Posts

Ketika Aku Merasa Tidak Puas dengan Keluargaku

Oleh Sharon Audry, Bandung

Pernahkah kamu merasa tidak puas dengan keluargamu sekarang? Mungkin kamu merasa bahwa keluarga yang kamu miliki sekarang bukanlah suatu berkat. Mungkin kamu berandai-andai kalau saja kamu dilahirkan di keluarga yang lebih baik daripada keluargamu yang sekarang. Aku pun pernah merasakan yang sama. Aku pernah merasa tidak puas dengan keluargaku.

Aku tidak terlahir dari keluarga yang kaya raya, artis terkenal, keluarga pejabat, ataupun konglomerat. Aku lahir dari keluarga yang biasa-biasa saja. Semakin aku beranjak dewasa dan semakin mengenal dunia luar, aku melihat kalau ada banyak keluarga lain yang kelihatannya jauh lebih baik. Saat aku menonton acara infotainment yang menayangkan seorang anak artis yang baru lahir, aku pun berpikir: “Ah, sepertinya enak sekali ya kalau terlahir dari keluarga artis terkenal. Baru lahir saja followers di Instagramnya sudah jutaan. Hidupnya pasti mewah banget!”

Jujur aku iri melihat kehidupan artis-artis itu. Mereka tampak begitu hebat dan dikagumi masyarakat. Kehidupan mereka pun seolah begitu menyenangkan; bisa jalan-jalan ke luar negeri, juga beli sepatu mahal dan tas branded. Ah, seandainya saja aku dilahirkan di keluarga seperti itu, pasti kalau ingin apa pun akan dibelikan.

Hingga suatu hari, aku bertemu dengan teman-temanku. Seorang temanku memulai obrolan dengan menceritakan masalah keluarga yang dia alami. Kedua orang tuanya telah bercerai sejak dia kecil dan sekarang dia tinggal bersama neneknya. Tapi, sang nenek sering berlaku kasar kepadanya. Dia pun akhirnya benci kepada keluarganya. Jujur, aku terkejut mendengarnya. Aku tak pernah tahu kalau ada masalah seperti itu.

Sesi curhat pun berlanjut, temanku yang lain gantian bercerita. Kali ini dia bertutur kalau keluarganya broken-home. Aku tak pernah tahu bagaimana menjadi anak yang hidup di keluarga broken-home dan bagaimana rasanya kurang kasih sayang dari orang tua karena memang aku tak pernah mengalaminya dan jangan sampai mengalaminya. Cerita pun dilanjutkan oleh temanku yang lain, yang menceritakan masalah yang berbeda.

Sesi curhat itu membuatku berpikir. Ternyata di luar sana ada banyak temanku yang memiliki masalah yang berat di keluarganya, sedangkan aku bahkan tak pernah merasakan punya masalah berat di keluargaku seperti yang mereka alami. Aku jadi malu pada diriku sendiri yang pernah meminta pada Tuhan untuk menggantikan keluargaku yang sekarang dengan keluarga yang baru.

Singkat cerita, giliranku untuk bercerita tentang masalah keluarga apa yang kupunya. Tapi, jujur aku tak tahu mau bercerita apa karena menurutku aku tak punya masalah keluarga. Aku tidak bermaksud sombong, tapi aku memang tak tahu masalah keluarga apa yang harus kuceritakan. Hubungan komunikasiku dengan kedua orang tuaku berjalan baik. Mereka selalu meluangkan waktunya untukku sehingga aku tidak kekurangan kasih sayang. Aku tak pernah melihat mereka berantem sampai melempar perabotan rumah tangga seperti yang sering terlihat di tayangan-tayangan televisi.

Meski begitu, masalah-masalah kecil tetaplah ada. Orang tuaku sudah biasa berbeda pendapat, tapi mereka tidak pernah berantem lama-lama. Mereka selalu rukun dan terlihat romantis lagi setelah beberapa waktu. Hubunganku dengan adik-adikku pun baik-baik saja.

Dan, di sinilah akhirnya aku sadar bahwa sebenarnya satu-satunya yang bermasalah dalam keluargaku adalah diriku sendiri. Aku marah pada Tuhan dan meminta keluarga yang sempurna, padahal Tuhan sudah memberikanku keluarga yang terbaik.

Dulu aku marah pada Tuhan karena ingin punya keluarga yang selalu menuruti keinginanku, yang mengizinkanku pulang malam. Sekarang, aku sadar. Keluarga yang seperti itu justru hanya akan menjerumuskanku dan menjadikanku anak yang manja. Mana mungkin ada orang tua yang mengizinkan anaknya pulang larut malam tanpa alasan yang jelas? Orang tua pasti ingin memastikan anak-anaknya selalu aman.

Aku pun mencabut pemikiran-pemikiranku dahulu yang ingin mengganti keluargaku dengan keluarga yang baru. Kupikir, tak ada keluarga yang sempurna di dunia ini. Aku yakin bahwa keluarga yang Tuhan berikan pada kita saat ini adalah keluarga yang terbaik. Mungkin kita merasa tidak puas dengan orang tua kita ataupun saudara-saudari kita, tapi satu hal yang perlu kita tahu adalah mereka pun sama dengan kita, sama-sama manusia yang tidak luput dari kesalahan. Aku percaya bahwa ketika Tuhan mengizinkan masalah-masalah terjadi dalam keluarga kita, itu bisa dipakai-Nya untuk mendewasakan dan memurnikan karakter kita. Tuhan ingin kita menjadi anak-Nya yang setia.

Aku jadi ingat sebuah kutipan berbahasa Inggris yang isinya demikian:

Fri(end)
Girlfri(end)
Boyfri(end)
Bestfri(end)

Everything has an end, except family,

Fam(ily) has 3 letters that says I Love You.

Teman, pacar, sahabat, suatu saat bisa saja tidak lagi menjadi teman, pacar, atau sahabat buatku. Tapi, tidak dengan keluarga. Tidak pernah ada istilah bahwa “dia dulu ayah/ibuku”, atau “mereka mantan orang tuaku”.

Keluarga adalah rumahku
Keluarga adalah tempatku berbagi suka dan duka.
Keluarga adalah saksi perjalanan hidupku dari aku bayi hingga aku dewasa.
Keluarga adalah orang pertama yang akan senang ketika aku berhasil, dan orang yang akan mendekapku erat ketika aku gagal.
Keluarga adalah orang yang tetap bersamaku ketika seluruh dunia membenciku.
Keluarga adalah orang yang berdiri paling depan ketika ada orang yang menyakitiku, dan keluarga adalah segalanya.

Menutup tulisan ini, aku berdoa untukmu supaya kamu pun dimampukan Tuhan untuk mengasihi keluargamu. Kiranya kehadiranmu menjadi berkat untuk keluargamu.

“Di atas semuanya itu: Kenakanlah kasih sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan” (Kolose 3:14).

Baca Juga:

Sebuah Pulang yang Mengubahkanku

Pulang bukanlah pilihan yang mudah buatku karena keluargaku yang broken-home. Namun melalui sebuah peristiwa yang aku sendiri tidak menduganya, Tuhan menolongku untuk memaknai keluargaku dari cara pandang yang baru.

Jawaban Mengejutkan dari Temanku Ketika Aku Curhat tentang Kekecewaanku pada Tuhan

Oleh Sharon Audry, Bandung

Beberapa waktu lalu, aku sempat marah pada Tuhan karena masalah yang datang bertubi-tubi di hidupku. Mulai dari masalah dalam keluarga, masalah nilaiku di sekolah yang turun drastis, hingga masalah dengan pacarku yang meninggalkanku begitu saja. Aku rasa aku sudah melayani-Nya di gereja. Aku sudah berbuat baik pada sesama. Aku sudah semakin rajin berdoa dan membaca firman Tuhan. Tapi, mengapa Tuhan memberikanku berbagai masalah yang begitu besar, masalah yang bahkan aku rasa aku tak bisa melewatinya?

Jujur, saat itu aku kecewa dengan Tuhan. “Percuma saja aku ikut aktif di gereja, meluangkan waktu untuk persekutuan, dan berbuat baik pada orang lain, kalau Tuhan saja malah memberatkan hidupku dengan masalah yang bertubi-tubi. Apakah ini balasan Tuhan atas semua pelayananku?” begitu pikirku saat itu.

Aku pun mulai menjauhi Tuhan. Aku tak pernah lagi bersaat teduh. Doa pun sudah jarang. Aku sudah muak berbuat baik kepada orang lain, karena pikirku Tuhan saja tidak mau berbuat baik padaku. Aku jadi malas membantu orang lain dan menjadi orang yang suka berpikiran buruk pada orang lain.

Jauh dari Tuhan membuat hidupku semakin hancur dan membuatku semakin mudah marah dan stres. Sampai suatu kali, aku curhat via LINE dengan seorang temanku. Aku berkata padanya bahwa aku kecewa pada Tuhan. Namun, satu jawaban dari temanku itu mengubah pemikiranku.

Temanku berkata, “Pernahkah kamu merasa bahwa Tuhan mungkin kecewa juga dengan hidupmu?”

Aku bingung dengan pertanyaan temanku itu. Tuhan kecewa denganku? Ah, kan aku yang kecewa pada-Nya. Kenapa Ia kecewa denganku?

Temanku melanjutkan, “Kamu selalu datang pada Tuhan saat punya masalah. Saat butuh bantuan-Nya. Saat kondisi kamu mungkin sedang sangat buruk. Kamu selalu meminta jalan keluar atas masalahmu it. Tapi, pernahkah kamu datang pada-Nya saat kamu sedang senang? Pernahkah kamu datang dan bersyukur pada-Nya saat kamu sedang mendapat berkat-Nya?”

Kalimat tersebut langsung menusukku. Benar juga. Saat aku sedang senang, boro-boro aku ingat Tuhan. Aku malah melupakan-Nya dan berbagi kesenanganku dengan orang-orang terdekatku. Aku hampir tak pernah bersyukur atas apa yang sudah Tuhan beri padaku. Yang aku lakukan hanyalah menuntut pertolongan-Nya saat aku punya masalah. Saat aku sedang susah. Saat aku sedang dalam kondisi terburukku.

Saat itu Tuhan menyadarkanku bahwa sesungguhnya yang Tuhan inginkan hanyalah diriku, anak-Nya, untuk datang kepada-Nya, bukan hanya di saat duka, tapi juga di saat suka. Ia ingin aku menceritakan keluh kesahku kepada-Nya. Ia juga ingin aku bersyukur atas apa yang telah terjadi di hidupku. Aku jadi teringat akan sebuah lagu yang berkata:

“Tuhan tak pernah janji langit selalu biru,
Tetapi Dia berjanji selalu menyertai.
Tuhan tak pernah janji jalan selalu rata,
Tetapi Dia berjanji berikan kekuatan.”

Ya, Tuhan memang tak pernah berjanji padaku jika aku mengikut-Nya, hidupku akan selalu bahagia. Tuhan tak pernah berjanji jika aku setia menjadi anak-Nya, aku akan menjadi orang kaya atau artis terkenal. Tuhan juga tak pernah berjanji jika aku ikut kehendak-Nya, hidupku akan terbebas dari masalah. Ia tak pernah berjanji begitu. Tetapi, Ia berjanji bahwa Ia akan berdiri di sampingku untuk bersama-sama menghadapi masalah yang sedang kualami (Ibrani 13:5b). Ia berjanji akan memegang erat tanganku supaya aku tidak jatuh (Mazmur 37:24). Aku takkan pernah melewati badai hidup ini sendiri, karena Tuhan selalu di sampingku.

Hatiku semakin dikuatkan ketika membaca kalimat berikut di sebuah situs rohani:

Seberat apa pun pergumulan yang sedang kita alami, janganlah dijadikan alasan untuk menyerah, tetapi jadikanlah alasan untuk berserah sepenuhnya kepada Tuhan. Menyerah berbeda dengan berserah. Menyerah berarti sudah tidak mau berbuat apa-apa lagi dan berputus asa, tetapi orang yang berserah adalah orang yang mengandalkan Tuhan dan percaya penuh kepada kehendak-Nya. “Sebab hidup kami ini adalah hidup karena percaya, bukan karena melihat” (2 Korintus 5:7).

Tuhan memakai percakapanku dengan temanku untuk membuatku bertobat dan mendekat kembali kepada-Nya. Aku mengerti bahwa Tuhan mengizinkan masalah terjadi di hidupku untuk membuatku menjadi orang yang lebih dewasa dan kuat dalam hidup, dan semakin dekat pada-Nya. Ya, yang Tuhan inginkan adalah kita selalu dekat pada-Nya. Ia mau kita menceritakan suka-duka kita pada-Nya seperti seorang anak yang bercerita pada bapanya.

Tuhan telah mengajarkanku satu hal berikut. Daripada mengatakan, “Tuhan aku punya masalah yang besar,” katakanlah, “Hei masalah! Aku punya Tuhan yang besar dan kau bukan apa-apa bagiku, karena Tuhanku di sampingku sambil memegang erat tanganku.”

Baca Juga:

Pelajaran Berharga di Balik Perceraian Kedua Orang Tuaku

Perceraian kedua orang tuaku adalah salah satu hal tersulit yang harus kulalui. Perceraian itu jadi masa-masa yang menentukan dalam hidupku dan juga memberiku banyak kenangan pahit. Namun, melalui sebuah studi Alkitab yang diambil dari Kitab Roma, aku menemukan sebuah fakta yang mengejutkan.

Ketika Aku Bertobat dari Menghakimi Orang Lain

Oleh Sharon Audry, Bandung

Beberapa pekan lalu aku bertemu dengan seorang teman. Kami tidak terlalu dekat layaknya sahabat, tapi kami juga tidak terlalu jauh.

Kami asyik mengobrol dan ada banyak hal yang kami bicarakan hingga akhirnya obrolan kami menyinggung soal pelayanan. Dari obrolan itu, aku tahu bahwa dia bukan seorang anggota tetap di suatu gereja, suka pindah-pindah. Dia juga berkata bahwa dia tidak melakukan pelayanan apa-apa di gereja.

“Ooo, dia orang Kristen KTP. Bagaimana mungkin seseorang bisa bertumbuh apabila pindah-pindah gereja? Dan, bagaimana mungkin seorang Kristen tidak pelayanan? Sudah pasti hidupnya tidak benar!” kataku dalam hati

Beberapa minggu kemudian, aku terlibat di sebuah acara bersama dengan temanku itu. Kebetulan acara itu mengharuskan kami menginap selama tiga hari dua malam, dan ternyata aku sekamar dengannya.

Singkat cerita, ketika bangun pagi, hal pertama yang kulakukan adalah pergi ke kamar mandi. Namun, betapa kagetnya aku saat aku selesai dari kamar mandi, aku melihat kalau orang yang kuanggap sebagai Kristen KTP itu sedang bersaat teduh. Dia bahkan mengingatkanku supaya tidak lupa bersaat teduh.

Aku merasa malu. Aku hanya melihat orang dari luarnya saja, aku menghakiminya sejak dalam pikiranku. Aku selalu merasa kalau akulah yang paling rohani di antara yang lain, tapi bahkan untuk bersaat teduh saja aku tidak pernah. Aku jadi teringat firman Tuhan dalam Lukas 6:42 yang berkata demikian:

“Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Saudara, biarlah aku mengeluarkan selumbar yang ada di dalam matamu, padahal balok yang di dalam matamu tidak engkau lihat? Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.”

Jujur, selama ini aku merasa kalau aku adalah orang Kristen yang saleh karena aku ikut terlibat aktif dalam pelayanan di gereja. Orang-orang pun mengapresiasi pelayananku. Namun, ada satu hal yang sebenarnya aku tutupi. Kehidupan pribadiku itu benar-benar jauh dari Tuhan. Aku merasa hidupku sangat kacau. Meski aku tahu kalau aku sudah jauh dari Tuhan ,tapi aku tetap bersikukuh dan menganggap kalau hidupku bisa berjalan sendiri tanpa Tuhan. Di balik pelayanan yang kulakukan itu terselip kesombongan supaya orang lain melihatku sebagai orang Kristen yang saleh.

Sekilas mungkin aku terlihat sebagai orang Kristen yang saleh. Sering hadir di gereja dan pelayanan di sana-sini. Tapi, jauh di dalam hatiku tidak ada damai sejahtera. Aku sudah tidak tahu lagi kapan terakhir kali aku bersaat teduh. Bahkan berdoa pun sudah tidak pernah, contoh kecilnya adalah doa makan. Aku tidak tahu lagi kapan terakhir kali aku berdoa mengucap syukur kepada Tuhan karena sudah memberkatiku sehingga aku bisa makan.

Sejak kejadian itu, aku jadi malu dengan diriku sendiri. Bagaimana mungkin aku bisa berkata “kamu bukan orang Kristen yang sejati!” sementara hidupku sendiri jauh dari Tuhan. Aku merasa menjadi orang yang paling munafik sedunia ketika mengatakannya.

Aku berusaha mengembalikan hubunganku yang sempat retak dengan Allah. Aku mulai bersaat teduh dan belajar untuk melakukan setiap aktivitas rohaniku dengan sungguh-sungguh, bukan lagi supaya dilihat orang.

Saat aku berkomitmen mengubah diriku, Tuhan memulihkanku. Aku merasa hidupku jadi jauh lebih bahagia ketika berjalan bersama Yesus. Aku percaya bahwa tidak ada kata terlambat untuk mengalami pemulihan Tuhan. Yang perlu kita lakukan adalah menyadari kesalahan kita, memohon ampun pada Tuhan, dan berkomitmen untuk memperbaiki diri.

Sekarang, aku tidak lagi cepat menilai orang berdasarkan apa yang kulihat atau kudengar saja. Aku hanyalah manusia biasa, yang hanya melihat apa yang dilihat mata, sedangkan Tuhan mampu melihat sampai kedalaman hati manusia. Aku akan berusaha mengintrospeksi diriku sendiri terlebih dulu.

Baca Juga:

Karena Imanku pada Yesus, Aku Ditolak oleh Teman-temanku

Ibuku dan nenekku mendidikku untuk mengimani iman bukan Kristen yang mereka anut. Hingga suatu ketika, aku memutuskan untuk percaya kepada Yesus dan kemudian teman-temanku pun menolakku.