Posts

Ketika Pacarku Menjeratku ke dalam Dosa Percabulan

Oleh Renata*

Aku adalah mahasiswi berusia 21 tahun. Kisah ini bermula 3 tahun lalu saat aku berkenalan dengan seorang pria di semester kedua kuliahku. Pertemuan pertama kami terjadi di sebuah kepanitiaan. Waktu itu aku baru menyadari bahwa ternyata dia adalah teman seangkatanku, satu jurusan, dan juga sesama orang Kristen.

Semenjak pertemuan itu, setelah tiga minggu berselang kami sangat sering berkomunikasi hingga tumbuh rasa ketertarikan di dalam hati. Kami bercerita tentang masa lalu kami masing-masing dan apa yang menjadi harapan kami ke depannya. Walau usia pertemanan kami baru sebentar, tapi aku merasa sudah mengenalnya dengan begitu baik, bahkan merasa cocok dengannya. Akhirnya, dari proses yang singkat ini kami berdua memutuskan untuk menjalani hubungan yang serius, yaitu berpacaran.

Pada awal hubungan pacaran, aku merasa sangat senang. Pacarku adalah sosok pria yang romantis. Dia sering memberiku bunga, kejutan-kejutan kecil, mengantarkanku pulang, mengajakku jalan-jalan, mendengarkan setiap ceritaku, dan rela mengorbankan apapun untukku, termasuk waktunya. Setiap hari kami selalu bertemu di kelas, dan sepulang kuliah pun masih pergi makan bersama. Selain itu, kurasa kami berdua juga memiliki tipe kepribadian yang sama, sehingga kami merasa sangat cocok dan nyambung dari segi pemikiran dan pembicaraan.

Hubungan pacaran ini membuatku bahagia. Apalagi dia sering mengingatkanku untuk terus membawa hubungan kami ke dalam doa. Ketika bertemu, kami tak lupa untuk berdoa bersama. Kami membeli buku saat teduh bersama, dan beberapa kali beribadah bersama-sama di gereja.

Namun, hubungan yang pada mulanya terasa begitu baik dan membangun tersebut mulai berubah saat menginjak bulan keempat. Pacarku mulai menunjukkan bahwa dia menyukai sentuhan-sentuhan fisik. Pada awalnya, aku merasa sangat risih karena aku ingin memberikan batasan-batasan dalam berhubungan. Tapi, tidak berhenti di situ, dia mulai mengajakku untuk singgah ke tempat kosnya. Aku menolak ajakannya karena aku ingat pesan ibuku untuk tidak main ke kamar kos lawan jenis.

Pacarku memahami penolakanku, sehingga setiap kali tiba di depan kosnya, dia memintaku untuk menunggu saja di dalam mobil sementara dia masuk untuk mengambil barang. Tapi, lama-lama dia membujukku untuk menunggu di dalam saja. Lalu, dia juga mengajakku untuk belajar dan mengerjakan tugas bersama di kosnya. Aku pun menerima bujukan itu dan merasa tidak ada yang salah dengan ajakan belajar bersama. Tapi, suatu ketika dia melakukan hal yang tidak pantas. Dia melecehkanku dengan melakukan sentuhan-sentuhan fisik di tubuhku sehingga kami pun bertengkar hebat dan aku sangat marah. Setelah kejadian itu, dia meminta maaf dan berjanji untuk tidak melakukannya kembali. Tapi, janji tersebut hanya sebatas ucapan. Setiap kali kami bertemu, dia selalu berusaha melampiaskan nafsunya kepadaku. Entah mengapa, mudah sekali bagi dia untuk membuatku luluh hingga akhirnya aku pun menuruti kemauannya.

Aku sadar bahwa tindakan yang kami lakukan adalah dosa percabulan. Tapi, pacarku selalu memaksaku karena dia menganggap bahwa hal tersebut tidaklah masalah karena kami tidak sampai melakukan hubungan badan. Hubungan pacaran kami pun mulai dipenuhi pertengkaran. Bahkan, masalah sepele pun sering menjadi besar. Ketika pertengkaran terjadi, aku sering memintanya untuk berhenti memaksaku melakukan dosa percabulan ini. Tapi, dia tidak pernah menggubrisnya. Ketika aku tidak menuruti kemauannya, dia malah akan balik marah kepadaku.

Di tengah rasa frustrasiku dalam hubungan pacaran ini, aku tidak berani menceritakan persoalan ini kepada siapapun. Aku takut jika aku bercerita ke orang lain, maka cerita ini akan tersebar. Aku merasa malu dan jijik dengan diriku sendiri. Selama dua tahun aku menjalani hubungan pacaran yang tidak sehat. Di satu sisi aku tahu bahwa pacarku itu mencintaiku. Tapi, mengapa dia tidak bisa menyayangiku dengan tulus? Mengapa dia membawaku ke dalam hal-hal percabulan? Dia sering mengajakku pergi, membuatku bahagia, tapi mengapa ujung-ujungnya dia mengharapkan imbalan dariku untuk memuaskan hawa nafusnya? Apakah Tuhan berkenan jika hubungan kami seperti ini?

Pertanyaan-pertanyaan itu terngiang di benakku. Jika dulu kami memulai hubungan ini dengan relasi yang membangun, sekarang dosa percabulan justru menghancurkan hubungan kami. Kami tidak lagi mengindahkan Tuhan, malahan semakin menjauh dari-Nya. Sampai di sini, aku pun mengambil keputusan untuk menyudahi saja hubungan pacaran kami. Aku menjadi sangat cuek kepada pacarku dan beberapa kali mengajaknya putus. Tetapi, dia bersikukuh untuk mempertahankan hubungan ini. Hingga pada suatu momen, aku pun pergi meninggalkannya tanpa mengabarinya. Aku merasa lega bisa terbebas dari hubungan ini. Tapi, tiga minggu berselang, aku malah merindukannya kembali. Dan, tanpa bertanya terlebih dulu kepada Tuhan, aku pun segera menghubunginya kembali dan memohon maaf karena aku telah meninggalkannya. Namun, saat itu dia sudah tidak memberiku kesempatan lagi.

Saat itu aku merasa sangat hancur. Aku merasa tidak ada lagi sosok yang dapat menggantikannya. Malahan, aku jadi merasa bersalah karena menganggap dirikulah yang menjadi penyebab kehancuran hubungan ini. Kupikir akulah yang selama ini tidak menjadi pasangan yang baik baginya. Karena rasa kehilangan inilah, aku mengejar-ngejar bahkan mengemis-ngemis supaya dia mau kembali denganku. Namun, dia tidak mau. Bahkan, dia tidak menyesal atas segala dosa percabulan yang telah kami lakukan dan dengan segera dia berpaling kepada perempuan lain.

Di awal masa putus ini, dalam doaku aku memohon pada Tuhan jika mantan pacarku adalah yang terbaik untukku, maka dia akan kembali padaku. Tapi, jika tidak, aku berdoa supaya aku bisa melupakannya. Hari-hariku pun kulalui tanpa semangat dan sering menangis jika mengingat mantan pacarku, padahal dulu aku adalah seorang yang cerita dan tidak pernah menunjukkan kesedihan di depan orang lain.

Sampai suatu ketika, aku tidak bisa tidur semalaman, dan aku merasa Tuhan seperti memanggilku untuk berdoa. Di titik ini aku menyerah dan tersadar bahwa selama ini aku telah melupakan Tuhan tanpa kerinduan sungguh-sungguh untuk kembali pada-Nya. Aku memang berdoa. Tapi, alih-alih berdoa memohon ampun atas segala dosa yang telah kami lakukan saat berpacaran, aku hanya berdoa memohon supaya aku dapat melupakan mantan pacarku. Hari itu aku menangis kepada Tuhan. Aku memohon ampun kepada-Nya atas segala dosa yang telah aku perbuat.

Di saat aku bertekuk lutut dan berserah penuh kepada Tuhan, Dia tidak tinggal diam. Saat itu aku merasakan kelegaan yang sangat mendalam. Seperti pemazmur yang mengatakan, “Sejauh timur dari barat, demikian dijauhkan-Nya dari pada kita pelanggaran kita” (Mazmur 103:9), aku merasakan kedamaian di hatiku, hingga akhirnya dengan penuh keyakinan aku berani berkomitmen bahwa sejak saat itu aku akan berjuang sepenuh hati untuk lepas dari dosa percabulan.

Selama masa pemulihan dari segala dosa dan trauma yang melingkupiku, Tuhan membalut luka-luka hatiku. Melalui berbagai materi firman Tuhan yang kudapat lewat Alkitab, artikel, dan media sosial, aku selalu dimotivasi untuk tidak lagi menyimpan segala luka dan dosa yang pernah kulakukan pada masa lalu. Selain itu, setelah aku berani terbuka kepada keluarga dan teman-temanku, mereka pun mendukungku. Jika saat berpacaran dahulu aku jarang sekali memiliki waktu bersama teman-temanku, sekarang malah mereka memberikan waktu mereka untuk hadir, menemaniku, dan memberiku dorongan semangat. Mereka menyadarkanku bahwa mantan pacarku bukanlah orang yang terbaik untukku.

Melalui peristiwa ini, aku belajar bahwa untuk dapat move-on, hal yang tidak sepantasnya dilakukan adalah mendoakan hal buruk dan berusaha untuk balas dendam terhadap orang yang telah menyakiti kita. Seperti firman yang Yesus ucapkan, “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Matius 5:44), aku menjadikan masa laluku sebagai pembelajaran dan aku pun belajar berdoa supaya mantan pacarku dapat berubah menjadi pribadi yang lebih positif. Aku berdoa supaya ketika dia menjalin hubungan dengan pacar barunya, mereka dapat membangun relasi yang positif dan tidak mengulangi kesalahan seperti pada hubungan kami yang dulu.

Ketika Tuhan mengampuniku, aku pun dimampukan untuk mengampuni mantan pacarku dan mengikhlaskannya sebagai bagian dari masa laluku. Sekarang, aku tidak lagi merasa sedih atau galau setiap kali mengingatnya ataupun melihat dia bersama pacar barunya. Melalui peristiwa ini aku melihat bahwa Allah begitu baik kepadaku. Dia menghiburku, juga melindungiku. Dan, terkadang, Dia pun menegurku dengan teguran yang keras.

Saat ini aku berfokus untuk membina relasi yang intim dengan Tuhan, keluarga, dan juga teman-temanku. Selain itu, aku juga berusaha menyelesaikan kuliahku dan mempersiapkan rencana karierku di masa depan. Aku percaya bahwa Tuhan sangat menyayangiku dan tak peduli seberapa kelam masa laluku, Tuhan mempersiapkan masa depan yang baik untukku, sebagaimana firman-Nya yang berkata bahwa rancangan Allah adalah rancangan damai sejahtera (Yeremia 29:11).

“Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan” (1 Yohanes 1:9).

*bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Dia Melengkapiku (adalah sebuah kebohongan)

Apa yang terlintas di benakmu ketika berbicara tentang jodoh dan pasangan hidup? Mungkin kamu akan berpikir tentang belahan jiwa. Sebagai seorang pemuda yang pernah bergumul dengan depresi dan pencarian pasangan hidup, inilah sekelumit pandangan tentang hubungan cinta yang perlu kamu ketahui.

Pergumulanku untuk Melepaskan Diri dari Jeratan Dosa Seksual

Oleh Aimee*

Aku adalah seorang perempuan berusia 20 tahun yang memiliki riwayat jatuh ke dalam dosa seksual sejak SMP.

Kisah ini bermula saat aku duduk di kelas 2 SMP. Waktu itu aku berpacaran dengan teman gerejaku yang juga melayani sebagai pemain keyboard. Statusnya sebagai pelayan di gerejaku membuat berpikir bahwa dia adalah lelaki yang baik dan pasti menghargaiku sebagai seorang perempuan. Tapi, nyatanya tidak sama sekali.

Suatu ketika, saat kedua orangtuaku sedang tidak berada di rumah, dia datang menemuiku. Awalnya kami mengobrol seperti biasa. Tapi, kemudian dia mulai melakukan hal-hal yang tidak sepantasnya dia lakukan dalam berpacaran. Saat itu aku tidak bisa menolak ataupun berontak, dan setelah peristiwa itu aku jadi merasa jijik dengan tubuhku sendiri. Memang saat itu kami tidak sampai melakukan hubungan seksual. Tapi perlakuannya kepadaku hari itu menjadi awal dari kejatuhanku ke dalam dosa seksual. Tak lama setelah peristiwa itu, aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan pacaran dengannya karena aku takut terjadi hal-hal lain yang tidak kuinginkan.

Godaan untuk terjatuh semakin dalam ke dosa seksual pun kembali datang. Secara tak sengaja, aku melihat video porno di ponsel ayahku. Di satu sisi aku merasa jijik menonton video porno, tapi di sisi lainnya aku jadi semakin penasaran. Akhirnya, untuk memuaskan rasa ingin tahuku, aku pun membaca cerita-cerita porno. Tak berhenti sampai di situ, rasa ingin tahu itu kembali meningkat menjadi praktik masturbasi hingga aku duduk di kelas 1 SMA. Di masa-masa awal, setiap kali usai melakukan masturbasi, aku diliputi rasa bersalah kemudian berjanji untuk tidak melakukannya lagi. Namun, seakan menjadi sebuah siklus, tetap saja aku tergoda untuk melakukan masturbasi.

Masturbasi yang kulakukan itu membuatku merasa jijik dengan diriku sendiri hingga aku memutuskan untuk berhenti dari melakukan praktik ini. Namun, walaupun aku telah berhenti melakukan masturbasi, aku tetap jatuh ke dalam dosa imajinasi seks sampai aku duduk di semester 4 kuliah.

Aku baru mengalami lahir baru saat duduk di semester pertama kuliah. Sejak saat itulah aku mulai mengerti tentang bersaat teduh setiap hari. Akan tetapi, itu tidak menolongku untuk bisa berhenti berimajinasi tentang seks. Aku berusaha untuk mengatasi pergumulan ini seorang diri. Aku mengikuti seminar tentang pornografi, membaca artikel-artikel tentang bagaimana bisa lepas dari dosa seksual, dan tentunya berdoa meminta pertolongan Tuhan serta berkomitmen untuk disiplin saat teduh dan berdoa. Akan tetapi, usaha-usahaku itu tidak membuahkan hasil. Malahan, aku merasa bahwa hubungan pribadiku dengan Allah menjadi hilang. Di satu sisi aku bersaat teduh dan melayani Tuhan di persekutuan. Tapi, di sisi lainnya aku tetap terjerat di dalam dosa seksual. Aku merasa diriku seperti orang yang munafik.

Aku merasa putus asa dan tak tahu lagi harus melakukan apa untuk melepaskan diriku dari jeratan dosa seksual. Dalam kondisi inilah akhirnya aku berdoa sambil bersujud kepada Allah, sesuatu yang sebelumnya jarang kulakukan. Dalam doa, aku menangis karena aku merasa lelah sekali untuk berjuang melepaskan diri dari jeratan dosa ini. Sampai di titik ini aku menyadari bahwa usahaku melepaskan diri dari dosa ini sendirian tidak membuahkan hasil. Semakin aku merasa mampu menyelesaikan pergumulan dosa ini sendirian, justru semakin aku tidak mampu membereskannya. Akhirnya, dengan pertolongan Tuhan, aku memberanikan diri untuk menceritakan pergumulan ini kepada kakak rohaniku walaupun di dalam hatiku aku merasa malu untuk menceritakannya.

Ketika kakak rohaniku mengetahui pergumulanku, dia tidak menghakimiku, malahan menanggapiku dengan penuh kasih. Dia mengingatkanku tentang anugerah Allah melalui Kristus yang mati di kayu salib. Allah tahu bahwa manusia tidak akan pernah mampu menyelesaikan dosanya sendiri, oleh karena itu Dia menganugerahkan Kristus untuk membebaskan manusia dari dosa. Ketika aku menerima Kristus sebagai juruselamatku, dosa-dosaku dihapuskan (1 Yohanes 1:9) . Akan tetapi, aku tetap perlu berjuang untuk tidak lagi melakukan dosa.

Setelah bercerita dengan kakak rohaniku, aku jadi teringat akan firman Tuhan yang pernah disampaikan dalam sebuah ibadah di persekutuan tempatku melayani. “Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang kukehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat” (Roma 7:15).

Ketika aku mempelajari kembali perkataan Paulus yang tertulis secara lengkap di kitab Roma 7:13-26, aku mendapati bahwa aku masih hidup sebagai orang yang tidak merdeka. Aku mengizinkan dosa menawan diriku, dan sebagaimanapun perjuanganku untuk melawan dosa, pada kenyataannya aku selalu jatuh kembali karena pada dasarnya aku adalah orang berdosa. Oleh karena itu, satu-satunya Pribadi yang dapat menyucikan dan melepaskanku dari jeratan dosa adalah Kristus.

Sejak saat itu, aku tidak lagi mengandalkan kekuatanku sendiri untuk berjuang lepas dari jerat dosa seksual ini. Dengan pertolongan Allah dan bimbingan kakak rohaniku, perlahan-lahan aku mampu bangkit. Ketika aku mulai kembali tergoda untuk melakukan masturbasi, aku mengingat firman-Nya supaya aku tidak melakukan dosa. Pada akhirnya, aku menyadari bahwa perjuangan yang seharusnya kulakukan adalah dengan bersandar pada anugerah Allah, bukan pada usaha-usahaku semata yang kulakukan tanpa melibatkan Allah.

Perjuangan untuk melepaskan diri dari jerat dosa bukanlah perkara yang mudah, tetapi bukan pula mustahil. Ketika aku sedang menikmati saat teduhku, melalui firman Tuhan dalam Mazmur 51, aku diingatkan bahwa Daud pun pernah jatuh ke dalam dosa, tetapi Allah memakai Daud menjadi alat-Nya bagi Israel. Daud begitu menyesali perbuatannya hingga ia berseru: “Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar!” (Mazmur 51:3).

Aku bersyukur kepada Allah karena pertolongan-Nya sajalah aku bisa dimerdekakan dari dosa. Walaupun aku telah jatuh berkali-kali ke dalam dosa yang sama, Allah menyadarkanku bahwa betapa Dia mencintaiku dan Dia ingin aku kembali kepadanya. “Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka pada waktu yang ditentukan oleh Allah” (Roma 5:6).

Sampai saat ini aku tidak lagi melakukan praktik masturbasi. Tetapi, ketika aku sedang lemah, seringkali dosa untuk berimajinasi tentang seks kembali datang dan menggodaku. Namun, setiap kali godaan itu datang, aku berusaha mengingat nasihat dan firman yang Allah nyatakan melalui saat teduhku dalam Mazmur 51. Aku hanya bisa berdecak kagum pada karya Allah dalam hidupku yang telah membebaskanku dari jeratan dosa seksual. Seperti pemazmur yang kagum akan Allah, demikian juga aku hendak berkata:

“Dan bagiku, betapa sulitnya pikiran-Mu ya Allah! Betapa besar jumlahnya!” (Mazmur 139:17).

Terpujilah Allah karena kasih-Nya!

*bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

#Selfie

Aku adalah seorang yang ketagihan selfie. Buatku, selfie ini sangat menarik. Aku bisa menunjukkan kepada teman-teman di media sosialku tentang aktivitas dan prestasi yang telah kuraih. Begitu menyenangkan rasanya. Akan tetapi, pada akhirnya aku menyadari bahwa di balik ketagihanku berselfie, ada satu hal yang sejatinya sedang kulupakan.

5 Hal Tentang Masturbasi yang Perlu Kamu Ketahui

Oleh Raphael Zhang, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Is Masturbation Your Master?

Sebuah kata yang diawali dengan huruf “M”. Ada banyak istilah untuk merujuk pada kata ini, sebuah aktivitas untuk merangsang gairah seksual oleh diri sendiri, atau kita kenal dengan nama masturbasi.

Pengalaman pertamaku dengan masturbasi sebenarnya dimulai ketika aku masih berusia 5 atau 6 tahun. Waktu itu, secara tidak sengaja tanganku menyentuh bagian vital tubuhku, dan sejak saat itu aku merasa ketagihan.

Di usiaku yang ke-9 tahun, aku menerima Kristus. Tetapi, tidak ada seorang pun yang mengatakan kepadaku apa pandangan Alkitab mengenai masturbasi. Bagiku sendiri, tidak ada yang salah dengan masturbasi karena aku pikir aktivitas ini bukanlah sesuatu yang membahayakan.

Seiring aku bertumbuh dewasa, aku mulai merasa penasaran tentang bagaimana sesungguhnya pandangan Kekristenan terhadap masturbasi. Hampir seluruh artikel-artikel yang kubaca menentang masturbasi karena tindakan ini selalu berkaitan dengan hawa nafsu, pornografi, dan juga fantasi seksual. Dari apa yang kubaca, aku menemukan bahwa masturbasi itu dianggap salah karena bisa dengan mudah membawa kita jatuh ke dalam dosa hawa nafsu. Jadi, kupikir, jika masturbasi yang kulakukan tidak membuatku berpikir penuh hawa nafsu, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari bermasturbasi.

Salah satu hal aku syukuri adalah waktu itu aku tidak jatuh terlalu dalam ke dalam dosa pornografi. Jika saja saat itu aku sering mengonsumsi tayangan-tayangan porno, bisa saja aku akan kecanduan lebih lagi dengan masturbasi. Akan tetapi, dampak dari masturbasi yang kulakukan adalah aku jadi sering berfantasi seksual. Dalam beberapa kesempatan, aku mencoba untuk menghancurkan kebiasaan ini. Tapi, karena aku sendiri tidak terlalu yakin bahwa masturbasi adalah sesuatu yang sungguh-sungguh salah, dengan segera aku kembali terjatuh dalam kebiasaan ini.

Di tahun 2014, Tuhan menolongku untuk menghancurkan beberapa keterikatanku dengan dosa seksual. Salah satunya adalah masturbasi. Suatu ketika, di hari Minggu bulan April, hasratku untuk melakukan kebiasaan masturbasi tiba-tiba menurun secara signifikan tanpa aku melakukan apapun. Tuhan mengizinkanku untuk merasakan sebuah masa di mana aku terbebas dari jerat kebiasaan masturbasi selama beberapa bulan.

Namun, tak lama berselang, hasratku kembali seperti sedia kala. Karena selama beberapa bulan sebelumnya aku pernah hidup tanpa hasrat untuk melakukan masturbasi, aku menyadari bahwa lewat peristiwa ini Tuhan ingin menunjukkan padaku bahwa masturbasi bukanlah tindakan yang berkenan pada-Nya. Aku tahu bahwa masturbasi bukanlah sesuatu yang dapat memuliakan Allah, atau membangun diriku menjadi lebih baik, bahkan sekalipun jika masturbasi itu kulakukan tanpa berfantasi seksual atau pornografi.

Sekarang, aku sedang berjuang untuk mematahkan kebiasaan ini. Dalam perjalananku untuk melepaskan diri dari jeratan dosa seksual, inilah 5 hal yang ingin aku bagikan kepadamu tentang masturbasi.

1. Masturbasi bisa menyebabkan kita kecanduan

Dari perjalananku selama bertahun-tahun untuk lepas dari jeratan dosa seksual, aku mendapati bahwa semakin sering aku memberi kesempatan untuk diriku jatuh ke dalamnya, semakin dosa itu akan mengikatku. Masturbasi telah menjadi tuan atas hidupku dan membuatku kecanduan. Ketika godaan untuk melakukannya datang, aku tidak mampu lagi untuk berkata “tidak”. Alih-alih melawan, aku malah “taat” dan terjatuh kembali dalam godaan seksual itu.

Hal ini tentu bukanlah gambaran tentang kebebasan dan kepenuhan hidup seperti yang Alkitab tuliskan. “Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan” (Galatia 5:10).

2. Masturbasi bisa membuat kita kehilangan kendali atas diri sendiri

Kebiasaanku untuk melakukan masturbasi membuatku berpikir bahwa aku bisa mendapatkan kenikmatan seksual kapan saja aku mau. Masturbasi membuatku kehilangan kendali atas nafsu seksual yang muncul dalam diriku. Mengapa harus menunggu untuk mendapatkan kenikmatan seksual jika aku bisa dengan segera memuaskannya sendiri?

Alkitab berkata, “Orang yang tak dapat mengendalikan diri adalah seperti kota yang roboh temboknya” (Amsal 25:28). Ketika aku tidak dapat mengendalikan diriku sendiri, sesungguhnya aku akan rentan terhadap serangan dan godaan yang menarikku untuk jatuh dalam dosa.

Roh Kudus adalah Roh yang membangkitkan kekuatan, kasih, dan ketertiban (2 Timotius 1:7), dan salah satu buah Roh adalah pengendalian diri (Galatia 5:23). Bagaimana caranya aku bisa dipenuhi oleh Roh Kudus (Efesus 5:18) apabila aku tidak memberi diriku untuk dikuasai oleh-Nya?

3. Masturbasi bisa jadi hanyalah sebuah pelarian dari masalah yang jauh lebih serius

Ketika aku mengenang kembali masa-masa saat aku begitu tertarik dengan masturbasi, aku menyadari bahwa saat itu ada luka-luka batin ataupun masalah yang tidak ingin aku selesaikan. Ada rasa kesepian dan kesedihan mendalam yang pada akhirnya membuatku mengalihkan perhatian dari semuanya itu dengan mencari kepuasan seksual.

Di lain waktu, ketika aku merasa frustrasi, stres, ataupun marah karena sesuatu, aku mencoba memulihkan diriku dengan mencari kepuasan seksual dengan harapan supaya aku bisa melupakan sejenak segala masalahku. Bahkan, ketika aku hanya merasa sekadar bosan pun, aku akan mencari-cari sesuatu yang bisa membuatku gembira.

Apa yang kulakukan itu adalah sebuah lingkaran setan. Ketika suatu masalah tidak diselesaikan dengan cara yang benar, masalah itu akan terus menerus datang dan menekanku. Akibatnya, aku menjadikan masturbasi dan tindakan lainnya yang tidak sehat sebagai cara untuk mengatasi masalah-masalah itu. Akan tetapi, kenikmatan yang didapat dari masturbasi hanyalah sementara. Setelahnya, aku malah harus bergumul dengan perasaan bersalah dan kekosongan diri.

Dalam perjalananku untuk keluar dari jeratan masturbasi, aku terus menerus mengingatkan diriku sendiri untuk tidak menjadikan masturbasi sebagai pelarianku. Sebagai gantinya, aku belajar untuk menceritakan perasaanku kepada Tuhan, meminta-Nya untuk menolongku melihat masalah dalam cara pandang-Nya, dan juga berdiri dalam kebenaran-Nya.

Seiring berjalannya waktu, semakin aku menyerahkan hidupku pada Tuhan atas setiap masalah yang kuhadapi, aku pun semakin dimampukan untuk lepas dari jeratan kenyamanan sesaat masturbasi dan tindakan-tindakan lainnya yang tidak berkenan pada-Nya.

4. Masturbasi membuat kita kehilangan yang terbaik dari Tuhan

Alkitab memang tidak secara spesifik menyebut masturbasi sebagai sebuah dosa, namun aku percaya bahwa kita semua dipanggil untuk menanggalkan semua beban dan dosa yang bisa merintangi kita dari sebuah pertandingan iman (Ibrani 12:1-2).

Seorang penulis dan pembicara dari Amerika, Dannah Gresh menulis sebuah buku berjudul “What Are You Waiting For? The One Thing No One Ever Tells You About Sex”. Dalam buku itu dia menuliskan bahwa seks diciptakan Tuhan sebagai sarana untuk kita saling mengenal dan saling menghormati pasangan kita dalam sebuah ikatan pernikahan. Oleh karena itu, dia percaya bahwa masturbasi membuat kita kehilangan tujuan ideal Allah untuk hasrat seksual yang Dia berikan pada kita.

Aku setuju dengan pemikiran Dannah Gresh. Dalam tahun-tahun ketika aku terjebak dalam kebiasaan masturbasi, aku sempat berpikir bahwa kenikmatan seksual itu hanyalah tentang mendapatkan, bukan tentang memberi. Pemikiran inilah yang membuatku mencari-cari cara sendiri untuk memuaskan tubuhku. Akan tetapi, pemikiran seperti ini tidak menolongku untuk kelak bisa saling mengenal dan dikenal oleh pasanganku dalam pernikahan.

Aku percaya bahwa maksud Tuhan dalam sebuah pernikahan adalah supaya seorang lelaki dan perempuan saling memberi dan menyerahkan satu sama lain atas dasar kasih (Efesus 5:21-32). Hal ini juga berlaku dalam kehidupan seksual mereka. Suami dan istri harus mengabdikan diri untuk saling memberi kenikmatan seksual sebagai perwujudan kasih antara satu sama lain. Ketika mereka memberi, mereka pun menerima. Akan tetapi, apabila seseorang hanya berfokus untuk mendapatkan kepuasan seksual dari pasangannya saja, sukacita yang didapatkan dari persatuan seksual mereka akan berkurang. Ini bukanlah gambaran kehidupan seksual yang baik karena salah satu atau bahkan keduanya lebih mendominasi.

Oleh karena alasan ini, aku tidak percaya bahwa masturbasi adalah kehendak Tuhan untuk kehidupan seksualku, bahkan jika seandainya aku kelak tidak menikah. Ketika aku kehilangan bagian terbaik yang Tuhan sudah tetapkan, maka aku tidak bisa mengalami-Nya secara sempurna dalam hidupku.

5. Kita bisa lepas dari jeratan masturbasi

Mungkin saat ini kamu terbiasa melakukan masturbasi dan ingin lepas dari jeratannya. Kamu bisa melakukannya sebab ada harapan. Tuhan ingin membawa pemulihan ke dalam hidup kita.

Jika saat ini kamu sering menonton tayangan pornografi atau melakukan fantasi seksual, belajarlah secara perlahan untuk menguranginya hingga akhirnya kamu dapat menghapus dua hal ini dari kehidupanmu. Dengan kamu melakukan hal ini, artinya kamu sedang memulai untuk perlahan-lahan membebaskan dirimu dari jerat kecanduan masturbasi.

Semakin banyak waktu yang aku lakukan bersama Tuhan—entah itu memuji Dia lewat pujian, membaca Alkitab, berdoa, ikut komunitas orang percaya, melayani orang lain, dan sebagainya—aku semakin dimampukan untuk lepas dari jerat masturbasi. Ketika aku melakukan ini semua, sesungguhnya aku sedang belajar untuk mengaplikasikan apa yang Alkitab katakan dalam Galatia 5:16-17. “Hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging. Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging – karena keduanya bertentangan – sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki.”

Jika kamu, sama sepertiku, pernah menjadikan masturbasi sebagai jawaban atas masalahmu, aku mendorongmu untuk menyelidiki dirimu lebih dalam mengenai masalah apa yang sesungguhnya sedang kamu berusaha untuk hindari. Menghadapi masalah itu mungkin bukanlah sesuatu yang menyenangkan, bahkan terkadang bisa jadi menyakitkan. Akan tetapi, dari pengalamanku, aku belajar bahwa rasa sakit dan susah payah yang dilakukan ini jauh lebih baik daripada kita harus menanggung beban tambahan yang jauh lebih berat ketika kita tidak menyelesaikan masalah-masalah ini. Tuhan ada dan Dia bersedia untuk menyelesaikan masalah ini bersamamu. Dia akan memberimu penghiburan dan pertolongan yang kamu butuhkan ketika kamu sungguh-sungguh mengambil langkah untuk mencari pemulihan dari-Nya.

Dalam perjalananku keluar dari jeratan masturbasi, mungkin saja aku masih mengalami jatuh bangun, tapi aku punya pengharapan bahwa aku bisa lepas sepenuhnya dari jeratan ini. Maukah kamu bergabung denganku untuk berusaha melepaskan diri dari jeratan dosa dan menikmati kebebasan yang Tuhan berikan?

Baca Juga:

3 Alasan Mengapa Allah Mengizinkan Orang Saleh Mengalami Penderitaan

Di semester awal kuliahku, aku nyaris dikeluarkan dari universitas karena nilai-nilaiku yang buruk. Segala cara untuk memperbaiki nilai sudah kulakukan, tetapi hasilnya nihil. Kemudian, aku pun jadi bertanya-tanya, mengapa Tuhan mengizinkan semua ini terjadi?