Posts

Podcast KaMu Episode-2: Lepas dari Jerat Dosa Seksual

Dosa seksual itu seperti jerat yang terus menarik kita untuk terbenam semakin dalam. Semakin kita berusaha lepas, semakin kuat pula godaannya. Atau, ketika kita telah terjebak terlalu dalam, mungkin kita pun merasa begitu kotor dan tak layak untuk dimaafkan Tuhan.

Apabila kamu sedang bergumul dengan dosa ini, yuk temukan inspirasi dari firman Tuhan yang akan menolongmu untuk hidup kudus bagi-Nya.

Mengalami Pelecehan Seksual, Aku Memilih untuk Mengampuni dan Dipulihkan

Oleh Rosa*, Bekasi

Belakangan ini berita tentang korban pelecehan seksual yang berani bersuara tersiar di banyak media. Membaca berita-berita itu membuatku seolah merasa lega, sebab masyarakat mulai menyadari bahwa pelecehan seksual sejatinya adalah sebuah kejahatan yang harus diusut tuntas.

Aku sendiri pernah mengalami pelecehan seksual dua kali. Kejadian pertama terjadi saat aku berusia 17 tahun. Peristiwa itu membuat depresi dan hampir tidak lulus sekolah. Terlebih lagi pelakunya adalah kakak kelasku sendiri. Kejadian kedua terjadi saat aku kuliah. Mantan kekasihkulah yang melakukannya. Dua cerita kelam ini kusimpan sendiri. Aku tak berani mengadu dan bercerita, sebab bicara soal pelecehan adalah topik yang dianggap tabu.

Kendati dua peristiwa itu sudah lama berlalu, namun trauma yang ditinggalkan masih tertanam. Sebagai perempuan, aku tahu aku perlu menjaga tubuhku—terkhusus area-area privatku—dengan sebaik mungkin sebagai upaya menjaga kekudusan bagi Tuhan. Namun, ketika apa yang kujaga dinoadai oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab, seketika aku merasa hancur. Aku merasa kotor dan tak layak di hadapan Tuhan. Aku pun trauma berelasi dengan lawan jenis, terlebih apabila terjadi sentuhan fisik.

Trauma itu perlahan pudar ketika akhirnya aku lahir baru, walaupun untuk dapat mengampuni itu membutuhkan banyak jatuh bangun. Roma 6:22 mengatakan bahwa aku telah dimerdekakan dari dosa dan aku telah menjadi hamba Allah. Aku mendapatkan perspektif baru bahwa semua manusia diciptakan berharga di mata Tuhan, masa laluku tidak menentukan nilai diriku di hadapan-Nya. Kristus telah menebusku dengan harga yang sangat mahal, dan Dia mengampuni semua dosaku tanpa memandangku hina. Kebenaran inilah yang menolongku untuk mengampuni diriku sendiri, juga kedua pelaku pelecehan yang pernah menodaiku.

Peristiwa yang mengingatkan kembali luka masa lalu

Suatu pagi, salah satu teman komselku memberitahuku berita di media sosial. Berita itu berkisah tentang pelecehan seksual. Aku seketika tersentak ketika mengetahui pelakunya adalah teman baikku sendiri. Temanku itu memang merupakan cowok yang cukup populer. Meski kami berbeda kampus, kami saling mengenal dan berelasi baik. Sepengetahuanku berkawan dengannya, dia adalah orang yang sopan dan menghargai perempuan. Apalagi kebanyakan teman dia pun kebanyakan perempuan.

Aku merasa tak percaya bahwa temanku itu sungguh melakukan hal tak terpuji ini. Namun rasa tak percaya ini sirna ketika akhirnya dia mengakui kepada publik bahwa itu adalah perbuatannya. Aku geram sekaligus kecewa. Aku geram kepada temanku itu yang tega melakukan hal demikian, tapi satu sisi lainnya aku pun kecewa: mengapa temanku di balik perangai baiknya tega melakukan ini? Pikiranku pun teringat akan kepedihan yang dulu kualami. Aku rasanya bisa memahami bagaimana perasaan para korban. Mungkin mereka merasa trauma, depresi, dan hancur seperti yang dahulu kurasakan. Di tengah kekalutan pikiran itu, aku menenangkan diri dengan berdoa. Kumohon pada Tuhan agar Dia mengaruniakanku kebijaksanaan untuk menyikapi ini.

Aku lalu mendapati kabar terbaru. Temanku itu mengakui diri bersalah dan siap menerima semua sanksi yang dijatuhkan padanya. Pada sore harinya, dia pun menyerahkan dirinya kepada pihak berwenang.

Bicara soal pelecehan seksual, peristiwa-peristiwa yang muncul ke permukaan hanyalah pucuk dari gunung es. Banyak dari korban tak berani bersuara karena takut diancam oleh pelaku, atau bahkan oleh masyarakat sendiri. Akibatnya, kisah-kisah pelecehan itu menumpuk menjadi kasus yang tak terselesaikan, dan menyisakan trauma di hidup para korban. Dan, jika korban-korban pun tak berani bersuara, terlebih langka lagi kita mendapati para pelaku yang menyadari kesalahannya. Terlepas dari kesalahannya, aku cukup mengapresiasi langkah temanku itu untuk mengakui dan bersedia dihukum dengan layak atas perbuatannya.

Teruntuk teman-teman yang pernah menjadi korban, aku pernah merasakan betapa beratnya trauma yang harus kita tanggung. Kita takut dijauhi oleh rekan-rekan, mendapatkan cap buruk, atau bahkan diancam. Namun, di tengah kemelut ketakutan yang menyelimutimu, aku berdoa kiranya kamu dapat melihat terang kasih Tuhan. Kamu tak dapat menyimpan trauma ini sendirian. Kepada orang yang kompeten dan sungguh bisa dipercaya, kamu bisa mengutarakan beban hatimu, seperti yang firman Tuhan katakan: “Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya” (Yakobus 5:16). Kamu berhak untuk berbicara dengan jujur.

Kendati kamu merasa kotor dan hina, ingatlah bahwa nilai diri kita hanya ditentukan oleh apa yang Kristus telah lakukan bagi kita di atas kayu salib. Kebenaran inilah yang akan menolongmu untuk pulih. Dan, kepada para pelaku pelecehan, ingatlah bahwa tindakan dosa sekecil apa pun tetaplah dosa. Tuhan melihat setiap tindakan dan motivasi hati kita (Amsal 15:3).

Kiranya damai sejahtera dan anugerah Tuhan beserta kita semua.

Soli Deo Gloria!

*Bukan nama sebenarnya.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Berbuat atau Berbuah?

Berbuat dan berbuah. Dua kata ini cuma berbeda di satu huruf, namun perbedaan maknanya sangat menentukan perjalanan kehidupan kita sebagai pengikut Yesus.

Menang Atas Dosa Favorit

Oleh Aldi Darmawan Sie, Jakarta

Beberapa bulan lalu, Marion Jola (salah seorang kandidat juara Indonesia Idol 2019) merilis lagunya yang berjudul “Favorite Sin”. Istilah yang digunakan di judul ini tidak terdengar asing di telinga kita, bukan? Frasa “favorite sin” atau dosa favorit masih sering kita dengar, khususnya dalam khotbah-khotbah atau renungan. Tulisanku ini tidak akan membahas atau membedah lagu Marion Jola, tapi hal yang menarik perhatianku adalah mengapa kita bisa memfavoritkan dosa-dosa tertentu? Bukankah di gereja kita sudah sering diberitahu dari mimbar bahwa dosa adalah hal yang tidak berkenan kepada Tuhan? Lantas, mengapa kita bisa memfavoritkan dosa-dosa tertentu?

Beberapa waktu lalu, aku sempat mengikuti sebuah webinar yang membahas topik senada. Sang narasumber mengatakan bahwa alasan kita bisa memiliki dosa-dosa favorit, karena memang pada dasarnya dosa itu menawarkan atau mengiming-imingi kita dengan suatu kenikmatan. Salah satu contohnya adalah dosa seksual. Pornografi meskipun kita tahu itu bisa berdampak buruk, tapi tetap saja ada orang yang mengarahkan diri ke sana. Pornografi memberi kita kenikmatan sesaat. Kenikmatan itulah yang membuat kita tergoda dan mengabaikan perasaan bersalah, yang akhirnya mengantar kita semakin jauh dari Tuhan.

Lantas, bagaimana sih supaya kita dapat mengatasi godaan dari dosa favorit? Ketika aku memikirkan pertanyaan ini, aku teringat makalah teologi tentang Yusuf di Perjanjian Lama. Kita tak asing dengan tokoh ini, mungkin kita sudah mengenalnya sejak sekolah Minggu dulu. Kejadian 39 menceritakan Yusuf yang kala itu seorang pemuda dan elok parasnya digoda oleh istri Potifar. Sang nyonya mengajak Yusuf tidur bersamanya. Ajakannya tak cuma sekali, tapi berulang-ulang. Ayat 10 memberikan respons yang menarik dari Yusuf, “Walaupun dari hari ke hari perempuan itu membujuk Yusuf, Yusuf tidak mendengarkan bujukannya itu untuk tidur di sisinya dan bersetubuh dengan dia.”

Jika kita membayangkan berada di posisi Yusuf, mungkin tawaran ini menggiurkan. Terlebih usia Yusuf masih muda dan bisa saja istri Potifar tersebut elok pula parasnya. Namun perkataan Yusuf pada ayat 8 dan 9 patut kita perhatikan. “Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?”. Alkitab memang tidak secara eksplisit menjelaskan dari mana Yusuf bisa memahami bawa ajak dari istri tuannya itu adalah suatu dosa. Namun yang jelas, Yusuf memandang ajakan tersebut bukan saja sebagai bentuk kejahatan besar kepada tuannya yang telah memercayakan jabatan kepadanya, tetapi juga sebagai dosa terhadap Allah!

Hal pertama yang kita bisa pelajari adalah Yusuf berpegang teguh pada pendiriannya meskipun godaan datang setiap harinya dan keadaan pun mendukung jika seandainya dia memilih ajakan dosa tersebut. Tetapi Yusuf tidak oportunis, dia tidak mencari keuntungan diri sendiri dari kesempatan yang ada. Hal kedua, Yusuf memiliki nilai yang sama dengan Allah. Yusuf menganggap apa yang berdosa di mata Allah juga adalah dosa di matanya.

Dalam topik tentang problematika dosa seksual, dosen pastoralku mengatakan bahwa permasalahan utama dari dosa seksual adalah permasalahan nilai (the battle of value). Dosa seksual yang sudah sering dilakukan akan membentuk paradigma seseorang dalam melihat lawan jenis. Seseorang yang telah kecanduan pornografi biasanya akan dengan mudahnya memandang lawan jenisnya sebagai objek seksual. Meskipun dirinya bergumul sedemikian rupa untuk tidak berpikir seperti itu, tetapi nilai yang ada dalam otaknya telah bercokol, membentuk cara pandangnya untuk melihat lawan jenis sebagai objek seksual. Maka disadari atau tidak, salah satu alasan sulitnya lepas dan berhenti dari berbagai kecanduan, termasuk pornografi adalah karena kita menganggap kenikmatan sebagai nilai tertinggi dalam hidup (the greatest value). Kita tahu pornografi salah, tapi kita terlanjur menganggapnya sebagai sesuatu yang bernilai. Akibatnya, pornografi jadi susah ditolak. Dosa kenikmatan seksual telah dianggap sebagai our greatest value and delight.

Memenangkan pertempuran

Seperti judul artikel ini, bagaimana kita bisa menang atas dosa favorit?

Keberhasilan seseorang untuk menang dari berbagai godaan pertama dimulai dengan mengakui bahwa perbuatan tersebut adalah dosa yang menyakiti hati Tuhan. Kita perlu secara konsisten memandang perbuatan tersebut sebagai suatu dosa terhadap Tuhan. Kita harus mengubah nilai yang kita anut, bahwa kenikmatan tertinggi dalam hidup kita bukanlah terletak pada dosa atau kesukaan kita. Mungkin bagi seseorang yang telah berkubang lama dalam dosa pornografi, dosa ini dianggap berbeda dari zinah. “Aku kan tidak melakukan hubungan seksual dengan siapa pun. Aku hanya melakukannya seorang diri.” Tapi, prinsipnya tetaplah sama, bahwa kita telah memandang lawan jenis sebagai objek seksual kita. Dan, Tuhan tentu saja tidak mendesain manusia hanya sekderdil objek seksual. Manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah. Artinya, manusia begitu berharga di mata Tuhan. Ketika kita mereduksi nilai manusia hanya sebatas objek seksual, kita telah melenceng dari desain Tuhan dan menyakiti hati-Nya.

Di dalam Kristus, kita mampu menang atas dosa-dosa favorit! Sepenggal perkataan Paulus dari Roma 6:11-12 berkata, “Demikianlah hendaknya kamu memandangnya: bahwa kamu telah mati bagi dosa, tetapi kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus. Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya.”

Kita telah mati bagi dosa dan kita sudah hidup bagi Allah. Penebusan yang Kristus lakukan di atas kayu salib memampukan kita untuk berkata “tidak” kepada dosa. Tidak hanya berhenti sampai di sana, kita juga telah dimampukan untuk memberikan hidup kita bagi Allah. Itulah yang seharusnya menjadi our greatest value and greatest delight in our life. Bukankah hidup kita terlalu berharga untuk kita habiskan hanya mencari kenikmatan sesaat tetapi membawa perasaan bersalah yang berkepanjangan dan akan merusak hidup kita sendiri? Maka dari itu, marilah kita mengubah nilai hidup kita dari hidup demi kenikmatan diri menuju hidup yang sepenuhnya mengabdi bagi Allah.

Baca Juga:

Menjadi Seorang Kristen dan Gay: Bagaimana Aku Bergumul untuk Hidup Kudus Bagi Tuhan

Kedaginganku berkata bahwa aku perlu memenuhi hasratku, mengikuti keinginan hatiku. Tapi, aku sadar bahwa aku adalah orang percaya yang diselamatkan karena iman, bukan karena perbuatanku.

Ketika Pacarku Menjeratku ke dalam Dosa Percabulan

Oleh Renata*

Aku adalah mahasiswi berusia 21 tahun. Kisah ini bermula 3 tahun lalu saat aku berkenalan dengan seorang pria di semester kedua kuliahku. Pertemuan pertama kami terjadi di sebuah kepanitiaan. Waktu itu aku baru menyadari bahwa ternyata dia adalah teman seangkatanku, satu jurusan, dan juga sesama orang Kristen.

Semenjak pertemuan itu, setelah tiga minggu berselang kami sangat sering berkomunikasi hingga tumbuh rasa ketertarikan di dalam hati. Kami bercerita tentang masa lalu kami masing-masing dan apa yang menjadi harapan kami ke depannya. Walau usia pertemanan kami baru sebentar, tapi aku merasa sudah mengenalnya dengan begitu baik, bahkan merasa cocok dengannya. Akhirnya, dari proses yang singkat ini kami berdua memutuskan untuk menjalani hubungan yang serius, yaitu berpacaran.

Pada awal hubungan pacaran, aku merasa sangat senang. Pacarku adalah sosok pria yang romantis. Dia sering memberiku bunga, kejutan-kejutan kecil, mengantarkanku pulang, mengajakku jalan-jalan, mendengarkan setiap ceritaku, dan rela mengorbankan apapun untukku, termasuk waktunya. Setiap hari kami selalu bertemu di kelas, dan sepulang kuliah pun masih pergi makan bersama. Selain itu, kurasa kami berdua juga memiliki tipe kepribadian yang sama, sehingga kami merasa sangat cocok dan nyambung dari segi pemikiran dan pembicaraan.

Hubungan pacaran ini membuatku bahagia. Apalagi dia sering mengingatkanku untuk terus membawa hubungan kami ke dalam doa. Ketika bertemu, kami tak lupa untuk berdoa bersama. Kami membeli buku saat teduh bersama, dan beberapa kali beribadah bersama-sama di gereja.

Namun, hubungan yang pada mulanya terasa begitu baik dan membangun tersebut mulai berubah saat menginjak bulan keempat. Pacarku mulai menunjukkan bahwa dia menyukai sentuhan-sentuhan fisik. Pada awalnya, aku merasa sangat risih karena aku ingin memberikan batasan-batasan dalam berhubungan. Tapi, tidak berhenti di situ, dia mulai mengajakku untuk singgah ke tempat kosnya. Aku menolak ajakannya karena aku ingat pesan ibuku untuk tidak main ke kamar kos lawan jenis.

Pacarku memahami penolakanku, sehingga setiap kali tiba di depan kosnya, dia memintaku untuk menunggu saja di dalam mobil sementara dia masuk untuk mengambil barang. Tapi, lama-lama dia membujukku untuk menunggu di dalam saja. Lalu, dia juga mengajakku untuk belajar dan mengerjakan tugas bersama di kosnya. Aku pun menerima bujukan itu dan merasa tidak ada yang salah dengan ajakan belajar bersama. Tapi, suatu ketika dia melakukan hal yang tidak pantas. Dia melecehkanku dengan melakukan sentuhan-sentuhan fisik di tubuhku sehingga kami pun bertengkar hebat dan aku sangat marah. Setelah kejadian itu, dia meminta maaf dan berjanji untuk tidak melakukannya kembali. Tapi, janji tersebut hanya sebatas ucapan. Setiap kali kami bertemu, dia selalu berusaha melampiaskan nafsunya kepadaku. Entah mengapa, mudah sekali bagi dia untuk membuatku luluh hingga akhirnya aku pun menuruti kemauannya.

Aku sadar bahwa tindakan yang kami lakukan adalah dosa percabulan. Tapi, pacarku selalu memaksaku karena dia menganggap bahwa hal tersebut tidaklah masalah karena kami tidak sampai melakukan hubungan badan. Hubungan pacaran kami pun mulai dipenuhi pertengkaran. Bahkan, masalah sepele pun sering menjadi besar. Ketika pertengkaran terjadi, aku sering memintanya untuk berhenti memaksaku melakukan dosa percabulan ini. Tapi, dia tidak pernah menggubrisnya. Ketika aku tidak menuruti kemauannya, dia malah akan balik marah kepadaku.

Di tengah rasa frustrasiku dalam hubungan pacaran ini, aku tidak berani menceritakan persoalan ini kepada siapapun. Aku takut jika aku bercerita ke orang lain, maka cerita ini akan tersebar. Aku merasa malu dan jijik dengan diriku sendiri. Selama dua tahun aku menjalani hubungan pacaran yang tidak sehat. Di satu sisi aku tahu bahwa pacarku itu mencintaiku. Tapi, mengapa dia tidak bisa menyayangiku dengan tulus? Mengapa dia membawaku ke dalam hal-hal percabulan? Dia sering mengajakku pergi, membuatku bahagia, tapi mengapa ujung-ujungnya dia mengharapkan imbalan dariku untuk memuaskan hawa nafusnya? Apakah Tuhan berkenan jika hubungan kami seperti ini?

Pertanyaan-pertanyaan itu terngiang di benakku. Jika dulu kami memulai hubungan ini dengan relasi yang membangun, sekarang dosa percabulan justru menghancurkan hubungan kami. Kami tidak lagi mengindahkan Tuhan, malahan semakin menjauh dari-Nya. Sampai di sini, aku pun mengambil keputusan untuk menyudahi saja hubungan pacaran kami. Aku menjadi sangat cuek kepada pacarku dan beberapa kali mengajaknya putus. Tetapi, dia bersikukuh untuk mempertahankan hubungan ini. Hingga pada suatu momen, aku pun pergi meninggalkannya tanpa mengabarinya. Aku merasa lega bisa terbebas dari hubungan ini. Tapi, tiga minggu berselang, aku malah merindukannya kembali. Dan, tanpa bertanya terlebih dulu kepada Tuhan, aku pun segera menghubunginya kembali dan memohon maaf karena aku telah meninggalkannya. Namun, saat itu dia sudah tidak memberiku kesempatan lagi.

Saat itu aku merasa sangat hancur. Aku merasa tidak ada lagi sosok yang dapat menggantikannya. Malahan, aku jadi merasa bersalah karena menganggap dirikulah yang menjadi penyebab kehancuran hubungan ini. Kupikir akulah yang selama ini tidak menjadi pasangan yang baik baginya. Karena rasa kehilangan inilah, aku mengejar-ngejar bahkan mengemis-ngemis supaya dia mau kembali denganku. Namun, dia tidak mau. Bahkan, dia tidak menyesal atas segala dosa percabulan yang telah kami lakukan dan dengan segera dia berpaling kepada perempuan lain.

Di awal masa putus ini, dalam doaku aku memohon pada Tuhan jika mantan pacarku adalah yang terbaik untukku, maka dia akan kembali padaku. Tapi, jika tidak, aku berdoa supaya aku bisa melupakannya. Hari-hariku pun kulalui tanpa semangat dan sering menangis jika mengingat mantan pacarku, padahal dulu aku adalah seorang yang cerita dan tidak pernah menunjukkan kesedihan di depan orang lain.

Sampai suatu ketika, aku tidak bisa tidur semalaman, dan aku merasa Tuhan seperti memanggilku untuk berdoa. Di titik ini aku menyerah dan tersadar bahwa selama ini aku telah melupakan Tuhan tanpa kerinduan sungguh-sungguh untuk kembali pada-Nya. Aku memang berdoa. Tapi, alih-alih berdoa memohon ampun atas segala dosa yang telah kami lakukan saat berpacaran, aku hanya berdoa memohon supaya aku dapat melupakan mantan pacarku. Hari itu aku menangis kepada Tuhan. Aku memohon ampun kepada-Nya atas segala dosa yang telah aku perbuat.

Di saat aku bertekuk lutut dan berserah penuh kepada Tuhan, Dia tidak tinggal diam. Saat itu aku merasakan kelegaan yang sangat mendalam. Seperti pemazmur yang mengatakan, “Sejauh timur dari barat, demikian dijauhkan-Nya dari pada kita pelanggaran kita” (Mazmur 103:9), aku merasakan kedamaian di hatiku, hingga akhirnya dengan penuh keyakinan aku berani berkomitmen bahwa sejak saat itu aku akan berjuang sepenuh hati untuk lepas dari dosa percabulan.

Selama masa pemulihan dari segala dosa dan trauma yang melingkupiku, Tuhan membalut luka-luka hatiku. Melalui berbagai materi firman Tuhan yang kudapat lewat Alkitab, artikel, dan media sosial, aku selalu dimotivasi untuk tidak lagi menyimpan segala luka dan dosa yang pernah kulakukan pada masa lalu. Selain itu, setelah aku berani terbuka kepada keluarga dan teman-temanku, mereka pun mendukungku. Jika saat berpacaran dahulu aku jarang sekali memiliki waktu bersama teman-temanku, sekarang malah mereka memberikan waktu mereka untuk hadir, menemaniku, dan memberiku dorongan semangat. Mereka menyadarkanku bahwa mantan pacarku bukanlah orang yang terbaik untukku.

Melalui peristiwa ini, aku belajar bahwa untuk dapat move-on, hal yang tidak sepantasnya dilakukan adalah mendoakan hal buruk dan berusaha untuk balas dendam terhadap orang yang telah menyakiti kita. Seperti firman yang Yesus ucapkan, “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Matius 5:44), aku menjadikan masa laluku sebagai pembelajaran dan aku pun belajar berdoa supaya mantan pacarku dapat berubah menjadi pribadi yang lebih positif. Aku berdoa supaya ketika dia menjalin hubungan dengan pacar barunya, mereka dapat membangun relasi yang positif dan tidak mengulangi kesalahan seperti pada hubungan kami yang dulu.

Ketika Tuhan mengampuniku, aku pun dimampukan untuk mengampuni mantan pacarku dan mengikhlaskannya sebagai bagian dari masa laluku. Sekarang, aku tidak lagi merasa sedih atau galau setiap kali mengingatnya ataupun melihat dia bersama pacar barunya. Melalui peristiwa ini aku melihat bahwa Allah begitu baik kepadaku. Dia menghiburku, juga melindungiku. Dan, terkadang, Dia pun menegurku dengan teguran yang keras.

Saat ini aku berfokus untuk membina relasi yang intim dengan Tuhan, keluarga, dan juga teman-temanku. Selain itu, aku juga berusaha menyelesaikan kuliahku dan mempersiapkan rencana karierku di masa depan. Aku percaya bahwa Tuhan sangat menyayangiku dan tak peduli seberapa kelam masa laluku, Tuhan mempersiapkan masa depan yang baik untukku, sebagaimana firman-Nya yang berkata bahwa rancangan Allah adalah rancangan damai sejahtera (Yeremia 29:11).

“Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan” (1 Yohanes 1:9).

*bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Dia Melengkapiku (adalah sebuah kebohongan)

Apa yang terlintas di benakmu ketika berbicara tentang jodoh dan pasangan hidup? Mungkin kamu akan berpikir tentang belahan jiwa. Sebagai seorang pemuda yang pernah bergumul dengan depresi dan pencarian pasangan hidup, inilah sekelumit pandangan tentang hubungan cinta yang perlu kamu ketahui.

Pergumulanku untuk Melepaskan Diri dari Jeratan Dosa Seksual

Oleh Aimee*

Aku adalah seorang perempuan berusia 20 tahun yang memiliki riwayat jatuh ke dalam dosa seksual sejak SMP.

Kisah ini bermula saat aku duduk di kelas 2 SMP. Waktu itu aku berpacaran dengan teman gerejaku yang juga melayani sebagai pemain keyboard. Statusnya sebagai pelayan di gerejaku membuat berpikir bahwa dia adalah lelaki yang baik dan pasti menghargaiku sebagai seorang perempuan. Tapi, nyatanya tidak sama sekali.

Suatu ketika, saat kedua orangtuaku sedang tidak berada di rumah, dia datang menemuiku. Awalnya kami mengobrol seperti biasa. Tapi, kemudian dia mulai melakukan hal-hal yang tidak sepantasnya dia lakukan dalam berpacaran. Saat itu aku tidak bisa menolak ataupun berontak, dan setelah peristiwa itu aku jadi merasa jijik dengan tubuhku sendiri. Memang saat itu kami tidak sampai melakukan hubungan seksual. Tapi perlakuannya kepadaku hari itu menjadi awal dari kejatuhanku ke dalam dosa seksual. Tak lama setelah peristiwa itu, aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan pacaran dengannya karena aku takut terjadi hal-hal lain yang tidak kuinginkan.

Godaan untuk terjatuh semakin dalam ke dosa seksual pun kembali datang. Secara tak sengaja, aku melihat video porno di ponsel ayahku. Di satu sisi aku merasa jijik menonton video porno, tapi di sisi lainnya aku jadi semakin penasaran. Akhirnya, untuk memuaskan rasa ingin tahuku, aku pun membaca cerita-cerita porno. Tak berhenti sampai di situ, rasa ingin tahu itu kembali meningkat menjadi praktik masturbasi hingga aku duduk di kelas 1 SMA. Di masa-masa awal, setiap kali usai melakukan masturbasi, aku diliputi rasa bersalah kemudian berjanji untuk tidak melakukannya lagi. Namun, seakan menjadi sebuah siklus, tetap saja aku tergoda untuk melakukan masturbasi.

Masturbasi yang kulakukan itu membuatku merasa jijik dengan diriku sendiri hingga aku memutuskan untuk berhenti dari melakukan praktik ini. Namun, walaupun aku telah berhenti melakukan masturbasi, aku tetap jatuh ke dalam dosa imajinasi seks sampai aku duduk di semester 4 kuliah.

Aku baru mengalami lahir baru saat duduk di semester pertama kuliah. Sejak saat itulah aku mulai mengerti tentang bersaat teduh setiap hari. Akan tetapi, itu tidak menolongku untuk bisa berhenti berimajinasi tentang seks. Aku berusaha untuk mengatasi pergumulan ini seorang diri. Aku mengikuti seminar tentang pornografi, membaca artikel-artikel tentang bagaimana bisa lepas dari dosa seksual, dan tentunya berdoa meminta pertolongan Tuhan serta berkomitmen untuk disiplin saat teduh dan berdoa. Akan tetapi, usaha-usahaku itu tidak membuahkan hasil. Malahan, aku merasa bahwa hubungan pribadiku dengan Allah menjadi hilang. Di satu sisi aku bersaat teduh dan melayani Tuhan di persekutuan. Tapi, di sisi lainnya aku tetap terjerat di dalam dosa seksual. Aku merasa diriku seperti orang yang munafik.

Aku merasa putus asa dan tak tahu lagi harus melakukan apa untuk melepaskan diriku dari jeratan dosa seksual. Dalam kondisi inilah akhirnya aku berdoa sambil bersujud kepada Allah, sesuatu yang sebelumnya jarang kulakukan. Dalam doa, aku menangis karena aku merasa lelah sekali untuk berjuang melepaskan diri dari jeratan dosa ini. Sampai di titik ini aku menyadari bahwa usahaku melepaskan diri dari dosa ini sendirian tidak membuahkan hasil. Semakin aku merasa mampu menyelesaikan pergumulan dosa ini sendirian, justru semakin aku tidak mampu membereskannya. Akhirnya, dengan pertolongan Tuhan, aku memberanikan diri untuk menceritakan pergumulan ini kepada kakak rohaniku walaupun di dalam hatiku aku merasa malu untuk menceritakannya.

Ketika kakak rohaniku mengetahui pergumulanku, dia tidak menghakimiku, malahan menanggapiku dengan penuh kasih. Dia mengingatkanku tentang anugerah Allah melalui Kristus yang mati di kayu salib. Allah tahu bahwa manusia tidak akan pernah mampu menyelesaikan dosanya sendiri, oleh karena itu Dia menganugerahkan Kristus untuk membebaskan manusia dari dosa. Ketika aku menerima Kristus sebagai juruselamatku, dosa-dosaku dihapuskan (1 Yohanes 1:9) . Akan tetapi, aku tetap perlu berjuang untuk tidak lagi melakukan dosa.

Setelah bercerita dengan kakak rohaniku, aku jadi teringat akan firman Tuhan yang pernah disampaikan dalam sebuah ibadah di persekutuan tempatku melayani. “Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang kukehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat” (Roma 7:15).

Ketika aku mempelajari kembali perkataan Paulus yang tertulis secara lengkap di kitab Roma 7:13-26, aku mendapati bahwa aku masih hidup sebagai orang yang tidak merdeka. Aku mengizinkan dosa menawan diriku, dan sebagaimanapun perjuanganku untuk melawan dosa, pada kenyataannya aku selalu jatuh kembali karena pada dasarnya aku adalah orang berdosa. Oleh karena itu, satu-satunya Pribadi yang dapat menyucikan dan melepaskanku dari jeratan dosa adalah Kristus.

Sejak saat itu, aku tidak lagi mengandalkan kekuatanku sendiri untuk berjuang lepas dari jerat dosa seksual ini. Dengan pertolongan Allah dan bimbingan kakak rohaniku, perlahan-lahan aku mampu bangkit. Ketika aku mulai kembali tergoda untuk melakukan masturbasi, aku mengingat firman-Nya supaya aku tidak melakukan dosa. Pada akhirnya, aku menyadari bahwa perjuangan yang seharusnya kulakukan adalah dengan bersandar pada anugerah Allah, bukan pada usaha-usahaku semata yang kulakukan tanpa melibatkan Allah.

Perjuangan untuk melepaskan diri dari jerat dosa bukanlah perkara yang mudah, tetapi bukan pula mustahil. Ketika aku sedang menikmati saat teduhku, melalui firman Tuhan dalam Mazmur 51, aku diingatkan bahwa Daud pun pernah jatuh ke dalam dosa, tetapi Allah memakai Daud menjadi alat-Nya bagi Israel. Daud begitu menyesali perbuatannya hingga ia berseru: “Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar!” (Mazmur 51:3).

Aku bersyukur kepada Allah karena pertolongan-Nya sajalah aku bisa dimerdekakan dari dosa. Walaupun aku telah jatuh berkali-kali ke dalam dosa yang sama, Allah menyadarkanku bahwa betapa Dia mencintaiku dan Dia ingin aku kembali kepadanya. “Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka pada waktu yang ditentukan oleh Allah” (Roma 5:6).

Sampai saat ini aku tidak lagi melakukan praktik masturbasi. Tetapi, ketika aku sedang lemah, seringkali dosa untuk berimajinasi tentang seks kembali datang dan menggodaku. Namun, setiap kali godaan itu datang, aku berusaha mengingat nasihat dan firman yang Allah nyatakan melalui saat teduhku dalam Mazmur 51. Aku hanya bisa berdecak kagum pada karya Allah dalam hidupku yang telah membebaskanku dari jeratan dosa seksual. Seperti pemazmur yang kagum akan Allah, demikian juga aku hendak berkata:

“Dan bagiku, betapa sulitnya pikiran-Mu ya Allah! Betapa besar jumlahnya!” (Mazmur 139:17).

Terpujilah Allah karena kasih-Nya!

*bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

#Selfie

Aku adalah seorang yang ketagihan selfie. Buatku, selfie ini sangat menarik. Aku bisa menunjukkan kepada teman-teman di media sosialku tentang aktivitas dan prestasi yang telah kuraih. Begitu menyenangkan rasanya. Akan tetapi, pada akhirnya aku menyadari bahwa di balik ketagihanku berselfie, ada satu hal yang sejatinya sedang kulupakan.