Posts

Masa Single: Sebuah Garis yang (Sepertinya) Tidak Bisa Kulewati

Oleh Wu Yan Ping, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Singleness—The Line I Can’t Seem to Cross

Apa gunanya sebuah garis? Jawabannya adalah untuk memisahkan dua sisi. Dari sisi di mana aku berdiri, aku melihat orang-orang di sisi seberangku sudah memiliki pacar atau menikah. Dan, di sinilah aku, sedang berdiri menanti untuk menyeberangi garis ini.

Ya, aku masih single. Beberapa orang berkata kalau kamu telah mencapai usia tertentu, maka kamu akan sulit untuk mendapatkan pasangan. Sayangnya, aku telah melewati batasan usia itu. Kebanyakan lelaki yang seusia denganku sudah berpacaran ataupun menikah. Sepertinya tidak ada lagi yang masih single and available untukku.

Aku belum pernah berpacaran sebelumnya, dan setiap hari aku berdoa pada Tuhan supaya Dia membawaku ke sisi di seberangku, di mana aku bisa menjalin sebuah relasi yang kelak berlanjut ke pernikahan. Doaku hampir terjawab. Suatu ketika, para single di gerejaku yang seusia denganku mengikuti persekutuan gabungan dengan para single dari gereja lain. Acara ini diselenggarakan akhir tahun lalu dalam rangka meningkatkan ikatan kebersamaan antarjemaat gereja.

Di pertemuan itu aku bertemu dengan Xavier*, jemaat dari gereja yang berbeda denganku. Pertemuan kami berlangsung dengan hangat dan kami memiliki ketertarikan yang sama terhadap filsafat dan sejarah. Bersama-sama, kami juga mengikuti kelompok sel yang dikhususkan untuk kelompok usia dewasa muda. Di luar gereja, kami juga bertemu untuk pergi makan malam bersama-sama. Dia beberapa kali memberiku hadiah, padahal hari itu bukanlah momen yang istimewa. Dia juga sering berusaha untuk menolongku.

Selama lima bulan bersahabat baik, aku mulai mengembangkan perasaanku untuknya. Dia menjadi lebih dari sekadar teman buatku. Kupikir inilah saatnya untukku berpacaran dan menikah. Lagipula, Xavier bukanlah seorang lelaki yang buruk—dia seorang yang menggembirakan, dan selalu mengirimi aku pesan singkat untuk menghiburku. Dia juga seorang yang pintar, tapi juga punya selera humor. Aku merasa begitu nyaman bersamanya.

Sikapnya terhadapku seolah menunjukkan bahwa dia juga ingin menjalin hubungan yang lebih serius. Aku mau mengikuti kata hatiku dan memberitahu dia tentang perasaanku terhadapnya. Namun, aku mengurungkan niatku ketika Xavier mulai bercerita tentang mantan pacarnya yang memilih untuk menikahi lelaki lain. Aku teringat ekspresi sedihnya saat dia menunjukkanku foto mantan pacarnya sedang menunggangi gajah bersamanya. Kemudian, dia juga bercerita tentang temannya yang tega mengkhianatinya dengan merebut pacarnya.

Dari pembicaraan itu, aku dapat melihat dengan jelas bahwa Xavier belum mampu melupakan kenangannya dan masih menyimpan kepahitan akan mantan pacarnya. Dia kembali menuturkan kalau dia sedang tertarik dengan seorang perempuan lain dan dia mengakui sudah berkencan dengannya. Ketika dia bercerita tentang hal itu, aku berusaha sebaik mungkin untuk tetap tenang. Tapi sejujurnya, aku merasa patah hati.

Pada akhirnya, persekutuan gabungan yang digagas oleh gerejaku itu tidak berlanjut dan aku kembali ke gerejaku sendiri. Aku merasa bahwa peluangku kandas. Hanya aku sendiri yang masih single di usia 30-an dan kesempatan untuk bertemu dengan lelaki single lainnya pun kecil. Aku merasa kesepian dan tidak pasti akan masa depanku.

Aku merasa putus asa. Bahkan, aku berpikir untuk pindah ke gereja lain di mana aku bisa menemukan lebih banyak teman-teman yang seusia denganku. Aku juga mencoba aplikasi kencan online, tapi karena aku tidak bisa melihat orang-orang itu secara langsung, kupikir akan sulit memastikan bahwa orang-orang itu memang tulus ingin menjalin suatu hubungan. Aku malah sempat berpikir untuk mencoba mendekati Xavier lagi dan mengungkapkan perasaanku supaya aku bisa bersamanya. Tapi, aku menepis pikiran ini.

Dalam upayaku untuk melupakan Xavier, aku berseru berkali-kali pada Tuhan supaya Dia dapat menolongku untuk menghilangkan perasaan tertarikku pada Xavier. Aku ingin move on dan menemukan seorang lelaki yang lain.

Namun, Tuhan tidak mengabulkan dua permohonanku itu. Tuhan tidak memberiku seorang lelaki ataupun menghilangkan perasaanku pada Xavier. Tapi, Tuhan memberiku kesempatan untuk menemukan sesuatu di balik rasa sakit yang kualami. Aku mendapati bahwa aku memiliki talenta bermusik yang bagus sejak aku melayani sebagai pemain biola di gereja. Aku juga melayani sebagai operator multimedia. Selain itu, karena aku memiliki sedikit kemampuan berbahasa Indonesia, jadi aku juga belajar untuk menyanyikan lagu-lagu pujian dalam bahasa Indonesia untuk sebuah acara di mana aku tergabung sebagai relawan di sana.

Di tempat kerjaku, di mana aku bekerja sebagai perawat di Unit Kesehatan Siswa (UKS), aku merawat siswa-siswa yang terluka dan memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan. Aku belajar untuk melakukan yang terbaik dalam pekerjaanku.

Tuhan menunjukkan kepadaku bahwa aku tetap bisa merasakan sukacita sekalipun aku tidak memiliki pasangan yang romantis. Contohnya, aku bisa bersukacita tatkala aku pergi bersama keluargaku dan merayakan hari kemerdekaan bersama-sama dengan mereka dan juga beberapa temanku.

Sampai di titik ini, aku masih belum tahu kebaikan apa yang akan dihasilkan dari situasi yang kualami. Namun, satu hal yang pasti yang aku ketahui adalah: Tuhan telah memberikanku sebuah kerinduan untuk menggunakan apa yang sudah Dia berikan kepadaku untuk memajukan kerajaan-Nya.

Tentunya mudah buatku apabila aku memilih untuk memelihara kepahitan dan mengasihani diri sendiri. Ketika aku berada dalam situasi seperti ini, secara manusiawi rasanya aku ingin melupakan Tuhan, aku ingin menyalahkan-Nya atas rasa sakit hati yang kualami, dan aku mau menjauh dari gereja.

Namun, dengan penuh kesadaran aku memilih untuk memuji Tuhan. Sekalipun aku masih merindukan sebuah hubungan yang bisa mengantarkanku kepada pernikahan, Tuhan telah memberikan nyanyian-nyanyian sukacita dalam hatiku, dan mengingatkanku untuk selalu memuji Dia. Setiap pagi aku bangun jam setengah enam pagi untuk menyanyikan lagu-lagu pujian yang menguatkanku. Lagu -lagu itu juga membangkitkan semangatku dan menolongku untuk menyembah Tuhan.

*Bukan nama sebenarnya.

Baca Juga:

Ketika Aku Menyadari Ada Motivasi Terselubung di Balik Pelayananku di Gereja

Aku bersyukur dipercaya oleh Tuhan untuk melayani-Nya sebagai pemain keyboard bersama dengan 3 orang pemusik lainnya. Mulanya kehidupan pelayananku berjalan seperti biasa hingga terjadi sebuah peristiwa di mana Tuhan menegurku bahwa ada sesuatu yang salah dari pelayanan yang kulakukan.

Ketika Orang yang Kucintai Meninggalkanku

Ketika-Orang-yang-Kucintai-Meninggalkanku

Oleh Endriya Arsi, Depok
Ilustrasi gambar oleh Angela Rahmawati

Aku begitu bahagia ketika akhirnya aku mendapatkan kesempatan untuk mengenal lebih dekat teman lelaki yang selama ini aku sukai. Dia adalah anak yang populer di sekolah karena sering mendapatkan juara baik di bidang akademis maupun non-akademis. Kesempatanku untuk mengenalnya lebih dekat datang secara tidak sengaja.

Suatu ketika, dia bersama teman-temannya sedang bermain permainan truth or dare—sebuah permainan yang mengharuskan orang yang dirinya tertunjuk harus memilih berkata jujur atau menerima tantangan dari peserta lain. Waktu itu dia memilih menerima tantangan. Teman-temannya meminta dia untuk menghampiriku dan mengajakku mengobrol saat jam istirahat berlangsung. Tak disangka, malamnya harinya ternyata kami kembali melanjutkan obrolan lewat media sosial. Semenjak hari itu kami menjadi semakin dekat.

Aku merasa nyaman bersamanya. Dia adalah seorang yang ramah dan baik. Suatu ketika, aku pernah terjatuh hingga kakiku terluka, kemudian dia menolongku membalut luka itu. Dia juga seorang yang perhatian, selalu mengingatkanku untuk tidak pulang selepas matahari terbenam, bersaat teduh, dan pergi ke gereja setiap hari Minggu.

Semakin hari aku semakin dekat dengan dia. Aku merasa benar-benar bahagia ketika dia berkata bahwa dia mencintaiku, menyayangiku, dan tak ingin aku terluka atau menangis sedikitpun, padahal waktu itu kami belum secara resmi berpacaran.

Setiap pagi aku selalu mengirimi pesan singkat kepadanya. “Selamat pagi, jangan lupa saat teduh, jangan lupa sarapan.” Kemudian dia membalas pesanku itu, demikianlah hal ini terjadi hampir setiap pagi tanpa aku sadari bahwa sebenarnya aku telah mendahulukan dia daripada Tuhan. Aku tidak memulai hariku dengan berdoa dan bersyukur kepada Tuhan, malah langsung berusaha mengobrol dengan lelaki itu. Tak hanya pagi hari, di malam hari pun kami saling menelepon hingga larut malam. Seringkali aku ketiduran hingga pagi harinya.

Lama-kelamaan kehidupanku semakin tidak seimbang. Aku menghabiskan banyak waktuku untuk berusaha dekat dengan lelaki itu. Aku menyepelekan pelajaran-pelajaran sekolahku, menjauh dari teman-temanku, mendiamkan orangtua dan kakak perempuanku, bahkan aku jadi jarang berdoa, hanya kadang-kadang saja di pagi hari.

Hingga suatu ketika, seorang temanku yang satu kelas dengannya mengatakan bahwa lelaki itu katanya sudah memiliki pacar. Tapi, aku tidak lantas percaya begitu saja kabar itu. Aku mencari waktu yang tepat untuk menelepon dia dan bertanya, “Aku dengar katanya kamu berpacaran dengan orang lain, itu ga benar kan?” Dia tidak menjawab pertanyaanku, melainkan dengan segera dia marah dan nada bicaranya meninggi. “Aku gak suka kamu tuduh tanpa ada bukti!” ucapnya.

Setelah kejadian itu, kami pun putus kontak sama sekali. Segala kedekatan yang sebelumnya kami bangun semuanya telah sirna. Dia tidak pernah menghubungiku sama sekali, bahkan ketika kami berpapasan pun dia menghindar dariku. Pada suatu kesempatan, aku sempat mendekatinya dan bertanya alasan mengapa dia menjauh dariku. Kemudian dia menatapku sejenak, lalu menjauhi aku seraya berkata bahwa dia tidak memiliki waktu untukku.

Hatiku hancur, hidupku seolah berantakan, dan tidak tahu harus berbuat apa hingga suatu ketika aku membaca sebuah renungan yang menceritakan kisah seorang anak petani yang miskin sebagai ilustrasinya. Anak itu mampu mengucap syukur atas sebuah roti dan segelas teh yang bisa dia santap tiap paginya. Setiap hari anak itu harus berjalan kaki cukup jauh untuk tiba ke sekolah dan sepatunya pun rusak. Namun, dia tetap mengucap syukur atas kesempatan bersekolah yang Tuhan berikan. Bacaan itu menegurku. Selama ini aku memiliki orangtua yang baik, teman-teman yang selalu membuatku tertawa, kakak perempuan yang selalu ada buatku, tapi aku tidak mempedulikan mereka, aku selalu menginginkan lelaki itu hingga aku melupakan segalanya.

Saat itu aku merasa bahwa aku punya harapan. Tuhan mengizinkan lelaki itu menjauhiku supaya aku dapat percaya bahwa Tuhan tidak pernah sekalipun meninggalkanku. Sejak peristiwa itu, aku berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan, juga mendekatkan diriku kembali kepada keluarga dan teman-temanku.

Aku memang pernah menangis karena lelaki itu, tapi aku bersyukur untuk setiap hal yang masih kumiliki sekarang. Tuhan mengganti setiap air mata yang menetes dengan sukacita. Aku menyadari bahwa yang harus kulakukan hanya bersyukur, berserah, dan biar kehendak Tuhan saja yang terjadi.

Tuhan adalah pengharapan, hatiku percaya. Tuhan menyatakan rancangan-Nya tepat dan indah pada waktu-Nya. Seperti pelangi sehabis hujan, selalu ada hal baik di balik sesuatu yang seolah menyakitkan.

“Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang, sebab dari pada-Nyalah harapanku.” (Mazmur 62:6).

Baca Juga:

Sebuah Penyakit yang Meruntuhkan Keegoisanku

Sebelas tahun yang lalu, aku merasa hidupku begitu sempurna. Aku tinggal di luar negeri, memiliki pekerjaan dengan gaji besar, serta keluarga dan teman-teman yang selalu mendukungku. Akan tetapi, karena sebuah penyakit, aku harus melepaskan semuanya itu. Inilah yang terjadi pada kehidupanku.

Manakah yang Lebih Baik, Menikah atau Tetap Single?

manakah-yang-lebih-baik-menikah-atau-tetap-single

Oleh Poh Fang Chia, Singapura

Artikel asli dalam bahasa Inggris: Is It Better To Be Married or To Stay Single?

Topik seputar pernikahan nampaknya menjadi sesuatu yang hangat dibicarakan di mana-mana. Sebagai seorang single, kadang itu membuatku jadi penasaran dan bertanya. Hal apakah yang bisa mendorongku melepas status singleku untuk terikat dalam pernikahan dengan seseorang?

Coba kita berpikir realistis sejenak. Kita asumsikan bahwa umumnya hubungan pacaran itu berlangsung selama tiga tahun. Di tengah kehidupan yang sangat sibuk ini, jika sepasang kekasih itu bisa meluangkan waktu bertemu seminggu sekali saja sepertinya sudah bagus. Tapi, jika memang berlaku demikian, berarti dalam tiga tahun pacaran, pasangan itu hanya bertemu tatap muka dan saling mengenal selama 156 hari! Padahal seumur hidupku sendiri, aku telah menjalani 13.870 hari sebagai single.

Selain itu, aku juga memikirkan tentang bagaimana caranya dua orang dengan latar belakang, budaya, dan kehidupan yang berbeda itu menjadi satu. Memikirkan bagaimana caranya berubah dan menyesuaikan diri saja sudah cukup membuat kepalaku pusing.

Mungkin aku seorang yang ragu terhadap sebuah komitmen. Atau, mungkin juga seperti yang temanku pernah katakan, yaitu aku memang belum menemukan sosok pria yang tepat. Tapi, apapun alasannya, aku tahu bahwa Tuhan akan mengubah diriku apabila menikah memang adalah bagian dari rencana-Nya dalam hidupku. Tapi, semakin aku berpikir, semakin pula aku merasa bahwa pernikahan itu berasal dari surga.

Pendapatku tentang pernikahan

Terkadang, aku merasa bahwa pernikahan malah membuat kita kehilangan lebih banyak daripada apa yang seharusnya kita dapat. Rasa-rasanya pernikahan itu malah membatasi dunia kita.

Hal inilah yang kurasakan ketika ada pria-pria yang menyukaiku. Aku merasa jika aku menjalin hubungan dengan mereka, hidupku yang semula bebas dan penuh banyak kesempatan akan menyempit dan terbatas.

Aku menyadari bahwa setiap orang memiliki sisi dalam dirinya yang tidak dapat diubah. Ada komitmen pribadi dan visi kehidupan yang tidak dapat diingkari. Oleh karena itu, dalam memilih pasangan hidup aku perlu berhati-hati. Aku tidak mau menghabiskan hidupku bersama pasangan yang tidak dapat menerima bagian dari diriku yang tidak bisa kuubah. Aku juga tidak mau terjebak dalam situasi di mana aku dan pasanganku tinggal bersama, namun hati dan impian kami masih terpisah. Aku tidak ingin kehidupan kami nanti terpisah walaupun sejatinya sudah menikah.

Pemahamanku tentang pernikahan

Namun, aku juga percaya bahwa ada keajaiban dalam sebuah pernikahan, itulah yang disebut sebagai sebuah transformasi atau perubahan.

Dalam pernikahan, dua kehidupan yang berbeda akan membaur bersama. Dua insan dengan latar belakang berbeda akan hidup dan mengarungi masa depan bersama. Mereka tetaplah dua pribadi yang berbeda, tapi mereka telah menjadi satu. Pernikahan bukan membuat hidup mereka menjadi sempit dan penuh batas, melainkan dari pernikahan lahir sebuah pengertian dan kesadaran untuk saling mengerti satu sama lain.

Hanya dalam sebuah pernikahan, komitmen dua menjadi satu itu akan membawa mereka menyelami kehidupan lebih dalam. Ibarat roti dan ragi, dua kehidupan yang berbeda itu akan menjadi khamir, atau menyatu sempurna. Komitmen dalam pernikahan juga membuat perjalanan hidup seseorang jadi lebih kaya dan bermakna lewat segala kerumitan-kerumitan yang terjadi setiap harinya. Mereka juga belajar untuk tidak menjadi egois. Tidak ada relasi apapun di dunia ini selain pernikahan yang dapat menguji kesetiaan dan kepuasan sejati antar pasangan.

Kadang, pernikahan seolah tampak bukan sesuatu yang logis. Dua pribadi menjadi satu, namun mereka dapat menghasilkan karya yang jauh lebih besar daripada ketika mereka seorang diri.

Karena itu, temanku pun mengucapkan sebuah kalimat:

Pernikahan adalah sebuah keajaiban.
Secara ajaib, dua insan yang adalah laki-laki dan perempuan, berubah dan dikuduskan menjadi satu dalam hubungan suami istri.

Pengertian Alkitab tentang pernikahan

Surat Paulus kepada jemaatnya di Korintus adalah dasar dari pendapatku mengenai pernikahan dan masa single.

Dalam 1 Korintus 7:8-9, Paulus menasihati kita bahwa lebih baik untuk tidak menikah karena kita bisa mempunyai kesempatan lebih untuk melayani Kristus tanpa diliputi banyak kekhawatiran (7:32-35). Tapi, walaupun pernikahan seolah dianggap sulit, memilih untuk menikah dengan tulus jauh lebih baik dibandingkan hidup di dalam hawa nafsu.

Paulus memberikan tiga alasan umum mengapa orang yang belum menikah lebih baik untuk tetap tidak menikah.

Pertama, orang yang tidak menikah memiliki masalah sehari-hari yang lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang sudah menikah (1 Korintus 7:25-28).

Kedua, di akhir zaman ini, orang Kristen tidak boleh membiarkan hidupnya dikuasai oleh pernikahan maupun hal-hal duniawi. Fokus utama orang Kristen adalah Kristus dan kekekalan (1 Korintus 7:29-31).

Ketiga, pernikahan menghasilkan tanggung jawab duniawi dan membuat fokus seseorang terbagi-bagi. Tapi, mereka yang memilih untuk tidak menikah dapat mengabdikan hidup mereka seutuhnya untuk melayani Kristus (1 Korintus 7:32-35).

Tiga alasan itu membuat aku bertanya pada diriku sendiri: Mengapa Tuhan merancangkan sebuah pernikahan jika memang sudah jelas bahwa pernikahan itu membawa kerugian?

Tapi, aku menyadari bahwa sesungguhnya 1 Korintus 7 sedang membahas mengenai dunia dan manusia yang jatuh ke dalam dosa. Oleh karena itu, aku menarik kesimpulan bahhwa pernikahan Kristen adalah pernikahan yang dirancang untuk jadi kesaksian yang kuat tentang Yesus Kristus, sebagai wujud demonstrasi kasih Allah kepada dunia ini.

Pernikahan Kristen yang sejati bukan terjadi secara otomatis karena dua orang Kristen memilih untuk menikah, ataupun karena pernikahan itu diberkati di gereja. Pernikahan Kristen adalah sesuatu yang lebih besar daripada sekadar mencari pasangan hidup yang sepadan.

Inilah pemahamanku yang baru tentang apa yang Paulus tuliskan dalam 1 Korintus 7.

Ya, orang yang tidak menikah memang memiliki masalah sehari-hari yang lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang menikah. Namun, fakta bahwa berdua lebih baik daripada seorang diri juga benar adanya. Pasangan yang hidup bersama dapat mengatasi masalah sehari-hari dengan lebih baik.

Ya, kita hidup di akhir zaman, orang Kristen tidak boleh membiarkan hal-hal duniawi menguasai hidupnya. Prioritas utama sebagai orang Kristen adalah Kristus dan kekekalan, dan kedua hal ini berlaku baik bagi orang yang menikah ataupun tidak.

Ya, pernikahan akan memberikan tanggung jawab duniawi dan membuat fokus seseorang terbagi-bagi. Mereka yang memilih untuk tidak menikah dapat membaktikan seluruh kehidupannya untuk melayani Kristus. Akan tetapi, adalah sesuatu yang juga benar apabila dua orang yang memutuskan menikah itu menghidupi misi ini bersama-bersama. Tentu hasil yang dihasilkan akan jadi lebih besar. Suami dan istri harus menghidupi hari-hari mereka untuk melayani Kristus. Pemahaman ini membawa kita pada pandangan yang lebih luas tentang ladang pelayanan. Sebagaimana dunia ini adalah ladang pelayanan, demikian juga rumah dan keluarga kita.

Kalimat penutup

Aku masih harus banyak belajar tentang pernikahan, masa single, dan juga tentang hubungan.

Baca Juga:

Pekerjaanku Bukanlah Passionku, Tapi Inilah Cara Tuhan Membentukku

Ketika aku diwisuda pada September 2015, kupikir itu adalah momen yang paling berbahagia dalam hidupku. Aku membayangkan akan masa depanku yang cerah setelah menyandang gelar sarjana. Aku bisa bekerja di perusahaan-perusahaan bonafide. Tapi, momen bahagia itu perlahan pudar menjadi hari-hari penuh perjuangan tatkala aku harus bergumul mencari pekerjaan selama hampir tujuh bulan.

Mengapa Aku Senang dengan Status Singleku

mengapa-aku-senang-dengan-status-singleku

Oleh Aryanto Wijaya

“Waktu aku masih kecil, aku lihat orang dewasa pacaran. Waktu aku dewasa, aku lihat anak kecil pacaran.”

Begitulah isi tulisan yang kutemukan dalam sebuah meme saat aku sedang asyik menjelajah timeline Instagram-ku. Apa yang baru saja kulihat itu membuatku tertawa. Ya, sampai hari ini aku belum pernah berpacaran sama sekali.

Ketika satu per satu teman-temanku mulai memiliki gandengan tangannya, aku masih setia dengan statusku sebagai lelaki single sejak masa sekolah, kuliah, bahkan hingga sekarang bekerja.

Dulu aku tidak percaya diri, selain karena aku dibesarkan di keluarga broken-home, aku juga tidak bisa bermain musik, pandai berolahraga, ataupun punya banyak uang. Aku hanyalah seorang lelaki biasa dan kupikir bukan tipe lelaki idaman para perempuan.

Sebetulnya aku pernah jatuh cinta beberapa kali kepada teman-teman perempuanku, tetapi aku tidak pernah menanggapi serius perasaan itu. Alih-alih segera “nembak”, aku lebih memilih menjadi sahabat dengan orang yang kusuka hingga akhirnya jarak dan waktu memisahkan kami. Tapi ada satu pengalaman jatuh cinta yang menurutku paling berkesan.

Saat kuliah dulu aku pernah jatuh cinta kepada sahabatku. Awalnya kami bertemu di sebuah persekutuan doa yang digelar seminggu sekali di kampus. Kami berdoa bersama, pergi jalan-jalan, dan begitu terbuka untuk menceritakan beban hidup masing-masing. Beberapa bulan sebelum aku lulus kuliah dan kembali pergi merantau, aku menyatakan perasaanku padanya. Tapi dia tidak ingin persahabatan ini berubah status menjadi pacaran dan aku menghargai keputusannya. Kami masih berteman hingga hari ini sekalipun jarak memisahkan kami.

Belum punya pacar itu bukan berarti hidupku menjadi kurang berarti. Sama pula jika aku memiliki pacar, bukan berarti hidupku jadi selalu lebih baik. Seringkali aku menjadi tempat curhat dari teman-temanku yang berpacaran seumur jagung lalu putus. Bahkan ada pula yang berpacaran bertahun-tahun tapi putus karena beragam alasan. Sekalipun aku belum pernah mengalami yang namanya pacaran, tapi mereka merasa nyaman dan cocok untuk menceritakan keluh kesah hubungan mereka kepadaku.

Aku senang dengan statusku sebagai seorang lelaki single. Ketika rasa kesepian itu datang, aku dapat mengalihkan rasa itu menjadi hal-hal positif yang membangun hidupku.

1. Aku bisa traveling dan menulis di blog

Selama empat tahun masa kuliahku di Yogyakarta, aku telah mengelilingi hampir setengah dari Indonesia, dari kota Sabang di paling barat, hingga kota Manado di Sulawesi Utara. Aku bergabung dengan teman-teman komunitas backpacker yang memungkinkanku untuk bertemu orang-orang dari banyak negara. Bahkan di tahun 2015, seorang temanku dari Jerman datang ke Indonesia dan mengajakku pergi menemaninya berkeliling Sumatera selama satu bulan penuh, dan dia membiayai seluruh akomodasi perjalananku!

Tak berhenti sampai di situ, pada tahun 2014 aku diterima bekerja sebagai staf bagian promosi di kampus tempatku belajar. Hampir setiap bulan aku pergi dikirim ke berbagai kota di Indonesia untuk mengenalkan kampusku kepada siswa-siswi SMA. Suatu pekerjaan yang sangat kucintai karena aku bisa traveling dan juga dibayar.

Kesempatan-kesempatan traveling yang Tuhan berikan itu membuatku mengenal banyak teman-teman baru. Dalam beberapa kesempatan, aku bisa menggunakan itu untuk bercerita kepada mereka tentang pengalaman imanku kepada Yesus.

Aku tidak ingin menikmati traveling itu sendirian, jadi aku membuat sebuah blog dan menuliskan setiap kesan dan pengalaman dari perjalanan-perjalanan yang kulakukan. Aku percaya bahwa Tuhan memberiku masa single yang panjang supaya aku bisa memperkaya hidupku dan menjadi berkat untuk orang lain. Bagaimana dengan kamu?

2. Aku memiliki waktu lebih banyak bersama keluarga dan teman-temanku

Ketika aku merasa cukup dengan apa yang Tuhan berikan padaku, aku percaya bahwa Dia akan memberiku tanggung jawab baru sesuai dengan waktu-Nya. Yesus sendiri mengatakan, “Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar” (Lukas 16:10).

Masa-masa single yang Tuhan berikan padaku saat ini adalah kesempatanku untuk mencintai keluarga dan teman-temanku. Aku senang mendengarkan cerita dari teman-temanku. Biasanya setelah jam kerja usai aku tidak akan langsung pulang menuju kost, tapi menemui teman-temanku terlebih dulu. Sekalipun kadang aku merasa lelah, tapi bertemu teman-temanku membuatku merasa bersyukur. Ketika mereka curhat kepadaku, kehadiranku menguatkan mereka bahwa mereka tidak sedang berjuang sendirian.

Satu kali dalam sebulan aku selalu menggunakan akhir pekan untuk pulang ke kampung halamanku dan bertemu dengan keluarga. Waktu terus berjalan dan itu berarti usia kedua orang tuaku akan semakin senja. Di masa-masa inilah aku ingin tetap ada untuk mereka, di tengah kesibukan pekerjaanku aku ingin memberikan kehadiranku di rumah sebagai ungkapan nyata bahwa mereka begitu berarti untukku.

Aku harus mengucap syukur dengan apa yang ada padaku, bukan apa yang tidak ada. Jika saat ini aku diizinkan untuk tetap single, itu tandanya Tuhan sedang memurnikan karakterku terlebih dahulu lewat proses mencintai keluarga dan teman-temanku.

Jika kamu juga sedang menjalani masa-masa single sepertiku, mungkin kamu juga bisa memaksimalkan waktumu sekarang untuk mengasihi keluarga dan teman-temanmu terlebih dahulu.

* * *

Sejatinya, aku tidak memiliki belahan jiwa karena Tuhan menciptakan jiwaku utuh. Jadi ketika Tuhan nanti berkata bahwa sudah saatnya aku melepas masa single-ku, maka di situ jugalah Dia sudah menyiapkan seorang perempuan yang juga jiwanya utuh untuk dilebur menjadi satu di dalam Yesus.

Kelengkapan hidup kita bukan ditentukan dari status single atau couple. Jadi, punya pacar ataupun tidak, Tuhan menciptakan jiwa kita itu utuh, tidak kurang setengah hanya karena kita belum memiliki pacar. Punya pacar atau tidak, Tuhan tetap memiliki rancangan yang terbaik untuk kita, dan Dia mau supaya lewat hidup kita rancangan itu dinyatakan.

Jadi, apapun status hubunganmu saat ini, maukah kamu mengisinya dengan memberkati orang lain?

Baca Juga:

Mengapa Aku Memutuskan untuk Tidak Berhubungan Seks Sebelum Menikah

Aku memiliki pendirian yang teguh untuk menolak hubungan seks di luar pernikahan, dan tentunya ada risiko atas pendirian itu. Aku sering dianggap aneh oleh teman-teman ketika mereka tahu tentang pendirianku itu. Mereka seringkali mengatakan padaku, “Tapi, kamu harus mencobanya supaya kamu tahu apakah kamu cocok dengan pasanganmu atau tidak.”

Mengapa Aku Berada dalam “Friend-Zone” Selama 15 Tahun

mengapa-aku-berada-dalam-friend-zone-selama-15-tahun

Oleh Amy J., Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why We Spent 15 Years In The “Friend Zone”

15 tahun. Ya, selama itulah aku dan suamiku, Jonathan, berteman sebelum kami akhirnya menikah. Mungkin kamu akan menganggap kami sebagai contoh nyata dari kata-kata bijak, “Hubungan yang terbaik berawal dari pertemanan”.

Kalau kamu berpikir aku adalah seorang yang sangat kaku atau penganut setia dari buku tentang berpacaran yang paling populer di zamanku, “I Kissed Dating Goodbye” karangan Joshua Harris—yang mendorong para pasangan untuk pacaran hanya jika siap untuk menikah—mungkin kamu akan kecewa. Kenyataannya, Jonathan adalah pacarku yang kelima (dan itu belum termasuk gebetan-gebetanku yang lain).

Namun, aku adalah pacar kedua Jonathan, dan ketika dia “menembakku”, dia cukup yakin bahwa aku adalah orang yang ingin dia nikahi. Dia memiliki kepercayaan diri itu karena dia telah cukup lama mengenalku, di mana sepanjang masa itu kami telah melewatkan berbagai masa perang dingin, teleponan hingga larut malam, dan saling berbagi begitu banyak kartu ucapan. Aku baru sadar setelah menikah bahwa aku punya sebuah kotak sepatu yang penuh kartu ucapan yang pernah diberikannya.

Izinkan aku untuk menceritakan kisah kami dari awal.

Jonathan dan aku pertama kali bertemu dalam sebuah kelompok pemuda setelah aku lulus Sekolah Minggu. Pada usia 15 tahun, kami menjadi teman baik dan memimpin sebuah kelompok kecil bersama-sama. Selama dua tahun berikutnya kami mulai menganut pandangan kami masing-masing tentang hubungan dengan lawan jenis. Jonathan memutuskan untuk tidak berpacaran sampai dia selesai menyelesaikan Wajib Militer (sekitar usia 19 tahun), sedangkan aku memutuskan untuk berpacaran sesegera mungkin.

Waktu itu, prinsip kencanku sederhana: berkencanlah sampai kamu menemukan “orang yang tepat”. Jadi itulah yang aku lakukan. Satu demi satu kegagalan dalam hubungan aku alami selama beberapa tahun, sampai aku menjadi meragukan prinsipku. Aku juga menjadi ragu apakah nanti aku akan menikah.

Di sisi lain, Jonathan terus memegang komitmennya untuk tetap menunggu—bahkan hingga dia lulus kuliah dan menjalani tahun-tahun yang berat sebagai penyelam di Angkatan Laut. Ketika akhirnya dia mulai berpacaran, dia melakukannya dengan berhati-hati dan penuh komitmen, dengan sebuah harapan untuk dapat menikahi pacarnya saat itu.

Beberapa tahun kemudian, dia menceritakan kepada anak-anak muda tentang alasannya mengapa dia menunggu hingga usia 21 sebelum dia mulai berpacaran: Dia ingin mendedikasikan masa-masa muda terbaiknya untuk Tuhan dan untuk pelayanan di mana Tuhan menempatkannya. Dia terinspirasi oleh Pengkhotbah 12:1, yang berkata, “Ingatlah akan Penciptamu pada masa mudamu, sebelum tiba hari-hari yang malang dan mendekat tahun-tahun yang kaukatakan: ‘Tak ada kesenangan bagiku di dalamnya!’”

Dia juga mempunyai alasan-alasan lainnya—menurutnya akan sulit untuk menjalin sebuah hubungan ketika dia ada dalam Angkatan Laut, dan dia juga belum siap secara finansial untuk menikah saat itu. Namun alasan utamanya tetap single adalah agar dia dapat fokus untuk melayani Tuhan.

Ketika teman dekat kami tahu bahwa kami akhirnya akan menikah, dengan bercanda mereka mengatakan bahwa aku telah membiarkan suamiku berada dalam “friend-zone” (“zona-teman”) selama 15 tahun. Aku tidak setuju dan mengatakan pada mereka, justru yang terjadi adalah sebaliknya! Suamiku telah membiarkanku ada dalam zona ini selama 15 tahun karena dia ingin menggunakan masa mudanya untuk melayani sepenuh hati dalam pelayanan kaum muda. Dan aku senang karena dia melakukannya.

15 tahun itu memberikan kami waktu untuk saling mengenal sifat-sifat aneh yang kami miliki, untuk belajar arti di balik setiap kernyitan alis, dan untuk memahami apa yang menjadi pendorong semangat bagi masing-masing kami. Dan karena kita memiliki banyak teman bersama, kami sangat senang karena ada banyak teman yang mau membantu persiapan pernikahan kami, dan kini juga membantu menjaga bayi kami! Waktu pertemanan yang panjang telah membuat kehidupanku setelah pernikahan menjadi jauh lebih baik.

Jangan salah, kami masih memiliki perbedaan-perbedaan yang harus kami hadapi. Namun memiliki seseorang yang tahu betul apa yang kamu rasakan hanya dari sekali memandang, menurutku itu adalah hasil dari sebuah fondasi yang telah teruji—pertemanan.

Baca Juga:

Sungguhkah Menikah Seindah di Film? Inilah Pengalamanku Setelah 5 Bulan Menikah

“And they live happily ever after.”
Begitulah gambaran yang aku dapat dari film-film ketika dua insan bersatu dan memasuki kehidupan bersama dalam pernikahan. Di negeri dongeng, pernikahan seringkali digambarkan sebagai sebuah hal yang indah, memukau, dan menawan hati. Namun, bagaimana kenyataannya? Inilah sepenggal pergumulanku yang ingin aku bagikan seputar pernikahanku

Mengapa Aku Masih Single?

mengapa-aku-masih-single

Oleh Krysti Wilkinson, Amerika Serikat
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why Am I Still Single?

Aku sedang duduk di bangku gereja mendengarkan khotbah pendeta kami ketika pandanganku tertuju pada sepasang kekasih yang duduk beberapa baris di depanku. Tidak jelas apakah sang perempuan sedang bersandar di bahu sang lelaki, atau sang lelaki sedang mengecup kening sang perempuan, namun pemandangan itu mengalihkan perhatianku.

Aku mengenal perempuan itu. Setahuku, dia tidak sedang dalam situasi yang terbaik untuk memulai sebuah hubungan. Namun kini, dia ada di sini dan bermesraan dengan pacar barunya.

Aku menghela nafas, menggeser posisi dudukku, dan melirik barisan bangku tempatku duduk. Ada tujuh atau delapan orang gadis dengan buku catatan dan pulpen di tangan mereka. Beberapa dari kami bahkan membawa Alkitab (betapa rohaninya!). Kami Kristen, cantik-cantik, tapi sama-sama belum punya pacar.

Aku pernah berpikir, “Kami melakukan segala sesuatu dengan benar. Kami mematuhi setiap peraturan. Kami melakukan segala yang terbaik—mengapa kami belum punya pacar?”

Jawaban Tuhan seakan menampar wajahku, “Kapan Aku pernah menjanjikan kamu akan punya pacar kalau kamu melakukan semua itu?”

Hari itu aku menyadari kalau selama ini aku memiliki pemikiran yang salah. Sebelumnya, aku memandang hubungan yang kumiliki dengan lawan jenis adalah upah yang diberikan Tuhan kalau aku menjadi seorang Kristen yang baik. Aku pikir jika aku pergi ke gereja setiap minggu, mungkin akan ada seseorang yang mendekatiku. Jika aku ikut pendalaman Alkitab setiap minggu, mungkin aku akan mendapat pacar. Jika aku berhasil mencapai level kesucian tertentu, aku mendapat cukup banyak poin untuk dapat menikah. Jadi mungkin aku tidak cukup suci, karena itulah aku masih single.

Aku tahu betapa bodohnya pemikiranku itu. Tapi bertahun-tahun aku hidup mempercayai kebohongan-kebohongan ini. Ketika sebuah hubungan terasa seperti sesuatu yang perlu kamu kejar, kamu akan merasa gagal ketika kamu menemukan dirimu masih tetap single.

Ini pesan yang ingin kusampaikan: berpacaran bukanlah sebuah prestasi, dan pernikahan bukanlah sebuah hadiah juara. Tuhan tidak pernah berjanji untuk memberi kita seorang pasangan dan dua anak yang sempurna dan kehidupan yang bahagia selamanya di dalam rumah yang nyaman. Tuhan tidak pernah menjanjikan bahwa kesetiaan akan selalu menghasilkan kebahagiaan, kemakmuran, atau kehidupan yang menyenangkan (seringkali yang terjadi malah kebalikannya). Namun, ketika kita melihat teman-teman kita seolah memiliki hidup yang sempurna, kita mungkin bertanya: Mengapa bukan aku? Mengapa hidupku tidak seperti itu? Mengapa aku masih single?

Menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu tidaklah salah. Menjadi jujur tidaklah salah. Merasakan apa pun yang kamu rasakan tidaklah salah. Yang menjadi salah adalah jika kita terus-menerus terjebak dalam pertanyaan-pertanyaan itu.

Ketika kamu bertanya “mengapa kamu masih single”, itu memang bisa membuatmu melakukan refleksi diri dan bertanya pertanyaan-pertanyaan lain yang baik, seperti: Apakah kamu sudah siap untuk memulai hubungan yang baru? Apakah kamu ada di lingkungan yang baik? Apakah ada kebiasaan-kebiasaan buruk yang mempengaruhi hubunganmu dengan sesama? Tapi, pertanyaan “mengapa kamu masih single” juga dapat membuatmu jatuh semakin dalam, terjebak dalam kesalahan-kesalahan yang pernah kamu buat dalam hubunganmu yang sebelumnya, menjadi terobsesi akan interaksi dengan lawan jenis, atau menghabiskan tenagamu untuk menarik perhatian seseorang.

Saranku, daripada terus bertanya kepada dirimu “mengapa kamu masih single”, bertanyalah kepada Tuhan apa yang Dia kehendaki untuk kamu kerjakan selagi kamu single.

Kamu tidak harus menyukai status single-mu—tetapi kamu bisa mengundang Tuhan untuk hadir dalam setiap detik hidupmu. Tanyakanlah Dia apa yang sedang Dia lakukan dalam hidupmu, ke mana Dia memimpinmu, dan apa yang Dia kehendaki bagimu selanjutnya. Bisa jadi Dia menghendakimu menjalin sebuah hubungan, atau malah sebaliknya. Aku tidak tahu apa kehendak-Nya bagimu, tapi aku tahu bahwa Tuhan itu baik, begitu pula rencana-Nya.

Hari itu, beberapa tahun yang lalu, Tuhan mengingatkanku akan pemikiranku yang salah tentang imanku. Ini menolongku untuk memeriksa apa yang menjadi motivasiku dalam melakukan segala kegiatan gereja—apakah aku melakukannya agar aku mendapat pacar, ataukah aku melakukannya karena kasihku bagi Bapaku?

Ketika aku juga bertanya kepada Tuhan tentang apa yang Dia ingin aku kerjakan selagi aku single, aku menjadi sadar akan banyak hal di sekitarku: kesempatan-kesempatan pelayanan, hal-hal yang dapat aku kembangkan, persahabatan-persahabatan yang perlu kubangun, dan bahkan beberapa laki-laki yang sebelumnya tak pernah terpikirkan untuk menjadi dekat denganku.

Tuhan selalu mempunyai cara untuk mengejutkan kita. Kadang yang perlu kita lakukan hanyalah bertanya kepada-Nya.

Baca Juga:

Jawaban Bijak Ayahku Ketika Aku Mengatakan Akan Menjadi Istri Hamba Tuhan

Keputusan sulit harus kuambil ketika suamiku menjadi seorang hamba Tuhan penuh waktu dan meninggalkan segala kariernya di dunia sekuler. Aku harus melepaskan karierku untuk mendukung suamiku sebagai istri hamba Tuhan. Dalam pergumulanku, aku ingin taat pada Tuhan, namun aku juga ingin memberkati ayahku secara finansial di masa tuanya.

Pergumulanku Sebagai Seorang Wanita Lajang

pegumulanku-sebagai-seorang-wanita-lajang

Oleh J. Koon, Malaysia
Artikel asli dalam bahasa Inggris: What Singleness Taught Me About Love

Ketika sedang makan siang dengan seorang temanku suatu hari, kami mengobrol tentang sebuah topik yang favorit di antara wanita lajang: tentang hubungan.

Berbeda dengan yang digambarkan oleh banyak serial drama romantis dan film-film, kehidupan seorang wanita profesional yang lajang (terutama jika dia adalah seorang Kristen) jauh dari kata-kata romantis dan aktivitas sosial. Malahan seringkali mereka dipenuhi oleh kekhawatiran dan pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang menjadi rencana Tuhan bagi kehidupan percintaan mereka—di samping fokus mereka untuk meraih kemajuan karir dan finansial.

Di antara para teman-temanku yang masih lajang, aku sering mendengar keluhan-keluhan seperti:

“Tidak ada lagi pria Kristen lajang yang tersisa.”

“Aku telah berdoa tapi Tuhan tampaknya tidak mendengarkan doa-doaku.”

“Aku telah bertahan dengan seorang pria Kristen yang sulit selama bertahun-tahun. Mungkin sekarang saatnya aku mempertimbangkan orang lain yang datang dalam hidupku, apapun kepercayaannya.”

Aku dapat mengerti mereka, karena tahun lalu aku juga mengalami putus dengan pacarku. Mudah bagi kami, para lajang, untuk menjadi putus asa dan bertanya-tanya apakah kami akan benar-benar menemukan seseorang. Keadaannya bahkan menjadi lebih sulit ketika kami melihat orang-orang di sekitar kami berpasangan, menikah, dan seiring waktu memiliki keluarga mereka sendiri.

Tulisan-tulisan di media sosial tentang kehidupan pernikahan atau keluarga teman-temanku juga tidak membuat pergumulanku menjadi lebih mudah. Mereka bahkan memicu perasaan panik dalam diriku karena mereka mengingatkan usiaku yang semakin bertambah. Dengan tidak adanya pasangan potensial yang dapat kami lihat, kami kadang bertanya-tanya apakah ada yang salah dengan diri kami.

Mungkin karena pemikiran-pemikiran ini di antara para lajang sehingga rasul Paulus menuliskan dalam 1 Korintus 7:7-8: “Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku; tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu. Tetapi kepada orang-orang yang tidak kawin dan kepada janda-janda aku anjurkan, supaya baiklah mereka tinggal dalam keadaan seperti aku.”

Tidakkah menarik mengetahui bagaimana Paulus menggunakan kata “karunia” dan “baik” untuk menggambarkan mereka yang lajang? Paulus pasti tahu bagaimana rasanya menjadi seorang lajang, karena dia juga adalah seorang lajang! Tapi mengapa kita juga tidak berpikir seperti itu?

Mungkin kita telah membiarkan ekspektasi masyarakat mempengaruhi kita. Mungkin kita sedang membangun identitas kita tentang apa yang orang lain pikirkan tentang kita dan kita juga membiarkan nilai diri kita ditentukan oleh apakah kita memiliki pasangan yang mengasihi kita atau tidak. Jadi bagaimana kalau kita tidak memiliki semua hal itu? Apakah itu berarti kita kehilangan identitas dan nilai diri kita? Siapa atau apa yang menentukan nilai diri kita?

Ketika orang-orang bertanya tentang kehidupan percintaanku, aku seringkali tergoda untuk menjawab, “Kehidupan percintaan apa?” Tapi kenyataannya, aku juga mempunyai sebuah kisah cinta, aku punya sebuah kehidupan percintaan. Aku mengingatkan diriku bahwa kisah cinta terbesar bukanlah Romeo dan Juliet, atau Mark Antony dan Cleopatra, atau bahkan Shah Jahan dan Mumtaz Mahal. Kisah cinta terbesar adalah ketika Allah mengutus Yesus untuk datang ke dalam dunia untuk hidup di antara kita dan mengorbankan nyawa-Nya bagi kita di atas kayu salib. Kisah cinta terbesar terjadi ketika Allah menawarkan kita pengampunan akan dosa-dosa kita dan memberikan kita kehidupan yang baru sebagai anak-anak-Nya.

Mengingat identitasku sebagai seorang anak Allah yang berharga memberikan perspektif yang baru bagi kekhawatiran dan masalah-masalahku. Ketika aku depresi dan kesepian, pemikiran bahwa aku adalah anak Allah mengingatkanku akan identitasku di dalam Kristus. Aku dikuatkan oleh Roh Kudus yang memampukanku untuk bisa yakin dengan nilai diriku dan dalam rencana Tuhan yang sempurna dalam hidupku.

Aku masih berharap aku akan menikah suatu hari nanti. Tapi aku tahu bahkan jika itu tidak terjadi, Allah adalah seorang Bapa yang selalu mengasihiku dan tahu yang terbaik bagiku. Aku tidak perlu takut akan masa depanku.

5 Kiat Hidup Efektif untuk Para Lajang

Penulis: Andrea Chan
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: 5 Life Hacks for Singles

Ketika beberapa tahun lalu usiaku melewati angka 20, aku mulai merasa tertekan karena belum punya pacar. Salah satu video dalam kampanye SKII #ChangeDestiny dengan sangat baik menggambarkan pergumulan yang kami, para wanita lajang, hadapi setiap hari, terutama setelah batas usia 25 tahun terlampaui. Pada batas usia itu, kebanyakan wanita sudah menikah dan memiliki anak-anak.

Dalam masyarakat Asia, menikah itu sama pentingnya dengan memiliki gelar sarjana. Status tersebut menentukan nilai diri seorang wanita di tengah komunitasnya. Jika kamu tetap melajang, orang akan berasumsi bahwa masalahnya terletak pada dirimu—kamu terlalu keras kepala, terlalu tomboi, terlalu mandiri. Diberi label tertentu oleh orang-orang di sekitar kita itu menyakitkan, apalagi kebanyakan wanita lajang sebenarnya juga ingin berkeluarga dan hidup tenang.

Dalam pengamatanku, topik tentang status ini selalu saja muncul dalam percakapan dengan pola yang serupa. Begitu kamu mengaku sebagai seorang lajang, bisa dipastikan lawan bicaramu akan terdiam sejenak, lalu dengan penuh perasaan menepuk pundakmu sembari berusaha memberikan semangat, misalnya dengan berkata, “Jangan kuatir, kamu akan menemukan seorang yang istimewa itu.”

Adakalanya respons semacam itu justru membuat aku tidak tenang, khawatir bahwa aku tidak akan pernah menemukan pasangan untuk berkeluarga. Meski bisa memiliki kebebasan sebagai seorang lajang itu sangat menyenangkan, setiap kali aku melihat banyak pasangan yang bahagia, tak bisa dipungkiri aku mulai ragu apakah diriku ini benar-benar berarti.

Aku yakin, aku bukanlah satu-satunya wanita lajang yang bergumul dengan rasa percaya diri dan tidak pasti dengan masa depan. Dalam masa-masa mempertanyakan kembali arti hidup, aku menemukan beberapa hal yang sangat menolongku menjalani hidup melajang dengan optimal:

1) Daftarkan kualitas-kualitas utama yang kamu inginkan dalam diri calon pasanganmu

Akan sangat menolong bila sejak awal kita sudah punya gambaran tentang apa yang ingin kita lihat di dalam diri calon pasangan kita. Aku baru memahami pentingnya membuat daftar ini ketika tersadar bahwa aku telah mengompromikan semua kualitas yang aku anggap penting dalam hubunganku yang terdahulu.

Sebab itu, aku mendorongmu untuk tidak menunggu. Selagi masih lajang, daftarkanlah semua kualitas yang sesuai standar firman Tuhan. Dengan begitu, nanti kita tidak akan terjebak untuk mengambil keputusan penting menurut emosi kita belaka—sebuah kesalahan yang pernah aku lakukan. Daftar ini juga akan mengingatkan kita untuk sabar menantikan yang terbaik dari Tuhan, tidak mengompromikan nilai-nilai yang penting dalam hidup kita. Aku sendiri mendaftarkan tiga hal penting untuk calon pasanganku: mencintai Tuhan, mencintai anak-anak, dan bisa memimpin.

2) Bijaksanalah memilih apa yang kamu baca dan siapa yang kamu dengarkan

Masa lajang adalah waktu yang baik untuk mempersiapkan diri kita, termasuk cara kita berinteraksi dengan lawan jenis dan batasan-batasan yang ingin kita jaga. Pada zaman ini, orang tidak lagi begitu peduli tentang batasan fisik dan emosional dalam berpacaran, dan kita mungkin sering melihat gaya pacaran yang kemesraannya sudah seperti suami-istri.

Memilih bacaan, lagu, dan tontonan yang sejalan dengan apa yang diajarkan Alkitab akan melindungi kita dari pemikiran yang tidak realistis tentang hubungan, agar kita tidak mudah terluka. Adakalanya harapan-harapan yang tidak realistis itu dibentuk oleh potret hubungan yang tampak begitu ideal di sosial media. Daripada membaca artikel sekuler tentang berpacaran, akan jauh lebih baik untuk meminta nasihat dari pasangan Kristen yang dewasa rohani, mendapatkan wawasan dari artikel-artikel Kristen, dan yang paling penting: dari Alkitab sendiri!

Makin memahami ajaran Alkitab, makin kita akan tahu persis bagaimana menghormati Tuhan dalam persahabatan, juga nantinya dalam tahap hubungan yang lebih khusus.

3) Menganggap setiap orang sebagai teman dulu

Wajar saja bila kita melihat setiap teman lawan jenis kita sebagai calon pasangan yang potensial. Sebab itu, akan sangat menolong bila kita menganggap setiap orang sebagai teman dulu. Cara ini menolongku untuk bersikap natural saat berada di sekitar teman-temanku, tidak tergoda untuk pasang aksi demi mengesankan seseorang. Bila nanti persahabatan itu berlanjut ke hubungan yang lebih serius, aku yakin orang itu menyukai diriku apa adanya.

Aku pernah tergoda berusaha mengendalikan hubunganku dan menulis kisah cintaku sendiri. Namun, aku tidak ingin membiarkan diriku larut dalam fantasi yang muncul dalam pikiranku. Aku meminta Tuhan menolongku untuk bisa melihat setiap teman di sekitarku sebagai saudara di dalam Kristus, supaya aku tidak menjadi terobsesi dengan orang yang kupikir akan menjadi pasanganku.

4) Beri diri menjadi sukarelawan dalam kegiatan-kegiatan yang positif

Sebagai orang-orang yang telah diberkati dengan kelimpahan kasih Tuhan, kita dipanggil untuk menjangkau dan memberkati sesama kita. Hal ini bisa kita lakukan dengan melayani, menjadi sukarelawan, baik di dalam gereja maupun di tengah masyarakat. Ketika kita masih lajang, kita punya lebih banyak waktu, mengapa tidak menggunakannya untuk membagikan kasih Tuhan dengan orang lain?

Aku sendiri menjadi sukarelawan dalam organisasi yang melibatkan anak-anak, juga dalam distribusi makanan bagi orang-orang yang membutuhkan, misalnya melalui Food Bank, Soup Kitchens, kamp, atau di sekolah-sekolah.

Menjadi sukarelawan juga bisa sesederhana memasak makan malam atau mengurus cucian untuk semua orang di rumah kita sendiri. Sebuah tindakan yang sederhana, tetapi bisa berdampak besar. Tindakan itu akan mengekspresikan kasihmu kepada keluarga. Aku yakin ibumu tidak akan mengeluh.

5) Berdoalah, serahkan ketakutanmu kepada Tuhan

Aku telah mengalami bagaimana doa menjadi cara terbaik untuk mengatasi ketakutanku, kalau-kalau aku tidak akan memiliki keluarga sendiri.

Ketika rasa ragu dan khawatir menyerang, aku berdoa memohon:
– Hikmat, untuk mengenali pasangan yang Tuhan siapkan.
– Kejelasan, untuk tahu ke mana atau kepada siapa aku harus melayani selama aku masih lajang.
– Kesabaran, untuk menantikan waktu Tuhan.

Yang pasti, masa lajang adalah pemberian Tuhan dan merupakan kesempatan bagi kita untuk bertumbuh lebih kuat dalam hubungan kita dengan-Nya. Bersukacitalah setiap hari karena kita semua sudah menemukan Pribadi yang istimewa—Tuhan. Orang bilang bahwa cinta pertama itu adalah yang paling istimewa. Tuhan adalah dan akan selalu menjadi cinta pertama kita.

Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih Tuhan, kasih-Nya adalah satu-satunya kasih yang dapat melengkapi hidup kita. Tidak ada hal yang lebih menenangkan hati daripada mengetahui bahwa Pribadi yang menjadi cinta pertama kita juga mencintai kita.

Percayakan kisah cintamu kepada Tuhan, dalam pengaturan waktu-Nya yang sempurna. Sembari menantikan waktu itu, jalanilah hidup dengan optimal—pakailah waktu kita untuk melayani Tuhan, untuk membagikan sukacita kepada orang-orang yang Tuhan tempatkan di sekitar kita, juga untuk menikmati hobi kita.