Posts

Menikah atau Selibat? Pilihan Hidup yang Perlu Kita Doakan dengan Sungguh

Oleh Hendra Winarjo, Surabaya

Kita punya banyak pertanyaan terkait masa depan. Salah satunya mungkin kita bertanya-tanya dengan siapa, kapan, dan bagaimana kita akan menikah. Namun, konsep tentang pernikahan sebenarnya banyak dipengaruhi oleh faktor budaya dan agama. Contohnya, di negara-negara maju, pernikahan umumnya dianggap sebagai keputusan pribadi dan bersifat privasi, sedangkan di Indonesia pernikahan dianggap sebagai keharusan. Jadi, kalau ada orang yang sudah masuk usia ‘matang’ tapi tak kunjung punya pasangan, pertanyaan ‘kapan nih nikah?’ bukan jadi hal yang asing.

Aku sendiri punya pengalaman terkait keputusanku untuk menikah. Sewaktu aku menyelesaikan studi sarjana strata satuku (S-1), banyak orang yang bertanya-tanya kepadaku soal kapan aku mau menikah dengan wanita yang jadi pacarku saat itu (yang kini jadi istriku). Bukannya menjawab sesegera mungkin, aku malah menjawab bahwa aku akan melanjutkan studi strata duaku (S-2), dan setelah itu barulah aku akan menikah. Mendengar jawabanku tersebut, seketika juga ekspektasi banyak orang bahwa aku akan segera menikah menjadi gugur. Namun, setelah aku berpikir kembali bahwa keputusan menikah atau tidak terutama adalah terkait dengan kehendak Tuhan, maka aku seharusnya tidak perlu merasa bersalah, sebab pernikahan memang adalah sebuah karunia, sakramen, dan perjalanan bersama Tuhan.

Dari pengalamanku itulah ada 3 hal yang ingin kubagikan:

1. Pernikahan bukanlah suatu keniscayaan

Apabila kita melihat kembali ke dalam Alkitab, baik menikah maupun tidak menikah (selibat), keduanya adalah karunia Allah. Artinya jelas, pernikahan bukanlah satu-satunya karunia Allah. Dalam surat Paulus kepada jemaat di Korintus, Paulus menegaskan adanya dua karunia tersebut dengan mengatakan: “Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku; tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu” (1 Kor. 7:7).

Bagi Paulus, orang yang tidak menikah seperti dirinya adalah baik karena selibat adalah karunia dari Allah. Namun, Paulus juga tidak menutup kemungkinan bahwa Allah memberikan karunia kepada sebagian umat-Nya untuk menikah. Lebih lagi, Paulus bahkan mengajarkan bahwa saling memenuhi kewajiban sebagai pasangan suami istri bukanlah dosa (1 Kor. 7:3). Yang salah ialah jika kita memutlakkan bahwa semua orang Kristen harus menikah, atau sebaliknya, semua orang Kristen seharusnya tidak menikah (asketisme dan gnostisisme). Untuk mengetahui lebih jauh soal ini, kamu bisa melihat artikel yang dipublikasikan di sini.

2. Tujuan utama dari pernikahan bukanlah kebahagiaan, tetapi pengudusan

Di dalam bukunya yang berjudul “Sacred Marriage,” Gary Thomas mengajukan sebuah pertanyaan, sekaligus yang menjadi tesis utama tulisannya bahwa, “bagaimana seandainya Tuhan merancang pernikahan lebih untuk menguduskan kita daripada untuk menyenangkan kita?” Artinya, bagi Thomas, sekalipun kita dapat menikmati kebahagiaan dalam pernikahan, tetapi itu bukanlah tujuan utamanya, sebab tujuan utama Tuhan merancang pernikahan adalah supaya kita dapat memiliki hidup yang kudus di hadapan-Nya.

Secara sederhana, kita bisa mengartikan hidup yang kudus di sini sebagai bagaimana kita hidup seperti yang Tuhan kehendaki. Berkaitan dengan pengudusan, pernikahan adalah salah satu cara (sakramen) Tuhan membentuk kita supaya dapat memiliki hidup yang kudus dengan belajar untuk saling menerima, mengampuni, dan mencintai satu sama lain. Kita bisa menambahkan daftar mata pelajaran yang lain untuk menjadi kudus dalam hubungan pernikahan. Namun, yang salah adalah jika kita mengira kebahagiaan adalah tujuan utama dari pernikahan, apalagi kebahagiaan yang kita maksudkan sebatas perasaan senang.

Meski demikian, perlu juga kita ingat bahwa pengudusan hidup tidak hanya ditemukan di dalam pernikahan. Sebab ketika kita diselamatkan oleh Allah di dalam karya Kristus, maka kita juga dikuduskan secara personal (1 Kor. 1:30; 1 Pet. 1:2). Ini artinya, hidup sebagai orang percaya yang melajang pun dapat memiliki hidup yang kudus di hadapan Tuhan, tidak hanya bagi mereka yang mendapatkan karunia untuk menikah. Asalkan kita tetap hidup berdampingan dengan orang lain, baik keluarga, teman, atau rekan kerja kita. Ini karena penerimaan, pengampunan, mencintai, dan lain seterusnya hanya bisa terjadi jika kita hidup berdampingan dengan orang lain, bukan hidup seorang diri (individualistis).

3. Pernikahan dimulai dengan keutuhan, bukan kekosongan jiwa

Pernikahan dimulai dengan sebuah keutuhan diri di hadapan Tuhan, yang sekalipun belum selesai, tetapi sudah dimulai (already, but not yet) oleh karya Kristus yang mengutuhkan diri kita melalui berdamai kembali dengan Allah (2 Kor. 5:19). C.S. Lewis pernah berkata, “The fact that our heart yearns for something Earth can’t supply is proof that Heaven must be our home,” yang berarti, “Fakta bahwa hati kita merindukan sesuatu yang tidak dapat disediakan di Bumi (termasuk mengenai pasangan hidup) adalah bukti bahwa surga (maksud Lewis di sini ialah Allah) harus menjadi rumah kita.”

Janganlah kita mencari pasangan hidup dan kemudian memutuskan untuk menikah hanya karena merasa kosong di dalam jiwa kita, sebab itu hanya akan dapat melukai pasangan kita, termasuk juga diri kita di kemudian hari. Ibaratnya seperti memberi makan monster yang tak pernah kenyang. Begitu pula, jika kita memulai pernikahan dengan sebuah kekosongan, maka pasangan kita juga tidak akan pernah cukup untuk menutup lubang di dalam hati atau jiwa kita yang terdalam, yang hanya bisa ditutup pertama-tama oleh kasih Allah di dalam Kristus.

Selain itu, ketika kita mundur ke belakang, dalam kisah Penciptaan ketika Tuhan Allah menciptakan Adam, keutuhan diri Adam sebagai manusia sudah dimulai, meskipun belum selesai (Kej. 2:7). Karena Adam tak baik jika sendirian. Jadi, ketika Adam mengambil Hawa sebagai pasangan hidupnya, itu tidak dimulai dari sebuah kekosongan jiwa, tetapi dari keutuhan diri Adam sebagai manusia, yang kemudian mengekstensikan kasih Allah kepada Hawa, seorang manusia yang lain (Kej. 2:23).

Kiranya tiga hal yang perlu kita pikirkan kembali sebelum memutuskan untuk menikah di atas dapat mencerahkan kita yang sedang bergumul untuk menikah atau tidak menikah. Terakhir, saranku adalah jangan pernah memikirkan hal-hal ini sendirian. Carilah sahabat dalam Kristus untuk menemanimu dan memberikan nasihat, serta masukan mengenai pergumulanmu soal status kehidupanmu. Itulah juga yang aku lakukan bersama pasanganku dalam perjalanan kamu sebelum menikah. Kami mencari mentor kami masing-masing, dan bahkan menjalani pelayanan konseling bersama dengan beberapa hamba Tuhan untuk mempersiapkan setiap kami untuk menjadi satu kelak.

Jika kamu punya pertanyaan dan ingin berdiskusi, kamu bisa tuliskan di kolom komentar.

Tuhan Yesus memberkati.