Cerpen: Hanya Sepasang Sepatu
Oleh Tri Nurdiyanso, Surabaya
Dua puluh tahun yang lalu, tepatnya tahun 2000, aku masih duduk kelas 2 SD Negeri di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Satu kelas hanya diisi dengan 22 siswa, termasuk aku. Bangunanya juga tidak sebagus sekarang. Dulu, temboknya bisa mengelupas sendiri karena termakan usia.
Di tempat inilah aku belajar mengenal angka dan huruf. Jaraknya tidak jauh dari tempat tinggalku, sehingga aku hanya perlu berjalan kaki untuk berangkat sekolah. Aku bukan siswa yang mudah bergaul dengan teman-temanku. Lebih baik diam dan menyendiri di sudut ruangan. Penampilanku yang kumal dan rambut berantakan, membuatku minder untuk bergaul. Memulai pembicaraan saja, aku gagap.
Kadang juga mempertanyakan kenapa aku harus sekolah, jika sebenarnya orang tuaku saja kesulitan membiayai uang SPP-ku. Seingatku biayanya hanya tiga ribu rupiah per bulan, tetapi mereka tidak mampu membayarnya. Hingga sekarang nominal itu terngiang di kepalaku, karena hampir tiap bulan namaku disebut untuk menagih uang bulanan tersebut. Hal inilah yang menambah keminderanku untuk bergaul, kadang juga malas untuk sekolah.
Bisa dilihat bagaimana tertekannya seorang anak kecil yang melihat temannya bisa menikmati jajanan di kantin, sewaktu jam istirahat. Tak ada uang satu koin pun di dalam kantong, yang ada hanya perasaan iri. Kadang pertanyaanku pun muncul pada waktu itu, “Kenapa Tuhan mengizinkanku lahir di keluarga ini?” Aku tidak bisa menerima segala kekurangan yang kumiliki. Pertanyaan itu hanya tinggal sebuah penyesalan yang kubawa semasa kecil.
* * *
Seperti biasanya, hari Senin adalah hari untuk upacara. Kepala Sekolah menjadi pembina upacara dan seluruh peserta memadati halaman depan. Semua petugas tampak terlatih dalam menjalankan upacara Senin seperti biasanya. Semuanya terlihat sama seperti upacara bendera sebelumnya, kecuali suara dari sang pembina di tengah pidatonya.
“Tolong maju ke depan! Siswa yang berada di barisan kelas 2,” tangan kepala sekolah itu menunjukku. Tetapi aku tidak merasa ditunjuk dan diam di barisanku.
“Tolong siswa yang berada di barisan ketiga, sebelah kanan. Untuk maju ke depan,” lanjutnya.
Benar saja, aku dipanggil oleh kepala sekolahku selaku pembina upacara. Aku melangkah dengan sedikit gemetar. Lututku juga tidak bisa kukendalikan, meski hanya berdiri di samping kirinya. Aku hanya menundukkan kepalaku ke tanah. Betapa malunya aku tampil di depan umum seperti ini. Padahal aku juga tidak merasa melakukan kesalahan apa pun, aku juga tidak memenangkan suatu perlombaan.
“Coba, anak-anakku sekalian. Lihatlah penampilan siswa kelas 2 ini,” kata Kepala Sekolah sembari tersenyum. Semua pasang mata terlihat mengamatiku lebih detail lagi. Semakin malu aku dibuatnya.
“Nak, sepatu yang kamu pakai itu belinya di mana?”
“Kata ibu, ini belinya dari pasar, Pak”
“Kamu tahu harganya berapa?”
“Tiga ribu, Pak.” Kepalaku semakin menunduk. Aku tahu harganya sangat murah. Merek pun tak tertempel di sepatuku. Hanya berbahan kain berwarna abu-abu, yang tingginya tidak sampai mata kakiku. Betapa memalukan aku ini!
“Nah, seharusnya kalian semuanya harus mencontoh anak ini! Dia mau memakai sepatu yang murah dan pantas dipakai. Sekolah bukan berarti harus berpenampilan bagus dengan memakai sepatu bagus. Kalian masih diberi kesempatan belajar di SD ini, manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Jangan malu apa yang kalian pakai, tetapi fokuslah belajar,” jelasnya dengan penuh semangat.
Aku pun dipersilahkan untuk kembali ke barisanku. Perasaan malu sedikit terangkat oleh sebuah kebanggaan. Mungkin memang murah kalau dilihat dari segi harganya, tetapi perkataan kepala sekolahku telah membuatnya menjadi mahal nilainya. Semenjak itu, aku belajar untuk mensyukuri segala kekuranganku dan melihat seperti apa yang dilihat oleh kepala sekolahku.
Mungkin ini yang dimaksud sebuah sukacita. Bukan masalah perasaan senang mendapatkan suatu yang mahal dan mewah. Tetapi bagaimana sikap hati yang mampu mensyukuri atas apa yang diterima dan memiliki sudut pandang yang dimiliki oleh Tuhan terhadapku. Mungkin memang hidupku itu penuh kekurangan, tetapi Tuhan melihatku sebaliknya seperti perkataan kepala sekolahku terhadap sepatuku.
Tuhan memberkati, Amin.
“Engkau telah memberikan sukacita kepadaku, lebih banyak dari pada mereka ketika mereka kelimpahan gandum dan anggur” (Mazmur 4:7).
Baca Juga:
Ketika Pekerjaan Tak Hanya Sebatas Cari Uang dan Kerja Kantoran
Aku belajar bahwa kita tidak akan pernah menemukan tempat kerja se-sempurna yang kita inginkan. Bahkan seorang petani pun harus turun menjejakkan kakinya di lumpur agar bisa bertani.