Posts

Hukumnya Jodoh di Bawah Langit: Law of Love atau Law of Attraction?

Oleh Kenny Tjhin, Jakarta

“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” (Yohanes 13:34-35).

Dear love fighter, beberapa waktu lalu aku lihat postingan di tiktok tentang yang namanya law of attraction. Sederhananya, law of attraction berbunyi you attract what you are, atau dengan kata lain kita akan menarik seseorang/sesuatu yang memang adalah diri kita. Dalam aplikasinya jika kita memang adalah orang yang “positif” seperti rajin ngerawat diri, good looking, rajin kerja, dst., kita juga akan menarik orang-orang dengan karakter-karakter demikian. Jika kita punya yang yang negatif, kita juga akan attract orang-orang yang negatif untuk mendekat pada kita. Dalam hal jodoh, orang baik akan berjodoh dengan orang yang baik, dan demikian sebaliknya orang tidak baik dengan orang yang tidak baik juga.

Di dalam merenungkan Law of Attraction, ternyata Law of Love itu GAK SEMENARIK yang kita bayangkan!

To the point aja, aku tidak akan menyanggah jika kamu yang sudah baca judul akan berekspektasi tulisan ini puncaknya adalah “Law of Love” (lihat lagi Yohanes 13:34-35) sesuai ajaran Yesus dan khotbah-khotbah yang sering kita dengar, karena benar demikian jika kita bicara cinta sejati secara “abstrak”. Bahkan aku berani berargumen bahwa relasi kita dengan Tuhan itu akan menentukan bagaimana kita berelasi dengan jodoh/pasangan kita. Aku pun mengamini sebagai orang Kristen DNA, bahkan aku mengaplikasikan “Law of Love” itu di dalam mencari jodoh dan mendekati perempuan yang aku suka. Semasa remaja SMA, selama 2 tahun aku pernah suka dengan seorang perempuan di gereja dan berusaha untuk menarik hatinya. Di mataku, perempuan itu pintar, cemerlang, baik hati, dan dewasa. Aku pun sudah mengerti jelas apa itu “Law of Love” versi Alkitab dan aku pun coba mengaplikasikannya di dalam mengejar cinta. Aku berdoa kepada Tuhan, mengenal dia dan pergumulannya, menemani dia melakukan hobinya pergi ke festival anime Jepang, mengajaknya olahraga pingpong bersama, menjadikannya teman cerita senang dan sulitnya aku. Semua itu kulakukan selama 2 tahun layaknya anak muda yang mau serius mengasihi dan membangun cinta. Akan tetapi kemudian semua itu kandas. “Law of Love” itu seakan-akan dikalahkan dengan “Law of Attraction” di mana dalam waktu singkat yaitu 2 bulan perempuan itu lebih mendekat kepada laki-laki lain yang lebih “dewasa” dan mapan daripada aku.

Jika kita sadar bahwa relasi kita dengan Tuhan menentukan relasi kita dengan calon pasangan atau pasangan kita, kita juga perlu belajar membuka mata akan realita yang Tuhan sudah izinkan terjadi. Dulu aku hanya tahu apa itu “Law of Love”, tapi saat ini aku melihat apa itu “Law of Love”. Ternyata  “Law of Love” adalah ajaran yang tidak menarik jika diaplikasikan dalam mencari jodoh. Mungkin ketika melihat kisah pribadiku, mudah bagi sebagian kita untuk lompat pada asumsi bahwa “aku ini kurang iman, melawan Tuhan”, “perempuan itu belum dewasa rohani”, dunia ini “berdosa”, atau “bukan jodoh”. Waktu itu pun aku marah dan tidak mengerti mengapa “Law of Love” tidak bisa menarik perempuan itu dibandingkan “Law of Attraction”. Ajaran “Law of Love” orang Kristen ternyata tidak semenarik seperti yang kita bayangkan.

Alkitab sendiri tidak pernah mengajarkan secara khusus formula untuk memperoleh jodoh berdasarkan Law of Love. Tidak pernah sama sekali sebenarnya kita boleh cepat-cepat berasumsi bahwa Law of Love adalah senjata ampuh mencari jodoh dari Tuhan, melainkan Law of Love adalah pedoman dasar kehidupan orang Kristen. Pedoman bukan tujuan terakhir kita, tapi sebuah petunjuk di dalam menghidupi iman Kristen. Sederhananya, ketika kita mengasihi, kasih yang diajarkan Kristus bukan kasih yang mengharapkan balasan. Walaupun yang namanya relasi perlu adanya hubungan timbal balik (tidak bertepuk sebelah tangan), kita perlu selalu siap akan penolakan dan kekecewaan. Bersiap untuk ditolak bukan artinya negative thinking, tapi sebuah proses mendewasakan pribadi kita.

Siap ditolak, siap kecewa, siap untuk next stage of love: attach and detach

Hukum cinta yang aku sebut menempel (attach) dan melepas (detach) adalah cinta yang mau menempel pada waktunya kita menjalani relasi yang sehat dan melepas di saat kita harus menghadapi realita bertahan hidup. Dosenku pernah ditanya kenapa dia menikah dan jawabannya sederhana, “untuk bertahan hidup”. Kami tertawa, tapi ternyata beliau benar bahwa urusan mencari jodoh adalah urusan bertahan hidup (survival instinct) manusia dan tidak boleh dicampurkan dengan “Law of Love”. Mencampuradukkan urusan bertahan hidup dan cinta terkadang bisa membawa kita pada asumsi bahwa cinta itu “harus selalu menempel” dan “menang”. Misalnya, ketika kita ditolak oleh orang yang kita kejar, kita akan mudah terjebak pada asumsi bahwa kita “gagal” mengasihi atau kita tidak pantas dikasihi. Kita mudah akhirnya merasa diri insecure karena telah “gagal”. Atau jika kita yang baru saja berpacaran, mudah untuk selalu “menempel” pada pacar baru kita. Selalu sleep call tiap hari, merasa selalu cocok, kemana-mana selalu menempel, hingga suatu saat kita memutuskan menikah dan di titik tertentu kita mengenal konflik. Akhirnya imajinasi tentang “cinta happy ending” akan luntur dan tidak sedikit akhirnya banyak pasangan memutuskan cerai.

Siap mencintai artinya juga siap melepas (detach). Melepas bukan berarti bercerai, tapi melepas harus bersifat spiritual. Sikap melepas (detach) nyatanya punya dasar Firman Tuhan. Realita bahwa “Law of Love” punya aspek “tidak menarik” sebenarnya sudah dikatakan dalam Filipi 2:6-8: Hendaklah kamu dalam hidup bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak mengganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan Manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama.”

Yesus lahir sebagai seseorang yang “melepas” (detach) dengan segala yang dimiliki-Nya di Surga dan lebih memilih taat kepada Allah. Di dunia pun tujuan Yesus datang dan lahir ke dunia bukan untuk menarik orang untuk mengikuti atau menyanjung-nyanjung Dia, namun semata-mata untuk taat kepada rencana keselamatan Allah bagi manusia. Sifat melepas (detach) yang dimiliki Yesus menjadikan Yesus begitu ditinggikan Allah. Maka melepas (detach) yang harus kita lakukan sebagai orang Kristen sifatnya bukan menghancurkan, tapi membawa kita semakin mengenal Allah.

Di dalam hal mencari jodoh atau berpacaran, melepas yang bukan milik kita memang menyakitkan, karena kadangkala kita mengalami penolakan. Siapa yang mau ditolak sama orang yang kita kasihi? Bahkan secara psikologis penolakan punya dampak yang sama dengan patah tulang. Sakit dari penolakan ga bisa dipandang sebelah mata, tapi kita perlu membuka diri akan rencana Tuhan yang bisa memakai penolakan dalam hidup kita untuk menumbuhkan iman kita kepada Dia.

Baik melepas atau menempel, dua-duanya bukan lawan dari kasih. Namun, perjalanan spiritual yang membawa kita merenungkan karya Yesus melalui salib dan kebangkitan-Nya.

Nyatanya, ketika kita merasa dipaksa untuk melepas keinginan kita memperoleh cinta dari orang lain, bisa saja saat itu sebenarnya Tuhan sedang menjaga hati kita dari duri? Atau bisa saja ketika kita terpaksa melepas masa pacaran, itu adalah cara Tuhan menarik kita menjauh dari cinta yang toxic dan yang menghancurkan masa depan kita. Maka dari itu kita perlu berani untuk melepas. Tidak mudah jika di dalam menjalin relasi, kita diperhadapkan pada bentrokan antara keinginan untuk dicintai atau memiliki jiwa yang sehat. Terkadang sebagian orang punya pasangan yang manipulatif, abusive, atau perilaku tidak sehat lainnya, tapi tidak bisa melepasnya karena perasaan bersalah, diancam atau bahkan sudah diikat oleh pengalaman berhubungan seks di luar nikah. Namun sekali lagi, melepas bukan lawan dari kasih, melainkan jalan yang Tuhan sediakan untuk kamu melihat Kristus yang mengasihi kamu dan ingin kamu pulih.

Melepaskan juga tidak selalu berangkat dari orang lain, melainkan bisa dimulai dari emosi yang kita tidak inginkan. Siapa tahu ketika kita marah dan belajar detach dari perasaan kita dengan berdiam diri sejenak, kita akan belajar mengelola emosi dan mengenal kelemahan kita? Ketika kita belajar melepas diri kita dari ekspektasi bahwa pasangan itu harus selalu memenuhi keinginan kita untuk diperhatikan, dimengerti, sebenarnya kita sedang belajar bahwa pasangan kita juga adalah orang yang penuh kelemahan dan rapuh. Mungkin ketika kita mau melepas sikap overthinking kita dengan menulisnya dalam jurnal, kita sedang melakukan terapi diri dan menjadi kreatif. Melepas diri dari perasaan kita bukan berarti kita akan kebal dari rasa sakit, kekecewaan, marah, atau hal negatif lainnya, tapi sebuah langkah pertumbuhan jiwa, pikiran, dan emosi kita yang mau bertumbuh serupa dengan Kristus Allah kita.

Terlebih lagi jika kamu sedang mengalami pengalaman melepas yang begitu sulit dan tidak bisa mengerti, ingatlah bahwa Kristus mengerti pergumulanmu karena Dia bersamamu dan mau membawamu kembali menempel kepada-Nya. Ini bukan jalan untuk membenarkan diri ketika kita ditolak orang lain, tapi jalan untuk membenarkan jalan Tuhan yang bukan jalan hidup kita. Siapa yang tahu jika kamu sedang mengalami putus, Tuhan sedang memecahkan periuk tanahnya supaya dibentuk lebih indah? Siapa yang tahu kalau kamu ditolak cintanya sama doi, Tuhan ingin upgrade pribadi dan penampilan kamu lewat sakit hati? Siapa yang tahu kalau ketika kamu marah kepada pasanganmu, Tuhan sedang ingin membuka luka lama dari diri kamu dan menyembuhkannya? Apa pun yang saat ini kita alami, yuk kembali belajar menyelami isi hati kita, karena cara kerja Tuhan juga adalah melihat hati. Jika memang Dia sedang menuntun kita ke lembah kekelaman, Dia akan senantiasa beserta kita. Dan jika memang Dia sedang menuntun kita pada padang rumput yang hijau, Dia ingin kita hanya puas jika kita hidup di dalam-Nya. Kiranya Roh Kudus senantiasa memimpin kita. Amin.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Tuhan Menjumpaiku Ketika Aku Melajang dan Merasa “Tertinggal”

Oleh Grace Lim 

Artikel ini diterjemahkan dari bahasa Inggris: How God Met Me Where I was Single and Feeling Left Behind

Telah lama aku merindukan sosok pasangan, untuk membangun satu keluarga yang menyembah Tuhan bersama-sama. Namun, rencanaku untuk menikah di usia muda tidak tercapai. Usia 20-anku dipenuhi kisah cinta yang berakhir dengan tidak bahagia. Sampai sekarang aku masih melajang dan mengalami masa-masa ketika aku merasa begitu kesepian.

Mencari pasangan dari circle terdekat seperti teman-teman gereja tidak lagi memungkinkan. Sebagian besar mereka sudah berpasangan atau menikah, meskipun kebanyakan jemaat gerejaku masih berusia muda. Kadang aku merasa seperti orang aneh yang tertinggal. Bergaul dengan teman-teman yang sudah menikah itu jadi tantangan tersendiri bagiku—mereka sering kali tidak punya waktu, prioritasnya beda, dan sulit nyambung karena tahap kehidupan kami yang berbeda. Sulit juga untuk berkenalan dengan orang baru dari orang-orang yang mereka coba kenalkan karena kebanyakan sudah menikah. 

Sikapku dulu hanya duduk diam, menunggu Tuhan memberiku sosok pasangan. Tapi, seiring usiaku bertambah, pandangan ini berubah. Kudengar beberapa pasangan ‘sukses’ dari dating-apps. Kupikir, siapakah aku sehingga aku membatasi cara kerja Tuhan? Aku percaya Tuhan dapat menggunakan media apa pun, termasuk dating apps, untuk memberiku pasangan yang saleh. 

Sudah lebih dari setahun aku menggunakan aplikasi kencan dan ternyata perjalannya tidak mulus. Seperti yang dikatakan beberapa orang, “dating-apps bukanlah untuk orang yang lemah hati.” Swipe kanan-kiri yang entah sudah berapa ribu kali, mengulang lagi sapaan dan pertanyaan, yang ujung-ujungnya malah membawaku pada kecewa dan putus asa. Meski begitu, aku blum menyerah. Aku terus berdoa agar hatiku selalu tertuju pada Tuhan dan Roh Kudus menuntunku dalam perjalanan ini. Bagaimana pun juga, aku ingin membangun sebuah keluarga yang mengutamakan Kristus sebagai pusatnya.

Setelah melalui banyak penolakan, akhirnya aku dipertemukan dengan seseorang yang sangat nyambung denganku. Kami memiliki banyak kesamaan, termasuk keyakinan. Kami beberapa kali bertemu dan sungguh menikmati kebersamaan. Pikiran bahwa dia mungkin adalah “orangnya” terlintas di benakku. Meskipun demikian, aku berdoa agar kehendak Tuhanlah yang terjadi dan Dia menunjukkan apakah si pria ini memang orang yang Tuhan inginkan untukku.

Tuhan menjawab doaku dengan cepat. Suatu sore, pria itu mengirim pesan. Katanya, dia tidak tertarik padaku dan tidak bisa melihat masa depan bersamaku. Mengejutkan. Padahal kami baru saja bertemu sehari sebelumnya dan pertemuan itu terasa menyenangkan dan obrolannya asyik.

Kecewa dan bingung kurasakan. Aku bertanya-tanya: apakah aku telah melakukan kesalahan dalam pertemuan kami? Meskipun aku ingin kehendak Tuhan yang terjadi, aku tidak bisa tidak merasa kesal karena kencanku tidak berjalan seperti yang kuharapkan. Aku juga bingung mengapa Tuhan menutup pintu dengan begitu tiba-tiba, padahal pria itu tipeku.

Namun, dalam kasih karunia dan belas kasih-Nya, Tuhan menjumpaiku dalam kehancuran. Aku merasakan bisikan lembut yang bertanya kepadaku, “Jika kamu sepenuhnya percaya kepada Tuhan dan membiarkan kehendak-Nya terjadi dalam hidupmu, mengapa kamu begitu patah hati dan marah?” Tuhan melihat peperangan di dalam diriku—ingin melakukan kehendak-Nya, namun merasa frustrasi ketika kehendak-Nya terjadi.

Pertanyaan yang kuterima mendorongku untuk merenung dan bertanya kepada Tuhan apa yang ingin Dia ajarkan kepadaku. Meskipun Dia tidak menjawab doaku seperti yang kuharapkan, tapi Tuhan mengizinkanku belajar dua hal dari kejadian ini.

1. Ini tentang mengungkapkan keadaan hatiku

Seringkali, hati kita begitu ingin memenuhi kehendak sendiri, sampai-sampai obsesi itu menguasai diri kita.

Elisabeth Elliot pernah berkata, “Sesuatu yang tampaknya sedikit atau kecil justru punya kekuatan untuk membuat kita mengasihani diri sendiri, seperti halnya kesepian”. Meskipun hubungan dan pengalamanku di masa lalu telah mengajarkanku bahwa Tuhan selalu ingin yang terbaik untukku, tapi ketika aku merasa sangat kesepian, aku tidak dapat melihat kebenaran itu. Seperti yang dikatakan Yeremia 17:9, “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?”

Bagaimanapun juga, Tuhan mengetahui isi hatiku dan apakah aku telah benar-benar menetapkan hatiku di hadapan-Nya, seperti yang telah kudoakan. Lalu, muncul pertanyaan: apakah aku akan tetap menyembah Dia walau segala sesuatunya tidak berjalan seperti yang kuharapkan?

Aku butuh pengingat untuk tunduk kepada-Nya sebagai Raja atas hidupku dan menyerahkan setiap keinginanku kepada-Nya. Aku perlu terus mengulangi kebenaran ini dan mengatakannya dalam hati bahwa Yesus telah membeliku dengan nyawa-Nya sendiri, dan hidupku bukan lagi milikku sendiri (Galatia 2:20, 1 Korintus 6:19-20). Ayat-ayat ini memberiku ketenangan, menunjukkan padaku tentang Seseorang yang mengasihiku hingga rela mengejarku sampai ke kayu salib.

2. Ini tentang kesabaran

Kedua, kejadian ini juga memberikan pelajaran tentang kesabaran. Mempercayakan masa depanku pada rencana baik Tuhan (Roma 8:28-30; Yesaya 55:8-9) membantuku untuk bersabar dalam penantian. Aku tahu bahwa definisi-Nya tentang kebaikan mungkin berbeda dengan apa yang dapat kupahami. Sebagaimana Amsal 3:5 mengingatkanku untuk “Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri”, aku tahu bahwa aku tidak perlu ngotot untuk menemukan seseorang atau mewujudkan sesuatu (misalnya, mengecek aplikasi tiga kali sehari, atau memaksa buru-buru nyambung dengan orang baru).

Sambil menunggu, aku dapat melakukan apa yang telah Tuhan percayakan kepadaku di gereja dan komunitas, seperti menggunakan waktu untuk menulis artikel ini (menulis telah menjadi cara yang efektif untuk mengalihkan pikiranku dari rasa kesepian), berperan aktif dalam kelompok pendalaman Alkitab, dan menolong teman-teman yang membutuhkan.

Berjalan erat dengan Tuhan menunjukkan padaku bahwa Dia berdaulat, Dia baik, dan Dia senantiasa melakukan kebaikan dalam hidupku. Hal ini mengingatkanku untuk terus bersandar pada Roh Kudus ketika segala sesuatunya tidak berjalan seperti yang kuharapkan. Aku mungkin tidak mengerti situasi yang kuhadapi, tetapi dengan menyerahkan hidupku kepada-Nya setiap hari, membantuku menyelaraskan keinginanku dengan keinginan Tuhan. Sebagai gantinya, Dia memenuhiku dengan kekuatan dan hikmat.

Aku juga membangun beberapa rutinitas untuk melewati hari-hari yang sulit itu, seperti meletakkan kesepianku dalam doa, menyatakan janji-janji baik Tuhan dengan lantang, berjalan-jalan, atau menelepon seorang teman. Melakukan hal-hal kecil ini membantu mengalihkan pikiranku dari perasaan mengasihani diri sendiri.

Aku tidak tahu kapan Tuhan akan menjawab doaku untuk mendapatkan pasangan, tapi aku percaya pada waktu-Nya, dan aku tahu Yesus akan menyertaiku dalam kesepianku. Faktanya, aku tahu Dia akan menggunakan kesepianku untuk membawaku lebih dekat kepada-Nya, dan betapa indah serta berharganya hubungan ini!

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Mengharap Fairy-Tale dari Dating Apps: Kala Mencari Pasangan jadi Obsesi

Oleh Agustinus Ryanto

Menjadi jomblo di usia 20-an terasa seperti sebuah paradoks. Di satu sisi kamu merasa independen dan bebas, tapi di sisi lain kamu mulai berpikir, kira-kira siapa, kapan, di mana, dan bagaimana ya aku bertemu si dia? Ditambah lagi kamu melihat teman-temanmu satu per satu mulai berpasangan…dan ditambah lagi tekanan sosial, membuatmu merasa kamu harus mencari pasangan…. Segera, sesegera mungkin sebelum umur makin tua. 

Tapi, di manakah tempat terbaik untuk mencari pasangan itu? Buatku sendiri ini adalah pertanyaan sulit. Di gereja? Hanya ada segelintir pemudi lajang di sana, dan aku merasa tidak cocok dengan mereka. Di kampus? Aku telah lulus beberapa tahun lalu dan kurasa tak ada rekan-rekan lama yang ‘klik’. Di tempat kerja atau komunitas lain? Lagi-lagi tak ada lawan jenis yang dengannya aku merasa ‘klik.’

Usul pun tiba dari salah satu temanku yang pada tahun kemarin akhirnya menikah. Dia dan pasangannya bertemu pada aplikasi kencan online. Bermula dari saling match, mengobrol di fitur chat, pindah ke WA dan IG, lalu bertemu di stasiun. Satu tahun setelahnya, mereka pun menikah. Ahhh, terasa indah dan mulus sekali perjalanan cinta mereka walaupun di dalamnya tentu ada drama-drama yang tak muncul ke permukaan. 

“Cobalah pake apps, gapapa kok, siapa tahu dapet,” katanya menepuk pundakku. Dalam hatiku betul juga sih. Tidak ada salahnya masuk ke dalam wahana perjodohan online ini. Toh, ini kan cuma iseng-iseng. Kalau dapat ya syukur, kalau tidak ya sudah. 

Namun, ketika akhirnya aku membenamkan diriku ke dalamnya, apa yang dulu kuawali dengan iseng rupanya berkembang menjadi obsesi yang membuatku kehilangan damai sejahtera dan sukacita dari menjalani hidup sehari-hari.

Celah untuk terjebak pada obsesi

Kisah-kisah romantis dan keberhasilan orang-orang yang bertemu pacarnya dari dating-apps menjadi bumbu yang hadir setiap kali aku melihat rekomendasi profil-profil yang disajikan di layarku. Jika kurasa menarik baik wajah maupun biodata dan deskripsinya, swipe ke kanan. Jika tidak, swipe ke kiri. 

Satu tahun pun berlalu sejak aku mulai membuat akun. Ada banyak orang yang kutemui secara daring. Beberapa berlanjut menjadi pertemuan di dunia nyata. Tetapi, tak ada satu pun yang berlanjut menjadi relasi serius. Ada yang realitanya tak sesuai dengan profil online-nya atau ada pula yang sekadar menyapa lalu lenyap. 

Jujur saja, lama-lama meskipun prinsip “hanya iseng” dan “kalau dapet syukur, nggak ya udah” kupegang teguh, proses ini melelahkan. Aku pun merenungkan sebuah kenyataan bahwa keberhasilan satu atau dua temanku menemukan kekasih di dating apps bukanlah jaminan bahwa semua orang yang main wadah ini akan pasti mendapatkan pacar. Analogi ini serupa dengan jika tokoh A dapat menjadi presiden dan semua orang punya kesempatan untuk mencalonkan diri, tidak berarti semua orang pasti jadi presiden! Ada banyak faktor yang membuat rumus mencari cinta di dating-apps tidak mutlak memberikan hasil yang pasti dan sama. 

Marshall Segal, penulis dari buku Not Yet Married menuliskan demikian pada artikelnya: “Dating-apps adalah cara yang baru dalam berkencan… Pada tahun 2040, 70% orang diprediksi mungkin akan berpacaran lewat dating-apps.” Tapi, meskipun cara ‘mencari cinta’ terkesan lebih mudah dengan hadirnya dating apps, studi menunjukkan bahwa pada masa sekarang orang-orang lebih merasa kesepian dibandingkan masa-masa sebelumnya… dan penelitian lain menunjukkan bahwa lebih dari setengah pengguna dating-apps merasa kesepian setelah swipe kanan dan kiri profil-profil yang muncul di layar ponsel mereka. 

Dating-apps secara praktis memudahkan kita untuk memperbesar circle dengan berjumpa orang-orang asing yang siapa tahu saling cocok dan bisa melanjutkan relasi di dunia nyata. Tapi, pada praktiknya, berselancar lebih jauh pada wadah ini bisa menjadi celah bagi kita untuk terjebak pada obsesi melihat sosok yang kita anggap prospek hanya berdasar tampilan lahiriah saja. Aku sendiri merasa agaknya tidak adil melihat dan menilai seseorang hanya berdasarkan apa yang dia tulis di biodata dan foto apa yang mereka pasang. Dan, secara subjektif aku merasa aktivitas swipe demi swipe ini seolah menganggap sosok-sosok di tiap profil tersebut ibarat sebuah objek belaka. Seperti sebuah produk yang jika suka kita beli, jika tidak kita buang. Padahal kita tahu bahwa setiap manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya memiliki keunikan masing-masing.

Bukan tentang tempat pertemuan, tapi respons setelahnya

Alkitab memang tidak memberi rincian detail tentang di mana kita harus mencari pasangan. Yang dengan jelas Alkitab tuliskan adalah: “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya.” (2 Korintus 6:14 TB2). Secara biblikal, yang ditegaskan adalah kita harus mendapatkan pasangan yang seimbang, sepadan, yang sama-sama orang percaya. 

John Piper dalam artikelnya berjudul Is Online Dating Good for Christians?menegaskan bahwa berjumpa seseorang dari media online itu baik. Ada orang-orang Kristen dewasa yang berjumpa di sana dan menikah dengan bahagia. Pertanyaan utamanya adalah: apakah kita cukup dewasa untuk bijaksana memilah dan memilih pasangan yang sepadan? Alih-alih kita meluangkan semua energi kita untuk mencari, gunakan energi itu justru untuk membangun diri kita jadi sosok yang sepadan dan dewasa terlebih dulu. 

Ada ungkapan yang berkata bahwa bunga yang mekar dan cantik itulah yang akan memikat lebah. Ungkapan ini mungkin dapat kita analogikan dengan upaya kita membentuk diri jadi sosok yang sepadan. Bukan berarti kita harus memoles diri sedemikian rupa supaya ‘laku’, bukan begitu, tetapi kita berusaha menjadi versi terbaik dari diri kita yang telah ditebus oleh pengorbanan Kristus. Pengorbanan-Nya memampukan kita untuk hidup tidak lagi dipimpin oleh ego kita sendiri, melainkan oleh Roh sehingga lewat hidup kita tumbuhlah buah-buah Roh. 

Memang tidak salah menetapkan kriteria khusus kepada calon pasangan dan menjadikan kriteria itu sebagai patokan. Tetapi, tidaklah adil dan realistis bila seseorang dengan kualitas diri buruk mengharapkan pasangan yang berkualitas tinggi. Sekalipun pada akhirnya dua orang ini bisa bertemu, tetapi ketidaksepadanan itu pasti akan membuat relasi menjadi jomplang dan tak akan bertahan lama. Sembari mencari sosok yang sesuai kriteria, kita pun bisa melatih diri untuk memenuhi ‘kriteria’ tersebut bagi diri kita sendiri. 

Secara praktis, upaya untuk menjadi sepadan itu bisa kita lakukan dengan belajar kecerdasan emosional, berlatih diri untuk berargumen dengan rendah hati, membangun karier yang stabil, atau pun belajar manajemen finansial. Melalui cara-cara praktis yang dibarengi dengan doa inilah akan tumbuh “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri” (Galatia 5:22-23). Ending dari ayat 23 berkata tegas, “Tidak ada hukum yang menentang hal-hal [buah-buah Roh] itu.” Jika kuinterpretasikan secara bebas, tentunya tak ada orang yang menolak buah-buah Roh itu. Bayangkanlah jika kita dan pasangan kita saling memiliki buah-buah Roh dalam hidup masing-masing, sungguhlah kehidupan berpasangan kita kelak akan membawa kemuliaan bagi Allah.

Kisah-kisah bahagia yang dialami temanku dan juga banyak orang lainnya yang menjemput pernikahan dari pertemuan di dating-apps adalah kisah bahagia yang layak untuk kita turut bersukacita. Meskipun tak semua kisah perkencanan online akan berujung seperti mereka, kita bisa belajar bahwa dating apps bisa jadi tempat pertemuan. Yang paling penting bukan sekadar tempat itu, tetapi bagaimana kita menanggapi pertemuan tersebut.

***

Dating apps adalah media yang baik, tetapi aku tidak akan membiarkan natur keberdosaanku menjeratku untuk mengerdilkan bagaimana Tuhan kelak akan berkarya dalam hidupku. Dating apps bisa jadi salah satu jalan untukku bertemu kelak dengan si dia, tetapi bukan satu-satunya jalan yang tersedia. Sembari hadir di dating-apps, aku bisa tetap membangun circle pertemanan di dunia nyata juga. Ikut komunitas-komunitas, entah itu yang komunitas gereja ataupun komunitas lain yang berlandaskan hobi-hobi tertentu. 

Tuhan kita yang kaya dengan rahmat, rindu bahwa dalam upaya pencarian kita akan pasangan hidup, kita tidak berangkat dari rasa insecure, melainkan dengan iman bahwa dengan ataupun tanpa pasangan, anugerah Tuhan selalu cukup bagi kita. 

Pada waktu yang tepat bagi kita, Tuhan akan membuat kita tersenyum seperti yang pemazmur katakan, “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan mengapa engkau gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku bersykur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!” (Mazmur 42:12 TB).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Melajang di Usia 30+: Menyerah atau Bertahan dengan Pendirian?

Oleh Nelle Lim
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 30+, Single, And Trying Not To Settle

Kencan online di usia 30-an sepertinya tidak cocok untuk orang yang hatinya lemah.

Aku pikir aku perlu mengulangi jawaban-jawaban yang sama selama berbulan-bulan, berpikir keras untuk menciptakan obrolan yang santai, dan berusaha untuk tidak melirik jam di pertemuan pertama kami yang terasa membosankan. Meski ketakutan itu mungkin terwujud, tapi tidak ada salahnya untuk tetap mencoba. Kepada seorang laki-laki, aku coba memberanikan diriku untuk memulai obrolan.

Setelah beberapa bulan, aku mulai melihat sifat aslinya. Laki-laki ini orang yang menyenangkan. Dia merespons pertanyaan-pertanyaanku dengan serius, dia mengajukan pertanyaan yang sopan, dan perilakunya juga santun. Meskipun dia termasuk orang yang cukup serius, tapi dia masih punya selera humor (dan senyumannya yang manis). Kami suka menonton acara komedi, jalan-jalan ke luar ruangan, dan belajar hal-hal baru. Di tiga jam pertama dari pertemuan pertama, kami mengobrol dengan lancar sampai-sampai aku lupa pulang.

Tapi, meskipun dia mencantumkan status ‘Kristen’ di profilnya, aku melihat kalau dia tidak punya relasi personal dengan Tuhan. “Tuhan” baginya adalah sosok dengan kuasa yang lebih besar, dan dia tidak yakin dengan konsep bagaimana Salib itu bekerja menyelamatkan manusia. Semakin banyak kami berbicara, semakin terlihat tanda-tanda kehidupan yang hampa darinya. Meskipun dia orang yang ambisius dan sedang berada pada jalannya untuk mencapai kesuksesan, kehampaan itu muncul dari perasaan insecure-nya. Dia mengakui kalau dia takut jadi orang yang tidak relevan dan diabaikan. Untuk mengalahkan kekhawatiran itu, dia tidak mengizinkan ada orang lain yang mengontrol hidupnya—termasuk Tuhan. Dia terus mendorong dirinya untuk jadi yang terdepan.

Godaan untuk menyerah

Setelah putus empat tahun lalu, aku tahu orang yang seharusnya menjadi calonku harus mengasihi dan takut akan Tuhan. Aku bisa menebak masalah apa yang akan datang jika aku berelasi dengan seseorang yang mengandalkan dirinya sendiri untuk menjalani hidup. Kehidupan telah menunjukkanku akan apa yang Yeremia katakan, “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?” (Yeremia 17:9).

Hatiku sendiri, meskipun aku sudah mencoba menyerahkannya pada Tuhan, sering membawaku pada kesulitan. Jadi, jika pasanganku jelas-jelas menolak menyerahkan hatinya pada Tuhan, bagaimana aku dapat percaya pada setiap keputusan atau kata-katanya? Aku akan selalu menebak-nebak apakah itu keputusan dia yang egois. Dan, kurasa dia pun tidak akan pernah bisa jadi pemimpin rohani bagi keluarga.

Dengan harapan untuk memiliki pasangan yang berfokus pada Kristus, kurasa itu sudah cukup buatku untuk mengakhiri relasiku dengan laki-laki itu. Tapi, ketika keputusan itu muncul di otak, aku teringat:

Kamu itu nggak lagi muda.
Kamu siap buat membangun lagi komunikasi dengan orang lain?
Kapan lagi kamu bisa dapet chemistry kayak begini?
Kalau kamu terlalu pemilih, ya terima aja kalau kamu sendirian
Duh, orang seperti dia sih masih gapapa; dia bukan ateis kok.

Melepaskan seseorang yang cukup layak dalam standar masyarakat zaman ini menjadi sangat susah saat berada di usiaku. Aku bisa merasakan pikiranku bergulat untuk menemukan semacam kompromi. Mungkin aku bisa berjuang keras untuk memuridkan dia. Mungkin menginginkan calon suami yang bisa jadi pemimpin rohani cuma angan-angan saja, bukan sesuatu yang wajib? Lagipula, beberapa temanku yang Kristen baik-baik saja kok relasinya selama mereka jadi istri yang kerohaniannya lebih kuat?

Naluriku (atau mungkin Roh Kudus) melihat semua upayaku merasionalkan pemikiran-pemikiranku ini adalah mengangkat alis sebagai tanda heran. Tapi, pikiranku yang dicengkeram rasa takut terus menekanku.

Rumah yang kuharap ingin kubangun

Aku tahu aku bisa berdoa memohon petunjuk dari Tuhan untukku melakukan apa yang perlu. Suatu malam, saat aku sedang mencuci piring, sebuah pertanyaan muncul di pikiranku, “Nilai apa yang paling penting, yang ingin kamu berikan kepada anak-anakmu?”

Hening tetapi menohok, kurasa pertanyaan itu datang dari Roh Kudus. “Ini sih gampang,” pikirku, “aku mau anak-anakku punya relasi yang nyata dengan Tuhan yang mengasihi mereka. Ketaatan mereka adalah sikap hormat bagi Allah yang kudus. Dan supaya mereka bisa melihat setiap orang diciptakan seturut gambar-Nya, yang dengan demikian layak mendapatkan martabat dan kehormatan.”

Bagiku, beberapa nilai yang ingin kuberikan itu akan menolong mereka menemukan versi kehidupan terbaik yang bisa mereka miliki. Aku pernah mencoba hidup tanpa Tuhan, menentang-Nya, tetapi kemudian aku sadar bahwa dikasihi oleh Tuhan akan membentuk hidup kita. Aku percaya penuh bahwa Tuhanlah satu-satunya jalan menuju keutuhan hidup.

Pertanyaan kedua segera datang, “Tapi, bagaimana jika pasanganmu tidak percaya dengan itu semua, atau menolak harapan-harapanmu itu sebagai sebuah prioritas?”

Dan tiba-tiba… pergumulan pikiran selama berminggu-minggu pun hilang. Jika aku tahu apa yang terbaik untuk anak-anakku kelak, bagaimana bisa kelak kami hidup dalam rumah yang tidak bersatu, yang mungkin akan menghalangi mereka untuk tumbuh mendapati kehidupan yang terbaik untuk mereka?

Mungkin Tuhan tahu karena aku tipe orang yang mudah berkompromi, Dia mengajakku untuk berpikir keras. Pikiran-pikiran itu menolongku melihat bahwa pilihan-pilihan yang kubuat terkait pasangan hidupku tidak cuma akan mempengaruhiku, tetapi juga bagi orang lain.

Aku menyadari sekali lagi, ini adalah ujian bagi hatiku. Apakah aku percaya bahwa ketika Tuhan menetapkan batasan yang jelas bagi pernikahan, Dia tahu apa yang terbaik bagi kita? Atau, aku sombong karena kupikir akulah yang lebih tahu? Kupikir aku cukup kuat untuk menanggung semua akibat dari tidak berpegang pada tuntunan Tuhan dan menciptakan pernikahan berdasarkan standarku sendiri?

Ketika aku mengobrol dengan teman-temanku yang menikah dengan bukan orang Kristen, atau menikahi orang-orang yang tidak dewasa secara rohani, semua ilusiku pun buyar. Mereka bercerita betapa kesepiannya mereka karena tidak bisa membagikan isi hati terdalam mereka—perjalanan mereka bersama Tuhan—dengan pasangan mereka. Atau, betapa melelahkannya untuk berjalan secara rohani sendirian. Karena mereka sudah terikat dalam pernikahan, mereka berkata perlu tetap berkomitmen untuk mempertahankannya. Sementara itu, aku masih punya pilihan.

Teman-temanku yang menikahi seorang yang saleh menemukan sukacita tak terduga dari kehidupan pasangannya yang mengasihi Tuhan dan gereja (Efesus 5:25-29), serta bertanggung jawab menjadi pemimpin spiritual dalam keluarga. Mereka juga punya pergumulan, tapi secara karakter mereka semakin bertumbuh. Tanpa mereka perlu berkata, aku bisa melihat sendiri alasan untukku tidak berpasrah diri asal saja menerima siapa pun untuk menjadi pasanganku.

Setelah beberapa minggu mengelola pikiranku, aku memberitahu laki-laki itu kalau aku tidak mampu membangun hubungan ini lebih lanjut dengannya.

Lajang untuk hari ini

Bertumbuh dalam kedewasaan rohani berarti keputusanku—bahkan tentang pernikahan—harus tidak berpusat pada diriku sendiri dan seharusnya lebih kepada apa yang dapat memuliakan Tuhan (1 Korintus 10:31).

Tetapi, menetapkan keputusan berdasarkan apakah keputusan ini mencerminkanku sebagai anak Tuhan terkadang terasa membebani. Di hari-hariku yang sunyi, memuliakan dan menaati Tuhan terasa seperti latihan untuk menekan egoku.

Di hari-hari yang terasa lebih baik, aku ingat janji ini: “Siapa yang menghormati Aku, akan Kuhormati” (1 Samuel 2:30). Janji ini mengingatkanku bahwa ketika Tuhan tidak ingin aku berpasangan dengan seseorang yang tidak mengasihi-Nya, itu tidak berarti Dia ingin aku hidup dalam penderitaan sebagai seorang yang melajang dan kesepian. Meskipun Tuhan tidak memenuhi kebutuhanku dengan cara yang aku inginkan, Dia akan membuatku bertumbuh.

Dalam masa-masa ini, aku melihat bagaimana Dia membawaku kepada relasi spiritual yang dalam, supaya aku bisa mengatasi kesepianku dan memberiku kesempatan untuk membangun kerajaan-Nya. Aku belajar percaya kebaikan-Nya—apa pun bentuknya—pasti akan memberiku kepuasan.

Sejujurnya aku masih belum berani jika Tuhan mengatakan kehendak-Nya bagiku adalah aku melajang seumur hidupku. Aku harus belajar percaya sepenuhnya pada-Nya. Pada tahap ini, akan lebih mudah bagiku untuk “melajang” pada hari ini, tanpa perlu terlalu mengkhawatirkan hari depan. Satu mazmur yang sering kuingat ketika aku menaikkan doa pagi, “Perdengarkanlah kasih setia-Mu kepadaku pada waktu pagi, sebab kepada-Mulah aku percaya! Beritahukanlah aku jalan yang harus kutempuh, sebab kepada-Mulah kuangkat jiwaku” (Mazmur 143:8).

Ini adalah tindakan imanku untuk hari-hari yang kujalani bahwa akan selalu tersedia anugerah yang cukup untuk hidup dan bertumbuh dalam masa-masa lajangku.

Baca Juga:

Cerpen: Ngobrol Dengan Tuhan Itu Asyik

Aku mendengar pintu depan terbuka.

“Lima…Empat…Tiga…Dua…Satu.”

“Dewi…Dewi…Kamu ada di mana?”

Apakah Kesepian itu Dosa?

Oleh Neri Morris
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Is Loneliness A Sin?

Suatu hari aku berangkat kerja. Buku yang baru kuedit di malam sebelumnya muncul di pikiranku, aku berusaha memastikan lagi kalau apa yang kutulis di sana sudah benar secara biblikal. Jadi, kepada dua orang pendeta di ruanganku, aku mengajukan dua pertanyaan:

“Jika Taman Eden itu adalah representasi dari surga-”

“Iya, kah?” pendeta senior balik bertanya.

“Bukankah begitu?” jawabku.

“Apakah Taman Eden itu sungguh nyata?”

“Pertanyaan bagus, tapi mungkin ini lebih baik dijawab di sesi diskusi lain…dan untuk jawaban dari pertanyaan yang terakhir kuajukan, anggap saja Taman Eden itu nyata. Pertanyaanku ialah: jika Taman Eden sungguh nyata dan itu menjadi representasi dari surga, menjadi satu dengan Allah—apakah kesepian akan ada pula di surga karena itu ada di Taman Eden?”

Anak dari pendeta itu ikut menimpali, “Tidak, kesepian itu dosa.”

Aku terkejut, dan kutanya kembali, “Kok bisa?”

“Kesepian datang dari tempat di mana kamu mengalihkan pandanganmu dari Allah. Kamu tidak lagi bersandar pada-Nya,” jawab pendeta senior itu. “Pertanyaan sebenarnya adalah—apakah ada perbedaan antara menjadi sendiri dan merasa kesepian?” tambahnya lagi.

Pertanyaan ini membuatku berpikir.

Aku pernah menulis buku tentang masa lajang, dan di dalamnya aku meluangkan banyak waktu untuk bicara tentang kesepian, mengakui bahwa itu salah satu hal yang sering dialami oleh para lajang.

Tapi pemikiran baru yang menyatakan kesepian adalah dosa sungguh menggangguku. Aku bisa mengerti kenapa anak pendeta itu berkata demikian: apa pun yang menjauhkan kita dari Allah, yang menyebabkan kita meragukan Dia dan mencari kenyamanan di tempat lain, adalah dosa.

Tapi apakah merasa kesepian itu dosa? Atau, apakah dosa itu hanya berkaitan dengan apa yang kita lakukan untuk merespons kesepian itu? Dan, jika tidak baik bagi seorang pria atau wanita untuk sendiri, apakah dosa jika memang mereka memilih untuk hidup sendiri?

Kubukalah tab-tab di Google, dan kuketik, “Apakah kesepian itu dosa?”, dan kudapati kebanyakan artikel mengatakan kesepian bukanlah dosa. Aku sependapat dengan itu. Kesepian sejatinya adalah perasaan yang punya daya yang kuat. Kesepian adalah emosi yang bisa mendorong kita untuk mengambil aksi secara fisik. Kesepian itu tidak nyaman, menyakitkan, yang membuat kita melakukan sesuatu. Kupikir apa yang kita lakukanlah yang akan jadi titik penentunya.

Jika kesepian muncul dan menyelubungiku, aku punya banyak tempat untuk kupergi. Aku bisa pergi ke kafe, bioskop, rumah teman, nonton TV, dan sederet tempat lainnya. Di tempat-tempat itu aku akan menemukan sesuatu, seseorang, atau hal-hal lainnya yang bisa meringankan rasa sakit dari kesepian, dan untuk sementara waktu, aku tidak akan merasa sendirian.

Ada satu kata yang menjadi akar: sendirian.

Apakah kesepian dan menjadi sendiri itu dua hal berbeda?

Yesus sering memilih untuk sendiri. Dalam Matius 26:36-44, di malam sebelum penyaliban-Nya, Yesus pergi sendirian untuk berdoa, memohon pada Allah agar “kiranya cawan ini lalu daripada-Ku”. Ada pula momen-momen lain yang tertulis di Alkitab bahwa Yesus pergi untuk menyendiri, mencari pertolongan dan ketenangan dalam waktu-waktu teduh bersama Allah.

Tapi, apakah Yesus pernah merasa kesepian?

Mungkin tidak pada saat Dia melayani, tapi aku pikir satu momen ketika Dia merasakan pedihnya kesepian adalah ketika Dia tergantung di kayu salib, Allah memalingkan wajah-Nya. “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Yesus berseru (Matius 27:45-46). Namun, meskipun dilanda kesepian hebat, Yesus tetap memenuhi kehendak Bapa.

“Mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Yesus berseru. Di momen ini kita melihat Allah meninggalkan Yesus supaya kita tidak pernah lagi mengalami bagaimana pedihnya terpisah dari Allah.

Tapi sekarang, kita masih saja merasa kesepian.

Aku tinggal sendirian. Hari-hariku menyenangkan, tapi ada malam-malam ketika aku pulang setelah hari yang melelahkan dan aku hanya ingin ada seseorang duduk di sebelahku dan berkata, “Semua akan baik-baik saja.” Hidup sendirian berarti aku tidak mungkin pulang ke rumah dan mendapati ada seseorang yang akan memperlakukanku demikian ketika aku membutuhkan penguatan.

Apa yang kulakukan dengan kesepianku di momen-momen seperti itu?

Jawabanku, apa yang kulakukan akan menentukan apakah kesepian itu dosa atau tidak.

Jika kamu memikirkan tentang kesepian, itu adalah perasaan yang sama dengan perasaan lainnya yang juga kita rasakan. Contohnya, “Apa yang aku lakukan dengan marah/cemburu/frustrasi/sedih/penolakan di saat perasaan itu terasa sungguh menusuk?” Bagaimana kamu menjawab pertanyaan itu akan menentukan apakah hasilnya dosa atau tidak.

Merasa marah pada dasarnya tidaklah buruk, Allah menunjukkan kemarahan-Nya dalam Alkitab pada beberapa momen. Marah versi Allah adalah marah yang benar, dan Dia pun menciptakan kita untuk dapat merasakan marah. Allah mengizinkan kita untuk merasa marah, sebagaimana Dia juga mengizinkan kita untuk merasakan kasih.

Intinya adalah, emosi apa pun yang kita rasakan dapat mendorong kita kepada Kristus, yang telah berjanji tidak akan pernah meninggalkan kita (Ulangan 31:6, Ibrani 13:5). Apa yang kita lakukan dalam merespons emosi itulah yang menentukan apakah itu akan menjadi dosa atau tidak.

Ketika aku merasakan sejumput kesepian, aku melakukan sesuatu yang kusuka. Aku pergi ke teman-temanku atau menikmati alam. Opsi pergi ke alam menolongku terhubung dengan Allah dan mengingatkanku akan kebaikan dan kebesaran-Nya, bahwa aku tidak pernah sendirian. Allah hadir dalam rupa Roh, tapi juga dalam keindahan-keindahan yang Dia izinkan mengelilingiku.

Bagaimana denganmu? Apa yang kamu lakukan untuk merespons perasaan kesepianmu?


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Ketika Sulit Tidur Mengingatkanku akan Kesetiaan Tuhan

3 minggu berkutat dengan insomnia membuatku bergumul. Aku baru bisa tidur pulas sekitar jam 3 atau 5 subuh meskipun aku sudah mendengar musik, membaca, atau melupakan kepenatan sepanjang hari yang kualami.

Kamu Single? Fokuskan Dirimu pada 3 Hal Ini!

Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Things To Focus On When You’re Single

Apakah kamu lelah ditanya-tanya tentang status hubunganmu? Atau, apakah hubungan yang kamu pikir akan langgeng, nyatanya malah berakhir? Apakah kamu menghabiskan liburanmu melihat orang-orang menikah, sehingga kamu bertanya pada Tuhan, “Mengapa aku masih single?”

Mungkin kamu sudah berdoa cukup lama untuk kehadiran pasangan hidup, dan kamu pun merasa masa-masa single ini terasa berat dan menyakitkan. Mungkin juga kamu baru saja menjadi single, atau bahkan belum berkeinginan untuk berpacaran. Bagaimanapun keadaannya, inilah sejumlah hal yang sebaiknya kamu lakukan di masa single:

1. Fokuskan dirimu membangun relasi dengan Tuhan

Dari firman Tuhan, kita tahu bahwa hal terpenting yang bisa kita lakukan dengan waktu yang kita miliki adalah mengenal Tuhan lebih dalam lagi. Tuhan Yesus memberi perintah “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap pikiranmu, dan dengan segenap kekuatanmu” (Markus 12:30).

Ketika kita masih single, jadwal kegiatan kita tentunya lebih fleksibel. Kesempatan ini dapat kita gunakan untuk fokus mengasihi Tuhan dengan cara-cara yang kreatif, yang mungkin tidak dapat kita lakukan dengan leluasa di fase kehidupan yang lain.

Tanyakan pada dirimu, apakah ada cara-cara unik yang dapat dilakukan untuk meluangkan waktu bersama Tuhan? Mungkin kamu bisa mengosongkan waktumu dari kesibukan minggu ini untuk mencari Tuhan di tempat yang tenang. Coba evaluasi kembali jadwalmu, lalu luangkan waktu di satu hari untuk menghabiskan waktu bersama Tuhan meskipun kamu harus menunda pekerjaanmu. Lebih menarik lagi, kamu bahkan bisa mengambil kelas Alkitab online yang disediakan banyak lembaga Kristen!

Lihat ke sekelilingmu dan cobalah melakukan hal yang tidak biasa untuk meluangkan waktu bersama Tuhan.

2. Fokuskan dirimu mengulurkan bantuan kepada orang lain

KIta semua adalah anggota dari keluarga Allah, baik orang Yahudi atau Yunani, hamba ataupun orang merdeka, laki-laki ataupun perempuan, bahkan kita bisa menambahkan single maupun berpacaran! (Galatia 3:28). Apapun status kita saat ini, Tuhan sudah memanggil kita ke dalam keluarga-Nya.

Kebanyakan kita tidak kesulitan untuk bersosialisasi dengan teman sebaya. Tetapi, anggota keluarga Allah juga meliputi para lansia, keluarga muda, orang tua yang baru saja berpisah dengan anak-anaknya yang merantau untuk berkuliah, dan lain sebagainya. Bagaimana jika kita turut meluangkan waktu kita untuk menjadi perpanjangan tangan Tuhan bagi mereka (Galatia 6:10)?

Dapatkah kita membantu pasangan muda untuk menjaga anak mereka selama beberapa jam untuk memberi mereka waktu beristirahat? Atau mungkin membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga seorang lansia sambil mendengarkan kesaksiannya tentang pekerjaan Tuhan yang luar biasa?

Tidak hanya itu, kita juga bisa mengajak sepasang suami istri yang merindukan anaknya untuk makan malam bersama, sambil berbincang tentang tantangan-tantangan yang tengah kita alami di dunia pekerjaan kita. Mungkin juga masa single ini menjadi periode waktu yang baik untuk belajar dari pasangan lain, bahkan mendorong mereka untuk bertumbuh dalam hubungan yang mengejar keserupaan dengan Kristus.

Memang, butuh sedikit keberanian untuk mendekatkan diri pada seseorang yang tidak begitu akrab dengan kita di gereja. Bisa jadi, kita baru mendapatkan respon yang kita harapkan setelah undangan kedua atau ketiga. Tetapi, Tuhan sudah memberkati kita dengan keluarga besar yang beragam untuk suatu tujuan! Yuk, mulai menjangkau mereka!

3. Fokuskan dirimu menikmati musim kehidupan ini

Menjadi single dapat terasa memberatkan jika kita amat mendambakan kehadiran pasangan, dan tentunya, pernikahan. Tetapi, daripada memfokuskan diri pada hal-hal yang belum kita peroleh, ada baiknya kita memusatkan perhatian kita pada hal-hal yang membawa kebahagiaan di musim kehidupan yang tengah kita hadapi.

Kita dapat mengejar karier yang kita sukai. Mungkin ada kesempatan-kesempatan berhaga yang bisa kita lakukan sebagai persembahan di gereja. Mungkin kita terberkati dengan kehadiran sahabat-sahabat yang menemani kita menjalani kehidupan. Kita juga bisa mencoba melakukan hobi-hobi baru.

Penulis kitab Pengkhotbah mengingatkan kita, “Aku tahu bahwa untuk mereka tak ada yang lebih baik dari pada bersuka-suka dan menikmati kesenangan dalam hidup mereka. Dan bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu juga adalah pemberian Allah” (Pengkhotbah 3:12-13).

Dapatkah kamu menemukan tiga hal yang kamu nikmati dari hidupmu saat ini? Bersyukurlah kepada Tuhan untuk berkat yang sudah disediakan-Nya bagi kita. Tuliskan, dan lihat kembali di minggu-minggu, bulan-bulan, dan tahun-tahun mendatang!

Kita tidak tahu berapa lama musim ini akan berlangsung dan apa yang menanti kita di masa depan. Namun, kita dapat mencari cara untuk menikmati musim ini. Rayakanlah kebaikan Tuhan yang sudah kita alami dari dahulu sampai sekarang!

Baca Juga:

Mati dan Bangkit Setiap Hari

Kita mungkin tidak asing dengan istilah KKR yang biasanya menjadi acara besar suatu gereja. Tetapi, pernahkah kita berpikir, bagaimana caranya agar kita mengalami kebangkitan rohani setiap hari?

Mengevaluasi Kembali Masa Single

Oleh Shintya Tanggara, Surabaya

Usiaku 22 tahun. Aku masih single dan aku belum pernah berpacaran.

Menjadi wanita single ketika kamu berumur 17 tahun itu mudah. Kamu punya banyak teman single sepertimu dan yang kamu pedulikan mungkin hanya jurusan kuliah mana yang mau kamu pilih. Di usia awal-awal 20 tahun pun masih cukup mudah, namun rasanya sedikit lebih tidak nyaman dibandingkan saat usiamu 17 tahun, apalagi jika kamu belum pernah berpacaran sebelumnya. Aku hanya bisa membayangkan seperti apa rasanya menjadi seorang wanita single di usia 30 tahunan!

Orang-orang jadi lebih sering bertanya tentang status hubunganmu dan selalu kepo mencari tahu alasan mengapa kamu masih single. Keluarga dan saudaramu mulai memberimu nasihat secara langsung dan tidak langsung tentang bagaimana kamu bisa lebih bergaul dengan orang lain, atau bahkan supaya kamu menurunkan sedikit berat badanmu. Teman-temanmu mengatakan kalau standarmu terlalu tinggi dan kamu sebaiknya mempertimbangkan berpacaran dengan seseorang—siapapun—hanya untuk mendapatkan pengalaman. Adikmu cemas kalau-kalau kamu tidak akan pernah menikah dan hidup sendiri di sebuah apartemen kecil bersama seekor kucing dan anjing shitzu, dan pada akhirnya pindah ke panti jompo saat usiamu 72 tahun.

Satu nasihat yang seringkali muncul di setiap perbincangan tentang masa single adalah kamu tidak akan bahagia jika kamu tidak menikah. Aku tidak yakin bagaimana orang-orang bisa mendapatkan kesimpulan ini. Mungkin dari drama Korea atau dongeng-dongeng di mana “bahagia selamanya” hanya dapat terjadi ketika dua orang menikah, atau mungkin juga itu berasal dari nasihat bijak yang diturunkan dari generasi ke generasi. Tidak dipungkiri bahwa kita menyamakan pernikahan sebagai suatu hal yang selalu membawa kebahagiaan, bahwa kebahagiaan ditentukan dari kehadiran manusia lain yang bangun di sampingmu setiap pagi. Tidakkah kamu merasa hal ini tidak adil? Bagaimana dengan mereka yang tidak bisa menikah? Apakah itu berarti mereka tidak akan pernah bisa bahagia?

Ravi Zacharias berkata momen di mana kamu merasa paling kesepian adalah ketika kamu baru saja mengalami suatu hal yang awalnya kamu pikir dapat memberikanmu yang terbaik, namun nyatanya itu malah mengecewakanmu.

Kurasa salah satu alasan mengapa pernikahan bisa menjadi dingin dan perceraian seolah-olah jadi jalan keluar adalah karena kita mengharapkan sesuatu dari pernikahan yang bahkan tidak pernah ditawarkan oleh pernikahan itu sendiri. Kita membuat ekspektasi yang ilahi pada manusia biasa dan mengingkari perjanjian yang kita buat di depan altar sebagai respons atas kekecewaaan. Kurasa kita harusnya hanya mengharap sesuatu yang ilahi dari yang ilahi, dan mengharapkan hal-hal biasa dari manusia biasa.

Seseorang pernah memberitahuku bahwa semakin banyak kamu mencari uang, uang itu akan semakin menjauh darimu. Namun, jika kamu menekuni apa yang jadi kegemaranmu, uanglah yang akan mengikutimu. Kupikir hal ini mirip dengan kebahagiaan. Semakin kamu berusaha mencari kebahagiaan atau kesenangan, hal-hal itu akan menjauh darimu. Tapi, ketika kamu memfokuskan dirimu pada hal yang benar, kebahagiaan itu akan datang padamu. Kebahagiaanmu tidak boleh menjadi fokus hidupmu. Kebahagiaan seharusnya menjadi sesuatu yang mengikutimu ketika kamu memfokuskan diri pada hal yang benar. Itu sebabnya hidup yang paling menginspirasi adalah hidup yang didorong oleh tujuan, bukan kesenangan.
Satu hal yang telah kusadari—dan yang awalnya kusangkal—adalah pemikiran bahwa untuk mencapai tujuan itu kamu harus menyadari satu hal yang kini seringkali terabaikan dalam kehidupan bergereja: hidupmu bukanlah tentangmu. Ketika kita berdoa pada Tuhan untuk memberkati pekerjaan dan pernikahan kita, atau untuk menyembuhkan penyakit kita, atau ketika kita memberi persembahan dengan harapan mendapatkan berkat++ sebagai imbalan, kita sedang bekerja dengan pola pikir “Tuhan ada di hidupku untuk membuat hidupku lebih baik bagi diriku sendiri.”

Seringkali kita memperlakukan Tuhan sebagai pemain dalam tim kita untuk membantu kita memenangkan pertandingan kehidupan dibandingkan kita yang memposisikan diri sebagai pelayan-Nya. Hidupku seharusnya bukan tentang diriku atau kebahagiaanku. Injil bukanlah tentangku. Isi Injil adalah tentang Tuhan.

Pendetaku pernah mengatakan ini pada kebaktian Minggu kami, “Yesus tidak datang untuk membuat hidupmu lebih baik. Yesus datang untuk menunjukkan padamu bahwa Ia lebih baik dari hidup itu sendiri.”

Bagaimana aku bisa menggunakan hidup yang telah ditebus-Nya ini agar menjadi hidup yang tidak lagi berfokus tentangku? Bagaimana caranya aku bisa menggunakan hidupku untuk mengarahkan orang-orang lain pada-Nya? Tindakan apa yang akan paling memuliakan-Nya?

Tentang masa single-ku, jujur aku pernah tergoda pada tawaran untuk “mencoba berpacaran dengan seseorang hanya untuk setidaknya mendapatkan pengalaman”. Hal apa yang bisa merugikanku jika aku mencobanya? Jika aku membuat komitmen murahan yang aku tahu akan kuingkari hanya demi mendapatkan pengalaman tanpa mempertimbangkan perasaan dan komitmen pihak lainnya, hanya supaya aku tidak merasa tertinggal, supaya orang-orang tidak meremehkanku atau berpikir aku terlalu arogan untuk berpacaran, jika aku mengejar hubungan yang didasari oleh keuntunganku dibandingkan dengan memiliki hubungan Alkitabiah yang didasari oleh tujuan yang jelas. Jika aku melakukan semua ini, maka semuanya hanya akan menjadi usaha berpura-pura yang gagal. Berpura-pura merasa hidupku adalah tentang memuliakan Tuhan ketika pada kenyataannya aku sedang menggunakan Tuhan untuk menyenangkan diriku. Lalu kehidupanku hanya akan menjadi tentang diriku sendiri. Injil hanya akan menjadi tentang diriku.

Aku tidak ditebus supaya aku bisa berpacaran tanpa tujuan. Aku tidak ditebus supaya aku mendapatkan sekadar penerimaan dari orang-orang di sekitarku. Kristus mati untukku supaya di dalamku Ia bisa dimuliakan. Kristus mati untukku supaya aku bisa melihat bahwa Ia lebih baik daripada hidup itu sendiri. Itu adalah satu-satunya cara yang ingin kugunakan dalam kehidupanku, meskipun aku memiliki keterbatasan dan kekurangan.

Itulah alasan mengapa orang-orang yang tidak menikah pun bisa bahagia. Mereka bisa hidup sendiri di sebuah apartemen dengan seekor kucing dan anjing shitzmu dan merasa bahagia. Mereka bisa ke panti jompo pada usia 72 tahun dan merasa bahagia. Karena kebahagiaan tidak bergantung pada diri kita sendiri maupun orang lain. Kebahagiaan datang melalui pengetahuan bahwa kita telah menggunakan seluruh kehidupan kita, dengan segala keterbatasannya, untuk menunjukkan orang-orang pada kemuliaan Allah yang menyelamatkan kita.

Dan kita mengetahui bahwa suatu hari kita akan menerima penerimaan terbesar yang tidak dapat kita temukan di dunia. Kita akan menerimanya ketika waktu kita telah habis, dan kita kembali bertemu Pencipta kita muka dengan muka. Tuhan akan melihat kita dengan senyuman dan berkata, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu” (Matius 25:21).

On Christ the solid rock I stand,
All other ground is sinking sand.

Baca Juga:

5 Tips Menghadapi Komentar “Masih Single Aja Nih?”

“Kapan punya pacar? Masih jomblo aja nih?” Pertanyaan itu mungkin terdengar biasa, tapi bisa membuat kita risih jika terus menerus ditanyakan. Inilah 5 tips yang bisa kamu lakukan saat kamu mendapatkan pertanyaan seperti itu.

5 Tips Menghadapi Komentar “Masih Single Aja Nih?”

Oleh Noni Elina Kristiani, Banyuwangi

“Sudah tahun baru 2019 tapi masih jomblo aja nih?”

“Kapan punya pacar?”

“Eh, teman SMP kamu anaknya sudah dua loh. Kamu kapan nyusul?”

Demikian pertanyaan-pertanyaan yang sering aku terima ketika liburan panjang beberapa minggu lalu. Tahun yang baru masih dengan status yang sama, single. Bagi seorang wanita yang sudah lama hidup single, aku bisa ikut tertawa ketika teman-temanku bercanda tentang masa single-ku. Namun, tetap saja, terkadang aku merasa risih mendengarnya.

Beberapa waktu lalu, ada pesan masuk di akun Instagramku. Seorang gadis yang duduk di semester akhir di suatu universitas bercerita bahwa dia selalu sedih ketika orang-orang yang dia anggap sahabat menyindir kondisinya yang masih belum memiliki pacar. Katanya, ada rasa tidak nyaman ketika sahabat-sahabatnya mulai membicarakan tentang pacaran mereka. Ditambah dengan sindiran-sindiran, si gadis ini pun merasa bahwa mereka telah menyakiti hatinya.

Aku sepenuhnya setuju bahwa sukacita yang sejati tidak datang dari memiliki pasangan hidup, tetapi dari hubungan yang intim dengan Tuhan. Bahwa satu-satunya pribadi yang bisa membuat kita utuh adalah Tuhan saja. Tidak masalah bagiku menunggu waktunya Tuhan untuk mempertemukanku dengan seseorang yang akan menjadi pasangan hidupku kelak. Aku percaya Tuhan akan memenuhi segala kebutuhanku. Namun, pada kenyataannya, masa single tidak selalu mudah, bukan? Seperti kisah seorang gadis yang mengirimiku pesan di Instagram tadi, komentar dan pertanyaan orang-orang di sekitar dapat membuat kita yang masih single merasa tersisihkan.

Melalui pengalamanku, aku tergerak untuk membagikan tips bagaimana aku bisa menghadapi setiap komentar dan pertanyaan yang seringkali menyindir status hubunganku.

1. Jujurlah kepada Tuhan tentang apa yang kamu rasakan

Apa yang kita rasakan ketika ditanya: kenapa masih single? Mungkin ada beberapa dari kita yang tidak mengambil pusing pertanyaan tersebut dan dengan percaya diri menyampaikan kepada mereka alasannya. Tapi, mungkin ada pula sebagian dari kita yang merasa sedih, tertekan, atau bahkan marah. Namun, tidak masalah jika kita merasakan itu semua.

Aku ingat kisah tentang seorang yang sakit di dekat kolam Betesda (Yohanes 5:1-8). Ada seorang yang sakit selama 38 tahun dan mengharapkan kesembuhan. Namun, penyakitnya tak kunjung sembuh hingga suatu ketika ia dijumpai oleh Yesus. “Maukah engkau sembuh?” (ayat 6) tanya Yesus kepadanya. Orang sakit itu merespons dengan bercerita segala usahanya yang gagal untuk masuk ke dalam kolam itu. Alkitab mencatat akhir dari kisah ini adalah orang itu mengangkat tilamnya dan sembuh.

Sometimes it’s okay not to be okay. Ketika kita terluka karena perkataan atau sikap orang lain, aku percaya bahwa Tuhan pun bertanya pertanyaan yang sama kepada kita, “Maukah engkau sembuh?” Namun, menjadi persoalan di sini adalah apakah kita bersedia jujur pada Tuhan atau tidak? Seperti orang sakit di tepi kolam Betesda tadi yang berkata jujur hingga ia pun disembuhkan, kita pun dapat mengakui dengan jujur isi hati kita kepada Tuhan. Jujur terhadap apa yang kita rasakan menolong kita untuk menghadapi kesedihan.

Mengakui perasaanku kepada diriku sendiri dan Tuhan dalam doa menolongku untuk pulih dari rasa sedih dan kecewa ketika aku disakiti oleh perkataan orang lain.

2. Berkatilah mereka yang menyinggung perasaanmu

“Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengutuk!” (Roma 12:14).

Bukannya sedang melebih-lebihkan, meskipun sindiran atau pertanyaan tentang masa single tidak melukai kita secara fisik, tetapi itu bisa membuat kita merasa tertekan dan melukai hati. Ketika hal ini terjadi, kita perlu mengingat teladan yang telah Yesus lakukan saat Ia dianiaya. “Ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34).

Melepaskan pengampunan dan memberkati mereka yang menyakiti kita adalah cara yang baik untuk pulih dari rasa sakit hati. Kita pun dapat mendoakan apa yang menjadi pergumulan mereka. Ini memang tidak mudah, tetapi inilah teladan Yesus.

3. Bangunlah hubungan yang intim dengan Tuhan melalui firman-Nya

Kita bukanlah apa yang orang katakan tentang kita. Jika orang-orang menilai kita berdasarkan status hubungan kita, tidak demikian dengan Tuhan. Tuhan memandang kita berharga sebagaimana adanya kita. Allah mengasihi kita sebagai seorang pribadi.

“Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau”

Itulah yang firman Tuhan katakan dalam Yesaya 43:4. Dari pembacaan firman Tuhan, kita mengetahui betapa besar kasih Allah bagi kita. Melalui pembacaan firman Tuhan jugalah kita diteguhkan oleh janji-Nya. Bahwa untuk segala sesuatu ada waktunya.

“Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir” (Pengkhotbah 3:11).

Ketika aku memiliki hubungan yang intim dengan Tuhan, aku dapat menghadapi segala tantangan hidup dengan bersukacita, karena aku tahu bahwa Tuhan beserta. Cinta Tuhan melalui firman-Nya membuatku mengerti bagaimana cinta sejati sebenarnya. Kita perlu mengubah standar cinta yang disuguhkan dunia menjadi standar yang Tuhan berikan melalui persekutuan dengan-Nya.

4. Isilah waktumu untuk mengembangkan diri

Daripada terlalu sibuk memikirkan komentar orang lain yang tak kunjung selesai tentang status hubungan kita, lebih baik kita mengisi waktu untuk mengembangkan diri. Bukan mengembangkan bada ke kanan dan ke kiri alias menggendut ya! Hehehe. Tapi kita mau mengembangkan apa yang menjadi bakat atau talenta kita. Meraih mimpi yang kita cita-citakan, kita bisa mulai menyusun rencana dan melakukannya setahap demi setahap. Dan, terlibat di dalam komunitas yang membangun juga menolong kita mengarahkan hidup ke arah yang lebih baik.

Aku menikmati masa single-ku dengan berfokus kepada impianku untuk melayani anak-anak muda dan melakukan multiplikasi di dalam pelayanan pemuridan. Aku juga bergabung di dalam komunitas menulis yang mengajarkanku banyak hal. Ketika kita memanfaatkan waktu yang ada dengan maksimal, masa single dapat kita lalui dengan menyenangkan.

5. Bersyukurlah!

Bersyukur ketika segala sesuatunya baik-baik saja itu perkara yang mudah. Tapi bagaimana jika beryukur ketika segala sesuatu berjalan tidak seperti yang kita harapkan? Sangat tidak mudah. Namun, Allah mengajarkan kita untuk selalu bersyukur dalam segala hal.

“Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu” (1 Tesalonika 5:18).

Aku bersyukur atas masa lajang yang Tuhan izinkan untuk kujalani selama delapan tahun terakhir. AKu bersyukur ketika teman-temanku mulai menemukan pasangan hidup mereka dan akhirnya menikah. Aku bersyukur untuk setiap pertanyaan dan komentar yang orang lain ajukan kepadaku terkait status hubunganku. Aku bersyukur karena aku yakin bahwa Tuhan tahu benar apa yang sedang Dia lakukan untukku.

Maka, alih-alih bertanya tentang siapa yang kelak jadi pasangan hidupku, aku lebih memilih bertanya demikian pada-Nya: “Tuhan, apa yang Engkau inginkan untuk aku pelajari selama masa single ini, Tuhan? Apa yang Engkau ingin aku lakukan?”

Tuhan menjawab pertanyaan itu dengan membukakan ladang pelayanan untuk kulakukan. Dan, ketika aku fokus melayani-Nya, pertanyaan dan sikap orang lain tidak begitu penting lagi buatku. Yang terpenting adalah aku tidak pernah sendirian di setiap musim hidupku, ada Allah yang menyertaiku.

Baca Juga:

4 Cara untuk Pulih dari Patah Hati yang Menyakitkan

Mengambil kembali serpihan-serpihan hati yang telah hancur berkeping-keping bisa jadi sesuatu yang sangat sulit. Move-on rasanya seperti kemustahilan. Namun, itu bukanlah akhir dari segalanya.

Pergumulanku Menanti Dia yang Tepat dari Tuhan

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

Natal tahun lalu, keluarga besarku berkumpul untuk merayakan Natal bersama. Aku tidak menyangka jika acara itu akan terasa seperti ruang persidangan di mana aku akan diinterogasi dengan pertanyaan “kapan menikah?” ketika aku bahkan belum pernah memiliki pacar. Usiaku saat ini memasuki 25 tahun, usia yang bagi beberapa orang dianggap sudah pantas untuk berkeluarga. Aku tidak marah atau kesal dengan hujaman pertanyaan itu, sebaliknya, aku justru benar-benar berpikir serius mengenai pertanyaan itu.

The idea of having boyfriend

Sesungguhnya, pertanyaan yang diajukan oleh saudara-saudaraku adalah pertanyaan yang juga sering aku ajukan kepada Tuhan. Dua puluh lima tahun menjomblo bukanlah waktu yang singkat. Mustahil jika tidak pernah ada masa di mana aku mulai merasa geram dan kesepian dengan kesendirianku. Ketika aku berumur 23 tahun, aku bahkan pernah berdoa sambil menangis ketika bertanya kepada Tuhan mengapa hingga saat itu Tuhan belum menunjukkan kepadaku pasangan hidupku. Waktu itu aku baru lulus kuliah dan masuk dunia kerja, dan aku mulai merasakan kesepian karena kehilangan sosok sahabat-sahabatku di masa kuliah yang sebelumnya sering melewatkan waktu bersamaku. Aku juga mulai iri melihat teman-temanku yang datang ke acara persekutuan bersama pacarnya atau menghabiskan waktu bersama. Rasa kesepian itu begitu menguasaiku hingga aku berpikir bahwa memiliki pasangan adalah jawaban yang tepat untuk mengatasinya.

Sebenarnya dari masa kuliah, aku sudah belajar mengenai “teori-teori dalam menantikan pasangan hidup” (yang banyak dipengaruhi oleh buku “Lady in Waiting” yang ditulis oleh Jackie Kendall dan Debby Jones). Aku tahu bahwa selama masa menanti si dia yang dari Tuhan, seharusnya aku berfokus kepada Dia, yang akan memberikanku si dia. Aku juga merasa sudah paham kalau aku harus merasa puas (content) dengan kehadiran Tuhan, dan merasa cukup dengan Allah. Aku juga sudah belajar kalau masa-masa sendiri atau single haruslah aku isi dengan menikmati relasiku dengan Tuhan sebaik-baiknya dan giat melayani Dia, karena dalam masa inilah aku memiliki banyak kesempatan untuk melakukannya.

Namun, ketika rasa kesepian melandaku dengan hebat, aku seperti amnesia dengan “teori-teori” yang kurasa aku sudah kuasai. Rasa kesepian membuatku menjadi egois dan berpikir bagaimana caranya untuk memuaskan keinginan pribadiku, dan hal itu sangat self-centered. Rasa kesepian membuatku terjerembab dalam lubang self-centered-ness ketika seharusnya aku menjalani masa penantian pasangan hidup secara God-centered. Ketika aku berdiam dan merenung, aku menemukan kelemahanku dalam pergumulan pasangan hidup. Selama ini, yang aku idamkan bukanlah pasangan hidup yang memiliki citra Kristus, melainkan the idea of having a boyfriend. Yang aku idam-idamkan adalah bayangan kalau aku akan memiliki pasangan yang akan menemaniku datang ke acara persekutuan atau menungguiku pulang rapat atau sekadar teman jalan-jalan. Aku gagal melihat kedalaman alasan Allah menciptakan laki-laki dan perempuan, karena aku terlalu sibuk mencari perhatian untuk diriku sendiri. Memang tidak salah memiliki pasangan untuk datang ke acara persekutuan bersama, tapi Tuhan tidak memberikan kita pasangan hidup hanya untuk datang ke acara persekutuan bersama, kan?

Teman (berbagi) hidup

Dalam perenungan itu pula aku teringat cerita tentang Molly Kecil di bab 11 buku “Sacred Search” karya Gary Thomas. Gary menceritakan suatu keluarga yang sedang menantikan kelahiran anak pertama mereka. Namun, ternyata terdapat kelainan dalam tubuh bayi kecil itu (yang mereka panggil sebagai Molly Kecil), yang membuat Molly Kecil tidak bisa bertahan hidup lebih lama. Tapi, sungguh bersyukur, Molly Kecil punya orang tua yang sangat mengasihi Tuhan. Lebih lagi, Molly Kecil punya kakek dan nenek yang juga sangat mengasihi Tuhan. Di waktu-waktu terakhir hidup Molly Kecil, mereka berkumpul, menyanyikan lagu pujian, berdoa, dan menyampaikan pesan terakhir bagi Molly Kecil. Keteguhan hati kakek, nenek, dan orang tua Molly Kecil dalam cerita itu membuatku terkagum. Sungguh cerita yang sangat kuat untuk menunjukkan betapa pentingnya memilih pasangan hidup yang tepat, karena pilihan itu akan berdampak langsung kepada anak-anak, cucu-cucu, dan generasi di bawah kita. Ketika ayahku meninggal, beliau tidak meninggalkan harta kekayaan yang berlimpah, tapi warisan iman dan kisah ketaatan yang sangat aku syukuri dan teladani. Pilihan yang salah akan mewariskan hal yang tidak baik, tetapi sebaliknya pilihan yang tepat akan mewariskan kekayaan iman yang luar biasa.

Mencari pasangan hidup bukan sekadar mencari orang yang akan hidup bersama kita, berbagi biaya kebutuhan hidup, atau bersih-bersih rumah bersama. Kita sedang mencari partner membangun Kerajaan Allah, teman menangis bersama melihat kondisi dunia yang sedang menuju kesudahannya, dan sahabat berdoa selamanya. Dan, mencari “teman hidup” ini tentu bukanlah proses asal-asalan. Pencarian yang bijaksana pasti akan menghasilkan temuan yang lebih berharga.

Bukan kutukan

Pelajaran berharga lainya yang aku peroleh dalam pergumulan itu adalah kesendirian, atau singleness bukanlah kutukan. Tidak salah jika kita ingin memiliki pasangan, tapi tidak seharusnya kita melihat pacaran atau pernikahan sebagai solusi akan rasa kesepian. Di luar sana, banyak orang yang memiliki pasangan tapi tetap merasa kesepian. Mengapa? Karena bukan pasangan yang akan membuat kita tidak merasa kesepian. Hanya satu Pribadi yang dapat mengisi rasa sepi dan kosong dalam hati setiap manusia: Yesus Kristus.

Bahkan, justru kesendirian atau singleness adalah pemberian (gift) dari Allah bagi kita yang saat ini masih sendiri.

If you are single today, the portion assigned to you for today is singleness. It is God’s gift. Singleness ought not to be viewed as a problem, nor marriage as a right. God in his wisdom and love grants either as a gift.

Terjemahan bebas: “Jika saat ini kamu masih sendiri, bagian yang Tuhan berikan kepadamu hari ini adalah kesendirian. Hal ini merupakan pemberian dari Allah. Kesendirian tidak seharusnya dilihat sebagai masalah, atau pernikahan sebagai hak. Allah dalam kebijaksanaan dan kasih-Nya memberikan kedua-duanya sebagai pemberian.”

(dalam buku berjudul “Quest for Love” oleh Elisabeth Elliot sebagaimana dikutip oleh Stacy Reaoch dalam artikel berjudul “Singleness Is Not a Problem to Be Solved”).

Kebanyakan dari kita tumbuh dengan keyakinan bahwa kita pasti akan menikah. Mungkin kita berpikir, “aku ingin memiliki pasangan, jadi Tuhan harus memberikannya kepadaku”. Kita menganggap bahwa memilki pasangan hidup adalah keharusan, dan menjadi kewajiban Tuhan untuk memberikannya kepada kita. Memang benar dalam Kejadian 2:18, Allah sendiri berfirman bahwa tidak baik bahwa manusia seorang diri saja. Namun hal ini tidak menjadi dasar bahwa memiliki pasangan adalah sebuah keharusan dan Tuhan berkewajiban memberikan pasangan kepada kita semua. Bahkan dalam Matius 19:12, Tuhan Yesus sendiri berkata: “Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga.” Selain itu, Rasul Paulus sendiri tidak menikah (1 Korintus 7:8). Jadi jelas bahwa kesendirian/singleness (baik karena belum menikah maupun karena tidak menikah) bukanlah kutukan. Sebaliknya, kesendirian/singleness adalah pemberian yang baik dari Allah karena: “TUHAN Allah adalah matahari dan perisai; kasih dan kemuliaan Ia berikan; Ia tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela” (Mazmur 84:12).

Mungkin hal ini sulit untuk diterima dalam kebudayaan masyarakat Indonesia yang menjadikan pernikahan dan keluarga sebagai bukti “keberhasilan”. Namun aku, dan kita semua, juga harus belajar menerima bahwa kondisi apapun yang Allah berikan bagi kita adalah pemberian yang baik (Yakobus 1:17). Grace Rankin dalam artikel yang ditulisnya berjudul “Valentine’s Day for Single Christians”, menulis:

Think of this: even if we remain single for the rest of our lives here on earth, it is only a fraction of time compared to the eternity we will spend rejoicing in the presence of Christ, who we will know more fully through our pain and loneliness than we ever would have otherwise.

Terjemahan bebas: Coba bayangkan: bahkan jika kita tetap sendiri hingga akhir hidup kita di bumi, hal ini hanyalah bagian kecil dibandingkan dengan kekekalan yang akan kita lalui dengan bersukacita dalam hadirat Kristus, yang kita kenal lebih dalam melalui rasa sakit dan kesepian kita daripada yang pernah kita miliki sebelumnya.

Pada akhirnya, waktu kesendirian/singleness ini menjadi terasa terlalu kecil untuk kita permasalahkan dibandingkan dengan Cerita Besar Allah (God’s Great Story) yang sudah Dia persiapkan bagi setiap kita dengan begitu indahnya. Daripada kita menghabiskan masa kesendirian ini untuk meratapi kesepian, kita bisa menggunakannya untuk mengejar hadirat Sang Pencipta, menjalani hubungan pribadi dengan Tuhan yang lebih dalam, lebih memuaskan, dan lebih memuliakan Dia hari demi hari.

Kebahagiaan bukan diperoleh dengan menemukan pasangan hidup, melainkan menemukan kepuasan di dalam Juruselamat yang memanggil kita sebagai milik kepunyaan-Nya dan menjadikan kita anak Raja yang dikasihi.

“Ten thousand years from now, your marriage may be just a sweet, but short sticky notes in the massive filing cabinet of our happy marriage with Jesus. After centuries without any confusion or fear or sadness, how will you reflect on your days of heartache and loneliness here? The painful desires and waiting will still have been very real, but now small and insignificant compared with the perfect, seamless love and happiness we will enjoy forever.”

Terjemahan bebas: “Sepuluh ribu tahun dari sekarang, pernikahanmu mungkin terasa manis, namun hanyalah memo kecil dalam lemari arsip besar dari pernikahan bahagia kita dengan Yesus. Setelah berabad-abad tanpa kebingungan atau kekhawatiran atau kesedihan, bagaimana kita akan berkaca kembali pada masa-masa sakit hati dan kesepian kita saat ini? Rasa mengingini dan penantian yang menyakitkan akan tetap terasa begitu nyata, namun sekarang terasa begitu kecil dan tidak berarti dibandingkan dengan dengan cinta dan kebahagiaan yang sempurna dan tanpa batas yang akan kita nikmati selamanya.”

(Dalam Artikel “You Don’t Have to Get Married to Be Happy” oleh Marshall Segal)

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Ketika Aku Bertobat dari Membicarakan Orang Lain di Belakangnya

Aku pernah tidak suka dengan rekan sepersekutuanku. Aku lalu membicarakannya ke temanku yang lain, hingga akhirnya aku sadar bahwa tindakan itu tidaklah sejalan dengan imanku.