakalanku’ itu diketahui oleh orangtuaku, mereka marah. Mereka ingin aku bisa hidup disiplin.

Kehidupan yang kujalani seperti itu membuatku menaruh rasa benci kepada kedua orangtuaku. Aku tidak terima karena mereka membuat masa-masa remajaku berlalu dengan hambar. Bahkan, aku sempat bernazar, jika kelak aku memiliki anak, aku akan memberi kebebasan kepada anak-anakku supaya mereka bisa menikmati masa-masa remajanya.

Ketika aku merasa beban yang kutanggung itu terlalu berat, aku selalu menceritakan segala keluh kesahku kepada gembala sidang dan seorang majelis di gerejaku. Hubungan kami sangat akrab dan aku senang berbagi cerita dengan mereka. Gembala sidang dan majelis yang selalu menjadi tempatku mencurahkan keluh kesah sungguh menjadi alat Tuhan untuk menguatkan imanku. Ketika aku curhat kepada mereka, mereka tidak hanya memberiku nasihat, tapi selalu mendukung dan mendoakanku dan meluruskan kembali pandanganku yang salah. Setiap kali bersama mereka, aku merasa tenang dan aman. Teladan yang mereka berikan kepadaku lambat laun membuatku tertarik untuk bisa menjadi seperti mereka. Kelak, aku ingin menjadi seorang yang bijak dan setia menolong orang lain seperti gembala sidangku. Teladan yang mereka berikan itulah yang pada akhirnya membuatku merasa terpanggil untuk membaktikan diriku kelak sebagai seorang hamba Tuhan.

Setamat SMA, tekadku sudah bulat untuk menjadi seorang hamba Tuhan. Sebelum melanjutkan studiku ke jenjang sekolah teologi, aku bergumul hebat. Setiap kali aku merenungkan firman Tuhan, firman itu selalu menegurku supaya aku bisa mengampuni orangtuaku.

Ketika aku telah berstatus sebagai mahasiswa di sekolah teologi, aku dididik dengan amat disiplin. Setiap pagi harus bangun pukul 04:00 dan mengawali hari dengan bersaat teduh. Kemudian, ada kerja bakti membersihkan kebun dan area kampus. Lalu, aku juga dituntut untuk bisa terampil melakukan pekerjaan dapur. Saat itulah aku baru menyadari bahwa apa yang dahulu aku benci melakukannya, ternyata berguna untuk diriku. Orangtuaku mendidikku sedemikian keras supaya kelak didikan itu bisa berguna bagi hidupku. Hatiku terasa pedih ketika aku mengingat perlakuan burukku kepada mereka dulu. Aku baru menyadari betapa berartinya didikan kedua orangtuaku bagi masa depanku. Tuhan tidak salah menempatkan kedua orangtuaku dalam hidupku.

Lewat kejadian itu, aku menyadari bahwa selama ini aku telah salah memandang kedua orangtuaku. Betapa hinanya aku karena telah menaruh dendam kepada mereka yang jelas-jelas mengasihiku. Aku pun menyempatkan diri untuk pulang ke rumah orangtuaku di Bandung dan meminta maaf secara langsung kepada mereka dan mereka memaafkanku. Tidak ada rasa sakit hati lagi di antara kami.

Ketika aku membuka hatiku untuk mengampuni dan meminta maaf kepada orangtuaku, Tuhan memulihkan relasiku dengan mereka. Di sela-sela liburan semester, aku menyempatkan diri untuk pulang ke rumah. Aku membantu orangtuaku mengerjakan segala sesuatu tanpa perlu disuruh-suruh lagi. Ketika relasi itu pulih, kami menjadi amat dekat. Orangtuaku juga sekarang menjadi sahabatku. Kepada mereka aku bisa menceritakan segala sesuatunya, sesuatu yang dulu mustahil aku lakukan. Di setiap waktu luangku, aku selalu menelepon mereka. Oleh karena merekalah, aku menjadi seorang pribadi yang disiplin.

Aku tahu kalau kasihku kepada mereka tidaklah sebanding dengan kasih yang mereka berikan kepadaku. Sekalipun cara mengasihi mereka mungkin berbeda, tetapi mereka tetap mengasihiku. Lewat kedua orangtuaku, aku mengerti bahwa disiplin juga adalah bagian dari kasih.

“Dengarkanlah, hai anak-anak, didikan seorang ayah, dan perhatikanlah supaya engkau beroleh pengertian, karena aku memberikan ilmu yang baik kepadamu; janganlah meninggalkan petunjukku.” (Amsal 4:1-2).

Baca Juga:

Haruskah Aku Keluar dari Pekerjaan Ini, Tuhan?

Tekanan ekonomi memaksaku untuk bekerja sembari berkuliah. Jadilah aku bekerja sebagai seorang copywriter di sebuah agensi iklan di Yogyakarta. Awalnya, aku nyaman dengan pekerjaan ini. Tapi, keadaan berubah setelah tiga bulan aku bekerja hingga aku bergumul, haruskah aku keluar dari pekerjaan ini, Tuhan?

Berkali-kali Gagal Mencari Pekerjaan, Tuhan Membawaku pada Rencana-Nya yang Tak Terduga

Berkali-kali-Gagal-Mencari-Pekerjaan,-Tuhan-Membawaku-pada-Rencana-Nya-yang-Tak-Terduga

Oleh Aryanto Wijaya

Satu hari setelah dinyatakan lulus sebagai Sarjana, aku pikir kehidupan akan menjadi lebih mudah. Aku tidak perlu lagi berpikir keras untuk merangkai kata-kata dalam skripsi, ataupun memikirkan tugas-tugas kuliah lainnya. Tapi, semua itu hanya sementara hingga sebuah pertanyaan menyergapku, “Habis lulus mau ngapain dan kerja di mana?”

Menjadi seorang wartawan adalah cita-citaku sejak masih menjadi seorang mahasiswa baru. Kesukaanku akan menulis dan jalan-jalan menjadi motivasi utamaku untuk kuliah di Jurusan Jurnalistik. Namun, menjelang lulus aku harus menghadapi dilema yang mungkin juga dihadapi oleh teman-teman sejurusan lainnya. Pilih passion atau gaji? Pilihan yang berat untuk seorang fresh graduate, apalagi di Yogyakarta gaji pekerjaan di bidang Jurnalistik hanya sejumlah UMR saja. Akhirnya, aku menjatuhkan pilihanku pada gaji dan untuk mendapatkan gaji besar, tentu aku harus bekerja juga di perusahaan ternama. Itulah yang ada di pikiranku saat itu.

Di minggu pertama setelah ujian skripsi, aku segera mengikuti bursa pameran kerja yang diselenggarakan di Solo. Dari Yogyakarta, dengan bersemangat aku mengendarai motor sambil membawa 30 lembar CV. Tapi, semangatku seketika luntur tatkala dari puluhan perusahaan yang membuka lowongan, tak satu pun yang aku tertarik untuk melamar di sana. Kebanyakan perusahaan-perusahaan itu hanya membuka lowongan sebagai marketing, bidang yang aku tidak terlalu tertarik untuk menekuninya.

Aku belum mau menyerah. Aku bergabung dengan sebuah grup di LINE yang berisikan ratusan mahasiswa pencari kerja. Setiap hari selalu ada info lowongan dan bursa kerja. Satu minggu setelah pameran bursa kerja pertama, aku mengikuti bursa kerja lainnya. Kali ini ada dua perusahaan berskala nasional yang membuatku tertarik. Di kedua perusahaan itu aku melamar dan berharap supaya bisa lolos seleksi.

Perusahaan pertama menggelar seleksi terlebih dahulu. Namun, aku cukup ragu karena perusahaan ini adalah perusahaan rokok, sedangkan aku sendiri tidak merokok. Aku lolos di seleksi administrasi dan besok harus melanjutkan tahap kedua, yaitu psikotes. Namun, di tahap kedua inilah aku gagal. Dari 300-an peserta, hanya 75 orang yang dinyatakan lolos ke seleksi selanjutnya.

Masih belum patah semangat, aku menyiapkan diri untuk seleksi psikotes di perusahaan kedua. Lagi-lagi aku gagal karena aku merasa soal-soal yang diberikan cukup sulit. Waktu itu aku mendaftar dengan teman-teman lainnya. Karena mereka juga tidak diterima, jadi aku tidak merasa terlalu kecewa. Selain mendatangi langsung bursa pameran kerja, aku juga mencoba melamar kerja secara online. Ada sekitar lima perusahaan yang aku kirimkan aplikasi lamaranku, namun tak satu pun yang merespons.

Memikirkan kembali esensi bekerja

Kegagalan itu membuatku berpikir keras. Apakah memang yang kubutuhkan nanti dalam bekerja hanya sekadar gaji? Apakah nama perusahaan yang besar nanti memang akan membuatku bangga? Apakah aku tidak ingin mengembangkan ilmu jurnalistik yang telah kudapat di kuliah lewat pekerjaan yang nanti kukerjakan? Pertanyaan itu membuatku memikirkan ulang langkah apa yang seharusnya kuambil.

Waktu itu, aku melihat ada lowongan kerja sebagai editor untuk sebuah website yang dikelola oleh yayasan non-profit di Jakarta. Aku tertarik untuk mendaftar karena walaupun bukan wartawan, pekerjaan sebagai editor itu erat kaitannya dengan jurnalistik. Tapi, aku ragu karena aku masih mendambakan supaya bisa bekerja di perusahaan ternama dengan gaji besar. Jadi, aku mencoba mendaftarkan diriku ke sebuah perusahaan lainnya yang menurutku terkenal. Walaupun yang kulamar tidak sesuai dengan jurusanku, tapi aku ingin sekali diterima di sana .

Namun, pertanyaan itu kembali menghantuiku. Di tengah rasa bimbang itu, aku memutuskan pergi sejenak ke rumah temanku yang berada di Cilacap supaya bisa menenangkan diri. Aku juga berdoa meminta Tuhan boleh memberiku petunjuk mengenai langkah apa yang harus kuambil. Setiap kali berdoa, aku merasakan ada dorongan di hatiku untuk mencoba mendaftar sebagai editor di yayasan non-profit itu. Setelah berkonsultasi dengan temanku, dia menjawab tidak ada salahnya untuk mencoba saja mendaftar di yayasan itu.

Akhirnya aku mendaftar di yayasan itu dan mengikuti serangkaian seleksi rekrutmen. Satu minggu berlalu, tatkala aku membuka e-mail, aku kaget. Perusahaan besar yang kulamar mengirimi aku e-mail bahwa aku lolos tahap psikotes dan diharap melanjutkan tahap seleksi di Jakarta. Sementara itu, yayasan non-profit itu juga mengirimi aku pesan serupa supaya aku tiba di Jakarta tepat keesokan hari.

Jika beberapa bulan lalu aku sempat khawatir karena ketakutan tidak bisa mendapat pekerjaan, hari itu aku bingung karena dua pilihan yang tersaji di depanku. Aku takut apabila pilihan yang kuambil ternyata salah. Aku berdoa lagi dan lagi, serta menceritakan kebimbangan ini kepada teman-teman di kost. Akhirnya, di malam hari aku mengambil kesimpulan demikian, “Perusahaan yang menerimaku duluan, itulah yang akan kuambil.” Seberapa pun gaji yang nanti akan diberikan, selama itu cukup untukku memenuhi kebutuhan hidup, aku akan menerima tawaran pekerjaan itu.

Keesokan paginya aku terbang ke Jakarta. Setelah melakukan wawancara lanjutan, yayasan non-profit itu menerimaku bekerja sebagai seorang editor. Sesuai dengan keputusanku malam sebelumnya, aku menerima tawaran bekerja di sana. Kemudian, aku mengirim e-mail mengundurkan diri ke perusahaan yang seharusnya aku melakukan seleksi lanjutan.

Pilihanku untuk bekerja sebagai seorang editor

Setelah aku menerima tawaran kerja sebagai editor, aku tidak lagi mencari-cari pekerjaan lainnya. Aku mengundurkan diri dari grup pencari kerja di LINE. Sembari menanti wisuda di akhir November 2016, aku menyiapkan diri untuk pindah ke Jakarta. Sejujurnya, aku takut akan hari-hariku nanti setelah lulus kuliah. Tapi, aku teringat akan firman Tuhan yang berkata bahwa “kesusahan sehari cukuplah untuk sehari”. Aku berdoa supaya di hari-hari yang kulewati, aku boleh belajar taat.

“Apakah menjadi editor adalah memang panggilan Tuhan dalam hidupku?” Tanyaku dalam hati. Waktu itu aku tidak tahu jawabannya, apakah ya atau tidak. Tapi, satu yang aku tahu bisa lakukan adalah coba saja jalani dulu pekerjaan ini. Satu bulan pertama bekerja sebagai editor adalah masa-masa transisi. Di samping aku harus menyesuaikan diri dari lingkungan hidup yang kontras antara Yogyakarta dan Jakarta, aku juga harus belajar segala sesuatu tentang dunia editor dari nol. Ilmu yang kudapat selama kuliah ternyata belum cukup untuk menjadi seorang editor yang tak hanya mampu mengedit, namun juga mampu menulis dan bertindak amat teliti.

Setiap harinya, aku menerima tulisan-tulisan yang dikirim oleh penulis dari berbagai daerah di Indonesia. Tulisan-tulisan mereka itu unik. Ada yang berkisah tentang opininya, namun banyak pula yang bercerita mengenai pengalaman hidupnya. Dari sekian banyak tulisan, biasanya ada beberapa tulisan yang membuatku terharu. Ada seseorang yang mengalami kecelakaan, namun tidak menyerah dan tetap sanggup mengakui Tuhan itu baik. Ada yang menulis tentang hatinya yang hancur setelah berpacaran sekian lama namun putus tanpa alasan yang jelas. Bahkan, ada pula seorang nenek berusia 71 tahun yang tubuhnya tak lagi prima dan penglihatannya kabur, namun masih semangat menulis.

Penulis-penulis inilah yang membuatku bersukacita setiap harinya dan menguatkanku bahwa pekerjaan inilah yang memang Tuhan siapkan untukku. Untaian kata yang mereka kirimkan seolah menjadi bahan bakarku untuk semangat bekerja sebagai editor setiap harinya. Sekarang, aku telah tujuh bulan bekerja di yayasan non-profit ini dan menemukan diriku menikmati pekerjaan ini.

Dahulu, aku sempat berpikir bahwa pekerjaan yang ideal itu diukur dari seberapa besar gaji yang diterima. Dalam benakku, dengan gaji besar aku bisa bahagia, bisa membeli apa pun yang kuinginkan, juga bisa traveling ke tempat-tempat baru yang belum pernah aku kunjungi. Namun, pekerjaanku sebagai editor memberiku paradigma yang baru tentang pekerjaan.

Aku bersyukur karena lewat gaji yang kuterima setiap bulannya, aku bisa memenuhi kebutuhan hidupku sendiri, mendukung orangtuaku, menabung, juga bisa pergi traveling ke beberapa tempat di pulau Jawa. Aku bekerja memang untuk mendapatkan gaji, namun lebih tinggi dari itu, pekerjaanku adalah untuk kemuliaan Tuhan sebagaimana Rasul Paulus pernah berkata, “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia” (Kolose 3:23).

Sebagai seorang mantan fresh graduate, aku tentu memiliki mimpi-mimpi besar. Hingga saat ini pun mimpi-mimpi itu tetap ada, namun lebih mengerucut. Aku masih berharap kelak dapat melanjutkan pendidikan kembali, namun tugasku saat ini adalah memberikan yang terbaik lewat pekerjaanku. Pekerjaanku adalah bagian dari rencana Tuhan supaya aku bisa memuliakan-Nya. Ketika aku menjadikan Tuhan sebagai yang utama dan terutama, aku percaya bahwa Tuhan sendirilah yang akan memenuhi tiap-tiap kebutuhanku seperti firman-Nya berkata “Janganlah kamu kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?” (Matius 6:25).

Apakah kamu sedang bergumul mencari pekerjaan? Jangan menyerah dan tetaplah berdoa. Naikkan permohonanmu kepada-Nya dan biarkan Tuhan bekerja dalam hidupmu hingga kelak, lewat pengalaman-pengalaman hidupmu kamu boleh melihat pekerjaan Tuhan yang luar biasa.

“Aku tahu Engkau sanggup melakukan segala sesuatu dan tidak ada rencana-Mu yang gagal” (Ayub 42:2).

Baca Juga:

Gagal Bukan Berarti Masa Depanku Suram, Inilah Kisahku Ketika Dinyatakan Tidak Lulus SMA

Delapan tahun lalu, tepatnya di tanggal 16 Juni 2009 adalah hari yang tidak pernah bisa kulupakan. Siang itu, aku dan teman-teman seangkatanku sedang was-was menantikan pengumuman kelulusan kami. Seperti peribahasa untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, hari itu aku menerima sebuah amplop pengumuman yang menyatakan bahwa aku tidak lulus SMA.

Gagal Bukan Berarti Masa Depanku Suram, Inilah Kisahku Ketika Dinyatakan Tidak Lulus SMA

Gagal-Bukan-Berarti-Masa-Depanku-Suram,-Inilah-Kisahku-Ketika-Dinyatakan-Tidak-Lulus-SMA

Oleh Abyasat Tandirura, Toraja

Delapan tahun lalu, tepatnya di tanggal 16 Juni 2009 adalah hari yang tidak pernah bisa kulupakan. Siang itu, aku dan teman-teman seangkatanku sedang was-was menantikan pengumuman kelulusan kami. Seperti peribahasa untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, hari itu aku menerima sebuah amplop pengumuman yang menyatakan bahwa aku tidak lulus SMA.

Aku sangat sedih dan merasa tidak percaya. Tatkala teman-temanku bersukaria menerima kelulusan mereka, aku menangis terisak-isak. Beberapa teman dan guruku datang memelukku. Waktu itu suasana hatiku kacau. Aku merasa bahwa Tuhan berlaku tidak adil kepadaku.

Dalam benakku, aku tidak pernah membayangkan akan kegagalan yang menimpaku. Selama tiga tahun aku telah berusaha dan aku percaya bahwa tidak ada perjuangan yang sia-sia. Tapi, hari itu harapanku untuk lulus menjadi tinggal kenangan. Akupun bertanya-tanya dalam hati. Apakah Tuhan tidak memberkatiku selama tiga tahun belajar? Mengapa harus aku yang mengalaminya? Sebegitu bodohkah aku sehingga tidak lulus? Apa yang harus kulakukan untuk masa depanku?

Di ruangan kepala sekolah, guru-guruku memberiku semangat dan nasihat. Mereka mengatakan kepadaku untuk tetap sabar karena ada hikmah di balik kegagalan ini. Waktu itu, ketua kelasku yang sekarang telah dipanggil Tuhan juga menepuk pundakku dan menyemangatiku. Dukungan dari mereka membuatku sedikit tenang walaupun masih sesekali meneteskan air mata. Di lubuk hatiku, aku berdoa meminta kekuatan supaya aku bisa menghadapi kenyataan yang sulit itu.

Aku pulang ke rumah dengan hati yang remuk redam. Ingin rasanya menyembunyikan diriku dari orang lain. Aku berbaring di kasur, mengurung diri berjam-jam, dan menatap langit-langit kamarku dengan tatapan kosong. Aku kembali menangis. Aku malu kepada keluargaku, guru-guruku di sekolah, teman-temanku, juga kepada guru sekolah mingguku dulu.

Selama dua hari aku merasakan semangatku hilang. Dalam benakku, aku membayangkan masa depanku yang mungkin saja suram karena tidak lulus SMA. Tapi, di tengah kesedihan itu aku teringat perkataan guru sekolah mingguku dulu ketika di gereja. Dia pernah berkata bahwa kita bisa mencurahkan isi hati kita kepada Tuhan Yesus dengan berdoa. Aku sadar bahwa aku terlalu banyak mengeluh dan tidak berdoa kepada Tuhan.

Dalam doaku, aku berdoa bukan supaya Tuhan mengubah ketidaklulusanku menjadi lulus, melainkan supaya aku boleh diberi kekuatan untuk menjalani hari-hariku ke depan. Sekalipun hatiku masih berat untuk menerima kegagalan itu, tapi aku tetap berusaha untuk berdoa. Aku selalu menangis ketika berdoa dan mencurahkan isi hatiku kepada-Nya.

Beberapa hari berlalu. Salah seorang guruku memberiku kabar untuk mempersiapkan diri mengikuti ujian paket C. Mendengar kabar itu, hatiku melonjak gembira. Ternyata, aku masih punya kesempatan untuk lulus. Selain aku, ada beberapa teman dari sekolahku dan juga dari sekolah-sekolah lain yang senasib denganku dan harus mengikuti ujian paket C.

Bagiku, ujian paket C yang kuikuti itu adalah sebuah cara Tuhan untuk membangkitkan kembali semangat hidupku. Lewat kesempatan itu, Tuhan menunjukkan bahwa Ia mengasihiku dan tidak membiarkanku sedih berlarut-larut. Dia memberiku kesempatan satu kali lagi untuk bangkit. Keluarga dan teman-temanku juga memberiku semangat. Ayahku berkata, “Kegagalan itu bukan akhir dari segalanya. Kegagalanmu adalah keberhasilan yang tertunda.”

Sejak saat itu, aku bertekad untuk bangkit dari kekecewaan. Aku belajar untuk menerima kegagalan itu dengan tulus dan tidak lagi membanding-bandingkan diriku dengan teman-teman lain. Setelah ujian paket C itu selesai kuikuti dan aku dinyatakan lulus, aku melanjutkan pendidikanku di perguruan tinggi vokasi selama empat tahun. Aku mengambil Jurusan Teknik Kimia, Program Studi Teknologi Kimia Industri, di sebuah politeknik negeri di kota Makassar. Sekarang, aku telah lulus dan bekerja. Aku tahu bahwa perjalanan hidupku masih panjang dan aku harus memiliki niat dan kerja keras untuk mewujudkan masa depanku.

Kegagalan yang kualami delapan tahun silam membukakan mataku akan penyertaan Tuhan dalam hidupku. Tatkala aku tidak lulus Ujian Nasional, Tuhan mengizinkan hal itu terjadi supaya aku lebih kuat apabila di masa depan ada kegagalan-kegagalan lain yang harus kuhadapi. Lewat proses yang menyakitkan, Tuhan membentuk aku supaya menjadi pribadi yang dewasa dalam iman dan sikap. Pengalamanku akan kegagalan inilah yang menjadi sebuah kesaksian hidupku tentang betapa indahnya karya Tuhan. Kepada teman-temanku yang pernah mengalami kegagalan, aku membagikan kesaksianku dan menguatkan mereka bahwa kegagalan yang mereka alami bukanlah akhir dari segalanya.

Sebagai manusia biasa, kegagalan-kegagalan yang pernah kita alami adalah hal yang wajar. Kita tidak tahu kapan dan kegagalan apa yang akan menimpa kita. Lewat pengalaman kegagalan yang pernah kualami, aku mendapatkan pelajaran hidup bahwa, apapun bentuk kegagalan yang pernah, sedang dan yang mungkin akan menimpa kita, jangan sekali-kali menyalahkan Tuhan. Rancangan-Nya selalu yang terbaik dan indah pada waktunya. Jangan pernah berpikir, jika kita sedang gagal, tidak ada lagi harapan. Tuhan setia dengan janji-Nya, sebagaimana Ia berkata, “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau” (Ibrani 13:5b).

Selalu ada harapan bagi setiap orang yang percaya kepada Kristus. Mengucap syukurlah dalam segala hal. Jangan lupa untuk selalu mengandalkan Tuhan dalam setiap perjuangan-perjuangan kita.

“Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang” (Amsal 23:18).

Baca Juga:

Sekalipun Aku Tuli, Tetapi Tuhan Tidaklah Tuli

Pernahkah kalian bergumul karena kekurangan fisik yang kalian alami? Aku pernah mendapatkan perlakuan tidak baik, merasa dikucilkan, bahkan juga mengalami diskriminasi karena sebuah cacat fisik yang kualami sejak lahir. Hidup dengan keadaan disabilitas sejatinya tidaklah mudah buatku, namun karena penyertaan Tuhan sajalah aku bisa melewati hari-hariku.

Sekalipun Aku Tuli, Tetapi Tuhan Tidaklah Tuli

Sekalipun-Aku-Tuli,-Tetapi-Tuhan-Tidaklah-Tuli

Oleh Evant Christina, Jakarta

Pernahkah kalian bergumul karena kekurangan fisik yang kalian alami? Aku pernah mendapatkan perlakuan tidak baik, merasa dikucilkan, bahkan juga mengalami diskriminasi karena sebuah cacat fisik yang kualami sejak lahir. Hidup dengan keadaan disabilitas sejatinya tidaklah mudah buatku, namun karena penyertaan Tuhan sajalah aku bisa melewati hari-hariku.

Ketika aku masih berada dalam kandungan, virus menginfeksi janin dalam rahim ibuku. Virus itu kemudian menyerang indra pendengaran dan penglihatanku. Ketika janin itu genap berusia sembilan bulan, maka terlahirlah aku ke dunia dalam keadaan tuli dan mata yang juling. Ketika aku beranjak dewasa aku sempat bertanya-tanya mengapa Tuhan mengizinkan aku mengalami cacat fisik seperti ini? Bahkan, aku pernah menyalahkan Tuhan karena aku terlahir dalam keadaan cacat.

Di kala aku bertanya-tanya tentang apa maksud Tuhan dari cacat ini, aku menemukan sebuah video kesaksian yang diunggah di YouTube. Video itu diberi judul “Tuhan tidak tuli” dan bercerita tentang kesaksian dari Yahya Tioso, seorang penyandang tunarungu sejak lahir yang kini telah bekerja sebagai desainer. Yahya tidak menyerah sekalipun karena cacat fisiknya dia sempat tidak memiliki teman dan merasa dikucilkan. Di video itu, dia juga menyebutkan sebuah ayat yang diambil dari Yohanes 9:3, ketika murid-murid bertanya kepada Yesus mengapa ada seorang yang dilahirkan buta. Yesus menjawabnya demikian, “Bukan dia dan bukan juga orangtuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.” Apa yang baru saja kusaksikan itu menyadarkanku bahwa aku tidak sendiri. Ada orang-orang lain di luar sana yang juga memiliki disabilitas tetapi bisa memuliakan Tuhan lewat kehidupan mereka.

Sejak masih kanak-kanak di sekolah Minggu dahulu, aku bercita-cita ingin menjadi saluran berkat buat orang lain lewat pelayanan. Aku melihat teman-teman di kelasku bisa menyanyi, menari, dan tampil di panggung di hadapan banyak orang. Aku ingin bisa seperti mereka, tetapi karena disabilitasku, aku tidak bisa melakukan seperti yang mereka lakukan. Ketika teman-temanku yang lain bernyanyi riang bersama-sama, aku hanya sekadar mengikuti irama mereka menyanyi. Kadang juga aku terdiam sambil menghayati lagu, atau bertepuk tangan.

Kerinduanku untuk melayani itu dijawab Tuhan. Dia memberiku sebuah kesempatan untuk mulai melayani-Nya. Karena aku tidak bisa bernyanyi, aku diberi kesempatan untuk menjadi seorang pembawa kantong persembahan. Aku bersukacita atas pelayanan sederhana yang bisa kulakukan saat itu. Seiring waktu beranjak, harapan dan semangatku untuk melayani tidak pudar hingga aku masuk ke komisi remaja.

Di masa remaja ini aku berharap bisa berbaur dengan teman-teman baru. Akan tetapi, harapanku untuk bisa berbaur dengan teman-teman itu tidak mudah. Banyak dari mereka tidak memahamiku sehingga aku merasa dikucilkan. Lama-kelamaan aku mulai undur diri dan jarang hadir dalam pelayanan di komisi remaja gerejaku.

Aku berdoa kepada Tuhan dan menceritakan segala keluh kesahku kepada-Nya. Tuhan tidak tertidur, Dia mendengar isi doaku. Tak lama kemudian, salah seorang teman senior di komisi remaja bertemu dan bertanya mengapa aku sudah jarang terlihat hadir. Aku bingung mau menjawab apa, akhirnya malah ibuku yang menjelaskan masalahku kepadanya. Setelah pertemuan itu, dia mengajakku untuk kembali bergabung dan melayani Tuhan bersama-sama di komisi remaja.

Kadang-kadang, setiap minggunya, aku diberi tugas pelayanan sebagai penerima tamu dan pembawa kantong persembahan. Aku tidak pernah menolak saat selalu diberi tugas yang sama. Tugas pelayanan inilah yang selalu aku lakukan dari sejak kanak-kanak di sekolah Minggu, remaja, hingga sekarang di komisi pemuda. Lalu, aku juga amat bersyukur karena Tuhan boleh mempercayakan tugas pelayanan lainnya kepadaku. Setelah beberapa kali diberi kesempatan menjadi panitia untuk suatu acara, aku pernah masuk kepengurusan komisi pemuda dan melayani di divisi marketing and communication selama dua tahun.

Akan tetapi, perjalanan pelayananku tidak sepenuhnya mulus. Tidak semua teman-temanku menerimaku apa adanya. Kadang, ada pula yang memandangku sebelah mata karena disabilitasku. Ada yang memandangku penuh keraguan, menganggapku tidak bisa melakukan apa-apa karena aku tuli.

Di tahun ini aku tidak diberikan lagi kesempatan untuk melayani sebagai pengurus di komisi pemuda setelah masa kepengurusan dua tahun selesai. Sejujurnya aku merasa sedih dan merasa Tuhan seolah tidak adil karena aku adalah seorang penyandang tunarungu, sedangkan orang lain bisa melayani-Nya dengan mudah sesuai dengan talenta masing-masing. Tapi, kemudian aku ingat sebuah ayat yang mengatakan bahwa rencana Tuhan tidak pernah salah, seperti tertulis demikian, “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal” (Ayub 42:2).

Alih-alih menjadi kecewa dan terpuruk, aku mencoba untuk menggali potensi diriku dan menggunakannya untuk melayani Tuhan. Pahit manis kehidupan pelayananku, kehidupan sekolah hingga kuliahku, semuanya aku coba tuangkan dalam untaian kata. Aku menulis cerita-cerita dari pengalaman hidupku, mempublikasikannya di blog pribadiku, juga mengirimkannya ke beberapa situs rohani Kristen. Aku berharap bahwa kisah hidupku bisa menjadi kekuatan untuk orang lain yang membacanya.

Aku tahu, bukan aku saja yang memiliki pergumulan hidup. Tapi, hendaknya semangat kita tidak padam. Tuhan tidak tuli atapun juga tertidur. Dia selalu mendengar setiap doaku, entah itu yang kubisikkan ataupun hanya terlintas di hati. Dia memelukku setiap kali aku merasa lemah dan tak berdaya. Dia memberiku kekuatan untuk melewati setiap hari.

Untuk menutup kesaksian ini, aku berharap apabila kamu memiliki teman-teman penyandang disabilitas yang punya kerinduan untuk melayani dan berkarya, berilah kesempatan kepada mereka untuk melakukannya. Lalu, untuk teman-teman penyandang disabilitas, jangan pernah putus asa, tetap semangat melayani Tuhan dalam keadaan apapun. Tuhan memiliki rencana yang baik atas hidup setiap kita. Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Mengapa Aku Tidak Puas dengan Hidupku?

Pekerjaanku sebagai seorang dokter kadang membuatku stres. Setiap harinya aku harus mengambil keputusan yang berkaitan dengan nyawa manusia. Tanggung jawab yang kuemban ini pernah membuatku merasa tidak puas dengan diriku sendiri.

Mengapa Aku Tidak Puas dengan Hidupku?

Mengapa-Aku-Tidak-Puas-dengan-Hidupku-

Oleh Priscilla Stevani
Artikel asli dalam bahasa Inggris: A Life Lesson in an Elevator

Suatu pagi, aku sedang turun dari lantai 27 menggunakan lift.

Di lantai 19, lift itu berhenti. “Selamat pagi,” sapa seorang turis kepadaku sembari membawa segala barang bawaannya. “Selamat pagi” jawabku sambil tersenyum. “Andai saja aku bisa seceria turis ini dan libur seharian,” pikirku saat itu.

Lift yang kutumpangi berhenti lagi di lantai 15. Seorang anak sekolah dan ibunya memasuki lift. “Andai saja aku bisa bertukar posisi dengan anak sekolah ini,” pikirku kembali. Aku yakin bahwa setidaknya hidup anak ini masih lebih mudah dibandingkan hidupku. Toh, yang perlu dikhawatirkan anak ini kurasa hanya hal-hal sepele seperti pekerjaan rumah, ujian, dan pacar mereka.

Lift yang kutumpangi kembali berhenti untuk ketiga kalinya. Kali ini lift berhenti di lantai 10. Seorang pria yang memakai jas memasuki lift. Pria ini membawa koper dan ekspresi wajahnya terlihat lelah. Aku berpikir bahwa mungkin hidup pria ini masih lebih baik dibandingkan hidupku. Sudah lama sebenarnya aku ingin menjadi seorang pegawai kantoran yang punya jam kerja tetap, cukup duduk di kursi sambil menatap layar komputer. “Setidaknya pria ini tidak usah bekerja ketika shift malam di rumah sakit atau bekerja 24 jam tanpa henti dalam sekali waktu,” pikirku.

Tidak pernah ada hari yang santai apabila kamu bekerja di rumah sakit. Aku merasa sangat stres karena pekerjaanku ini berhubungan dengan keselamatan nyawa manusia. Sebagai dokter, aku harus mengambil keputusan yang menyangkut nyawa seseorang, dan akupun harus bertanggungjawab atas keputusan itu. Kadang, ketika aku sudah sampai di rumah, aku masih bertanya-tanya di dalam hati apakah aku sudah membuat keputusan yang tepat? Apakah aku sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan nyawa mereka? Adakah kesalahan yang kubuat? Pikiran-pikiran seperti ini seringkali membuatku merasa semakin lelah.

Tidak biasanya lift yang kutumpangi begitu ramai. Di tengah kepadatan itu, aku mengamati orang-orang di sekitarku dan membayangkan apabila aku berada di posisi mereka. Tapi, aku bertanya-tanya, apakah mereka juga berpikir sepertiku? Bisa saja anak sekolah itu berpikir bahwa hidup orang lain masih lebih baik dari hidupnya sendiri. Atau mungkin saja pegawai kantoran itu berharap untuk menjadi seperti diriku.

Lalu aku pun terpikir: Apakah aku tidak bersukacita karena aku terus membandingkan hidupku dengan hidup orang lain? Di dalam Amsal 14:30 tertulis: Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati membusukkan tulang. Suka membanding-bandingkan malah membuatku merasa tidak pernah puas dengan hidupku. Bukan manfaat yang kudapat, tapi hanya rasa lelah yang semakin menjadi. Ketika kita tidak puas dengan hidup kita dan terus-menerus membandingkannya dengan hidup orang lain, kita malah akan semakin tidak bersukacita. Kita akan gagal menyadari bahwa Tuhan memberikan kepada setiap orang masing-masing salib yang harus ditanggungnya.

Pada saat itulah aku sadar bahwa aku harus berhenti membanding-bandingkan hidupku dengan hidup orang lain. Aku cukup fokus menanggung beban yang telah Tuhan berikan kepadaku. Memang tidak mudah, tapi aku tahu bahwa Tuhan pasti menolongku. Aku juga menyadari bahwa ketika aku berhenti mengecek akun media sosialku serta berhenti membandingkan hidupku dengan apa yang kulihat di sana, itu menolongku untuk berhenti membanding-bandingkan diriku dengan orang lain.

Ketika pintu lift terbuka di lantai dasar, suara langkah kaki dari orang-orang yang keluar membuatku melirik ke sepatu yang tengah kupakai. Ada tanggung jawab yang harus kuemban. Ada salib yang harus kupikul. Namun, aku bersyukur karena aku tahu aku tidak akan pernah sendiri. Ada Yesus yang selalu menyertaiku.

Baca Juga:

Tantangan Mengasihi Keluargaku yang Berbeda Denganku

Kita tidak bisa memilih untuk dilahirkan oleh siapa dan dari keturunan apa. Akupun demikian. Aku tidak pernah memilih untuk lahir dari kedua orangtua yang memiliki keyakinan iman berbeda. Awalnya, kehidupan keluarga kami baik-baik saja hingga terjadilah sebuah peristiwa yang mengubahkan kehidupan kami.

Wallpaper: Yohanes 14:6

“Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yohanes 14:6)

Yuk download dan pakai wallpaper bulan ini!

Tantangan Mengasihi Keluargaku yang Berbeda Denganku

Tantangan-Mengasihi-Keluargaku-yang-Berbeda-Denganku

Oleh Katarina Tathya Ratri, Jakarta

Kita tidak bisa memilih untuk dilahirkan oleh siapa dan dari keturunan apa. Aku pun demikian. Aku tidak pernah memilih untuk lahir dari kedua orangtua yang memiliki keyakinan iman berbeda. Awalnya, kehidupan keluarga kami baik-baik saja hingga terjadilah sebuah peristiwa yang mengubahkan kehidupan kami.

Waktu itu, dalam keadaan pas-pasan kami tinggal di sebuah rumah kecil yang berukuran 3×3 meter. Ayahku bekerja sebagai buruh pabrik, sedangkan ibuku bekerja sebagai staf HRD di perusahaan tekstil. Setiap sore aku selalu menyambut mereka dengan riang dan bertanya, “Bawa oleh-oleh, ngga?” Kemudian mereka memberiku roti isi coklat pisang, atau kadang mereka hanya pulang membawa senyuman.

Kehidupan keluarga kami yang baik-baik saja itu mulai terguncang ketika ayahku terkena PHK. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, ayah mencoba merintis berbagai jenis usaha, mulai dari berjualan tanaman hias, membuka tempat fotokopi, hingga membuka warnet. Tapi, semuanya gagal dan justru membuat keluarga kami terlilit utang dan makin kekurangan. Akhirnya, untuk tetap mendapatkan uang, kami menyewakan rumah tinggal kami kepada orang lain. Kami terpaksa pindah dan menumpang di rumah orangtua ibuku.

Waktu itu aku masih duduk di bangku SMP. Melihat ibuku yang harus membanting tulang bekerja dan ayahku yang hanya diam di rumah, hatiku menjadi sedih. Ayah memang bukan tipe seorang yang ulet. Ketika bisnis yang dirintisnya semuanya gagal, ia mudah menyerah. Lama-kelamaan, utang-utang yang tidak segera dilunasi itu semakin menumpuk karena ayah sampai saat itu tidak bekerja apapun. Aku jadi tidak respek terhadap ayahku dan sering melontarkan kata-kata kasar kepadanya sebagai ungkapan kemarahanku.

Permasalahan tidak berhenti di situ. Kedua orangtuaku menganut iman yang berbeda. Ayah adalah seorang Katolik, sedangkan ibuku Muslim. Kakek dan nenek dari ibuku seringkali menyakiti aku karena aku seorang Kristen. Karena aku bertumbuh di lingkungan yang demikian, aku jadi tidak terlalu peduli dengan segala hal yang berkaitan dengan agama. Sejak kecil, aku tidak mendapatkan teladan rohani dari ayah, apalagi dari ibuku. Aku hanya mengenal Tuhan sedikit-sedikit dari pelajaran agama di sekolah.

Sebenarnya, pada mulanya aku tidak memilih untuk menjadi orang Kristen. Waktu itu, syarat kedua orangtuaku yang menikah beda agama adalah anak pertama mereka harus langsung dibaptis. Sampai aku beranjak SMA, aku tidak memedulikan siapa Tuhan yang aku sembah. Hingga di tahun 2012, Tuhan menjamah hatiku. (Kisah sebelumnya sudah kutuliskan di sini). Dia memulihkan setiap luka di hatiku dengan cara-Nya yang ajaib dan saat itu aku berkomitmen untuk mau mengenal-Nya lebih dalam lagi. Namun, belum sempat aku memperbaiki hubungan dengan ayahku, Tuhan sudah terlebih dahulu memanggilnya. Ayahku meninggal dunia karena serangan jantung. Sejak saat itu, aku berjanji untuk belajar mengasihi siapapun di dalam hidupku, sekalipun mereka memperlakukanku dengan buruk. Sejujurnya aku menyesal karena belum sempat meminta maaf kepada ayahku. Bahkan, yang membuatku teramat sedih adalah di hari lebaran terakhir, ketika semua anggota keluarga saling bermaaf-maafan, aku malah tidak mau menjabat tangan ayahku.

Tahun-tahun berlalu, sembari melanjutkan kuliah di Yogyakarta, aku bekerja sekaligus melayani Tuhan dengan mengajar anak-anak di desa di kawasan Gunungkidul. Suatu hari, aku pulang ke rumah. Dengan wajah bahagia, aku bercerita pada ibuku tentang pelayanan yang kulakukan di tengah tanggung jawabku untuk kuliah dan bekerja. Tapi, respons yang kudapat ternyata di luar ekspektasiku. Bukan dukungan atau ungkapan rasa bangga, ibu malah memarahiku dan perbincangan kami menjadi debat sengit yang membuat ibu menangis. Bagiku, membantu anak-anak yang kekurangan itu adalah pekerjaan mulia, tapi bagi keluargaku itu kebodohan. Bagi mereka, tidak seharusnya aku meluangkan waktuku untuk melakukan pelayanan seperti itu karena keadaan keluarga kami tidak berkelimpahan.

Aku mengerti kalau ibu sudah berjuang keras menghidupi aku dan adikku. Aku juga paham akan kekhawatirannya apabila keluarga kami kekurangan. Tapi, lebih daripada itu aku juga tahu bahwa aku tidak perlu khawatir karena Tuhan setia memelihara aku sebagaimana firman-Nya berkata, “Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu?” (Matius 6:26).

Aku mengamini dan mengimani firman itu, tetapi keluargaku tidak. Berkali-kali Tuhan menolongku ketika aku kekurangan di tempat perantauan. Di tengah kepadatan waktuku antara kuliah dan bekerja, Tuhan menuntunku senantiasa dan dia mengajariku untuk tidak menyerah. Aku bisa membuktikan pada ibuku bahwa aku bisa membiayai sendiri hidupku dan tetap menolong orang lain yang kekurangan. Aku juga bisa buktikan kepadanya bahwa aku bisa lulus kuliah dengan nilai yang memuaskan dan tetap konsisten melakukan pelayanan. Semuanya itu kulakukan bukan supaya aku menyombongkan diri, tapi aku ingin supaya keluarga boleh melihat bahwa Tuhan sesungguhnya tidak pernah meninggalkanku.

Sekarang, aku telah menyelesaikan studiku dan aku amat bersyukur karena Tuhan memberiku pekerjaan dengan pendapatan yang lebih daripada cukup. Tapi, tugasku belum selesai sampai di situ. Aku masih belajar untuk mencintai keluarga dengan tulus. Di sela-sela pekerjaanku, aku menyempatkan diriku untuk pulang ke kampung halaman. Meskipun aku tidak pernah memilih untuk dilahirkan di keluarga ini, tapi aku percaya bahwa mereka adalah yang terbaik yang Tuhan berikan. Pengalaman demi pengalaman yang terjadi inilah yang melatih diriku untuk menjadi pribadi yang kuat.

Dari apa yang aku alami, aku belajar untuk tetap mengasihi siapapun. Ketika pilihan iman yang kuambil membuatku berbeda dari keluargaku, mengasihi mereka adalah teladan yang Tuhan Yesus ajarkan kepadaku. Memang, mengasihi itu mudah diucapkan tapi sulit dipraktikkan. Tapi, aku mau belajar dan terus belajar. Maukah kamu mengasihi keluargamu hari ini?

Baca Juga:

Alasanku Berhenti Berbuat Curang

Pernahkah kamu berbuat curang? Aku pernah. Sebagai siswa SMA, Waktu itu aku sering mencontek, hingga suatu ketika seorang guru memergokiku. Aku merasa amat malu karena ketahuan mencontek dan setelahnya berjanji untuk menjaga diriku dari berbuat curang.