Posts

Menjumpai Tuhan Melalui Penyakit Kronis yang Kualami

Oleh Claudia Tanubrata, Bandung

Tahun 2022 bukanlah tahun yang mudah untuk kulalui. Memasuki bulan Februari, aku positif COVID disertai asma dengan tiga penyakit penyerta lainnya, yaitu: asma, diabetes melitus tipe dua, dan takikardia (gangguan irama jantung) di tengah kuliah blok yang harus kuselesaikan.

Penyakit yang hadir secara sekaligus sungguh menyulitkanku beraktivitas. Jika kuliah kutinggalkan sejenak, maka sederet keterlambatan pastinya akan memunculkan masalah lebih lanjut. Tapi, tak berhenti sampai di situ, komentar dari orang-orang di sekitarku cukup memukulku. Ada yang berkata bahwa aku seperti dikutuk karena masih muda tapi sudah penyakitan seperti orang yang sudah berumur. Dosa apa yang sudah kulakukan sampai sakit seperti ini, dan banyak komentar lainnya. Barulah di hari ketujuh hasil PCR-ku negatif, tapi dokter tetap menambah obat selama lima hari ke depan supaya penyakit ini tidak merembet ke hal-hal lainnya.

Waktu pun terus berjalan. Obat-obatan yang kuminum disesuaikan kembali jenis dan dosisnya seturut keadaan fisiologi dan hasil penunjang seperti laboratorium dan radiologi. Setelahnya, aku kembali dirujuk ke dokter spesialis jantung konsultan aritmia oleh dokter internis konsultan paruku. Adaptasi tubuhku atas obat-obatan yang dirombak cukup berdampak besar. Totalnya, aku dikontrol oleh tiga dokter spesialis.

Menjalani pengobatan sambil tetap memenuhi tuntutan kuliah membuatku kewalahan. Namun, pada akhirnya semuanya dapat kulalui dengan baik dan aku pun bisa hidup layaknya orang normal yang hidup tanpa penyakit dan obat rutin.

Pengalaman yang kualami sepanjang tahun itu membawaku merenung. Pada Perjanjian Lama, penyertaan Allah tampak begitu jelas bagi Samuel sehingga dia dapat berkata Eben-Haezer yang artinya “sampai di sini Tuhan menolong kita” (1 Samuel 7:12).

Eben-haezer sebenarnya bukan berbicara tentang pertolongan Tuhan yang telah selesai. Eben-haezer berbicara tentang bagaimana pertolongan Tuhan yang telah dimulai pada masa lalu dan akan berlanjut terus. Hal ini penunjuk bahwa Tuhan senantiasa menyertai umat-Nya, secara khusus untukku pribadi.

Mengalami sendiri penyertaan Tuhan

Meskipun sakit yang kualami waktu itu membuatku sungguh sulit, namun Tuhan setia menyertai dan memberiku pertolongan. Orang-orang yang mengetahui keadaanku memberi dukungan dana maupun nasihat agar aku tetap kuat untuk menjalani hidup yang ada. Aku sempat merasa terpuruk dan mempertanyakan kembali kehadiran serta keputusan Tuhan atas semua yang terjadi. Aku menjadi begitu sangat pendiam dan menarik diri dari lingkunganku. Namun, Tuhan yang mencariku lebih dulu. Dia mengutus orang-orang di sekitarku untuk datang menghampiriku dan memberiku dukungan moral dan moril. Di situlah aku menyadari penyertaan Tuhan yang tidak terlihat menjadi nyata seperti yang aku perlukan. Masa sakit dan masalah yang kualami membuktikan penyertaan Tuhan yang tidak pernah pudar dimakan oleh musim, baik musim panen maupun musim paceklik. Penyertaan Tuhan selalu baru setiap pagi, seperti yang ditulis oleh Ratapan 3:23, “Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!”

Positif COVID disertai asma dengan dengan tiga penyakit penyerta bukanlah akhir dari segalanya. Aku masih tetap bisa survive dan akhirnya sembuh, meskipun dilewati dengan tidak mudah. Anugerah Tuhan sungguh nyata buatku. Aku tetap diizinkan melanjutkan hidupku.

Melalui penyakit kronis yang kualami, aku menyadari bahwa Tuhan menginginkanku untuk menjadi pribadi yang tidak mudah menyerah pada keadaan. Secara manusia mungkin keadaan yang kualami terlampau berat, tapi dari situ aku seolah dituntun untuk menjadi lebih kuat dari waktu ke waktu. Semuanya dapat kulalui dengan anugerah-Nya yang menyertaiku. Aku dituntun untuk menjadi seseorang yang kuat menghadapi tantangan demi tantangan, baik tantangan besar maupun tantangan kecil.

Tuhan menghendakiku untuk mampu menyelesaikan, mampu menghadapi segala persoalan hidup, dan Dia menjadikanku menang atas setiap tantangan yang ada.

Dalam Kesulitan Hidup, Pertolongan Tuhan Tak Ada Habisnya

Oleh Rosnani Sagala, Medan

Apa yang pertama kali terlintas di benakmu ketika mendengar kata “sulit”?

Bagiku, kata “sulit” adalah sesuatu yang jika memungkinkan, ingin kujauhi dari perjalanan hidup. Mauku, segala sesuatunya berjalan mudah dan lancar. Namun, kenyataannya perjalanan hidupku tidaklah semulus itu. 

Tahun 2020 aku menerima kabar mengejutkan. Ada penyakit yang terdeteksi dalam tubuhku setelah aku mengeceknya ke dokter. Hasil diagnosis menunjukkan penyakitku bukanlah penyakit ringan. Kondisi ini membuatku terpuruk karena takut jika penyakitku tak bisa sembuh, dan segala impian, rencanaku, tidak akan bisa lagi aku raih.

Namun, kejutan untukku tidak berhenti sampai di sana.

Tahun berikutnya (2021), tepat di bulan Juli dan September, aku mengalami nyeri yang sangat hebat di bagian perut. Aku pun memutuskan untuk mengeceknya. Hasilnya benar-benar di luar logikaku. Ada penyakit lain lagi yang terdeteksi di dalam organ reproduksiku.

Dua tahun berturut-turut Tuhan mengejutkanku dengan kenyataan yang sulit kuterima dan benar-benar membuatku terpuruk secara emosional. Dalam upayaku memahami kenyataan ini, ada masa-masa ketika aku bertanya-tanya mengapa Tuhan mengizinkanku mengalami ini. Ada juga masa ketika aku mengasihani diri sendiri dan ingin dimengerti oleh orang-orang terdekatku. Kurang lebih dua tahun aku menjalani hidup dengan dinamika emosinal yang tidak terlalu baik.

Dalam pergumulan berat itu, aku teringat ayat dari Filipi 1:29 yang berkata, “Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia.”

Kalimat kedua di ayat itu sungguh menggugah hatiku. Aku menginterpretasikan kalimat “menderita untuk Dia” sama halnya dengan ketika aku melewati masa sulit, aku belajar untuk tetap hidup sesuai dengan apa yang Tuhan inginkan.

Dan itulah yang sedang kupelajari saat ini, walaupun tidak mudah.

Tapi, syukur kepada Tuhan! Dalam setiap masa dan kondisiku, Dia tetap setia.

Dia sungguh-sungguh menunjukkan kasih-Nya dengan selalu mengingatkanku lewat saat teduh, doa, dan pembacaan firman bahwa masih ada harapan untuk sembuh. Dia juga menunjukkan kasih-Nya melalui orang-orang sekitar yang peduli kepadaku. Orang-orang yang selalu mendorong dan menguatkanku, serta mendoakanku. Juga ketika aku butuh cash di waktu yang singkat, aku meminta bantuan temanku dan dia memberikan dukungan dana yang tidak sedikit, namun aku berjanji akan mengembalikannya.

Setiap hari, Dia selalu mengingatkanku bahwa dalam kondisi dan situasi apa pun, Dia tetap baik dan sungguh-sungguh peduli kepadaku. Itu terbukti dari apa yang sudah terjadi dalam hidupku. Kasih Tuhan sungguhlah nyata dan Dia turut berkerja untuk mendatangkan kebaikan dalam hidup kita. Dia tak pernah berhenti melakukannya. (Roma 8:28).

Selama 2 tahun perjalanan hidup yang sulit itu, aku bisa merasakan bahwa Tuhan selalu merangkulku dan memapahku untuk bisa bangkit, berjalan, bahkan berlari melewati masa-masa sulit. Tuhan menumbuhkan harapan di hatiku lewat pengertian baru, di mana penyakitku (yang pertama terdeteksi) masih bisa sembuh. Hal ini kuketahui lewat pertemuanku dengan seorang dokter. Dan itu menjadi titik awal bagiku untuk berani bermimpi lagi, untuk membangun harapan.

Selama kurang lebih satu bulan setelahnya, aku berdoa memohon agar Tuhan mempertemukanku dengan dokter yang tepat dan kompeten untuk menangani penyakitku. Puji Tuhan, pada Maret 2022 Tuhan jawab doaku, dengan begitu aku bisa menjalani pemeriksaan lanjutan dan mengikuti prosedur pengobatan untuk menyembuhkan penyakitku yang pertama.

Di tengah proses pengobatan yang aku lalui, aku sungguh tak berhenti mengucap syukur karena aku masih bisa bekerja dan beraktivitas dengan baik. Dan lagi-lagi, Tuhan menunjukkan pertolongan-Nya kepadaku. Pada saat aku memutuskan untuk menjalani pengobatan, aku sudah bekerja selama 3,5 tahun dan hanya memiliki sedikit tabungan. Dengan keadaan seperti ini, tidaklah mudah bagiku untuk membeli obat dan melakukan pemeriksaan tiap bulan karena biayanya besar, apalagi pengeluaranku tidak hanya untuk pengobatan ini. Tapi, kali ini Tuhan tidak hanya memberi, Dia juga mendidikku untuk mengatur keuangan dengan lebih baik.

Tiap bulan, aku mengalokasikan 30-50% penghasilan bulananku serta tabungan yang aku miliki untuk biaya pengobatan. Kalau dulu aku selalu mengalokasikan dana untuk tujuan sosial dan juga untuk orang tuaku, sejak mulai pengobatan aku bicara baik-baik kepada mereka tentang fokusku untuk pengobatan dulu. Sebenarnya kebutuhan orang tuaku tetap tercukupi tanpa aku beri, tapi memang sudah menjadi keinginanku memberikan sedikit dari penghasilanku kepada mereka.

Di tengah itu semua, lagi, lagi, dan lagi Tuhan kembali memberikan lebih dari yang kubutuhkan.

Pada bulan Desember 2020, aku mendapatkan promosi di pekerjaan. Dan tentunya, hal ini berpengaruh pada nominal penghasilan yang kuterima tiap bulannya. Kenaikan penghasilanku tidak signifikan, namun aku bisa kembali menabung. Aku tidak bisa mengatakan promosi ini untuk persiapan pengobatanku. Namun, satu hal yang kuyakini, Tuhan sudah mempersiapkan segala sesuatunya bagiku dan bagi setiap orang kalau Dia mengizinkan sesuatu terjadi.

Sejujurnya, di tengah berkat yang Tuhan berikan, terkadang aku menyayangkan uang yang aku gunakan untuk berobat itu. Tapi, aku kembali diingatkan oleh Tuhan melalui orang-orang terdekatku bahwa pemikiran seperti itu tidaklah baik.

Selama proses pengobatan dan dalam kekhawatiranku, aku juga pernah bilang ini kepada Tuhan:

“Tuhan, jika Tuhan mengizinkan sakit ini kualami, dan Tuhan mengizinkan penyakit ini sembuh, aku percaya kalau Tuhan akan cukupkan dana untuk aku bisa jalanin pengobatan sampai aku sembuh.”

Tuhan mendengar doaku! Aku kembali bersyukur karena sampai bulan November 2022 ini semua kebutuhan masih terpenuhi. Pengobatanku juga masih berlangsung sampai aku menuliskan tulisan ini, dan kondisi kesehatanku pun kian membaik. Memang aku tidak langsung serta-merta sembuh, tapi proses yang kulalui ini mengajarkanku hal-hal yang lebih dari sekadar sembuh. Tuhan juga mau imanku tumbuh di dalam-Nya.

Pertolongan Tuhan tidak ada habisnya untuk menguatkanku dalam setiap musim yang aku lalui. Dari yang tidak ada harapan, Dia tumbuhkan harapan dalam hatiku. Dia menolong aku untuk mengubah cara pandangku selama 2 tahun ini. Penerimaan-Nya terhadapku dengan segala kekurangan dan responsku yang tidak benar, sungguh-sungguh menyentuh hatiku untuk bangkit dan bisa menjadi pribadi yang lebih bersyukur dalam setiap situasi.

Terima kasih kepada Tuhan untuk kasih-Nya yang begitu besar!

Di akhir  tulisan ini, aku ingin menutup dengan satu ayat dari 1 Korintus 10:13 yang berkata, “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai, Ia akan memberikan kepadamu jalan keluar, sehingga kamu dapat menanggungnya.”

Apapun yang sedang kita alami, ingatlah bahwa Tuhan selalu menyertai dan memberikan yang terbaik untuk kita.

Aku berdoa bagi kita yang membaca tulisan ini. Kiranya kita dapat melihat dan merasakan kekuatan serta pertolongan Tuhan dalam tiap musim hidup kita.

Soli Deo Gloria!

Sembuh Tapi Tidak Sembuh, Tidak Sembuh Tapi Sembuh

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Empat tahun yang lalu, aku dan seorang teman dokter melakukan pelayanan di sebuah rumah tahanan (rutan). Setelah aku berkhotbah, kami mengadakan pengobatan gratis untuk semua tahanan berikut para sipir yang ada di sana. Kami lalu mendapatkan informasi bahwa ada seorang tahanan yang bukan orang Kristen yang menderita kusta dan tidak lagi bergaul dengan semua orang di rutan. Dia juga tidak lagi datang ke tempat ibadahnya.

Segera kami mengunjungi orang itu. Kami cukup kaget karena dia tidak bersedia memperlihatkan kondisi tubuhnya. Seluruh tubuhnya dia tutupi dengan kain tipis berwarna agak gelap, hanya menyisakan satu lubang sebesar mata supaya dia tetap bisa memandang kami saat bercakap-cakap. Mungkin dia malu, atau mungkin juga tidak ingin kami terjangkit. Namun, satu yang pasti adalah dia tidak bahagia dengan kondisi tubuhnya, apalagi dia berada di tengah-tengah kelompok yang menjauhinya karena tidak tahu banyak fakta-fakta tentang penyakit kusta. Sejujurnya, saat aku memandangnya aku sangat berharap mukjizat terjadi, tetapi setelah beberapa waktu berselang Tuhan berkata lain. Teman kami, seorang tahanan yang sakit kusta itu telah meninggal.

Pengalamanku melayani di rutan itu membuatku menyadari bahwa setiap orang haus akan relasi. Kita ingin diterima, kita memerlukan sentuhan, kita ingin sehat, pun kita ingin meraih banyak hal dalam hidup. Penyakit telah membatasi banyak hal dari kita. Setiap kali aku mengingat teman kami yang menderita kusta itu, timbul banyak pertanyaan dalam hati. Bagaimana rasanya menghabiskan waktu di sebuah ruangan sempit dan gelap sehari-harian? Bagaimana rasanya tertolak dan sendirian? Setelah teman dokter memberikan petunjuk medis untuknya, aku hanya bisa mendoakannya.

Penyakit kusta bukanlah penyakit baru. Dua ribu tahun lalu, Yesus menyusuri perbatasan Samaria dan Galilea dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem. Dia menghadapi sepuluh orang kusta dan mereka semua berseru senada, “Yesus, Guru, kasihanilah kami!” (Lukas 7:11).

Ada banyak hal yang bisa kita telaah dari kisah itu, tetapi ringkasnya, kesepuluh orang kusta itu menderita lahir dan batin. Kusta telah memisahkan mereka dari komunitas, dari masyarakat dan keluarga. Mereka dipandang sebagai orang yang terkena “kutuk” dari Tuhan. Lalu, karena orang pada masa itu percaya bahwa kusta tidak bisa disembuhkan oleh pengobatan medis, maka teriakan mereka pada Yesus tentu berasal dari hati yang benar-benar hancur.

Kusta yang tertulis di sini bukanlah sekadar tentang sakit akan kulit yang meleleh, tetapi juga relasi yang porak-poranda.

Tidak mengejutkan bagi kita karena Yesus dengan kuasa-Nya tergerak dan menyembuhkan sepuluh orang itu dari sakit kustanya. Tapi, hanya satu yang kembali pada-Nya dan memuliakan Allah. Ada banyak hal yang bisa dijelaskan pada bagian ini, tetapi yang paling ingin aku tekankan adalah bahwa meskipun sepuluh orang telah sembuh, hanya satu orang yang kembali. Satu orang ini adalah orang Samaria yang dianggap remeh oleh orang Yahudi. Kepada orang inilah Yesus berkata, “Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau” (Lukas 17:19).

***

Mari kembali sejenak ke ceritaku di awal tulisan ini yang terjadi empat tahun lalu dan kita coba sedikit menduga-duga. Jika mukjizat terjadi setelah kami berkunjung dan mendoakan teman yang sakit kusta itu, apa yang akan terjadi? Mungkin kamu akan berkata, “nama Tuhan Yesus dimuliakan.” Tetapi, sayang sekali. Fakta dua ribu tahun lalu memberikan kita informasi yang mengecewakan. Yesus bahkan mempertanyakan sembilan orang yang tidak kembali (ayat 17), dan di sinilah letak krusialnya. Jika kamu dan aku percaya bahwa Yesus bisa membuat mukjizat (secara khusus kesembuhan fisik), orang-orang Farisi dan Saduki yang membencinya juga tahu itu, bahkan Iblis pun tahu.

Kisah tentang mukjizat kesembuhan bagi orang kusta itu tidak hanya bicara tentang kesembuhan tubuh mereka, tetapi bicara tentang iman kepada apa yang tidak bisa dibalas oleh manusia kepada Allah yaitu kasih karunia. Ini tentang keselamatan yang tidak bisa dibayar dengan apa pun selain belas kasih Allah dalam darah Kristus yang mengalir pada salib kasar itu.

Yesus Kristus Tuhan kita bukan sekadar penyembuh kusta, kanker, buta, lumpuh, AIDS, dan berbagai penyakit fisik mengerikan lainnya. Dia adalah penyembuh dari penyakit yang jauh lebih mengerikan daripada itu, penyakit yang telah membuat perselisihan antara ibu dan anak, pertikaian antar suku, peperangan antar bangsa, penyakit yang menghancurkan relasi antara Allah dengan manusia, yaitu dosa.

Ketika Yesus menyembuhkan berbagai macam penyakit fisik, Dia berfirman, tetapi untuk menyembuhkan orang dari dosa, Dia berkorban. Dia tergantung di salib dengan kesakitan dan menanggung malu sampai mati-Nya bukan hanya untuk menyembuhkan “kustamu dan kustaku yang bisa Dia selesaikan dengan berfirman. Dia terpaku di sana dan disiksa bagaikan seorang perampok untuk menyelamatkan kita dari kebinasaan kekal.

Apabila seseorang bisa sembuh dari penyakit fisiknya tetapi malah tidak sembuh dari penyakit yang mendatangkan kebinasaan roh, itu adalah sukacita semu. Ketika seseorang mungkin saja tidak sembuh dari penyakit fisiknya tetapi telah sembuh dari penyakit dosanya dan terus memuliakan Allah, itulah sukacita sejati. Jika Allah menyembuhkan penyakit di tubuh kita, entah itu melalui pengobatan, terapi, atau mukjizat, maka terpujilah Dia. Tetapi, jika Dia tidak menyembuhkan sakit fisikmu, Dia pasti menemanimu. Teruslah memuji Dia, karena jaminan keselamatan yang Dia tawarkan adalah sesuatu hal yang jauh lebih berharga.

Aku tahu mengatakan ini terasa mudah dibandingkan mengalaminya, tetapi jika saat ini kamu sedang terbaring sakit di rumah sakit, atau sedang merasa tak berdaya, muliakanlah Allah. Jika Allah menyembuhkanmu, muliakanlah Dia. Jika tidak, terpujilah Dia. Jika seseorang yang kamu kasihi menderita penyakit yang pada akhirnya akan atau telah merenggut nyawanya, ingatlah Tuhan kita, Yesus Kristus di atas salib itu.

Percayalah kepada-Nya yang telah berkata, “imanmu telah menyelamatkan engkau.”

Ketika Aku Sakit Bukan Berarti Tuhan Tidak Mengasihiku

Oleh Christina Anggita

Satu pertanyaan muncul dalam suatu kelompok tumbuh bersama, “Apa yang paling kamu syukuri sepanjang hidupmu?” Jawaban dari teman-temanku adalah penyertaan Tuhan, keluarga, maupun komunitas. Saat itu aku menjawab, kesehatan. Ya. Aku merasakan bahwa Tuhan begitu mengasihiku dengan menganugerahkanku kesehatan yang sangat baik. Mungkin hanya setahun sekali aku demam. Hampir tidak pernah aku tidak masuk sekolah atau bekerja karena sakit.

Namun, beberapa waktu setelahnya, aku mengalami sakit di bagian ulu hati. Biasanya aku merasakannya hanya sebentar tetapi kali ini berbeda, sakitnya masih bisa kurasakan selama dua hari berturut-turut. Di hari kedua itu, aku merasa ada yang aneh pada tubuhku. Bangun tidur, sebelah mataku bengkak, begitu pun leher. Siang hari di tempat kerja, aku melihat kakiku sepertinya bengkak tetapi aku tidak benar-benar yakin karena aku memakai celana panjang dan sepatu kets, dan tidak berniat memeriksanya. Sore hari, aku bersama teman mencoba menimbang berat badan ternyata berat badanku naik 5 kg. Aku senang sekali karena akhirnya aku gemuk, tapi setibanya di rumah setelah pulang kerja, aku berganti pakaian dan aku melihat ternyata kakiku bengkak seluruhnya. Ketika aku bercermin, mata dan leherku masih bengkak dan bertambah di bagian dahi.

Aku memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter, lalu dokter merujukku ke rumah sakit. Aku didiagnosis mengalami Sindrom Nefrotik (ginjal bocor). Aku harus menjalani proses pemeriksaan berkelanjutan dengan seluruh bagian tubuh yang semakin membengkak. Kondisi ini tidak mudah bagiku, terlebih saat itu aku berada di tanah rantau. Aku kemudian memutuskan kembali ke kota asal untuk dirawat di sana oleh keluarga.

Hampir saja aku kecewa karena Tuhan memberiku penyakit, tetapi aku masih memiliki keyakinan bahwa Tuhan pasti tetap mengasihiku dan ingin mengajarkanku sesuatu melalui penyakit ini. Inilah yang tetap kulakukan dan kupelajari selama masa-masa sakitku:

1. Tetap belajar bersyukur

Waktu aku sehat aku yakin Tuhan mengasihiku karena Dia mengaruniakan kesehatan, tapi waktu aku sakit aku juga sangat yakin Tuhan mengasihiku, meskipun sakit yang kualami terasa seperti teguran. Aku tetap berusaha bersyukur, karena aku percaya bahwa Tuhan itu baik dan Dia tentu punya rencana yang baik pula di balik sakit yang kualami.

2. Belajar mengandalkan Tuhan

Waktu aku sehat, fisikku kuat, aku bisa melakukan banyak hal. Pertanyaannya, apakah aku sering mengandalkan kekuatanku sendiri untuk banyak hal itu? Jawabannya ya. Waktu aku sakit, aku tidak bisa melakukan banyak hal. Aku melihat diriku lemah, jalan saja susah, terbatas beraktivitas, bisakah aku mengandalkan kekuatanku sendiri? Tentu tidak. Aku membutuhkan orang lain dalam banyak hal. Aku menyadari bahwa sesungguhnya aku hanya ciptaan yang terbatas dan lemah, tetapi aku punya Pencipta yang begitu kuat dan luar biasa. Kekuatanku itu semata-mata hanya karena kasih anugerah-Nya sehingga aku dan kita semua ada sampai saat ini. Maka sesungguhnya kita selalu membutuhkan Tuhan dalam tiap aspek kehidupan dan tiap waktu. Aku belajar lebih berserah pada Tuhan dalam kondisi apapun itu.

3. Belajar melayani sesama

Waktu aku sakit, begitu mudahnya aku mendapat pertolongan, doa dan dukungan di tengah kesulitan yang kualami selama sakit. Itu juga merupakan bukti bahwa Tuhan begitu mengasihiku. Ia mengizinkan aku merasa sesuatu yang tidak enak menurutku tetapi Dia juga menyediakan pertolongan melalui orang-orang di sekitar. Mereka berdoa bersamaku, menguatkan dan memberi semangat kepadaku, bahkan membantu menyiapkan makananku hingga mengantarku bolak-balik ke rumah sakit. Sekarang pertanyaannya adalah sudahkah aku juga memberi diri untuk melayani dan menolong sesama dengan setia?

Rasul Paulus jelas mengingatkan kita semua tentang kasih Kristus dalam Efesus 3 : 18-19 (TB) “Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan. Aku berdoa, supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah.”

Bagian ini merupakan rangkaian dari bagian doa Rasul Paulus bagi orang-orang percaya di Efesus. Apa yang menjadi permohonan Paulus bagi jemaat di Efesus adalah bukan supaya kehidupan jemaat bertumbuh dalam hal kuantitas, mereka yang hidup dalam kemiskinan menjadi bergelimpang harta, mereka yang sakit mendapatkan kesembuhan, melainkan bagaimana jemaat bertumbuh dalam memahami dan memiliki pengenalan akan kasih Kristus. Harapan Paulus dalam doanya adalah supaya jemaat di Efesus bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami kasih Kristus.

Paulus menggambarkan kasih Kristus itu betapa lebar, panjang, tinggi, dan dalam. Kasih Kristus adalah kasih yang tiada tara, yang sulit dipahami oleh akal pikiran manusia yang terbatas. Namun frasa “sulit dipahami” itu bukan berarti bahwa orang percaya seharusnya berhenti saja untuk belajar memahami dan mengenal-Nya. Paulus juga memohonkan kepada Allah supaya jemaat di Efesus dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah. Paulus rindu mereka hidup dalam kasih kepada Kristus Yesus dan kasih kepada sesama, sebagai orang yang telah diselamatkan dan sebagai tubuh Kristus.

Inilah juga yang seharusnya menjadi konten dan semangat yang seharusnya hidup dalam kehidupan setiap orang kudus di segala abad dan tempat. Tidak jarang kita memohonkan kepada Allah tentang bagaimana kita sembuh dari sakit penyakit, bagaimana supaya keuangan kita bertambah, karir lancar atau meningkat dan lain-lain. Adakah permohonan kita kepada Allah tentang bagaimana kita bertambah teguh dalam iman, memahami, mengenal dan menghidupi kasih Allah dengan sungguh-sungguh dalam kehidupan keseharian sehingga hidup yang kita jalani adalah hidup yang benar dan yang memuliakan nama Tuhan.

Sesungguhnya kehidupan selama masa pemulihan sangatlah sulit bagiku. Selain melakukan rawat jalan dengan cek urin dan darah setiap dua minggu, aku harus mengonsumsi banyak obat dan mengubah pola makan. Aku benar-benar tak menyukainya tapi aku belajar taat. Setiap hari juga aku berdoa bukan hanya untuk kesembuhan tapi untuk terus bertambah teguh dalam iman kepada Kristus seperti yang Paulus ingatkan. Puji Tuhan setelah empat bulan berlalu, aku sembuh total. Aku bersyukur atas perkenanan Tuhan memberiku kesembuhan meskipun akhirnya Tuhan izinkan aku tidak bekerja lagi demi kesehatanku yang lebih baik.

Tuhan mengubahku menjadi pribadi yang berbeda setelah melalui penyakit ini. Aku menjadi pribadi yang selalu mencari Tuhan lebih dahulu dalam menghadapi pergumulan apapun sehingga aku lebih kuat menghadapinya dan percaya segala sesuatu indah pada waktu-Nya. Kehidupan doa dan saat teduh menjadi bagian yang kunikmati setiap hari. Tuhan juga menanamkan panggilan untuk terus melayani orang-orang di sekitarku meski hanya melalui hal kecil yang bisa kulakukan seperti menjadi pendengar dan mendoakan sesama yang sedang bergumul, serta memberi kesaksian bagaimana Tuhan bekerja dalam hidupku melalui komunitas maupun media sosial.

Kiranya kasih Kristus selalu memampukanku dan kita semua untuk bersyukur, mengandalkan Tuhan, serta melayani Tuhan dan sesama dengan setia.

To God be the glory.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Lebih Dari Kain Kering Bekas

Pertolongan Tuhan selalu datang tepat waktu. Meski sempat gengsi untuk meminta tolong, tetapi Tuhan menolongku lewat tindakan kasih teman-temanku.

Dia yang Kukasihi, Dia yang Berpulang Lebih Dulu

Oleh Nia Andrei, Sampit

Kawanku terkasih, tulisan ini adalah cerita singkat dari perjalanan pernikahanku dan suamiku.

Sekitar sebulan lebih setelah pernikahan kami, barulah diketahui bahwa suamiku menderita Leukimia atau kanker darah. Selama beberapa bulan setelahnya, suamiku harus kontrol bolak-balik ke rumah sakit dan transfusi darah.

Karena kondisi sakit kankernya yang membutuhkan perawatan lebih intensif, kami sekeluarga memutuskan untuk melanjutkan perawatannya di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta Barat. Pada hari Sabtu, 2 Februari 2019, aku mendapatkan cuti dari kantorku. Aku sengaja tidak menghubungi suamiku. Aku tidak bilang kalau aku akan menyusulnya ke Jakarta. Hari itu, aku tiba-tiba datang ke ruang perawatannya.

Aku membuka tirai ruangannya dan berkata, “Hai..”

Papa mertuaku yang sedang menemaninya di ruangan pun tersenyum ketika aku datang.

Suamiku kaget, lalu bilang, “Hah?!”

“Kamu seneng nggak aku datang?”

“Iya,” jawabnya lirih.

“Tapi kok biasa aja?”

“Memangnya aku harus loncat-loncat di ranjang?” jawabnya begitu.

Aku tertawa dan menimpalinya dengan candaan, “Iya lah, sambil loncat-loncat di bed.”

Waktu melihat keadaannya, aku hampir menangis, tapi aku tetap berusaha tegar di hadapannya. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menangis di depan suamiku. Aku melihat lebam besar di pergelangan tangan kanan dan di paha sebelah kirinya. Kuoleskan salep di kedua bagian itu.

Mulai hari itu, aku menginap di RS, menenami dia. Setiap hari sebelum dia tidur, aku mengelus dahinya supaya dia merasa nyaman.

Minggu, 3 Februari 2019

Kegiatanku selama di rumah sakit tiap pagi dan sore adalah mengambil air panas di sudut ruangan. Tiap subuh jam 5, perawat datang untuk mengambil darah suamiku melalui selang cvc yang terpasang di dada kanannya, diukur tekanan darahnya, dan suhu tubuhnya. Aku melap seluruh badannya menggunakan waslap dan mengganti bajunya dengan baju pasien. Sprei dan sarung bantalnya pun tak lupa kuganti. Tiap mengusap wajahnya dengan waslap, aku berkata, “Ayang… Ayang…,” inginku menangis rasanya, tapi aku selalu menahan. Setiap kali dia buang air kecil selalu kucatat berapa mililiter volumenya, demikian juga jika dia minum dan buang air besar. Dia pun rutin menggunakan pengobatan uap untuk perbaikan infeksi di paru-parunya. Kadang hanya berselang satu hari jikalau Hb dan trombositnya turun, pasti dia harus melakukan transfusi darah.

Aku membawa Alkitab pernikahan kami. Setiap pagi sesudah sarapan aku membacakan beberapa ayat Alkitab dan dia hanya memandang diriku. Aku pun memandangi dirinya. Kami berdoa dan menyanyikan lagu-lagu rohani. Rasanya kami mampu menjalani hari ke hari hanya oleh penyertaan dan kasih setia Tuhan yang begitu luar biasa bagi kami.

Senin, 4 Februari 2019

Sama seperti hari-hari sebelumnya, ambil darah setiap pagi lewat selang cvc, disuntikkan antibiotik untuk paru-paru, minum obat pagi siang sore (4 macam), tetap pakai uap untuk perbaikan paru-parunya. Pagi hari itu, aku membacakan sebagian ayat Alkitab dan berdoa bersama. Sempat aku terdiam pada ayat Alkitab dari 2 Korintus 4:16, 5:1-8. Aku menangis dan diam, lalu dia memintaku untuk membacanya sampai habis.

Aku sempat mengobrol serius dengannya, “Hun, aku mau resign dari kerjaanku.”

Dia menjawab, “Kenapa? Pikirkan juga kerjaan.”

“Tapi kamu mau aku di sini sama kamu, kan? Mengurus kamu kan?”

“Iya,”

“Ya udah, jangan dipikirkan dulu.”

Selasa, 5 Februari 2019

Menjalani hari-hari bersama dia di RS, mengurus ini dan itu kebutuhannya setiap hari. Siangnya bertemu dokter paru dan dokter mengatakan bahwa pengobatan untuk paru-parunya perlu tetap dijalankan supaya nanti bisa dilakukan kemoterapi. Dokter sempat mengatakan dia perlu keluar dahulu sejenak supaya bisa menghirup udara segar dan terkena sinar matahari, tapi kondisinya tidak memungkinkan untuk keluar karena dia masih bergantung dengan selang oksigen.

Rabu, 6 Februari 2019

Kami menjalani hari-hari seperti hari-hari sebelumnya. Kami membaca Alkitab dan berdoa bersama.

Kamis, 7 Februari 2019

Sekitar jam 5 subuh, dokter Hematologi datang dan mengatakan kalau dia perlu dibawa keluar dari ruang perawatan supaya mendapat udara segar dan terkena sinar matahari karena udara dalam ruangan tidak baik untuk paru-parunya, antibiotik pun sudah resisten. Tapi, kondisinya masih tidak memungkinkan untuk keluar dari ruangan karena dia terlihat mulai sesak nafas dan bergantung dengan selang oksigen.

Hari itu adalah hari yang berat bagiku karena aku harus kembali ke Sampit dan meninggalkan dia di Jakarta.

Aku bertanya lagi memastikan keputusanku, “Hun, aku mau nanya lagi ni, memastikan. Kamu mau aku di sini kan nemenin kamu, mengurus kamu?”

“Iya, terserah saja. Yang terbaik ya.”

Aku bilang, “Oke kamu gak usah pikirin dulu karena keputusan ada di tanganku, aku mau resign.”

Pagi itu dia sudah terlihat mulai sesak nafas dan aku tak tega meninggalkan dia. Aku menghubungi atasanku untuk memperpanjang izinku, tapi tidak diperbolehkan. Mau tidak mau aku perlu pulang ke Sampit dan bilang bahwa aku ingin resign. Waktu aku pamit pada suamiku, wajahnya memerah. Matanya menatapku seolah ingin berkata, “Hun, jangan pergi.” Tapi aku tetap pergi waktu itu dan kembali ke Sampit.

Jumat, 8 Februari 2019

Pagi harinya aku masuk kantor dan sore hari tepat di jam pulang kantor aku memberanikan diri bilang ke atasanku bahwa aku ingin resign dan keputusan ini sudah bulat. Aku mau fokus merawat suamiku. Atasanku setuju.

Malam harinya aku mendapat kabar kalau dia sudah mulai sesak nafas dan di ruang perawatan pun sudah digunakan monitor jantung dan rencananya suamiku akan segera dibawa ke ICU. Aku menangis, berlutut, dan berdoa kiranya Tuhan dapat menolong dia melewati kondisi yang harus dihadapi. Aku pun bergegas membeli tiket pesawat untuk berangkat ke Jakarta besok paginya lewat Palangkaraya. Singkat cerita, saat dia yang kukasihi sedang berjuang di ruang ICU, waktu menunjukkan pukul 23:45 dan aku mendapat kabar bahwa Tuhan Yesus telah memanggilnya pulang.

Aku tersentak. Aku menangis. Aku meraung dan malam hari itu di Sampit turun hujan yang sungguh deras.

* * *

Aku mampu melewati semuanya, sepanjang perjalanan hubungan kami hingga menikah, semuanya karena kekuatan dan penyertaan daripada Tuhan. Aku mengingat kembali semua kebaikan-Nya pada kami. Walaupun waktu-waktu kami bersama begitu singkat, tetapi aku tetap bersyukur karena Tuhan masih memberikanku waktu untuk merawat suamiku dengan intens selama 6 hari di RS Kanker Dharmais Jakarta. Tuhan Yesus, terima kasih, Engkau sangat baik.

Sampai saat ini pun, aku tetap merasakan kasih dan penyertaan Tuhan dalam kehidupanku walau terkadang aku sangat rindu dengan suamiku, dia yang kukasihi.

Semoga kesaksian tentang sekelumit kisah kehidupanku dan alharhum suamiku bisa menjadi berkat bagi semua yang membaca kisah kehidupan kami.

Tuhan Yesus memberkati kita semua.

Baca Juga:

Wanita untuk Kemuliaan Allah

Pada saat Ia bangkit dari kematian-Nya, saksi pertama dari kisah yang mengguncangkan sejarah itu adalah Maria Magdalena, seorang wanita. Mengapa bukan tokoh yang dianggap penting seperti Petrus, Yohanes, Yakobus, atau murid pria lainnya?

Cerpen: Mamaku Terkena Stroke Tiba-tiba

Oleh Eka Arapenta Ginting, Medan

Pagi hari itu, Jumat, 8 Agustus 2014, aku terbangun dari tempat tidurku. Aku terkejut melihat mamaku tergeletak di ambal dan sedang diurut oleh ahli urut. Di samping mamaku, ada papa dan kakak.

“Mama kenapa, Pa?” aku bertanya.

“Mama kena stroke. Tangan dan kaki kirinya tidak bisa digerakkan,” jawab papaku.

Jawaban itu menyakitkan hatiku. Air mataku tak terbendung. Aku pergi ke kamar dan menangis tersedu. Hari itu aku harus masuk sekolah, tapi rasanya aku ingin bolos saja. Aku mengambil handuk lalu mandi, tapi di kamar mandi pun aku masih menangis. Seusai mandi, aku pergi ke kamar, mengganti bajuku, dan aku pun berdoa, “Tuhan, aku tidak percaya kalau mama terkena stroke. Sembuhkanlah mama, amin.”

Sesampainya di sekolah, hari itu ada kegiatan olahraga senam. Aku tidak serius mengikuti tiap gerakannya. Lalu di jam-jam setelahnya pun aku banyak diam sampai sahabatku heran dan bertanya, “Eka, kamu kenapa?” Pertanyaan itu tidak kujawab.

Waktu terasa berjalan lama, aku ingin segera pulang. Setelah jam pelajaran usai, aku mengirim sms ke kakakku. “Kak, bagaimana keadaan mama?”

“Sekarang mama lagi dirawat di IGD RS Adam Malik.”

Aku langsung pergi ke rumah sakit. Temanku bersedia mengantarku naik motor, tapi sesampainya di rumah sakit, dia langsung pulang ke rumahnya. Aku segera menjumpai mamaku di IGD.

Di situ aku mau menangis lagi, tapi mamaku bilang, “Jangan nangis, Ka. Tuhan pasti akan memberi jalan.”

Aku memberikan sedikit kataku untuk menyemangati mama, “Ma, kami bertiga belum sukses, Ma. Masa mama sakit? Mama harus bisa sembuh. Apalagi kakak dan abang bentar lagi wisuda, Ma.”

Mama cuma diam dan merenung saja. Sementara itu, kawan mama dan abangnya mengurus semua administrasi di rumah sakit. Aku berterima kasih karena ada orang-orang yang mempedulikan mama. Aku juga bersyukur kepada Tuhan karena seluruh biaya opname dan pengobatan ditanggung sepenuhnya oleh BPJS.

Kepada kawan mamaku, aku bertanya, “Kok mama bisa kena stroke?”

“Karena mamamu tensinya sampai 200, ditambah lagi jantungnya bengkak. Karena tensinya tinggi, pembuluh darahnya yang di otak mengalami pendarahan.”

Lagi-lagi air mataku ingin menetes, tapi aku berusaha sebisa mungkin menahannya. Waktu tak terasa sudah pukul 16:00, barulah mamaku mendapatkan ruangan opname, di lantai 2. Sekali lagi aku bersyukur karena mamaku mendapatkan ruang menginap dan tidak perlu menunggu sampai besok pagi.

Waktu sudah menunjukkan pukul 21:00. Aku pamit kepada mama, bapak, dan kakakku. Abang saudaraku mengantarku pulang. Tapi sesampainya di rumah, aku tidak bisa tidur karena terus memikirkan mama.

Aku berdoa pada Tuhan, “Tuhan, kenapa mamaku bisa terkena stroke ya Tuhan. Ampunilah dosa mama dan keluarga kami ya Tuhan, karena Engkaulah Allah yang paling berkuasa di dunia ini ya Tuhan! Amin.”

Setelah itu kudengarkan lagu rohani dan air mata kembali mengalir deras sampai aku tertidur.

* * *

Sudah dua hari mamaku dirawat di ruang Rindu A lantai 2. Mamaku tidak bisa tidur karena di ruangan itu ada 8 orang. Siang harinya, mama pindah ke lantai 3. Kali ini ruangannya kelas VIP, mama bisa tidur karena di ruangan itu hanya ada dua orang yang dirawat.

Setiap pulang sekolah aku selalu datang ke rumah sakit untuk menjenguk mama. Setiap malam juga aku terus berdoa pada Tuhan dan air mataku selalu mengalir. Hati ini tak bisa menahan perasaan yang menyedihkan.

Puji Tuhan, setelah 6 tahun mama sakit, Tuhan menyembuhkan mama perlahan demi perlahan. Namun, mama masih sering sesak nafas dan harus diopname di rumah sakit karena pasca stroke mama mengalami komplikasi penyakit lainnya.

Hikmah yang aku dapatkan melalui peristiwa ini adalah Tuhan tetap peduli kepadaku dan menjadikanku alat untuk menyatakan kemuliaan-Nya lewat tulisan singkatku ini.

“Semoga Allah, sumber pengharapan, memenuhi kamu dengan segala sukacita dan damai sejahtera dalam iman kamu, supaya oleh kekuatan Roh Kudus kamu berlimpah-limpah dalam pengharapan” (Roma 15:13).

Baca Juga:

Buatlah Pilihan untuk Melakukan Perkara Surgawi

Di dalam mengambil sebuah pilihan, apa pun itu, ingatlah bahwa semuanya memiliki dampak yang signifikan dalam hidup kita, cepat atau lambat. Itu sebabnya sebagai seorang anak Tuhan berhati-hatilah dalam memilih.

Apakah Sakit Kankerku Merupakan Bagian dari Rencana Tuhan?

Oleh Debra Hunt, Selandia Baru
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Can Cancer Be Part Of God’s Plan?

Satu kalimat yang tak pernah ingin kudengar: “Kamu terkena kanker.”

Usiaku 31 tahun ketika aku menerima diagnosis mengejutkan itu. Aku dan suamiku dikaruniai tiga orang anak yang masih kecil dan aku bekerja sebagai pendeta bagi anak-anak di gerejaku.

Kanker payudara tidak pernah menjadi rencanaku selama lima tahun, atau rencana-rencana lain yang kubuat dalam hidup. Aku tidak merokok, tubuhku rasanya sehat dan bugar, pun tak ada catatan sejarah keluargaku yang mengidap kanker payudara.

Namun, terlepas dari semua fakta itu, aku mendapati diriku terduduk di ruangan berdinding hijau, mendengarkan dokterku menjelaskan seberapa jauh kankerku sudah menyebar. Kankerku tidak terdeteksi sejak awal, dan berkembang lumayan cepat, jadi sang dokter menyarankan perawatan yang kulakukan meliputi operasi, kemoterapi, radiasi, dan terapi endokrin* selama 10 tahun. Dia memprediksi jika aku bisa melalui semua perawatan itu, aku punya 75 persen kesempatan hidup selama lima tahun ke depan.

Minggu-minggu setelahnya, pelan-pelan aku melepaskan segala impian dan harapanku untuk masa depan, termasuk juga impianku untuk gereja tempatku bekerja dan melayani.

Hidupku terganggu. Aku mendapati diriku bertanya, “Tuhan, kenapa? Mengapa Engkau mengizinkan ini terjadi atasku? Mengapa Engkau izinkan kanker merenggutku dari sesuatu yang Kau inginkan untuk aku raih?”

Jemaat gereja mendoakanku. Aku berdoa untuk diriku sendiri, memohon supaya Tuhan menyembuhkanku.

Yang kurasakan saat itu adalah Tuhan cuma ingin aku percaya pada jalan yang Dia rancangkan. Ya, aku tahu Tuhan bisa menyembuhkanku, tapi maukah aku tetap percaya jika Dia tidak melakukannya?

Butuh berminggu-minggu buatku untuk menerima kenyataan jika seandainya aku tidak sembuh. Namun, setelah berlinangan air mata, aku sadar seharusnya responsku adalah: “YA!” Ya, aku harus percaya Tuhan, sekalipun Dia tidak mengambil kanker ini dari tubuhku. Alkitab berkata Tuhan itu dapat dipercaya, dan aku memilih untuk percaya pada-Nya. Aku meletakkan imanku pada-Nya karena aku tahu Dia selalu peduli padaku. Aku bersandar pada sebuah ayat favoritku, “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu” (1 Petrus 5:7).

Aku memutuskan untuk berhenti meminta Tuhan seketika menyembuhkanku, melainkan aku memohon supaya aku dikuatkan dan percaya pada-Nya melalui setiap proses perawatan yang kulakukan.

Berkat-berkat tidak terduga

Apa yang kudapati sepanjang proses perawatanku adalah: meskipun rasanya sulit, Tuhan melimpahkan berkat-Nya dalam perjalananku ini.

Ketika aku pikir aku akan segera meninggal, dunia menjadi terlihat amat indah. Teringat akan kematianku sendiri, aku jadi melakukan segala sesuatu seolah itu adalah hal terakhir yang bisa kulakukan.

Aku berjalan menuju pintu di pagi hari dan terkagum akan embun yang menetes dari dedaunan, sinar mentari yang menyelinap di antara batang-batang pohon, dan bunga-bunga yang terkatup saat malam namun mekar merona kala fajar sambil disinari cahaya surya yang benderang. Keindahan di sekelilingku menjadi amat indah. Hidupku yang terancam oleh kematian membawaku untuk lebih bersyukur atas keindahan ciptaan-Nya; aku bisa melihat karya tangan Tuhan yang ajaib di mana-mana.

Aku juga diberkati dengan kedekatan yang istimewa dengan Yesus. Aku terkejut, karena aku merasa tidak seperti berjalan bersama-Nya di masa-masa berat ini… aku merasa Yesus menggendongku. Sejujurnya aku adalah orang yang pesimis dan agak negatif, tapi rasanya Yesus telah menolongku untuk merasa lebih positif dan optimis daripada hidupku yang biasa. Ya, menjalani hidup seperti ini masih terasa seperti tantangan sepanjang waktu, tapi aku selalu merasa Tuhan ada bersamaku, dan ada kedamaian tak terkatakan dalam hatku.

Menderita kanker juga membuka kesempatan bagiku untukku membagikan kisah kasih Tuhan. Aku diundang berbicara di beberapa acara, juga menulis di blog. Semua itu tak cuma menolongku untuk menikmati pengalamanku sendiri, tetapi mengizinkanku untuk bicara tetang hidup dan harapan yang orang-orang lain belum dapat memilikinya saat ini.

Kanker bukanlah rencana yang baik

Apakah berkat-berkat tak terduga yang kutuliskan di atas artinya kanker adalah rencana yang baik dari Tuhan? Kupikir tidak.

Ketika Tuhan membuat segala sesuatunya baru, di sana tidak akan ada lagi kesakitan dan kesedihan (Wahyu 21:4). Kanker bukanlah rancangan Tuhan bagi umat manusia, dan kanker tidak akan menguasai manusia selamanya—Tuhan kelak akan mengakhirinya. Tapi, sayangnya, untuk saat ini, kanker ada dalam hidup manusia, berkembang dalam tubuh, dan mempengaruhi banyak aspek kehidupan mereka yang menderitanya.

Seiring aku melanjutkan perjuanganku melawan kanker, aku tahu Tuhan tidak sedang duduk diam di surga sembari berkata supaya aku tetap kuat. Tuhan ada di sisiku, mengusap tetesan air mataku dan menguatkan tubuhku yang rapuh.

Aku yakin akan hal ini karena Yesus berbelas kasih atas ciptaan-Nya. Ketika Lazarus meninggal, Yesus menangis dan larut dalam sedih—meskipun Dia tahu akhir ceritanya akan bahagia! Yesus tahu Dia dapat membangkitkan Lazarus dari kematian, namun Dia mengizinkan diri-Nya diliputi kesedihan (Yohanes 11:35). Jadi, aku tahu bahwa menyakitkan pula bagi Tuhan untuk melihat ciptaan-Nya menderita dan kesakitan, rapuh, dan tak berdaya.

Kanker bukanlah rencana Tuhan. Itu adalah hasil dari dunia yang telah jatuh dalam dosa. Namun suatu hari kelak, Yesus akan mengakhiri segala kanker untuk semua orang.

Untuk saat ini, aku percaya Tuhan dapat menggunakan penyakit mengerikan ini untuk melakukan hal-hal menakjubkan. Meski aku mungkin terguncang karena kanker, Tuhan tidak. Tuhan sudah mengetahui Dia ingin memberikan sesuatu yang indah bagiku. Tuhanlah yang akan mengganti debu dengan mahkota yang indah, dan mengubah dukacita menjadi sorak sukacita (Yesaya 61:3, Mazmur 30:11). Kita bisa berhenti resah dan percaya pada-Nya, sebagaimana tertulis dalam Matius 6:25-27 dan Filipi 4:6-7.

Satu tahun telah berlalu dari perawatan yang kulalui, dan puji Tuhan keadaanku baik. Aku masih bergumul dengan kesehatanku, efek samping pengobatan, dan kekhawatiran apabila kankerku kembali. Tapi, aku amat bersyukur atas setiap kebaikan yang Tuhan telah lakukan dan yang akan Dia terus lakukan sepanjang perjalanan hidupku.

Kanker, sakit, atau penderitaan bukanlah rancangan yang Tuhan ingin berikan buatmu. Jika saat ini kamu menghadapi masa-masa yang sulit atau sedang berjuang melawan sakit, maukah kamu bersama denganku percaya pada-Nya, bahwa Tuhan mampu menggunakan keadaan kita yang buruk sekalipun untuk kebaikan?

*Terapi endokrin adalah terapi hormon untuk memperlambat atau menghentikan pertumbuhan sel kanker.

Baca Juga:

Karuna Sankara, Ini Suratku Untukmu

Karuna, bayi perempuan mungil yang jadi hadiah luar biasa bagi pernikahan kami dari Tuhan. Namun, kami harus belajar untuk melepasnya. Inilah pergumulan amat berat yang harus kami lalui.

Jadilah Tuhan, Kehendak-Mu

Oleh Tetti Manullang, Bekasi

Aku seorang mahasiswa S2 jurusan Science Accounting di Yogyakarta. Iklim belajar di kampus ini jauh berbeda dengan kampus S1-ku di Jakarta, sehingga tahun pertama studi master menjadi masa tersulit dalam hidupku.

Sebelum masuk kelas, kami diharuskan untuk memahami materi kuliah terlebih dahulu untuk bisa mengikuti proses diskusi di kelas. Resume perkuliahan, presentasi, serta review artikel dari jurnal internasional menjadi santapanku setiap minggu. Oh, masih ditambah lagi dengan tugas akhir berupa proposal untuk setiap mata kuliah yang ada.

Hasil studiku di semester pertama sangat jauh di bawah harapan. Aku sudah berupaya sekuat tenaga untuk mengikuti ritme perkuliahan, tetapi tetap saja aku tertinggal dari teman-temanku. Aku merasa gagal dan kecewa. Aku takut beasiswaku dicabut, mengingat ada standar nilai minimal yang harus dicapai di tiap semester.

Keadaan ini membuatku semakin giat dan semangat untuk memperbaiki nilaiku di semester berikutnya. Tidur pagi dan kembali bangun di pagi yang sama sudah menjadi suatu hal yang biasa bagiku. Aku menghabiskan akhir pekan dengan belajar di kamar atau perpustakaan. Kadang aku juga belajar kelompok bersama teman-temanku sampai malam di kampus.

Hubungan pribadiku dengan Tuhan masih terjaga, tetapi hanya secara kuantitas. Waktu untuk saat teduh dan berdoa selalu kusediakan, tetapi hanya menjadi rutinitas yang tidak terlalu berarti. Bahkan, aku terlibat dalam pelayanan sebagai BPH di Keluarga Mahasiswa Kristen Pascasarjana di kampusku. Namun, karena tuntutan perkuliahanku yang tinggi, aku hanya mengerjakan tugasku secara teknis tanpa merasakan pertumbuhan apapun. Aku sama sekali tidak menikmati pelayananku. Pergi ke gereja menjadi prioritas terakhir kala itu, mungkin hanya 4 atau 5 kali dalam setahun. Aku tidak mau membiarkan waktu belajarku terbuang sedikitpun. Hidupku hanya didedikasikan untuk kepentingan akademis.

Memasuki semester 4, tahap pengerjaan tesis dimulai. Berkat bimbingan seminggu sekali dengan dosen pembimbingku, Pak Ertambang Nahartyo yang disapa Pak Er, proposalku selesai dengan cepat.

Pada hari Kamis yang cukup santai, pikiranku melayang pada ketiak sebelah kananku bagian bawah yang sudah sebulan ini terasa sangat pegal. Awalnya, kukira rasa pegal itu akibat aku sering membawa buku dan laptop yang cukup berat. Namun, aku mulai curiga ketiga mendapati adanya benjolan di area tersebut. Aku pun browsing untuk mencari informasi, kutemukan banyak saran untuk memeriksakan diri ke dokter onkologi. Segera aku menelepon dokter onkologi di Yogya dan membuat janji konsultasi. Jadwalnya masih dua minggu lagi. Berjaga-jaga jika bukan kabar baik yang kuterima, aku memesan tiket ke Jakarta satu hari setelah jadwal konsultasiku agar bisa ditemani keluarga selama melakukan pengobatan.

Aku menarik napas dalam-dalam. Dadaku terasa sesak dan aku menangis dengan suara keras. Sudah kucoba menutup mulut dengan kedua tanganku, tetap saja tidak terbendung. Aku merasa sangat takut. Takut menghadapi vonis dokter, takut menerima kenyataan apabila benjolan di tubuhku ini adalah tumor ganas, dan takut tidak dapat menyelesaikan studiku tepat waktu. Belum lagi, aku memiliki mimpi untuk mengajukan beasiswa pendidikan doktoral dengan syarat lulus studi master tepat waktu. Bagaimana jika kesempatan itu menjauh dariku? Kucoba mengendalikan pikiranku untuk tetap tenang dan berpikir positif.

Kamis yang kutunggu pun tiba. Aku pergi ditemani Mbak Ida, teman kosku, untuk menemui dokter onkologi. Aku di-USG, dan hasilnya menunjukkan bahwa aku mengalami pembengkakan kelenjar getah bening. Untuk mengetahui struktur jaringannya, aku harus segera dioperasi.

Mendengar hal itu, duniaku terasa berhenti sejenak. Aku terdiam sambil berusaha menahan tangisku. Aku dikuasai penuh oleh rasa takutku. Mbak Ida banyak menanyakan kepada dokter seputar penyakitku. Ia bertanya apakah memungkinkan bagiku untuk dioperasi tahun depan setelah lulus kuliah, mengingat posisiku kala itu yang sedang dalam masa penulisan tesis. Namun, dokter menghimbauku untuk segera dioperasi secepatnya dan jangan ditunda.

Keesokan harinya, aku ditemani Mbak Ida untuk menghadap Pak Er. Beliau menyambutku dengan semangat, tetapi aku malah terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya berkata, “Saya mau pamit, Pak.” Aku melanjutkan kalimatku dengan tangisan. Mbak Ida yang menjelaskan kepada beliau bahwa aku akan pulang ke Jakarta untuk berobat.

It’s okay. Pastikan kamu akan sembuh. Kalau saya mengajar di Jakarta, kita janjian bertemu di sana, ya,” respon Pak Er seperti berusaha menenangkanku.

“Semua akan lulus pada waktunya. Cepat sembuh, Tet. Yang penting sembuh, tesis bisa menyusul.”

Ketika duduk manis di kereta dalam perjalanan pulang ke Jakarta, pikiranku melayang-layang. Hati ini gelisah. Sesekali aku menarik nafas panjang karena merasa sesak di dada. Aku begitu takut akan apa yang akan kuhadapi. Aku pun berdoa untuk menenangkan diri.

“Ya, Allah, rasanya sudah terlalu lama aku melupakan-Mu. Aku merasa terlalu kuat untuk menghadapi semuanya sendiri. Aku seperti tidak membutuhkan-Mu. Aku mengandalkan kekuatanku dan menjadi allah atas hidupku sendiri.

Siapakah aku? Aku bukan siapa-siapa, memandang kasut-Mu pun aku tak layak. Aku hanya hamba-Mu yang lemah dan tak berdaya. Ampuni aku, ya Allah. Terima kasih untuk teguran-Mu, terima kasih tidak membiarkanku berjalan semakin menjauh, terima kasih atas kesetiaan-Mu.

Saat ini aku datang, untuk menyerahkan segala kekhawatiranku, segala takutku, masa depanku, harapanku, cita-citaku. Ya Allah, jika engkau tak mengizinkan aku lulus tahun ini tak mengapa, jika aku harus mengubur mimpi doktorku tak mengapa, jika hasil buruk yang harus kuterima tentang penyakitku tak mengapa. Pegang tanganku selalu, jangan biarkan aku sendiri. Kuserahkan semuanya ke dalam tangan-Mu, jadilah seturut dengan kehendak-Mu. Amin.”

Aku menyanyikan lagu NKB No. 14 “Jadilah Tuhan Kehendak-Mu’’. Lagu ini semakin meneguhkanku untuk berserah kepada-Nya.

“Jadilah, Tuhan kehendak-Mu!
Kaulah Penjunan, ku tanahnya.
Bentuklah aku sesuka-Mu, kan ku nantikan dan berserah.

Jadilah, Tuhan kehendak-Mu!
Tiliklah aku dan ujilah.
Sucikan hati, pikiranku dan di depan-Mu, ku menyembah.

Jadilah, Tuhan kehendak-Mu!
Tolong, ya Tuhan, ku yang lemah!
S’gala kuasa di tangan-Mu; jamahlah aku, sembuhkanlah!”

Setelah berdoa dan mengangkat pujian, rasanya beban dan ketakutanku hilang. Kusadari selama ini aku lupa, bahwa beasiswa yang berusaha kupertahankan dan perkuliahan yang kuperjuangkan mati-matian itu berhasil kudapatkan hanya karena kemurahan-Nya. Musim kehidupan ini Tuhan pakai untuk menarikku kembali kepada-Nya.

Aku akhirnya menjalani operasi. Puji Tuhan, tidak ditemukan keganasan! Aku dapat kembali melanjutkan perkuliahan.

Selama kurang lebih dua bulan, aku belum bisa menggunakan tangan kananku dengan normal. Untuk melakukan beberapa aktivitas sehari-hari seperti mandi, mengganti perban, mencuci, membawa tas, atau mengendarai motor, aku masih harus dibantu oleh orang-orang di sekitarku. Aku semakin tersadar akan kebaikan Tuhan yang luar biasa lewat kehadiran keluarga yang selalu menopang dan menghiburku, teman-teman yang membantuku mengejar ketertinggalan di kampus, dan Pak Er yang membimbingku dengan sepenuh hati.

Atas penyertaan dan pertolongan Tuhan, aku berhasil menyelesaikan studi masterku dalam waktu 1 tahun 11 bulan. Dialah sang pemilik hidup kita. Terpujilah Tuhan kini dan selamanya.

Baca Juga:

5 Hal yang Bertumbuh Ketika Aku Memberi Diri Melayani

Salah satu pemberian terbaik yang bisa kulakukan adalah dengan memberi diriku melayani di gereja. Aku melayani sebagai pengiring nyanyian jemaat atau pemain musik. Sambil terus melayani dan belajar firman-Nya, ada lima hal dalam diriku yang bertumbuh: