Posts

Pelajaran Berharga dari Skripsi yang Tak Kunjung Usai

Oleh Elleta Terti Gianina, Yogyakarta

Ketika aku masih menjadi mahasiswa tingkat akhir, aku menganggap skripsi sebagai momok yang begitu menakutkan. Tatkala teman-teman seangkatanku begitu bersemangat untuk segera lulus, aku malah membiarkan waktuku selama satu semester pertama terbuang percuma tanpa hasil apapun.

Waktu itu, di samping kuliah aku juga bekerja sebagai seorang copywriter di sebuah agensi iklan. Jam kerja yang padat setiap harinya membuatku tak memiliki cukup waktu untuk menyelesaikan skripsiku. Selain itu, masalah lain karena aku putus dari pacarku pun turut memperburuk keadaan. Aku jadi larut dalam kesedihan dan sibuk mencari pelarian bersama teman-temanku. Ketika ada waktu senggang, bukannya menyelesaikan skripsi, aku pergi pelayanan dengan mengajar anak-anak desa di Gunungkidul atau jalan-jalan bersama teman-temanku.

Keadaan itu berlangsung selama beberapa bulan hingga akhirnya aku sadar bahwa skripsiku yang tak kunjung usai ini menyedihkan hati keluargaku. Kedua orangtuaku ingin aku segera lulus. Selain itu, karena skripsiku yang tak kunjung usai, teman-temanku memintaku untuk berhenti mengajar anak-anak di Gunungkidul. Kata mereka, aku harus fokus terhadap tanggung jawabku untuk menuntaskan skripisku terlebih dahulu. Teguran ini membuatku sadar bahwa apa yang kulakukan selama ini bukanlah sesuatu yang terbaik untukku.

Akhirnya, saat kuliahku memasuki semester ke-9, aku mulai menjalani bimbingan skripsi. Setiap kali usai bertemu dosen, aku membawa begitu banyak berkas revisi dan mengerjakannya di kafe dekat kampus. Revisi demi revisi itu membuatku ingin menangis dan aku pun mengeluh pada Tuhan. “Tuhan, kenapa gini sih. Aku capek. Kok skripsi aja harus kayak gini, banyak dramanya.”

Suatu ketika, saat aku sedang mengerjakan skripsi, secara tidak sengaja ponselku memutar lagu “Semua Baik”. Ketikan jari-jariku di keyboard terhenti sejenak. Penggalan lirik lagu ini membuatku merenung.

Dari semula telah Kau tetapkan
Hidupku dalam tangan-Mu, dalam rencana-Mu Tuhan
Rencana indah telah Kau siapkan
Bagi masa depanku yang penuh harapan

Lagu ini menegurku. Selama ini aku hanya mengandalkan diri sendiri dalam menghadapi tiap masalah yang kualami. Aku lupa bahwa Tuhan sesungguhnya menjanjikan masa depan yang penuh harapan buatku, seperti firman-Nya yang berkata bahwa Dia merancangkan damai sejahtera, bukan rancangan kecelakaan (Yeremia 29:11). Hanya saja, aku tidak mau mempercayai-Nya dan memilih caraku sendiri.

Sepulang dari kafe, aku berdoa pada Tuhan, memohon supaya Dia boleh menyertai dan memberkati proses pengerjaan skripsiku. Aku sadar bahwa doaku hanya akan jadi pepesan kosong jika aku tidak melakukan langkah nyata. Jadi, sejak saat itu aku mulai menyusun strategi membagi waktu antara pekerjaan, pelayanan, dan skripsiku. Setiap harinya aku tetap harus bekerja hingga jam 10 malam. Kemudian, mulai jam 11 malam hingga subuh, aku akan mengerjakan skripsi. Aktivitas ini memang membuat tenagaku terkuras. Namun, aku berdoa dan percaya bahwa Tuhan yang akan memberiku kekuatan untuk menyelesaikan semua ini. Ketika aku merasa lelah, aku mengingat apa yang pemazmur tuliskan: “Serahkanlah hidupmu kepada Tuhan dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak; Ia akan memunculkan kebenaranmu seperti terang, dan hakmu seperti siang” (Mazmur 37:5-6).

Akhirnya, setelah beberapa bulan berlalu, di semester ke-10 Tuhan menganugerahiku hasil yang memuaskan. Skripsiku selesai dan setelah menempuh ujian aku pun dinyatakan lulus sebagai seorang sarjana. Aku begitu bersyukur karena pertolongan Tuhan datang tepat pada waktunya.

Dari pengalamanku bergumul dengan skripsi, ada pelajaran berharga yang aku ingin bagikan kepada teman-teman. Ketika masalah menghampiri kita, yang harus kita lakukan bukanlah mengandalkan diri sendiri, tetapi andalkanlah Tuhan. Hanya bersama Tuhan sajalah kita mampu melewati setiap rintangan dan tantangan dalam hidup ini. Firman Tuhan dalam Yeremia 17:5 berkata: “Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh daripada Tuhan.”

Apakah hari ini kamu sedang bergumul karena skripsi atau masalahmu yang lain seolah tak kunjung usai? Berdoalah kepada-Nya, janganlah putus semangat, dan tetap lakukan bagianmu dengan sebaik-baiknya.

Baca Juga:

5 Hal Tentang Masturbasi yang Perlu Kamu Ketahui

Aku pernah terjerat dalam dosa seksual berupa masturbasi. Waktu aku masih kecil, tanganku tidak sengaja menyentuh bagian vital tubuhku dan sejak saat itu aku merasa ketagihan. Namun, Tuhan menyadarkanku bahwa perilaku ini adalah dosa. Seiring dengan perjalananku untuk pulih, inilah 5 hal yang ingin aku bagikan kepadamu.

Ketika Aku Berjuang untuk Jujur, Meski Harus Kehilangan Impianku

ketika-aku-berjuang-untuk-jujur-meski-harus-kehilangan-impianku

Oleh Christina Kurniawan, Bandung

Ketika memasuki dunia perkuliahan dulu, aku bersyukur karena bisa melaluinya dengan baik. Di semester pertama aku mendapat nilai A untuk semua mata kuliah sehingga aku meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 4.00. Di semester-semester selanjutnya aku sempat mengalami penurunan IPK, tetapi puji Tuhan karena aku masih boleh mendapatkan IPK di atas 3.50.

Semua berjalan dengan lancar dan tidak ada satu pun mata kuliah yang harus aku ulang. Tapi semua berubah ketika aku harus menyusun tugas akhir.

Sebagai seorang mahasiswa jurusan psikologi, tugas akhir yang harus kuselesaikan itu terdiri dari dua tahapan. Pertama adalah usulan penelitian, kedua adalah skripsi. Di tahap pertama aku harus menyusun bab 1 sampai 3, sedangkan di tahapan skripsi aku harus menyusun bab 4 dan 5.

Di tahap pertama aku mengalami kesulitan. Seharusnya tahap pertama ini selesai dalam waktu satu semester saja, tetapi aku butuh waktu empat semester! Sekitar dua tahun kuhabiskan hanya untuk berkutat di bab satu sampai tiga.

Berulang kali aku harus merombak isi bab pertamaku karena ternyata masalah yang ada di lapangan itu tidak relevan dengan judul penelitan yang aku ambil. Sulit bagiku untuk memahami apa yang diinginkan oleh dosen pembimbing, sehingga ini juga menjadi salah satu hambatan di balik lamanya proses bab satu itu. Lalu, waktuku pun terbatas karena aku melakukan penelitian ini di sebuah sekolah. Kalau sekolah itu sedang libur atau ujian, tentu penelitian itu tidak bisa kulakukan.

Setelah berkutat selama empat semester, akhirnya aku bisa melanjutkan ke tahap kedua, yaitu skripsi.

Saat aku merasa putus asa

Ternyata proses penyusunan skripsi ini juga tidak selalu berjalan mulus. Ada saja hal yang membuatku merasa putus asa dan tidak tahu harus bagaimana. Aku pikir skripsi ini akan lebih mudah karena tinggal menyusun hasil temuan data. Tapi, ternyata hasil temuan dataku bermasalah.

Metode penelitian yang kugunakan ternyata kurang lengkap sehingga aku tidak mendapatkan data yang maksimal. Lambat laun aku mulai merasa jenuh karena proses skripsi ini tidak kunjung selesai. Aku harus pergi bolak-balik menemui dosen pembimbingku yang lokasi rumahnya cukup jauh, bahkan sering juga dosenku itu lupa kalau ada jadwal pertemuan denganku.

Aku bertambah bingung ketika teman-temanku sering berkomentar, “Kok lama amat sih ga beres-beres, padahal IPK kamu kan lumayan.” Aku hanya bisa tertawa ketika teman-teman berkata seperti itu walau di dalam hatiku komentar itu terasa “menusuk”. Di tengah frustrasiku, ayahku bahkan sempat memintaku untuk “memberi amplop” pada dosen pembimbingku supaya proses skripsiku bisa dipermudah. Namun aku menolak usulan ayahku itu.

Di tengah kebingungan itu teman-temanku memberi saran untuk memanipulasi data. Si A dan si B juga dimanipulasi sedikit datanya supaya bisa cepat lulus. “Udahlah, zaman sekarang mah gak usah terlalu suci, susah kalau gitu mah, ya diubah sedikit hasil penelitiannya mah ga apa-apa dong,” kata teman-temanku.

Aku merasa malu, aku merasa percuma saja mendapatkan IPK tinggi tetapi tidak bisa lulus tepat waktu dan mendapatkan predikat cum laude. Aku menganggap cum laude itu sebagai sesuatu yang nantinya bisa aku banggakan. Aku senang jika ada orang-orang yang memujiku dan menganggapku hebat. Walaupun ketika dipuji aku tetap berusaha rendah hati, tapi harus kuakui kalau ada perasaan bangga dan aku ingin supaya orang-orang menilaiku sebagai orang yang berprestasi.

Hal-hal itulah yang membuatku berpikir kalau dengan meraih predikat cum laude maka aku akan “terkenal”, apalagi saat wisuda nanti ada ribuan orang yang hadir, termasuk juga para orang tua mahasiswa. Aku ingin mendapatkan penghargaan dan pengakuan dari lingkungan sekitarku kalau aku adalah mahasiswa berprestasi.

Tantangan untuk berlaku jujur

Sejujurnya, perkataan teman-temanku itu sempat membuatku berpikir. “Apa iya aku harus sedikit curang supaya bisa lulus?” Aku merasa sangat bingung waktu itu, apalagi untuk mendapatkan predikat cum laude itu pun ada batasan masa kuliahnya. Aku benar-benar menghadapi dilema saat itu.

Ketika menghadapi dilema ini aku hanya bisa terus berdoa. Aku menceritakan segala keluh kesahku kepada Tuhan dan meminta hikmat tentang apa yang harus aku lakukan. Aku juga bersyukur karena mempunyai teman yang selalu mendukung dan menguatkan aku. Dia cukup sering memantau kemajuan tugas akhirku dan berusaha menyemangatiku.

Salah satu ayat yang menguatkan aku adalah “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih daripada itu berasal dari si jahat.” (Matius 5 : 37). Ayat ini menantang aku sekaligus mengingatkan aku untuk tetap berlaku jujur dan setia. Tuhan tidak berjanji kalau jalan yang harus kita lalui adalah jalan yang mulus, tetapi Tuhan menjanjikan kekuatan bagi orang-orang yang berharap padaNya.

Aku bersyukur walaupun dengan perjuangan yang berat sampai kadang aku pun menangis, Tuhan masih menjagaku sehingga aku bisa tetap jujur dalam menyusun skripsiku. Aku mencoba untuk menikmati proses penyelesaian skripsi itu. Sekalipun predikat cum laude gagal aku raih karena aku butuh waktu lebih lama, tapi aku mengucap syukur karena aku bisa lulus dengan jujur dan tanpa memanipulasi data.

Memang waktu studi yang harus kutempuh tidak sebentar. Total enam tahun harus kutempuh untuk mendapatkan gelar sebagai sarjana psikologi. Kadang aku merasa sedih, kecewa, kesal, merasa percuma saja punya IPK tinggi tapi tidak berhasil meraih cum laude hanya karena terhambat di tugas akhir. Tapi, lewat proses ini aku merasa Tuhan tidak ingin aku menyombongkan diri lewat semua nilai yang sudah kuperoleh.

Tuhan ingin mengasah kesetiaanku untuk tetap hidup benar di hadapan-Nya walaupun jalan yang kulalui seringkali banyak kerikil-kerikil yang menghambat.

Baca Juga:

Haruskah Aku Pindah Gereja?

Aku pernah bergumul tentang di gereja mana seharusnya aku bertumbuh dan melayani. Sekalipun aku sudah memiliki gereja tetap, tetapi aku merasa lebih bertumbuh di gereja sahabatku. Aku berada dalam sebuah dilema.

Skripsi dan Iman

Oleh: Teresia

skripsi-dan-iman

Siapa sangka skripsi bisa membuat iman bertumbuh?

Bagi para mahasiswa tingkat akhir, skripsi biasanya menjadi momok. Tapi tidak bagiku. Aku sama sekali tidak menganggap skripsi sebagai sesuatu yang sulit. Aku sangat yakin skripsi dapat diselesaikan dengan baik kalau kita mau berusaha. Dan memang kenyataannya begitu. Proposal skripsiku diterima tanpa hambatan yang berarti.

Tanpa disangka-sangka, beberapa minggu sebelum seminar proposalku diadakan, aku dilanda kecemasan dan ketakutan yang tidak beralasan. Pikiran negatif bermunculan tanpa bisa dibendung. Keluarga dan teman dekat tidak banyak membantu, karena setahu mereka, aku adalah sosok yang kuat dan percaya diri. Apa yang aku ceritakan tidak mereka tanggapi dengan serius. Mereka yakin aku pasti bisa mengatasinya. Namun, ketakutan itu begitu hebat hingga mulai mempengaruhi kondisi fisikku. Aku merasa sangat bingung. Rasanya seperti tidak mengenal diriku sendiri. Aku takut, tetapi tidak tahu apa yang kutakutkan. Aku mencoba menggunakan “Teknik Pembebasan Emosi”, bersandar pada ilmu psikologi yang memang kusukai. Tentu saja, tidak banyak membantu. Kecemasan itu masih ada.

Sampai pada akhirnya aku menyerah dan mencari jawaban kepada Tuhan. Aku sangat malu saat membaca Matius 8:26. Yesus berkata kepada murid-murid-Nya yang sedang ketakutan: “‘Mengapa kamu takut, kamu yang kurang percaya?’ Lalu bangunlah Yesus menghardik angin dan danau itu, maka danau itu menjadi teduh sekali.”

Sebutan “kamu yang kurang percaya” atau dalam terjemahan Inggris: “you of little faith” benar-benar menamparku. Selama ini aku “merasa” sudah punya hubungan yang erat dengan Tuhan, setiap malam aku biasa membaca Alkitab. Namun, sesungguhnya dalam kehidupan sehari-hari aku lebih banyak bersandar pada pengertianku sendiri. Ayat-ayat Alkitab sekadar menjadi bacaan yang baik bagiku, bukan sesuatu yang benar-benar kuhidupi.

Pengalaman skripsi itu dipakai Tuhan untuk membuatku mengerti apa artinya “percaya”. Dia mau aku menyandarkan hati dan pikiranku sepenuhnya hanya kepada-Nya. Mungkin ini yang namanya “spiritual awakening” alias kebangunan rohani yang sebenarnya. Mataku dibukakan pada kebenaran-kebenaran Firman Tuhan yang mengubahkan hidup. Imanku yang sempat goyah dikuatkan oleh-Nya. Semua ketakutan dan kecemasan yang tak beralasan itu pun perlahan lenyap, berganti kedamaian yang melegakan hati. Kedamaian yang hanya dapat ditemukan di dalam Tuhan. Tak satu pun manusia yang bisa menghibur kita seperti itu. Tak satu pun teknik psikologi yang bisa memberikan damai serupa.

Sungguh hebat mengingat bahwa kita punya Allah yang kebesaran dan kasih-Nya jauh melampaui batas pemikiran kita. Lebih hebat lagi, Dia berjanji untuk tidak pernah meninggalkan kita, anak-anak-Nya yang mau percaya dan bersandar penuh kepada-Nya. Apa pun kesulitan hidup yang menghadang, kita tak perlu takut menghadapinya, sebab Tuhan kita memegang kendali atas segala yang ada.

Terpujilah Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Bahwasanya cinta-Nya untuk selama-lamanya. Amin.