Posts

Meski Kuanggap Diriku Gagal, Tuhan Punya Alur Cerita yang Berbeda

Oleh Tri Nurdiyanso, Surabaya

Aku, salah satu siswa kelas 12 IPA di salah satu SMA Negeri di Jawa Tengah. Tahun 2010 merupakan tahun yang penting bagiku, itu tahun kelulusanku. Untuk merayakan kelulusan, teman-temanku melakukan konvoi dan corat-coret seragam. Tapi, berbeda dari teman-temanku, aku malah bingung dengan kelulusanku sendiri.

Aku tidak tahu apakah aku lulus atau tidak. Kalaupun lulus, orang tuaku pasti memarahiku kalau aku ikut-ikutan konvoi atau corat-coret seragam. Padahal dulu aku ingin sekali melakukan itu, ketika melihat kakakku terlihat asyik melakukan konvoi dan corat-coret seragam, bahkan rambutnya dibuat berwarna.

Pada hari pengumuman, aku tidak mengambil surat pengumuman kelulusan. Aku takut mengambil surat itu karena aku belum melunasi uang sekolah selama satu semester. Pekerjaan orang tuaku memang tidak bisa diharapkan untuk membiayai pendidikanku. Bapakku bekerja sebagai tukang becak dan ibuku sebagai penjual makanan keliling setiap sorenya. Kami bisa makan sehari-hari saja sudah untung.

Suatu siang, teman sekolahku, Made namanya, bertanya, “Kamu lulus nggak?”

“Tidak tahu.”

Kok nggak tahu?”

“Ya aku belum mengambil surat pengumumannya, karena bayaran sekolahku belum lunas.”

“Loh, buat ngambil surat itu, syaratnya nggak harus lunas SPPnya (uang sekolah).”

Aku cuma diam saja. Aku ragu apakah tahun ini aku lulus. Waktu ujian berlangsung, aku kesulitan mengerjakan mata pelajaran Biologi. Aku hanya bisa mengerjakan 5 dari 50 soal. Sisanya kukerjakan dengan ngawur. Aku bisa memastikan kalau aku tidak akan lulus di mata pelajaran ini.

Selain Made, ada teman gerejaku juga datang ke rumahku. Dia melontarkan pertanyaan yang sama, “Tri, gimana? Lulus?”

“Belum tahu.”

Loh kok belum tahu?”

Jawaban yang sama kusampaikan kepadanya. Masalah tunggakan biaya membuatku tidak berani ke sekolah untuk mengambil surat pengumuman kelulusan. Temanku lalu melontarkan ide untuk meminta bantuan gereja. Katanya di gereja kami ada alokasi anggaran untuk pendidikan. Kuiyakan ide itu dan kuhitung jumlah kekurangan biaya sekolahku satu semester itu, jumlahnya kira-kira ada enam ratus ribu.

Keesokan harinya, beberapa majelis gereja datang ke rumahku. Mereka bertemu dengan ibuku, lalu pergi ke sekolah. Bukannya senang, aku mlaah takut bukan kepalang. Aku merasa pasti tidak lulus karena nilai Biologiku yang jeblok. Jam satu siang, ibuku pulang dari sekolah dan menyerahkan surat pengumuman.

LULUS!

Ya, aku lulus, meskipun nilai Biologiku cuma 5,25.

Tuhan mengarang alur cerita yang indah

Setelah lulus, masalah selanjutnya yang kuhadapi adalah apakah aku harus lanjut kuliah jika kutahu kemampuan finansial keluargaku lemah? Tanpa diketahui orang tuaku, aku mendaftar ujian masuk tertulis ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN), dulu namanya SNMPTN. Aku hanya memilih satu jurusan: Pendidikan Matematika. Meskipun sebenarnya aku ingin kuliah di MIPA Matematika agar nanti ketika lulus bisa menjadi seorang matematikawan, tetapi setelah diskusi dengan guru Matematikaku, aku memilih pendidikan Matematika yang setelah lulus nanti aku bisa jadi guru. Aku tak punya bayangan yang jelas untuk tujuan belajarku ini. Tekad adalah salah satu modalku saat itu. Keyakinanku bahwa otak adalah modal belajar.

Pada waktu ujian tulis selama tiga hari, aku mengerjakannya semaksimal mungkin. Tapi, hasilnya tidak lolos. Kecewa dan malu. Ingin menangis, tapi sungkan. Bahkan kadang pikiranku meragukan keberadaan Tuhan, Kenapa Tuhan diam saja dan membiarkanku gagal seperti ini? Apa kata orang kalau melihatku menganggur, atau tidak lanjut kuliah? Kata orang aku pintar, tapi malah gagal masuk PTN? Sebaliknya, temanku yang dianggap kurang pintar dan kuajari tiap malam untuk persiapan ujian, malah lolos. Sungguh mengecewakan dan tidak adil.

Setelah pengumuman itu, kakak rohaniku meneleponku. “Tri, bagaimana? Kamu lolos tidak?”

“Tidak, kak.”

“Lalu, apa rencanamu?”

“Nunggu SPMBTN tahun depan kak.”

“Kalau gagal lagi?”

“Ya nunggu tahun depannya lagi.”

Jawaban itu kuucapkan spontan, tanpa berpikir lebih dulu. Perasaan gagal masih menyelimuti pikiranku. Jarang sekali aku gagal soal akademik, tetapi kali ini aku gagal. Aku merasa malu dan juga bingung apa yang harus kukerjakan selama setahun ke depan.

Tiga hari kemudian, tetanggaku tiba-tiba mendatangiku dan menawariku pekerjaan sebagai penjaga warnet. Pekerjaan ini dikelola oleh menantunya. Aku diminta menjaga warnet sekitar jam 4 sore sampai 12 malam. Tapi, tak cuma itu. Teman-temanku menawariku pekerjaan sebagai tutor atau guru les buat adik mereka yang masih SMA. Aku merasa aneh, mengapa mereka mempercayaiku untuk mengajari adik mereka? Padahal statusku kan hanya lulusan SMA. Selama setahun, aku mengerjakan dua pekerjaan ini.

Tak jarang ada orang tua murid lesku yang bertanya, “Mas, kuliah di mana?”

“Saya tidak kuliah.”

“Kenapa tidak kuliah, Mas?”

“Karena gagal ujian masuk kemarin, Bu.”

Ibu itu lalu terdiam. Mungkin ia kecewa karena jawabanku. Mungkin juga ia takut kalau anaknya diajari oleh seorang yang gagal. Pikiranku diselimuti oleh jawaban ‘mungkin’. Tapi jika terlalu lama berpikir mengenai ini juga, aku hanya akan berjalan di tempat. Lambat laun, keraguanku akan keberadaan Tuhan mulai terkikis, karena pekerjaan demi pekerjaan mulai bertambah di tahun 2011. Aku sadar bahwa aku salah menganggap bahwa Tuhan itu tidak ada hanya karena aku gagal masuk PTN. Meski Tuhan mungkin terlihat diam bagiku, namun Dia sedang mengerjakan sesuatu untukku.

Jika aku melihat ke belakang, kurasa aku adalah orang yang terlena dengan kepandaian hingga aku melihat semuanya bisa kuatasi sendiri. Namun nyatanya, aku kecewa dan malu ketika gagal. Orang selalu memujiku sebagai anak pandai, tetapi kegagalan menghinaku sebagai anak bodoh. Tapi, melalui keadaan ini, Tuhan menerima “anak bodoh” ini untuk belajar di luar sekolah.

Alur cerita yang Tuhan sediakan berbeda dengan apa yang kurencanakan. Apakah aku harus marah kepada-Nya jika pendapatku berbeda dengan-Nya? Kupikir tidak, karena yang aku ketahui hanyalah keinginanku saja, tetapi Tuhan jauh lebih mengetahui melampaui sekadar keinginanku. Tuhan tahu apa yang kubutuhkan. Tuhan tahu bahwa aku butuh uang untuk kuliah, maka Dia memberiku kesempatan untuk bekerja terlebih dulu untuk mengumpulkan uang itu. Hingga akhirnya di tahun 2011, Tuhan mengizinkanku lolos di SBMPTN 2011 dengan jurusan Pendidikan Ekonomi.

“Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan TUHANlah yang terlaksana” (Amsal 19:21).

Baca Juga:

Belajar Menerima Hal Buruk, Sebagaimana Aku Menerima Hal Baik dari Tuhan

Kobaran api menghanguskan rumahku. Segala harta benda hilang dalam sekejap. Hari-hari setelahnya jadi momen terendah dalam hidupku. Namun, dari musibah inilah aku belajar tentang kebaikan Tuhan dan penyertaan-Nya yang sempurna.

Aku Gagal Masuk SMA Favorit, Tapi Aku Belajar untuk Tidak Larut dalam Kekecewaan

Oleh Anatasya Patricia, Bontang

Saat aku naik ke kelas 9 SMP, aku mulai menyiapkan banyak hal yang bisa mendukung pembelajaranku supaya nanti aku mendapat nilai yang memuaskan di Ujian Nasional dan bisa diterima di SMA favorit yang kudambakan. Aku belajar mati-matian. Aku ikut bimbingan belajar di sekolah, dan juga les privat di rumah. Pun, aku selalu berdoa supaya Tuhan mengabulkan permintaanku.

Setelah Ujian Nasional usai, aku menunggu pengumuman hasilnya. Aku memikirkan kembali perjuangan-perjuangan yang sudah kulakukan sampai maksimal dan juga doa-doa yang kumohon pada Tuhan. Meski aku ingin mendapatkan nilai yang memuaskan, dalam hatiku aku berpikir: “Tidak perlu dapat nilai sempurna. Yang penting nilainya cukup untuk masuk ke sekolah yang aku inginkan. Itu sudah cukup memuaskan buatku.”

Tapi, hasil ujian yang kuterima menyentakku. Nilai yang kuperoleh ternyata lebih kecil dari yang kuharapkan. Dari total empat mata pelajaran diujikan, aku hanya mendapat nilai 20,15 dari nilai sempurna 40,0 sedangkan untuk bisa diterima di sekolah itu nilai yang kudapat seharusnya lebih dari 24,00. Aku tidak dapat diterima di SMA favorit itu.

Aku kecewa.

Untuk sesaat pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan. Mengapa Tuhan tidak mengabulkan permintaanku untuk aku mendapatkan nilai Ujian Nasional yang baik? Mengapa Tuhan memberikan temanku nilai yang bagus hingga bisa diterima di sekolah itu tetapi aku tidak? Aku sedih. Tak terbayangkan olehku ketika segala perjuanganku untuk menggapai nilai maksimal berbuah dengan hasil yang tak kuharapkan. Aku pun sempat marah kepada Tuhan karena terus memikirkan mengapa Dia tidak sepemikiran denganku.

Tapi, dalam keadaan itu aku coba untuk menenangkan diriku. Aku tidak ingin kecewa ini berlarut-larut. Aku berdoa dan menyerahkan kembali diriku pada Tuhan dengan cara membaca Alkitab dan artikel-artikel rohani.

Hingga tibalah waktunya untukku mendaftar ke SMA. Dengan berat hati aku pun masuk ke SMA yang menurutku biasa-biasa saja. Aku merasa terpaksa masuk di SMA itu. Tapi, aku harus berbesar hati karena kalau aku tidak mau sekolah di sini, orang tuaku akan memindahkanku ke kota lain. Jadi, aku berusaha menyesuaikan diriku dengan sekolah ini.

Saat awal-awal masuk, beberapa guru ternyata adalah alumni dari SMA itu. Mereka bercerita kepadaku kalau mereka juga pernah mengalami hal yang sama denganku. Mereka ingin masuk ke sekolah impian mereka, tapi mereka gagal. Akhirnya mereka pun bersekolah di sekolah yang bukan prioritas mereka waktu itu. Namun, mereka tidak mau dicap sebagai murid yang buruk hanya karena tidak masuk di sekolah favorit. Kualitas murid tidak diukur hanya berdasarkan dia sekolah di mana, juga keberhasilan tidak selalu bisa diukur berdasarkan lingkungan tempat dia dibesarkan. Mereka belajar dengan giat dan mengandalkan Tuhan hingga mereka menjadi siswa yang bisa dibilang berprestasi sangat baik dan tidak kalah dengan lulusan dari sekolah-sekolah favorit lainnya. Setelah menyelesaikan studi di perguruan tinggi, mereka pun memutuskan kembali mengajar di SMA yang dulu mereka pernah belajar di dalamnya.

Sejujurnya, kisah yang dituturkan guruku itu tidak begitu membuatku bersemangat buat rajin belajar. Namun, seiring waktu aku merasa tidak mau diperbudak terus-terusan oleh rasa pesimis, kecil hati, dan malas. Saat aku merenung, aku pun teringat firman Tuhan dari Amsal 1:7 yang berkata: “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.” Firman itu menegurku. Aku belajar untuk mempraktikkan firman itu dalam kehidupanku. Hingga akhirnya, aku bisa mengikuti proses belajar mengajar di sekolah itu. Aku merasa nyaman dengan lingkungan sekolahku yang bersahabat, bersama guru-guruku yang tak hentinya menasihati kami para murid untuk mengerti dan mempraktikkan firman Tuhan.

Sekarang aku sudah duduk di kelas XI SMA dan aku bisa mengatakan bahwa aku betah dengan sekolahku. Teman-temanku di sini sangat baik, juga guru-gurunya. Mereka menyenangkan dan tulus berteman denganku. Kupikir kelas seperti ini hanya aku dapatkan jika aku sekolah di sini.

Puji Tuhan, saat hasil ujian dibagikan, aku mendapatkan hasil yang memuaskan. Aku bersyukur dan tak lagi merasa kecewa. Aku sadar bahwa apa yang kuinginkan belum tentu menjadi kehendak Tuhan. Tapi, semua hal yang Tuhan kehendaki adalah yang terbaik buat hidupku.

Aku percaya bahwa hal ini terjadi bukan secara kebetulan, tapi Tuhan sudah rencanakan supaya aku belajar bagaimana percaya kepada-Nya dalam setiap kejadian yang Dia izinkan terjadi dan juga tentang bagaimana aku bisa bersyukur meskipun aku mendapatkan sesuatu yang tidak sesuai keinginanku. Dan, yang terpenting adalah aku belajar bahwa di balik setiap peristiwa yang terjadi atas diriku, Tuhan punya rencana besar.

Sobatku, setiap kita pasti punya keinginan untuk masa depan kita. Tapi, ingatlah satu hal bahwa keinginan kita belum tentu sesuai dengan kehendak Tuhan tetapi kehendak-Nya sudah pasti yang terbaik untuk kita. Karena Tuhan memberi apa yang kita benar-benar butuhkan, bukan apa yang kita inginkan semata.

Tuhan memiliki rencana untuk setiap pribadi kita di masa yang akan datang. Oleh karena itu, janganlah kita khawatir akan hari esok karena Tuhan yang menyiapkan semuanya, seperti yang tertulis dalam Yeremia 29:11, “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”

Allah berdaulat penuh atas kehidupan kita, jadi percayalah pada-Nya dengan segenap hati.

Baca Juga:

Tuhan Tidak Pernah Ingkar Janji, Dia Memelihara Keluargaku

Delapan tahun lalu keluargaku mengalami kesulitan ekonomi. Masalah demi masalah datang menghampiri kami, dan kami merasa berada di titik terendah dalam hidup, tapi Tuhan tidak pernah sedetik pun meninggalkan kami.