Posts

Sikap Hati dalam Bergumul

Oleh Toar Taufik Inref Luwuk, Minahasa

Setiap orang pasti memiliki masalah, termasuk aku dan kamu. Sebagai orang percaya, kita menghadapi masalah dengan cara bergumul kepada Tuhan. Bergumul adalah proses mencari kehendak Tuhan dalam masalah yang sementara kita hadapi.

Biasanya pergumulan diawali dengan kebingungan, atau kadang juga perasaan dilematis dalam menentukan sesuatu. Contohnya: pergumulan pasangan hidup, atau memilih pekerjaan sebagai panggilan Allah. Dua topik ini biasanya jadi pergumulan yang paling sering muncul di hidup anak-anak muda. .

Tidak sedikit orang yang putus asa dalam menanti jawaban atas permasalahan yang ada dan tidak sedikit juga orang yang kecewa hasilnya tidak sesuai dengan ekspektasi, sama seperti pengalaman pribadiku.

Aku adalah seorang mahasiswa yang berada pada semester akhir. Teringat sewaktu masih semester 3 aku pernah menyukai seorang wanita yang ada dalam tim pelayanan bersama denganku. Aku pun beberapa kali coba untuk mendekatinya dan dia cukup memberikan respon yang baik terhadapku, sehingga aku memutuskan untuk “menggumuli” dia sebagai pasangan hidup. Baik, rendah hati, dan sama-sama mengerjakan visi Allah dalam pelayanan mahasiswa menjadi alasan mengapa memutuskan hal itu. Cukup lama dan serius aku mendoakan bagian itu bahkan hingga rela tidak mau dekat dengan wanita lain karena sangat mengharapkannya jadi pasangan hidup. Seiring berjalannya waktu aku tahu ternyata temanku juga menyukai dan mendekatinya. Tapi, karena sama-sama sudah dewasa, kami bertiga memutuskan untuk bertemu membicarakan hal ini. Alhasil ternyata temanku dan wanita itu sudah saling mendoakan yang berarti keduanya sudah saling menyukai. Kecewa dan sakit hati mendominasi perasaanku waktu itu.

Ini menandakan sikap hati juga penting dalam bergumul, kita terus berusaha mempersiapkan diri serta hati untuk hasil apapun, bahkan bisa jadi hal yang kita anggap paling buruk sekalipun. Pernyataan ini juga didukung oleh kutipan yang sempat aku baca di Facebook.

“Keberanian iman kita untuk berdoa meminta hal besar kepada Tuhan harus sejalan dengan kebesaran hati untuk menerima apapun keputusan Tuhan atas doa kita.” –Hammy Lasut

Andaikata ini adalah sebuah pertandingan berarti ada yang menang dan ada yang kalah. Bergumul berarti diri kita harus siap menang ataupun kalah. Tetap rendah hati jika menang, lapang dada jika kalah. Jangan sombong saat kita meraih kemenangan dan jangan putus asa saat menerima kekalahan. Dengan bergumul kita sudah memegang keyakinan bahwa sesungguhnya, yang memegang kendali dalam kehidupan kita adalah Allah yang Mahakuasa yang mengetahui mana terbaik bagi kita selaku umat-Nya.

Dalam bergumul, kualitas yang juga dibentuk adalah ketekunan dan sikap yang mau menyerahkan segala sesuatu kepada Allah. Membangun serta menjaga relasi yang intim dengan Allah adalah hal utama dan prinsip yang harus dipenuhi. Pergumulan yang bukan sekedar meminta jawaban akan tetapi juga disertai dengan pengenalan akan Allah.
Apapun hasilnya, keyakinan kita tetap pada satu pribadi yaitu Allah karena kita percaya sesuai janji-Nya Ia tidak akan pernah meninggalkan kita meskipun dalam kondisi yang sukar.

“Ketika kudengar berita ini, duduklah aku menangis dan berkabung selama beberapa hari. Aku berpuasa dan berdoa ke hadirat Allah semesta langit.” (Nehemia 1:4)

Ayat ini memperlihatkan suatu respon peduli dari Nehemia setelah mendengar berita yang menimpa bangsanya, Nehemia dengan perasaan dukacita yang mendalam, dia mengambil langkah awal sebagai murid Kristus yaitu dengan berdoa dan berpuasa kepada Allah.

Padahal di sisi lain Nehemia sendiri punya posisi yang penting dalam kerajaan, bahkan orang kepercayaan raja. Dengan jabatan dan kepercayaan tersebut bisa saja Nehemia langsung meminta pertolongan kepada raja untuk membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi bangsanya, tapi karena Nehemia percaya dan meyakini bahwa satu-satunya yang pasti dan bisa diandalkan hanya Allah saja sebagai pribadi yang berdaulat atas kehidupannya dan kepada seluruh umat manusia. Inilah sikap yang telah diubahkan, orang yang telah mengenal Allah. Ketika kita benar-benar mengenal Allah jabatan penting sekalipun tidak akan membuat hati kita buta. Hati yang benar-benar tertuju pada Allah. Sikap yang patut diteladani dan harus kita miliki ketika bergumul.

Yang Terlupakan dari Pelayanan: Kasih Yang Semula

Oleh Erick Mangapul Gultom, Jakarta

Kaum muda dengan semangatnya yang berapi-api dan energinya yang meluap-luap selalu berhasil mengisi dan menghidupi wadah pelayanan dan persekutuan di lingkungan sekolah, kampus, dan gereja. Sungguh luar biasa melihat kaum muda yang memberi diri untuk melayani sebagai pengurus dalam berbagai acara dan kegiatan-kegiatan rohani.

Aku yakin hampir semua sobat muda pernah atau bahkan sedang menjadi bagian di dalam suatu kegiatan pelayanan. Namun, pernahkah kita coba menilik diri kita masing-masing, apakah kita memiliki motivasi yang benar dalam melayani? Adakah motivasi-motivasi lain yang seringkali jauh dari dasar pelayanan yang sesungguhnya? Jangan-jangan, selama ini pelayanan kita hanyalah sebuah rutinitas semata!

Tuhan Yesus Kristus melalui pewahyuan yang diberikan kepada Yohanes di dalam Wahyu 2:1-7 mengingatkan kita akan motivasi sesungguhnya dalam melayani Tuhan. Sebelumnya, Paulus telah mengabarkan Injil dan melayani di Efesus selama tiga tahun (Kisah Para Rasul 20:31). Ketika Paulus hendak meninggalkan kota Efesus, ia memperingatkan jemaat untuk berjaga-jaga dari pengajaran sesat yang akan masuk dan memengaruhi jemaat Efesus (Kisah Para Rasul 20:29-30).

Tuhan Yesus mengetahui segala pekerjaan pelayanan yang dilakukan oleh jemaat Efesus: jerih payah menjaga jemaat dari orang-orang jahat, ketekunan mereka di tengah-tengah kesulitan, bahkan melawan setiap orang yang hendak menarik jemaat keluar dari kebenaran firman. Mereka bahkan telah mencobai dan memeriksa dengan teliti apa yang diajarkan oleh rasul-rasul palsu dan mendapati mereka sebagai pendusta. Jemaat Efesus telah memberi teladan sikap rela menderita.

Secara kasat mata, tentu kita bisa mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh jemaat Efesus adalah hal yang sangat baik. Namun, Tuhan Yesus mampu melihat sampai ke dasar hati manusia. Tuhan Yesus berkata, “Aku tahu segala pekerjaanmu; baik jerih payahmu maupun ketekunanmu” (Wahyu 2:2). Pujian Tuhan Yesus kepada jemaat Efesus mirip dengan apa yang dituliskan oleh Paulus dalam ucapan syukurnya kepada jemaat di Tesalonika, “Sebab kami selalu mengingat pekerjaan imanmu, usaha kasihmu dan ketekunan pengharapanmu kepada Tuhan kita Yesus Kristus di hadapan Allah dan Bapa kita” (1 Tesalonika 1:3).

Ada bagian penting yang dimiliki oleh jemaat Tesalonika, tetapi hilang dari jemaat Efesus. Jemaat di Tesalonika mempunyai, “pekerjaan iman, usaha kasih, dan ketekunan pengharapan”, sedangkan jemaat Efesus hanya mempunyai “pekerjaan, jerih payah, dan ketekunan”. Itulah sebabnya Tuhan Yesus mencela mereka, sebab mereka telah meninggalkan kasih yang semula. Mereka melakukan pekerjaan, jerih lelah, dan ketekunan tanpa iman, kasih, dan pengharapan.

Iman adalah inti dari kekristenan. Kita diselamatkan oleh iman yang bukan hasil usaha kita, tetapi pemberian Allah (Efesus 2:8). Kebenaran ini memampukan kita untuk mengakui di dalam hati dan seluruh hidup kita bahwa Tuhan Yesus Kristus adalah Juruselamat kita.

Pengharapan bahwa kita akan menerima kemuliaan Allah (Roma 5:2)—itulah yang menjadi dasar mengapa kita harus tetap bertahan di dalam penderitaan sewaktu mengikut Tuhan di dunia ini dan senantiasa bersukacita dalam kesesakan. Kita percaya bahwa kita memiliki sebuah pengharapan yang kekal, pengharapan yang membawa kita kepada sukacita yang lebih besar daripada menaklukkan roh-roh jahat, yaitu sukacita karena nama kita terdaftar di sorga (Lukas 10:20). Sebuah pengharapan yang begitu indah bagi kita untuk dapat hidup bersama-sama dengan Tuhan Yesus di dalam kekekalan.

Semuanya itu dapat kita alami semata-mata karena kasih karunia Tuhan. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa karena melanggar perintah Tuhan, manusia takut dan bersembunyi dari Tuhan. Namun, Allah mencari manusia dan berkata padanya, “Di manakah engkau?”. Sejak mulanya Allah yang berinisiatif untuk mencari dan menyelamatkan kita dengan menebus kita dari hidup yang penuh keberdosaan. Paulus dalam 1 Korintus 13:13 menyebutkan bahwa iman, pengharapan, dan kasih harus tetap tinggal, dan yang paling besar di antaranya adalah kasih. Allah adalah kasih itu sendiri, dan kasih akan selalu ada sedari awal sampai selamanya.

Apa yang dilakukan oleh jemaat Efesus dapat pula terjadi pada diri kita: mengerjakan pelayanan tanpa sungguh-sungguh menjadikan Tuhan sebagai pusat dari pelayanan kita. Pelayanan sekadar dijalankan sebagai sebuah pekerjaan, bukan dimaknai sebagai ungkapan kasih kita pada Allah dan upaya untuk menjadi berkat bagi sesama.

Jikalau saat ini kita diperkenankan untuk mengambil bagian dalam pelayanan, marilah kita mengarahkan hati kita kepada-Nya dan tidak meninggalkan kasih yang semula Tuhan anugerahkan kepada kita. Bukan tentang seberapa besar pelayanan yang kita terima dan jalankan, tetapi seberapa besar hati yang kita berikan pada Tuhan di dalam setiap pelayanan kita.

Soli deo gloria.

Baca Juga:

Ketika Hidup Tidak Berjalan Sesuai Harapan Kita

“Mengapa, Tuhan?” Pertanyaan itu sering muncul ketika kenyataan hidup tidak berjalan sesuai harapan. Dalam artikel ini, aku ingin mengajakmu menggali jawaban dari firman Tuhan terkait pertanyaan “mengapa” tersebut.

10 Tahun Bekerja dengan Sikap Hati yang Salah, Inilah Cara Tuhan Menegurku

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: God Convicted Me Of My Bad Work Attitude

Baru-baru ini aku mendengar seorang rekan kerjaku bertanya pada manajernya tentang seorang staf lainnya. Staf itu baru bergabung dengan perusahaan kami enam bulan lalu, tapi selama beberapa waktu belakangan ini, rekan kerjaku itu tidak melihatnya.

Manajer itu menjawab, “Dia sudah mengundurkan diri. Dia selalu marah ketika aku coba mengoreksi kesalahannya.” Aku terkejut mendengar ini karena manajer itu adalah salah satu orang terbaik yang pernah kutemui.

Pernyataan manajer itu mengingatkanku pada sikap lamaku terhadap pekerjaan. Ketika aku memasuki dunia kerja pertama kali, aku tidak cukup rendah hati untuk menerima koreksi-koreksi. Ketika manajerku mengoreksi kesalahanku—entah itu kecil atau besar—aku suka membantah dan membuat banyak alasan untuk membenarkan diriku sendiri. Aku takut kalau aku dicap sebagai orang yang ceroboh dan tidak kompeten. Bukannya belajar dari kesalahan-kesalahan itu, yang ada aku malah merasa kesal.

Hasilnya, aku tidak pernah menerima penilaian yang baik dan seringkali aku berganti-ganti pekerjaan. Aku selalu berharap kalau pekerjaan baruku akan lebih baik, tapi aku tidak pernah mengubah sikapku yang keras kepala.

Hingga akhirnya perubahan sikapku terjadi ketika aku mengenal Tuhan secara pribadi melalui masa-masa pencobaan dalam hidupku. Dengan membaca Alkitab, aku belajar bagaimana seharusnya aku berperilaku sebagai orang Kristen di tempat kerja.

Aku sangat terinspirasi oleh firman Tuhan dari Filipi 2:14-15, “Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia.”

Saat aku membaca ayat itu, aku menyadari bahwa aku sering membantah dan bersungut-sungut ketika manajerku menunjukkan kesalahan-kesalahanku. Bagaimana caranya supaya aku tidak beraib dan tiada bernoda? Bagaimana caranya aku bisa menjadi anak Tuhan yang tiada bercela ketika perilakuku tidak memuliakan Tuhan? Aku sangat malu dengan sikapku.

Di kesempatan yang lain, aku menemukan perkataan Yesus dalam Matius 23:12, “Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” Aku diingatkan lagi bahwa Tuhan menghargai sikap yang rendah hati. Selalu membantah saat aku membuat kesalahan bukanlah tindakan kerendahan hati, dan itu tidak menyenangkan Tuhan. Memiliki kerendahan hati dan semangat untuk mau diajar adalah hal yang menyenangkan Tuhan. Karena aku adalah anak Tuhan, aku harus menunjukkan sifat-sifat yang menyenangkan Tuhan di tempat kerjaku.

Berfokus kepada masa depan

Aku pun mengubah sikap kerjaku. Awalnya aku begitu mudah merasa kecewa dan merasa lebih rendah daripada yang lain. Sikap buruk ini telah ada dalam diriku selama 10 tahun aku bekerja. Entah berapa banyak promosi dan kenaikan gaji yang aku lewatkan karena sikap burukku itu.

Namun kemudian aku menyadari bahwa berkutat pada kesalahan-kesalahanku di masa lalu tidak akan membuatku jadi lebih baik. Untuk mengubah diriku menjadi lebih baik, aku perlu move-on dari masa lalu. Aku tidak bisa mengulang kembali masa lalu dan memperbaiki kesalahan-kesalahanku dulu, tapi aku bisa memilih untuk bertindak secara positif, belajar dari kesalahan-kesalahan itu dan bekerja dengan lebih baik.

Aku juga dikuatkan melalui kisah-kisah dalam Alkitab tentang kesetiaan Tuhan kepada Israel. Meskipun mereka berpaling menjauh dari Tuhan lagi dan lagi, Tuhan tidak pernah menyerah terhadap mereka. Tuhan memberitahu mereka untuk tidak mengingat-ingat lagi masa lalu. Tuhan ingin agar mereka melihat ke masa depan (Yesaya 43:18, Yoel 2:25). Mungkin aku telah berbuat salah selama 10 tahunku dulu, namun aku dapat mengakui kesalahan dan sikap kerjaku yang memalukan itu kepada Tuhan, sebab Dia akan menerimaku dengan belas kasihan dan anugerah-Nya (Ibrani 4:15-16).

Ketika aku berdiam dalam kebaikan Tuhan, aku diingatkan untuk mengerjakan tanggung jawabku dengan kekuatan yang dianugerahkan-Nya kepadaku, supaya Tuhan dimuliakan (1 Petrus 4:11). Setiap harinya, kepada Tuhan aku meminta kekuatan supaya aku bisa menggunakan setiap kesempatan untuk melayani dan memuliakan Dia dalam pekerjaanku.

Setelah beberapa waktu, manajerku melihat ada perubahan dalam sikap kerjaku. Dia melihatku mau belajar dan bisa diandalkan, jadi dia mulai mempercayaiku dengan beberapa proyek baru dan tanggung jawab yang lebih. Apa yang diberikan manajerku inilah yang jadi kesempatan buatku membuktikan perubahan-perubahan positif dalam diriku. Dengan tiap kesempatan itu, tanggung jawab yang kuemban menjadi lebih menantang dan kadang aku pun merasa khawatir apakah aku bisa menangani beban pekerjaan yang bertambah itu atau tidak. Namun, aku memohon pertolongan dari Tuhan dan menyerahkan pekerjaanku kepada-Nya setiap waktu. Dialah yang menjadi sumber kekuatanku dan alasanku untuk bisa tetap tersenyum meskipun tekanan menghimpitku.

Di akhir tahun, tibalah waktunya untuk penilaian kinerjaku. Manajerku memberikan tanggapan positif mengenai performa kerjaku dan dia juga berkata kalau dia terkejut dengan perubahan sikap kerjaku. Setelah bekerja 10 tahun, itulah kali pertama aku mendapat tanggapan kerja yang baik dan kenaikan gaji yang wajar.

Aku telah belajar untuk memiliki pola pikir Kerajaan Allah dalam pekerjaanku. Sebagai anak-anak Tuhan, kita lebih dari sekadar mampu untuk mengatasi kesalahan-kesalahan kita. Ketika atasan kita menunjukkan kesalahan-kesalahan kita, izinkanlah tanggapan dari mereka itu sebagai sarana untuk kita bertumbuh supaya kita bisa lebih dan lebih kompeten lagi melakukan bagian kita, dan memuliakan Tuhan melalui pekerjaan kita.

Baca Juga:

Sebuah Perenungan: Hidup Ini Tidak Adil!

Ada 3 orang anak: Ani, Budi, dan Chandra. Ani mendapatkan 5 buah apel, Budi mendapatkan 10 buah apel, dan Chandra mendapatkan 15 buah apel. Apakah itu adil?