Posts

Aku, Si Pembunuh yang Diberi Ampun dan Kesempatan Baru

Oleh Mayang*
*bukan nama sebenarnya

Jika kepada setiap orang ditanyakan dosa terberat apakah yang pernah mereka lakukan, kurasa akulah yang paling malu dan gentar untuk mengungkapkannya.

Masa muda yang seharusnya indah menjadi kelam karena dosa yang kulakukan. Saat itu aku duduk di bangku SMA dan berpacaran dengan seseorang. Tanpa benar-benar memikirkan akan risiko, aku dan pacarku melakukan hubungan intim. Setelah beberapa waktu, betapa kaget dan hancurnya aku ketika tahu bahwa aku hamil, terlebih lagi sikap pacarku yang posesif dan abusif membuatku merasa tidak mencintainya lagi, demikian juga sebaliknya. Aku berada pada dilema: apakah aku harus menikahi laki-laki itu dan mengizinkan anakku hidup? Atau, menggugurkannya? Aku memutuskan pilihan yang kedua. Hari ini, empat belas tahun kemudian, tanganku pun masih gemetar mengingat kejadian itu. Akulah si pembunuh yang seharusnya diganjar hukuman berat.

Setelah keputusan berat itu kuambil, aku memutuskan untuk melarikan diri. Aku meninggalkan mantan pacarku. Aku pergi ke kota yang lain dengan alasan melanjutkan pendidikan, padahal jauh dalam lubuk hatiku aku sadar bahwa itu adalah pelarian. Aku berusaha lari dari kenyataan bahwa aku adalah pembunuh dan aku mencoba menjalani hidup dengan tidak berharap sama sekali bahwa aku akan menjadi manusia yang baik. Dalam bayanganku, aku akan kembali jatuh dalam seks bebas dan dunia malam di kota metropolitan. Begitulah aku memberikan harga pada diri dan masa depanku.

Namun, dalam pelarianku itu ternyata Tuhan menangkap dan memenangkan aku. Tuhan bahkan tidak membiarkan aku menyentuh gemerlap dunia di kota itu. Dengan cara-Nya yang unik, Dia mengubahkan hidupku, mengizinkan aku mengenal Dia, membuat aku jatuh cinta pada-Nya. Aku yakin bahwa sejak semula Tuhan telah memilihkan kampus yang kujadikan tempat melanjutkan studi untuk aku bertemu dengan-Nya. Sebagai mahasiswa baru, aku diwajibkan memilih salah satu dari organisasi-organisasi kemahasiswaan yang ada sebagai syarat agar nanti aku dapat diwisuda. Setelah diskusi dengan teman baikku, kami memilih masuk organisasi kerohanian dengan pemikiran bahwa tidak akan banyak kegiatan yang menyita waktu kami sehingga kami bisa bersenang-senang. Ternyata pikiran kami meleset. Justru melalui organisasi inilah kami malah diinjili dan menerima Kristus. Dan kami ternyata harus mengikuti begitu banyak kegiatan yang menyita waktu kami, seolah Tuhan tidak membiarkan kami untuk terjerat dalam pergaulan lain yang salah. Melalui berbagai camp, seminar, fellowship, dan kelompok pemuridan selama 3 tahun kami menerima proses yang membuat kami terus dibaharui dan sungguh-sungguh menyerahkan hidup kami bagi Tuhan.

Tuhan Yesus menjagai aku dengan memberikan orang-orang baik yang mengasihi Dia di sekitarku. Aku tidak hanya mendapatkan teman, namun sahabat dan mentor yang mau berjalan bersama-sama dalam perjalanan rohaniku. Dua orang senior perempuanku bahkan membantu aku memulihkan diri dan berdamai dengan masa laluku. Melalui mereka aku belajar memiliki hati melayani yang benar. Tidak hanya itu, Tuhan memberikan aku kesempatan-kesempatan besar untuk melayani-Nya. Semua itu membuktikan apa yang dikatakan Daud dalam Mazmur 31 : 22 “Terpujilah Tuhan, sebab kasih setiaNya ditunjukkan-Nya kepadaku dengan ajaib pada waktu kesesakan”.

Namun pada suatu titik aku bertanya “Tuhan, dari sekian banyak perempuan muda di dunia ini, di negara ini, di kota ini, di kampus ini, mengapa aku yang adalah pembunuh ini yang Engkau pilih?”

Aku tidak menemukan jawaban spesifik untuk pertanyaan ini. Semua jawaban yang aku dapat terlalu umum. Sampai suatu hari, bertahun-tahun setelah itu, salah satu temanku memilih aku untuk menceritakan pergumulan hidupnya. Dia sedang berjuang untuk melepaskan laki-laki yang sudah terlanjur dia berikan segalanya. Dia begitu mencintai laki-laki itu sehingga tidak ingin kehilangan bahkan meski sudah diselingkuhi. Dia ada dalam bayangan kegelisahan kalau-kalau tidak lagi akan ada laki-laki lain yang dapat menerima dirinya. Terlebih dia juga ketakutan akan murka Tuhan yang mungkin akan dia terima sebagai balasan untuk dosa yang sudah dia lakukan. Dia terlalu malu untuk menyentuh Tuhan dalam doa, meskipun dia sangat sadar hanya Tuhan yang dapat menolong kehancurannya ini.

Keberaniannya menceritakan hal itu padaku membuat aku terbuka mengenai apa yang pernah aku lakukan di masa lalu. Aku pun bersaksi tentang bagaimana Yesus mau mengampuni dan memulihkan aku yang dosanya pun sama mengerikannya itu. Kisahku adalah aib yang memalukan, namun dengan pertolongan Roh Kudus, aku diberikan keberanian untuk menceritakan bagian paling bobrok dalam hidupku untuk temanku. Cerita itu kusampaikan bukan untuk menujukkan hebatnya diriku atau berbangga atas besarnya dosaku, tetapi kasih Allah jauh melampaui segalanya. Tak ada dosa yang terlalu kelam untuk disentuh dengan terang-Nya. Membagikan kisah kasih Allah itu membuatku merasakan sukacita yang luar biasa.

Setelah malam itu aku mengerti mengapa Tuhan memilih aku yang adalah seorang pembunuh ini untuk diselamatkan. Tuhan Yesus mau aku untuk jadi alat-Nya melayani perempuan-perempuan muda yang mengalami apa yang pernah aku alami. Dalam kehancuran dan kegagalanku, Dia mau dan mampu menatanya menjadi indah dan melayakkanku supaya setiap orang yang melihat dan mendengarkan aku yang jahat ini, dapat melihat dan mendengarkan Yesus yang penuh kasih itu.

Aku sangat bersyukur atas apa yang Yesus kerjakan dalam hidupku. Aku tidak dapat berbohong bahwa aku masih terus hidup dalam rasa bersalah dan penyesalan. Namun, rasa itu yang membuat aku mampu mengasihi banyak orang tanpa alasan. Rasa itu membuat aku tidak mampu untuk menyangkal unconditional love yang aku terima dari Tuhan, tidak peduli seberapa sulit pun hidup yang aku jalani.

Akibat perbuatanku itu jugalah sampai hari ini membuat aku kesulitan memulai sebuah hubungan baru dengan orang lain. Sulit bagiku untuk bisa percaya bahwa akan ada laki-laki baik yang mau menerima aku dengan masa laluku. Namun, aku bersyukur karena penerimaan Yesus sudah cukup bagiku. Aku akan tetap bersukacita seperti yang tertulis dalam Mazmur 13:6 “Tetapi aku, kepada kasih setiaMu aku percaya, hatiku bersorak-sorak karena penyelamatan-Mu. Aku mau menyanyi untuk Tuhan, karena Ia telah berbuat baik kepadaku.

Kini aku sadar, melayani orang yang sedang berada dalam posisi terburukku adalah bagian dari panggilan hidupku.

Aku Wanita dan Aku Kecanduan Pornografi

Oleh Jacq So
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I’m A Woman And I’m Addicted To Porn

Halo teman-teman, namaku Jacq, aku seorang pecandu pornografi fiksi.

Setelah sekian lama aku baru menyadari kalau aku telah sampai di titik kecanduan. Kupikir aku tak lebih dari seorang yang suka membaca cerita-cerita fantasi.

Tapi, di situlah titik permulaannya. Dari kecil, aku adalah seorang pembaca yang penasaran, yang selalu ingin tahu banyak hal. Waktu SD, aku membaca buku berjudul Sweet Valley High dan Sweet Valley University, yang isinya ada di luar kepalaku. Di sekolah menengah, temanku mengenalkanku dengan fanfiction Harry Potter.

Fanfiction adalah cerita fiksi yang dibuat oleh para penggemar berdasarkan kisah atau karakter yang sudah ada, namun dimodifikasi oleh imajinasi sendiri. Fanfiction menolong para penulis pemula untuk menulis dalam banyak genre, dari komedi ke action, drama, romance.

Karena seri Harry Potter saat itu belum semuanya dirilis, membaca fanfiction memberiku alternatif selagi menunggu seri terbaru terbit. Aku membaca semuanya, dari cerita yang berspekulasi tentang buku-buku Harry Potter kelak hingga kilas balik ke masa lalu, ke tokoh-tokoh yang lebih tua.

Aku juga membaca cerita-cerita romantis. Aku memastikan cuma membaca cerita-cerita yang sesuai usia. Tapi suatu ketika, aku terpikat pada cerita bersambung yang ditulis dengan sangat baik, yang berisi adegan dewasa antara dua karakter. Aku harus tahu bagaimana akhir ceritanya, jadi kubaca sedikit-sedikit adegannya sambil memahami detail-detailnya.

Inilah kesalahan pertamaku.

Alasan yang kuberi pada diriku sendiri

“Tulisannya bagus” jadi alasanku selama bertahun-tahun untuk tetap membaca. Seiring aku membaca lebih banyak cerita fiksi yang berbeda, aku mendaulat diriku sebagai pembaca, tapi hal lain yang ikut terjadi adalah aku jadi semakin toleran terhadap sensualitas di tiap-tiap lembar yang kubaca.

Sebagai orang Kristen, aku tahu kalau pornografi adalah jerat yang harus dilepas, tapi aku beranggapan kalau:

– Itu cuma berlaku buat pria
– Itu cuma berlaku kalau kamu melihat bagian tubuh. Yang kubaca memang berisi deskripsi jelas, tapi itu kan cuma kata-kata. Aku bilang pada diriku sendiri: kamu tidak bisa memvisualisasikan apa yang kamu tak tahu.

Tapi, entah aku mengakuinya atau tidak, apa yang kubaca itu memberiku pengetahuan tentang seksualitas—dan keinginan untuk hidup lebih bergairah. Sebagai seorang yang tidak mengalami hal-hal romantis dalam hidupnya, pornografi fiksi menjadi arena untukku membenamkan diri dalam emosi dari karakter-karakter yang kubaca.

Ketika kecanduanku menjumpai Terang

Di awal usia 20-an barulah aku sadar kalau ini masalah. Aku ikut konferensi pemuridan dengan sahabatku di tahun 2013 dan mendapati kalau aku bergumul dengan hawa nafsu dan pornografi.

Aku pulang, membersihkan riwayat di perambanku (browsing history) dan meminta bantuan sahabatku untuk menolongku lepas dari dosa ini. Aku bisa bilang kalau inilah titik balik hidupku. Tapi, cuma dalam sebulan dua bulan, aku kembali lagi ke kehidupan lama.

Aku punya kebiasaan yang lebih dari satu dekade kulakukan. Membaca fanfiction yang porno menjadi hiburanku dan semacam ‘terapi’ setiap kali aku merasa capek, kecewa, kesepian, atau sekadar bosan. Pada beberapa momen, aku meminta ampun pada Tuhan setiap kali godaan itu datang. Lalu, aku melawan godaan itu setengah hati sebelum akhirnya menyerah.

Ketika aku mendengar kesaksian orang-orang yang lepas dari dosa, aku bingung mengapa aku tidak bisa. Aku mau hidup sesuai dengan teladan Yesus, tapi aku tidak bisa (Roma 7:18-19). Ada banyak momen ketika aku merasa putus asa karena terlalu sering melakukan dosa-dosa ini. Aku bertanya-tanya, kalau-kalau temanku dan Tuhan akan capek mendengar aku mengaku dosa, “Aku baca buku porno itu lagi. Maaf.”

Ketika aku ‘berserah’ pada anugerah Kristus dan pengampunan-Nya, aku tidak sepenuh hati. Aku tidak merelakan pikiranku dituntun oleh Roh Kudus, jadi aku tak akan pernah bisa tunduk sepenuhnya pada Allah (Roma 8:6-7) dan mengalami pertobatan sejati.

Lalu datanglah intervensi digital dari Tuhan Yesus

Suatu malam, aku memutuskan untuk menghapus riwayat perambanku.

Tapi, aku terpaku pada beberapa cerita yang kuanggap ada di ‘zona aman’. Tidak ada kisah romantis, atau sesuatu yang mengarah pada birahi. Ini cerita bagus, pikirku. Aku mau menandai cerita-cerita itu sebelum aku lupa. Jadi, kubuka lagi situs yang baru saja kututup. Aku cuma mau cari judul-judul itu aja, tegasku pada diri sendiri.

Aku bisa merasakan Tuhan tidak berkenan saat itu, tapi aku membenarkan diriku. “Ini doang mah gak akan berdosa,” gumamku dalam hati. Lalu, sekitar satu jam mencari-cari di situs itu, laptopku tiba-tiba restart sendiri dan muncullah blue screen, “your computer has experienced an error.”

Itu notifikasi error yang biasa, tapi emoji sedih di layar itu seolah seperti Tuhan Yesus berkata padaku, “Hai, ini Aku. Kamu lagi ngapain?”

Aku ingin menjawab kalau aku mencari cerita yang ingin kutandai. Aku selesai menandainya, tapi perasaanku jadi campur aduk.

Besoknya, aku bangun dengan satu pesan menggema di kepala—aku menyebut diriku pengikut Kristus, tapi bersediakah aku memberikan segalanya buat Dia?

Roh Kudus membombardirku dengan ayat-ayat Alkitab. Ayat yang menghujamku adalah perkataan Daud, “…aku tidak mau mempersembahkan kepada TUHAN, Allahku, korban bakaran dengan tidak membayar apa-apa” (2 Samuel 24:24). Aku ingat sebuah lagu yang liriknya berkata memberi untuk Tuhan haruslah yang terbaik dan mempersembahkan korban yang layak buat Kristus. Namun, di sinilah aku berada. Aku menyerahkan keinginanku di atas altar, tetapi aku masih menimbang-nimbang harganya.

Kubuka lagi laptopku untuk menghapus semua bookmark di browser. Ketika Tuhan memberitahuku bahwa aku harus menanggalkan semuanya, aku berontak dengan memberi alasanku: tulisan-tulisan yang kubaca itu bagus dan ceritanya aman kok. Tapi kurasa Tuhan menjawab, “Tidak tahukah kamu bahwa tulisan dan kata-kata yang indah itu bersama dari-Ku?”

Kujawab Tuhan dengan membeberkan alasan bahwa bookmark lain yang kusimpan di browser itu tidak penting-penting amat, lama-lama juga aku lupa. Tuhan pun menjawabku kembali: “Jadi, kamu cuma mau menyerahkannya ke Aku kalau menurutmu itu sudah nggak penting lagi?”

Aku tak tahu menjawab apa.

Pembaharuan setiap hari dari Allah

Sudahkah aku menang atas pornografi? Belum. Kurasa inilah dosa yang akan terus kugumuli sepanjang hidupku.

Tapi daripada terjerat dalam rasa bersalah, aku bisa melompat pada anugerah Allah—percaya bahwa Dia tak akan lelah mendengarku mengakui dosaku, dan Dia setia serta adil. Dia mengampuni dan menyucikanku dari segala kesalahan (1 Yohanes 1:9).

Anugerah Kristus mengundangku masuk dalam pertobatan melalui darah-Nya. Aku diingatkan akan kehadiran-Nya dalam hidupku. Dia tahu, Dia melihat, dan Dia merasa pedih saat aku membuat keputusan yang salah.

Kapan pun hawa nafsu hadir dalam otakku, aku segera memohon pertolongan Tuhan dan bantuan dari sahabatku yang kupercaya untuk mendoakanku. Aku belajar waspada dari mood-ku yang negatif, obsesi berlebihan pada suatu tokoh atau karakter, atau waktu-waktu luangku.
Tuhan telah berjanji bahwa ketika kita “memakukan hasrat” kedagingan kita pada salib-Nya, dengan pertolongan Roh Kudus kita tidak akan dibiarkan kekurangan. Dia akan “memuaskan hasratmu dengan kebaikan, sehingga masa mudamu menjadi baru seperti pada burung rajawali” (Mazmur 103:5).

Nafsu dalam Pacaran: Dosa Terselubung yang Tidak Kita Bicarakan

Oleh Wendy Wong
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Lust in Dating: The Secret Sin We Don’t Talk About

Aku dan suamiku sudah menikah selama setengah tahun. Sebelum menikah, kami pacaran selama dua tahun lebih.

Selama masa-masa pacaran, kami bergumul dengan dosa yang amat kami sesali. Hanya teman yang paling dekat dan pemimpin di gereja kami yang tahu akan dosa itu: hawa nafsu.

Dari berpegangan tangan hingga peluk-pelukan, godaan untuk semakin dekat secara fisik semakin kuat saat relasi kami menjadi lebih erat.

Kami coba lawan godaan ini sebisa mungkin. Kami berdoa memohon pengendalian diri, menundukkan diri kami dalam firman Tuhan tentang kekudusan, membaca dan membaca lagi artikel dan renungan Kristen tentang mengalahkan nafsu, menetapkan batasan-batasan fisik, menangis dan merasa malu setiap kali kami melanggar kesepakatan, berusaha bertanggung jawab dan jujur berbicara ke pembimbing kami, dan datang ke konselor Kristen bersama-sama.

Namun, seringkali rasanya semua usaha itu sia-sia. Kami ‘melakukan’ semuanya dengan benar, iya kan?

Lucunya, meskipun kami pikir kami tahu apa yang Alkitab, buku, dan pasangan yang sudah menikah katakan tentang dosa hawa nafsu, kami tidak cukup mengerti. Sebatas pengetahuan tentang apa yang benar tidak cukup untuk menghindarkan kami dari melakukan hal yang salah. Jauh lebih mudah untuk memuaskan keinginan daging yang menggebu-gebu daripada mendengarkan bisikan Roh Kudus untuk menahan nafsu kami.

Hanya ketika kami mengalami konsekuensi dosa, kami akhirnya mengerti alasan di balik aturan-aturan yang dibuat. Tatkala memuaskan nafsu terasa menyenangkan saat itu, dampak setelahnya yang muncul bisa berupa perasaan malu, bersalah, dan sakit yang bertengger berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Kami menyadari bahwa ketika kami menyerah pada nafsu, kami sedang menyakiti satu sama lain dan mendukakan Tuhan yang telah menyucikan, menebus, dan membayar lunas kita dari dosa dengan pengorbanan Kristus di kayu salib.

Karena hawa nafsu adalah dosa terselubung, pasangan Kristen yang merasa dirinya baik cenderung tidak membahasnya karena berpikir mereka mungkin tidak akan jatuh di dalamnya. Namun, ketika kita terjatuh ke dalamnya, kita merasa sendiri dan terasing, bahkan juga merasa gagal dalam membina hubungan. Kita membangun pemahaman bahwa pasangan Kristen haruslah pasangan yang terlihat “rohani”, sehingga kita jadi ragu atau bahkan merasa kurang “rohani” jika kita membahas hal-hal yang berkaitan dengan pengendalian diri dari hawa nafsu.

Ketika kubilang kita bergumul dengan hawa nafsu, kita sungguh bergumul dengannya.

Menemukan harapan di tengah peperangan kita

Aku telah melihat Tuhan memiliki tujuan untuk setiap masa yang terjadi dalam hidup kita, tak peduli betapa remeh atau susahnya itu. Tuhan menggunakan masa-masa di mana aku bergumul dengan kekudusan agar aku juga mengalami apa yang dirasakan Daud saat dia menyerukan pertobatannya dalam Mazmur 51.

Mazmur itu telah kubaca sebelumnya, sebagai doa pertobatan dan memohon ampun ketika aku berdosa terhadap Tuhan. Tapi, mazmur itu terasa lebih menyentuh sebagai ratapan pribadiku ketika aku benar-benar terjerat dengan dosa seksual.

Mazmur 51 menunjukkan suasana hati Daud ketika dia berada di titik terendah setelah dia berzinah dengan Batsyeba dan membunuh Uria.

Daud menyerukan penyesalannya pada Tuhan, mengakui dia telah amat berdosa terhadap Tuhan. Bukan Batsyeba, wanita bersuami yang diambil paksa oleh Daud. Bukan Uria, suami Batsyeba yang dibunuh oleh Daud. Bukan juga nabi Natan yang menentang kebohongan Daud.

Daud menyadari dia telah berdosa terhadap Tuhan saja: “Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat, supaya ternyata Engkau adil dalam putusan-Mu, bersih dalam penghukuman-Mu.” (Mazmur 51:4).

Mungkin kamu bisa merasakan betapa hancurnya perasaan Daud saat dia menyadari dosa terberatnya. Namun, seruan penyesalannya juga menyiratkan secercah harapan—suatu harapan bahwa dosa pribadinya akan membawanya kepada keselamatan dan pemulihan, baik untuk dirinya sendiri, maupun untuk bangsanya (Mazmur 51:7-15).

Di manakah harapan Daud berakar? Di mana dia mendapatkan harapan di tengah situasi nan gelap yang diakibatkan dosanya sendiri?

David tahu bahwa dosanya—perzinahan dan pembunuhan—bukanlah segalanya dan bukan pula akhir dari hidupnya. Dia tahu Tuhan tidak cuma kudus dan hakim yang adil terhadap segala dosa kita, tetapi juga Tuhan yang menunjukkan belas kasihan, kasih, dan keselamatan. Daud tahu Tuhan tidak hanya berkenan kepada persembahan secara fisik, tetapi juga “hati yang hancur” yang diberikan kepada-Nya dalam penyerahan diri dan pertobatan (Mazmur 51:17). Daud tahu tak peduli betapa jahat pelanggarannya, Tuhan sanggup menyapu bersih setiap titik dosa-dosanya (Mazmur 51:7-9, 14).

Tak hanya itu, Daud tahu pula bahwa Tuhan dapat menciptakan hati yang murni, membaharui dan meneguhkan jiwanya, serta memulihkannya agar dia bisa bersukacita atas keselamatan yang datang dari pada-Nya (Mazmur 51:10-12).

Memegang firman Tuhan dekat dengan hati kita

Aku tidak ingat berapa kali aku mendoakan mazmur ini dengan berlinangan air mata. Mazmur ini kupegang erat, sebagai janji dan penghiburan, melalui setiap halangan dan rintangan, di lembah gelap dan setiap sudut yang memalukanku.

Mazmur 51 mengingatkanku lagi dan lagi: bahwa meski aku telah berdosa terhadap Tuhan, dosa itu bukanlah akhir dari kisah hidup kami. Aku bisa berpaling pada Tuhan dan menemukan belas kasih dan pengampunan yang amat besar, jika aku menghampiri-Nya dengan pertobatan dan kerendahan hati—bukan karena hal-hal baik yang telah kulakukan, tapi murni karena kebesaran dan kebaikan-Nya.

Firman-Nya memberiku harapan dan kekuatan untuk berseru kepada-Nya setiap kali aku jatuh dan gagal, untuk menemukan pengampunan dan kekuatan dalam perjalananku, dan bahkan untuk menuliskan kisah ini.

Selama dua tahun lebih menjalin relasi, firman-Nya dan Roh-Nya menempa kami untuk menjadi pasangan yang setia kepada-Nya dalam kehidupan spiritual, emosional, dan fisik kami. Kami belajar bahwa senjata terpenting melawan hawa nafsu bukan cuma memusingkan diri dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, tapi dengan duduk diam di kaki Yesus setiap hari, mendengarkan firman-Nya, dan memilih bagian yang terbaik: Tuhan dan Juruselamat kita sendiri (Lukas 10:38-42).

Seperti Daud yang mengubah pelanggarannya menjadi kesaksian bagi Tuhan, aku juga berdoa kiranya pergumulan kami dapat menguatkanmu untuk berani melawan dosa-dosamu, sesuai dengan apa yang tertulis dalam Alkitab:

Bangkitkanlah kembali padaku kegirangan karena selamat yang dari pada-Mu,
Dan lengkapilah aku dengan roh yang rela!
Maka aku akan mengajarkan jalan-Mu kepada orang-orang yang melakukan pelanggaran,
Supaya orang-orang berdosa berbalik kepada-Mu.
Lepaskanlah aku dari hutang darah, ya Allah, Allah keselamatanku,
Maka lidahku akan bersorak-sorai memberitakan keadilan-Mu!
Ya Tuhan, bukalah bibirku, supaya mulutku memberitakan puji-pujian kepada-Mu!

Mazmur 51:14-17

Baca Juga:

Ketika Kisah Cinta Kami Berjalan Keliru

Adalah hal yang sangat menakutkan ketika aku memilih untuk menghabiskan malamku dengan tunanganku dibandingkan meluangkan waktu menyendiri dengan Tuhan, ketika hatiku lebih mendapat kepuasan di dalamnya dibanding di dalam Tuhan, ketika aku lebih mengkhususkan perhatianku untuk kebutuhan dan keinginannya, bukan untuk mengenal dan mematuhi Tuhan.

Pengakuan Terjujur dalam Hidupku

Oleh Lestari*, Jakarta

Pernahkah kalian merasakan terpesona untuk kesekian kalinya pada seseorang atau sesuatu, seakan rasa kekaguman itu baru kalian alami pertama kali? Aku pernah. Aku masih ingat saat aku memutuskan untuk meninggalkan dosa lamaku dan memulai hidup baru. Jiwa melayani yang begitu berapi-api, rasa haus yang begitu mendalam untuk mengikuti setiap pembinaan. Ah, seperti baru kemarin aku mengalami itu. Kerap kali aku diingatkan oleh banyak pembicara dalam pembinaan, hati-hati terhadap semangat yang tinggi karena tidak menutup kemungkinan akan meredup, serupa buih soda saat pertama kali dibuka.

Empat tahun menjadi alumni, aku mulai mengalami masa–masa di mana aku tidak bisa lagi menikmati indahnya persekutuan karena jam kerja di kantor yang membuatku sering lembur. Perlahan, kurasakan aku semakin menuju lembah yang kelam. Sampai di tahun 2019, aku kembali terjatuh dalam dosa lama. Saat itu, aku tahu bahwa itu dosa dan bukan tidak mungkin aku akan kembali diperbudak olehnya. Namun pikiranku buntu dan seakan seperti tahu bahwa pornografi adalah jalan keluarnya. Awal mula hanya sebagai penonton. Hingga aku tiba di satu masa, di mana aku sendiri melakukannya. Pemikiran akan bebasnya hubungan berpacaran saat ini ditambah kurangnya menikmati Firman Tuhan membuat aku melakukannya. Aku melakukan itu bahkan bukan dengan pacarku, melainkan dengan seorang pria yang baru aku kenal dari situs pencarian jodoh. Mungkin juga dipicu oleh rasa frustasi yang begitu menghantuiku mengenai pasangan hidup. Meski aku sudah tidak lagi berhubungan dengan pria itu, tapi aku tidak bisa menghentikan keinginanku untuk menikmati video pornografi. Rasa kecewa ini yang justru membuatku semakin membenamkan diri dalam jerat pornografi. Kukira aku sudah berhasil membunuh Iblis di dalam diriku. Ternyata, aku tidak bisa menenggelamkan Iblis dalam diriku, ia tahu caranya berenang.

Aku sadar telah terlampau jauh tersesat, terlalu jauh untuk kembali, dan kecewa pada diri sendiri. Terlebih aku malu pada Tuhan yang kepada-Nya aku berutang hidup. Bisa dikatakan saat itu aku bagaikan mayat hidup berjalan. Aku tetap pergi ke gereja setiap minggunya, pelayanan di gereja saat ada tugas, namun dalam hatiku begitu kering dan gelap. Pelan tapi pasti, aku berjalan menuju ke lembah kelam. Awal Mei, aku mengikuti retret dari gereja. Malam hari, ada acara renungan yang dibawakan oleh kakak gerejaku. Semua peserta berikut panitia masuk ke dalam aula yang lampunya dimatikan dan hanya diterangi cahaya dari lilin yang disebar di penjuru ruangan. Kami melakukan Jalan Salib dengan menyaksikan kembali penggalan cerita dari film Passion of The Christ sambil diiringi lagu yang dinyanyikan di tiap pemberhentian. Tuhan punya cara sendiri untuk menyadarkan kita. Di salah satu pemberhentian sebelum Yesus disalibkan, penyanyi menyanyikan lagu “He” yang liriknya seperti ini:

He can turn the tide and calm the angry sea
He alone decides who writes a symphony
He lights every star that makes our darkness bright
He keeps watch all through each long and lonely night
He still finds the time to hear a child’s first prayer, saint or sinner call, you’ll always find Him there
Though it makes Him sad to see the way we live, He’ll always say “I forgive!”

Bagian akhir lagu itu begitu meremukkanku. Tuhan tahu ketika aku melihat video porno, bahkan Ia juga tahu ketika aku melakukan dosa saat tidur dengan seorang pria dan apa yang aku lakukan itu membuat hancur hati-Nya. Aku turut menyalibkan Yesus karena dosa–dosaku. Malam itu, di bawah salib Yesus, aku mengaku akan semua dosa–dosa dan kelemahanku kemudian menyerahkan diriku kepada-Nya dan memperbaharui komitmenku. Malam itu, aku terpesona oleh cinta dan kasih-Nya untuk kesekian kalinya. Kini aku sudah mulai menikmati kembali relasi dengan Tuhan dan Firman-Nya. Di waktu senggang aku mengusahakan agar pikiranku tidak kosong dan tidak mulai mengakses situs porno dengan membaca buku, menulis atau melakukan kegiatan rumah tangga lainnya.

Sahabat, selama kita hidup kita akan terus bergumul akan dosa–dosa kita. Penebusan hanya sekali yaitu ketika Kristus mati, namun pengudusan terjadi berulang kali selama kita hidup. Tangan Yesus akan terus terbuka menanti kita hingga saatnya kita dipanggil nanti. Adalah sebuah pilihan, apakah kita mau berbalik kepada Kristus atau terus terjebak dalam dosa kita. Apakah kita akan membiarkan Kristus terus berdiri diluar pintu hati kita, atau kita mau membiarkan Dia masuk dan tinggal. Apapun pergumulan dosamu saat ini, jangan ragu untuk segera datang pada Yesus dan minta pengampunan dari-Nya.

Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup kekal” (Yohanes 3:16).

*Bukan nama sebenarnya.

Baca Juga:

Just Be Yourself! Apakah Harus Selalu Begitu?

“Just be yourself”, hidup kita terlalu berharga untuk menghiraukan komentar orang lain. “Nobody perfect”, jadi anggap saja itu bagian dari kelemahanmu. Apakah harus selalu begitu?

Saat Pikiranku Terjerat Fantasi Seksual

Oleh Steviani*, Sulawesi Selatan

Ketika aku menulis artikel ini, aku sedang mengevaluasi diriku. Saat aku menoleh ke belakang, aku mendapati kalau hidup yang kujalani dulu bukanlah kehidupan yang berkenan kepada Tuhan. Meski sejak kecil aku sudah ikut sekolah Minggu dan diajar untuk percaya kepada Yesus, tapi itu tidak menjamin bahwa aku bisa mengendalikan diriku dari dosa.

Sepuluh tahun lalu aku menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatku. Sejak saat itu aku berusaha menghidupi iman percayaku dengan sungguh-sungguh. Aku berdoa, membaca firman Tuhan, juga melayani di gereja. Tapi, ada satu hal dalam hidupku yang sulit aku kendalikan: pikiranku.

Pikiranku begitu mudah tertuju kepada hal-hal yang berbau seksual. Saat aku sedang sendirian, atau ketika ada temanku datang dan mereka menyinggung sedikit saja tentang seks, imajinasiku langsung berkembang. Waktu SMA dulu aku pernah belajar tentang seksualitas dalam pelajaran Biologi, tapi imajinasi yang ada dalam pikiranku bukanlah imajinasi tentang seks yang ilmiah. Pikiranku berisikan fantasi-fantasi seksual.

Mungkin berimajinasi tentang sesuatu yang berbau pornografi terlihat tidak ‘membahayakan’ jika dibandingkan dengan melakukan hubungan seks bebas. Akan tetapi aku ingat bahwa dalam kitab Matius 5:28 Yesus pernah berkata kalau “memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.” Dari ayat ini, aku mendapati bahwa fantasi seksualku itu merupakan sesuatu yang menjijikkan di hadapan Tuhan.

Meski aku tahu bahwa apa yang kulakukan ini tidak menyenangkan Tuhan, tapi aku merasa sulit sekali untuk melepaskan diriku dari fantasi seksual yang muncul di pikiranku. Berulang kali aku membiarkan diriku jatuh ke dalam kedagingan, memuaskan nafsu di dalam pikiranku. Lama-lama aku lelah. Aku berusaha sekuat tenaga, tapi tetap saja aku jatuh. Aku takut apabila kejatuhanku dalam dosa fantasi seks ini dapat menyeretku kepada perbuatan-perbuatan yang tidak kuinginkan. Hingga suatu ketika, aku mendapati sebuah ayat dari 1 Petrus 1:14-16 yang berkata demikian:

“Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu, tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: kuduslah kamu, sebab Aku kudus.”

Ayat ini menyentakku. Sebagai anak Tuhan, firman-Nya dengan jelas berkata kalau aku tidak boleh hidup menuruti hawa nafsuku. Tapi aku malah membiarkan hawa nafsu itu menguasai pikiranku dengan anggapan kalau fantasi burukku itu masih jauh lebih baik daripada aku melakukan dosa seksual langsung secara fisik. Namun, kembali Allah menegurku. Gary Inrig dalam bukunya yang berjudul “Pursue Desire” berkata: dosa selalu meyakinkan kita untuk bertindak demi kebaikan kita, sekalipun itu berarti melawan firman Allah. Aku pun tersadar kalau selama ini aku tidak melibatkan Tuhan sungguh-sungguh dalam perjuangan ini. Aku membiarkan dosa mengakar dalam diriku hingga lama-lama aku semakin berkompromi dengan dosa ini.

Dosa tetaplah dosa. Yesus menegaskan bahwa perzinahan bahkan sudah dilakukan ketika hawa nafsu itu baru muncul di pikiran, dan bila aku membiarkan pikiranku terus menerus berimajinasi tentang seks, maka artinya aku tidak benar-benar mengindahkan apa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus dan mengabaikan pengorbanan-Nya di kayu salib.

Saat itu aku berdoa, memohon ampun, dan meminta supaya Tuhan memimpin langkahku untuk keluar dari jeratan dosa ini. Aku sadar bahwa aku adalah manusia yang lemah, mudah jatuh ke dalam dosa. Aku butuh pegangan yang kuat, yaitu Allah sendiri. Salah satu strategi yang kulakukan adalah belajar mengisi pikiranku dengan hal-hal yang positif, seperti yang Rasul Paulus katakan:

“Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu” (Filipi 4:8).

Ketika teman-temanku mulai berbicara sesuatu yang berhubungan seks, aku menjauhkan diri sejenak dari obrolan mereka. Kalau aku sedang sendiri, aku berusaha tidak melamun dan menyibukkan diriku dengan aktivitas lainnya seperti membaca buku, Alkitab ataupun berdoa.

Sekarang, aku tidak lagi mudah terjatuh ke dalam dosa tersebut. Semua karena anugerah-Nya. Ketika aku mengakui dosa-dosaku, menyesal, dan berkomitmen untuk bertobat di hadapan-Nya, maka Allah akan memampukanku untuk melakukannya.

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Sungguh, Allah Kita Mahaagung!

Suatu hari, kami belajar tentang Human Genome Project, atau Proyek Genom Manusia. Para peneliti membutuhkan waktu 13 tahun untuk memecahkan keseluruhan informasi genetik manusia yang rumit. Tapi kemudian kusadari bahwa ada sesuatu yang jauh lebih mengagumkan.

3 Alasan untuk Tidak Melakukan Hubungan Seks Sebelum Menikah

Oleh Ross Boone
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Other Reasons Not To Have Sex Before Marriage

Aku sedang melakukan perjalanan bersama temanku saat dia mengetahui kalau aku berkomitmen tidak melakukan hubungan seks sampai nanti aku menikah. “Tidak pasti juga kalau aku akan menikah,” tambahku. Dia menghentikan obrolan, menoleh ke arahku dan berkata tegas, “Janji kepadaku kalau kamu akan melakukan hubungan seks sebelum kamu meninggal!”

Aku punya seorang teman Kristen yang berdebat sepanjang waktu tentang apakah boleh melakukan hubungan seks di luar pernikahan seperti yang budayanya tekankan, atau menanti sampai pernikahan seperti yang iman Kristen ajarkan. Dia tidak menemukan alasan yang cukup kuat mengapa sebuah buku kuno punya jawaban yang relevan atas isu ini. Akhirnya, suatu hari dia memberitahuku, “Kamu tahu, aku sangat bergumul dengan hal ini. Dan, akhirnya aku baru saja melakukannya.”

Hari-hari ini, bahkan orang Kristen sendiri pun tidak mengerti mengapa—selain “karena sebuah buku kuno berkata tidak”—seseorang memilih untuk tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah.

Alkitab menetapkan situasi yang ideal untuk seks. Allah ingin kita melakukannya hanya dengan satu orang—pasangan kita, hanya setelah kita menikah. Di Taman Eden, Allah berkata “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kejadian 2:24). “Bersatu dengan isterinya”, artinya mereka sudah menjadi seorang suami dan istri ketika mereka bersetubuh.

Paulus mengatakan dalam 1 Korintus 6:16, “Atau tidak tahukah kamu, bahwa siapa yang mengikatkan dirinya pada perempuan cabul, menjadi satu tubuh dengan dia? Sebab, demikian kata nas: ‘Keduanya akan menjadi satu daging.’” Jadi, Alkitab mengatakan bahwa ketika kita bersetubuh dengan seseorang, kita bersatu dalam sebuah relasi misterius yang dalam. Yang aku mengerti di sini adalah ikatan fisik itu ditujukan untuk menguatkan komitmen verbal yang kita ucapkan kepada orang lain seumur hidup kita.

Dan, biasanya ketika tokoh-tokoh Alkitab melakukan hubungan seks yang tidak seharusnya, hasilnya pun tidak baik. Contohnya adalah ketika Abraham tidur dengan pembantunya karena mereka tidak punya cukup iman kalau Allah akan memberi mereka keturunan (Kejadian 16, 21); atau ketika Salomo mengawini banyak perempuan yang akhirnya menjadi kehancurannya (1 Raja-raja 11).

Tapi, dua tokoh tersebut bukanlah alasan yang kuat bagi orang-orang modern yang mempertanyakan relevansi Alkitab. Jawabannya tampak lebih tidak masuk akal jika kamu berkencan dengan seseorang yang kemungkinan besar akan kamu nikahi nanti.

Jadi aku telah menyusun beberapa alasan yang kutemui dan membuatku yakin selama bertahun-tahun. Aku harap jawaban ini dapat memantapkan tekadmu, dan melengkapimu untuk memiliki percakapan yang baik apabila seseorang bertanya, sama seperti yang temanku lakukan kepadaku.

1. Janganlah menjadi serupa dengan dunia

Di dalam dunia yang menganggap perbuatan baik itu keren, seperti mendirikan yayasan dan mengunggah sesuatu yang bijak di Instagram, rasanya sulit untuk menunjukkan apa yang membuat orang Kristen berbeda. Salah satu cara untuk menunjukkan iman kita kepada Allah selain melakukan kebaikan sosial (Yakobus 1:27) adalah dengan menghidupi rancangan Allah atas hidup kita, juga untuk pernikahan.

Di dalam dunia yang mencibir orang-orang yang lulus kuliah tanpa melakukan hubungan seks, menahan nafsu bisa jadi adalah cara yang berani untuk menunjukkan apa yang kita percayai. Ketika kita berpegang teguh pada pendirian kita, tidaklah sulit untuk orang lain mungkin berkata, “Wow, dia menghidupi imannya sungguh-sungguh; kalau tidak, mengapa dia menunggu? Dan mungkin juga mereka akan berkata, “Mungkin ada sesuatu dalam agama itu jika dia berkeputusan seperti itu.” Kita harus berdiri tegar. Dan, inilah yang bisa menjadi alat luar biasa untuk membagikan iman kita.

2. Tunjukkan komitmenmu kepada pasanganmu di masa depan

Di dalam dunia di mana perceraian itu biasa, tidakkah baik untuk menunjukkan kepada pasangan kita kelak bahwa kita berkomitmen untuk menjadi seorang yang setia? Bagaimana jika, bahkan sebelum kita menikah, ada sebuah cara untuk menunjukkan kepada pasangan kita kalau kita itu bisa dipercaya dan setia meskipun ada banyak cobaan dan godaan hawa nafsu?

Dengan berpantang melakukan hubungan seks sebelum menikah, sekalipun tubuh kita meminta yang sebaliknya, kita mempersembahkan kepercayaan dan menunjukkan disipilin kepada pasangan kita. Ini memungkinkan pasangan kita tahu betul bahwa mereka tidak perlu khawatir tentang ketidaksetiaan. Ini menunjukkan kalau kita adalah orang-orang yang disiplin yang keyakinannya jauh lebih kuat daripada rangsangan. Tentu itu adalah sebuah hadiah yang indah bagi pasangan kita kelak saat nanti kita menikah.

3. Membentuk budaya kita

Tentu saja ada alasan-alasan praktikal lainnya untuk tidak berhubungan seks sebelum menikah. Menghindari penyakit menular seksual dan kehamilan yang tidak diinginkan termasuk adalah salah satunya. Ada juga alasan emosional, salah satunya dirumuskan dalam pepatah kuno yang mengatakan kalau kamu memberikan sebagian dari dirimu kepada tiap orang yang “tidur” denganmu. Tapi, aku mengatakan kalau hal ini sesungguhnya lebih besar daripada emosi ataupun kondisi fisik tiap-tiap orang.

Inilah yang memiliki kekuatan untuk membentuk masyarakat kita.

Ketika kita melihat dunia modern ini, kita dapat melihat bagaimana hubungan seks pranikah menghasilkan ayah-ayah yang tidak berkomitmen. Ketika pernikahan didasarkan pada kesenangan daripada komitmen, perceraian menjadi tak terhindarkan ketika kesenangan itu hilang. Dan kita bisa melihat kalau situasi ini bisa berakhir dengan menjadikan keluarga yang single parents, tidak utuh lagi.

Aku berpikir, mungkin banyak anak muda melakukan hal-hal yang buruk untuk mengisi kekosongan karena keluarga mereka yang rusak. Dan, mungkin karena mereka juga tidak memiliki contoh cinta yang berdasarkan komitmen, mereka mengadopsi nilai-nilai yang dunia ajarkan. Dan, siklus ini berulang dan berlanjut ke generasi selanjutnya.

Aku pikir ini semua terjadi karena budaya kita mengajak kita untuk menjadi orang-orang yang mengejar kesenangan daripada tujuan. Budaya kita memberitahu kita bahwa setiap orang punya hak untuk merasa senang dan hidup semau kita, selama kita tidak mencampuri urusan orang lain. Beberapa mungkin berkata ini nilai moral kehidupan. Tapi, Allah kita tahu bahwa kita akan bertumbuh lebih baik dan menjadi manusia yang lebih utuh seperti tujuan kita diciptakan jika kita hidup tidak sekadar “tidak mencampuri urusan orang lain.”

Allah ingin kita menjadi seorang yang teguh, memenuhi janji, disiplin, dan mencintai berdasarkan komitmen. Dan, ketika kita hidup berdasarkan ketetapan yang Dia berikan, kita mendapatkan damai dan sukacita yang sesungguhnya dunia mati-matian mencarinya. Yesus datang supaya kita mendapatkan hidup berkelimpahan. Dan buah roh itu termasuk sukacita, damai, dan juga pengendalian diri (Galatia 5:22-23).

Jutaan orang Kristen yang hidup dalam damai, integritas, pengendalian diri, dan komitmen dapat menjadi contoh yang baik untuk budaya kita yang telah dicemari kehancuran dan pencarian kesenangan sesaat. Dan keteguhan untuk tidak berhubungan seks sebelum menikah di waktu itu mungkin adalah cara paling efektif yang dapat kita tunjukkan untuk budaya kita.

Setelah membicarakan semuanya, tulisan ini ditulis bukan untuk mempermalukan mereka yang sudah jatuh ke dalam dosa seks. Tapi, aku harap poin-poin di atas bisa menjadi penyemangat karena setiap poin tersebut tentu dapat dilakukan kembali oleh mereka yang sudah terjatuh dalam dosa. Faktanya, mungkin akan lebih berdampak ketika seseorang yang dulu hidupnya serupa dengan dunia berpaling kepada komitmen dan integritas Alkitab. Kita bisa memilih untuk menjadi tidak serupa dengan dunia, menunjukkan integritas kepada pasangan kita kelak, dan membentuk budaya kita.

Aku harap aku bisa memberitahumu bahwa hal-hal itu akan mudah jika kamu mengikuti instruksinya. Tapi, sejujurnya: itu tidaklah mudah. Alkitab punya banyak contoh orang-orang yang berhasil, tapi butuh perjuangan keras untuk tetap berkomitmen dan berdedikasi. Aku harap kita bisa menghidupi kehidupan kita sebagai panggilan untuk melakukan apa yang Allah dapat lakukan dalam budaya kita.

“Ross, janji kepadaku kamu akan berhubungan seks sebelum meninggal!”

Jika aku harus memberikan respons kepada budaya yang mengatakan ini, responsku adalah “Aku telah berjanji kepada sesuatu yang melampaui kesenanganku. Aku telah berjanji kepada Penciptaku yang telah meletakkanku dalam rencana untuk menjadikanku seorang manusia yang penuh integritas, janji, komitmen, disiplin, dan sukacita. Aku akan menjadi orang yang dibangun untuk berkembang di surga kelak selamanya.”

Baca Juga:

Ketika Aku Melepaskan Diri dari Kecanduan Media Sosial

Apakah keasyikanku dengan media sosial ini adalah kesia-siaan? Ah, sepertinya tidak. Kupikir ini bukanlah dosa, lagipula tidak ada ayat di Alkitab yang mengatakan kalau keasyikanku dengan media sosial ini adalah dosa.

Aku Pernah Jatuh dalam Pacaran yang Tidak Sehat, Namun Tuhan Memulihkanku

Oleh Grace Lim, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Lost My Virginity But Not My Faith

Usiaku masih cukup muda ketika aku menjalani sebuah hubungan romantis. Sejak usiaku 15 tahun, aku sudah mulai memiliki hubungan pacaran yang berlangsung cukup lama.

Pacar pertamaku adalah orang Kristen. Kami berdua percaya kepada Tuhan, tetapi itu tidak secara otomatis membuat hubungan kami menjadi sehat. Hubungan kami melampaui batas-batas keintiman, tapi kami belum pernah sekalipun melakukan hubungan seksual. Selama masa berpacaran itu, aku menyakinkan diriku bahwa segala hal yang kulakukan itu tidak apa-apa karena kami berdua “saling mencintai” dan “kami orang Kristen”. Setelah dua tahun menjalin relasi yang diwarnai ketidaksepakatan dan pertengkaran, hubungan kami pun berakhir.

Karena aku ingin melepaskan diriku dari segala masalah yang dulu ditimbulkan dari hubungan pacaran pertamaku, aku pun segera menemukan pacar baruku tanpa banyak berpikir ataupun diliputi rasa menyesal. Kali ini, pacarku bukan orang Kristen. Lagi-lagi, hubungan kami melampaui batas-batas yang seharusnya. Saat itulah kami melakukan sesuatu yang lebih jauh dari apa yang kami rencanakan sebelumnya. Singkatnya, aku kehilangan keperawananku. Malam itu, aku menangis sejadi-jadinya dan tidak bisa tidur karena aku tahu apa yang terjadi hari itu tidak dapat diperbaiki kembali.

Sekalipun hubungan pacaranku ini tidak sehat dan kami bukanlah pasangan yang sepadan. Sulit bagiku untuk melepaskan diri dari hubungan ini. Selama hampir tiga tahun, hubungan ini terus berlanjut.

Selama tiga tahun itu, aku menghadapi pertempuran yang tidak pernah berakhir dengan jiwaku sendiri. Kehidupan seksualku yang kututupi ini sangat kontras dengan kehadiranku di gereja setiap minggunya. Aku merasa jijik, kotor, dan bersalah. Aku benci kepada diriku sendiri. Aku tahu bahwa apa yang kulakukan itu salah namun aku tidak punya kekuatan untuk melepaskan diri. Seperti sebuah kecanduan, aku memberitahu diriku sendiri: “Sekali lagi saja dan itu sudah cukup!” Tapi, “sekali lagi” itu tidak pernah menjadi yang terakhir.

Aku menjauh dari Allah. Sekalipun secara fisik aku hadir di gereja, tetapi secara rohani aku tidak di sana. Aku bisa mengajar untuk selalu mengutamakan Allah, tapi kenyataannya malah aku menjadikan keinginan dagingku sebagai penguasa atas hidupku. Aku bisa hadir dalam persekutuan doa, tapi pikiranku melayang-layang. Aku sedang menghidupi kehidupan bermuka dua, dan inilah yang menjadi rahasiaku yang paling dalam dan gelap.

Pada intinya, aku merasa begitu berdosa dan menganggap bahwa apa yang kulakukan itu sudah melampaui batas karunia keselamatan yang Allah sudah berikan untukku. Aku yakin bahwa Allah membenciku.

Namun, Allah tidak pernah menyerah denganku; Dia terus mengejarku. Orang-orang di sekitarku berusaha menjangkau dengan menanyaiku apakah aku baik-baik saja atau apakah aku membutuhkan teman bicara. Ayat-ayat Alkitab menegurku; khotbah-khotbah yang disampaikan mengetuk pintu hatiku dengan penuh kasih. Tapi, sama seperti Firaun, hatiku dikeraskan.

Bertahun-tahun kemudian, melalui kasih karunia Allah, mataku akhirnya terbuka. Aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan yang beracun ini, mengakui dosa-dosaku di hadapan Tuhan, dan sekalipun aku merasa begitu takut, ada sesuatu yang mendorongku untuk berani menceritakan hal ini kepada seseorang yang aku percayai.

Aku menemui kakak pembimbing rohaniku, seorang wanita di gereja yang dulu membimbingku selama aku remaja. Aku ingat sekali ketika dia menanyaiku apakah aku lebih nyaman berbicara melalui telepon atau lewat chat saja. Aku memilih opsi kedua karena aku merasa canggung dan takut dihakimi.

Akhirnya, aku mengumpulkan keberanianku dan aku pun menceritakan rahasia tergelapku kepadanya: aku tidak lagi perawan. Hatiku bergetar. Aku menduga bahwa dia akan menghakimiku atau mengatakan supaya aku sebaiknya pindah gereja saja.

Tapi, apa yang ada di pikiranku itu tidak terwujud. Alih-alih menghakimiku, dia mengatakan bahwa selama ini dia telah memperhatikanku dan dia melihat bahwa ada yang berbeda dariku. Aku menjadi orang yang kurang fokus dan sering tertanggu. Dia bahkan berterima kasih kepadaku karena aku bersedia membagikan kepadanya hal yang sulit untuk diungkapkan. Dia juga meyakinkanku bahwa hidupku belumlah berakhir dan Allah tidak membenciku karena dosa.

Dia mengingatkanku bahwa dosa adalah sesuatu tidak terelakkan, menjalar dalam kehidupan setiap orang. Manusia telah kehilangan kemuliaan dan kekudusan Allah (Roma 3:23). Apa yang telah kulakukan itu bukan berarti bahwa aku lebih buruk daripada orang lain. Aku hanyalah manusia yang telah jatuh ke dalam dosa. Kemudian aku teringat ayat dari Roma 5:8: “Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.”

Untuk pertama kalinya, aku mengerti sebuah kenyataan bahwa Allah sanggup mengampuni dosa yang membuatku sempat merasa bahwa aku telah terpisah dari-Nya selamanya. Tak peduli seberapa dalam aku terjatuh, aku tidak pernah terlalu jauh untuk diselamatkan Yesus. Malah, Yesus sudah terlebih dulu menyelamatkanku sejak aku menerima-Nya masuk ke dalam hatiku. Aku dipenuhi kasih karunia-Nya yang tiada bandingnya dan aku pun mengucap syukur bahwa Allah telah mendengar seruanku untuk “menyembunyikan wajah-Nya dari dosaku dan menghapuskan segala kesalahanku” (Mazmur 51:9).

Aku sadar bahwa Allah mengizinkan kesalahanku sebagai sarana untuk meremukkan egoku, untuk membawaku ke suatu titik di mana tidak ada hal lain yang bisa kulakukan selain daripada mencari-Nya. Di titik tergelap jiwaku itulah Allah memenuhiku. Tidak ada nama lain selain Yesus; aku tidak akan pernah mengalami atau mengetahui hal ini tanpa sebuah keputusasaan yang kualami hingga aku dikuatkan kembali oleh tangan-Nya yang setia.

Teruntuk kalian yang sedang bergumul dalam keterpurukan rasa malu, aku mau mendorong kalian dengan kebenaran-kebenaran berharga yang sebelumnya telah berbicara kepadaku:

  1. Jangan meremehkan kuasa darah dan penebusan Yesus. Allah berfirman kepada bangsa Israel yang terus menerus berpaling dari-Nya, “Aku, Akulah Dia yang menghapus dosa pemberontakanmu oleh karena Aku sendiri, dan Aku tidak mengingat-ingat dosamu” (Yesaya 43:25). Tentu, Allah pun akan mengingat kita. Karena Allah, masa lalu kita bukanlah sesuatu yang menentukan masa depan kita.
  2. Ingat bahwa kita semua adalah manusia yang rusak karena dosa, dan Allah tidak pernah memandang hina siapapun yang mencari Dia. “Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah” (Mazmur 51:19).
  3. Meskipun keperawanan adalah hadiah yang indah bagi pasangan hidupmu, hal yang terbaik yang bisa kamu miliki adalah kasih yang teguh kepada Allah. Manusia mungkin melihat tampilan luarmu, tetapi Allah melihat hatimu (1 Samuel 16:7). Seorang pasangan hidup yang benar-benar mengasihi Allah akan melihat pertama-pertama kekudusan dan kemuliaan Kristus di dalam dirimu, bukan sesuatu yang hanya terlihat dari luar saja.

Satu minggu dalam hubungan yang kujalin dengan pasanganku sekarang, aku terdorong untuk menceritakan masa laluku kepadanya. Aku tahu bahwa tindakan ini memiliki risiko. Ketika akhirnya aku selesai berbicara kepadanya, tanggapannya memancarkan kasih Allah dan menurutku hampir sempurna. Dia mengatakan, “Aku tidak marah kepadamu. Kita semua punya kesalahan masing-masing, tapi kesalahan-kesalahan itu tidak mendefinisikan siapa dirimu sesungguhnya. Bukankah ini yang membuat kita perlu Tuhan? Kita memang melakukan kesalahan, tapi kita sendiri adalah bagian yang berbeda dari dosa-dosa itu karena pengampunan Allah. Dosa-dosa bukanlah bagian dari identitas kita lagi. Aku tetap mengasihimu.”

Seiring berjalannya waktu, aku belajar bahwa pergumulan yang kualami bukanlah pergumulan yang kualami sendirian. Allah bisa menggunakan kerapuhan dan kehancuran kita untuk kemuliaan-Nya. Apa yang semula menjadi beban yang sangat berat untuk dipikul dapat menjadi sebuah kesaksian yang bisa kugunakan untuk menjangkau dan membagikan kasih Allah kepada orang-orang lain yang juga bergumul sepertiku dan aku pun bisa menjadi wadah supaya mereka dapat merasakan kasih Allah.

Doaku untuk semua orang yang sedang bergumul adalah bahwa Allah akan mengubah rasa sakitmu menjadi kekuatanmu dan kesaksianmu untuk melayani orang lain dan memuliakan nama-Nya. Berdoalah setiap hari untuk pemulihan dan serahkanlah segala bebanmu kepada Allah. Temukanlah teman atau pembimbing yang bisa kamu percayai, dan jalanilah proses pemulihan ini bersama-sama. Tangan Tuhan selalu terbuka untuk menerimamu, sama seperti seorang ayah yang menyambut anaknya yang hilang (Lukas 15:11-31).

Baca Juga:

Pelayanan di Balik Layar

Sebagai seorang yang melayani di balik layar, aku pernah merasa minder karena jarang sekali aku mendapatkan apresiasi mengenai pelayananku. Hingga akhirnya, Tuhan meneguhkanku akan istimewanya sebuah pelayanan di balik layar.

5 Hal Tentang Masturbasi yang Perlu Kamu Ketahui

Oleh Raphael Zhang, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Is Masturbation Your Master?

Sebuah kata yang diawali dengan huruf “M”. Ada banyak istilah untuk merujuk pada kata ini, sebuah aktivitas untuk merangsang gairah seksual oleh diri sendiri, atau kita kenal dengan nama masturbasi.

Pengalaman pertamaku dengan masturbasi sebenarnya dimulai ketika aku masih berusia 5 atau 6 tahun. Waktu itu, secara tidak sengaja tanganku menyentuh bagian vital tubuhku, dan sejak saat itu aku merasa ketagihan.

Di usiaku yang ke-9 tahun, aku menerima Kristus. Tetapi, tidak ada seorang pun yang mengatakan kepadaku apa pandangan Alkitab mengenai masturbasi. Bagiku sendiri, tidak ada yang salah dengan masturbasi karena aku pikir aktivitas ini bukanlah sesuatu yang membahayakan.

Seiring aku bertumbuh dewasa, aku mulai merasa penasaran tentang bagaimana sesungguhnya pandangan Kekristenan terhadap masturbasi. Hampir seluruh artikel-artikel yang kubaca menentang masturbasi karena tindakan ini selalu berkaitan dengan hawa nafsu, pornografi, dan juga fantasi seksual. Dari apa yang kubaca, aku menemukan bahwa masturbasi itu dianggap salah karena bisa dengan mudah membawa kita jatuh ke dalam dosa hawa nafsu. Jadi, kupikir, jika masturbasi yang kulakukan tidak membuatku berpikir penuh hawa nafsu, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari bermasturbasi.

Salah satu hal aku syukuri adalah waktu itu aku tidak jatuh terlalu dalam ke dalam dosa pornografi. Jika saja saat itu aku sering mengonsumsi tayangan-tayangan porno, bisa saja aku akan kecanduan lebih lagi dengan masturbasi. Akan tetapi, dampak dari masturbasi yang kulakukan adalah aku jadi sering berfantasi seksual. Dalam beberapa kesempatan, aku mencoba untuk menghancurkan kebiasaan ini. Tapi, karena aku sendiri tidak terlalu yakin bahwa masturbasi adalah sesuatu yang sungguh-sungguh salah, dengan segera aku kembali terjatuh dalam kebiasaan ini.

Di tahun 2014, Tuhan menolongku untuk menghancurkan beberapa keterikatanku dengan dosa seksual. Salah satunya adalah masturbasi. Suatu ketika, di hari Minggu bulan April, hasratku untuk melakukan kebiasaan masturbasi tiba-tiba menurun secara signifikan tanpa aku melakukan apapun. Tuhan mengizinkanku untuk merasakan sebuah masa di mana aku terbebas dari jerat kebiasaan masturbasi selama beberapa bulan.

Namun, tak lama berselang, hasratku kembali seperti sedia kala. Karena selama beberapa bulan sebelumnya aku pernah hidup tanpa hasrat untuk melakukan masturbasi, aku menyadari bahwa lewat peristiwa ini Tuhan ingin menunjukkan padaku bahwa masturbasi bukanlah tindakan yang berkenan pada-Nya. Aku tahu bahwa masturbasi bukanlah sesuatu yang dapat memuliakan Allah, atau membangun diriku menjadi lebih baik, bahkan sekalipun jika masturbasi itu kulakukan tanpa berfantasi seksual atau pornografi.

Sekarang, aku sedang berjuang untuk mematahkan kebiasaan ini. Dalam perjalananku untuk melepaskan diri dari jeratan dosa seksual, inilah 5 hal yang ingin aku bagikan kepadamu tentang masturbasi.

1. Masturbasi bisa menyebabkan kita kecanduan

Dari perjalananku selama bertahun-tahun untuk lepas dari jeratan dosa seksual, aku mendapati bahwa semakin sering aku memberi kesempatan untuk diriku jatuh ke dalamnya, semakin dosa itu akan mengikatku. Masturbasi telah menjadi tuan atas hidupku dan membuatku kecanduan. Ketika godaan untuk melakukannya datang, aku tidak mampu lagi untuk berkata “tidak”. Alih-alih melawan, aku malah “taat” dan terjatuh kembali dalam godaan seksual itu.

Hal ini tentu bukanlah gambaran tentang kebebasan dan kepenuhan hidup seperti yang Alkitab tuliskan. “Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan” (Galatia 5:10).

2. Masturbasi bisa membuat kita kehilangan kendali atas diri sendiri

Kebiasaanku untuk melakukan masturbasi membuatku berpikir bahwa aku bisa mendapatkan kenikmatan seksual kapan saja aku mau. Masturbasi membuatku kehilangan kendali atas nafsu seksual yang muncul dalam diriku. Mengapa harus menunggu untuk mendapatkan kenikmatan seksual jika aku bisa dengan segera memuaskannya sendiri?

Alkitab berkata, “Orang yang tak dapat mengendalikan diri adalah seperti kota yang roboh temboknya” (Amsal 25:28). Ketika aku tidak dapat mengendalikan diriku sendiri, sesungguhnya aku akan rentan terhadap serangan dan godaan yang menarikku untuk jatuh dalam dosa.

Roh Kudus adalah Roh yang membangkitkan kekuatan, kasih, dan ketertiban (2 Timotius 1:7), dan salah satu buah Roh adalah pengendalian diri (Galatia 5:23). Bagaimana caranya aku bisa dipenuhi oleh Roh Kudus (Efesus 5:18) apabila aku tidak memberi diriku untuk dikuasai oleh-Nya?

3. Masturbasi bisa jadi hanyalah sebuah pelarian dari masalah yang jauh lebih serius

Ketika aku mengenang kembali masa-masa saat aku begitu tertarik dengan masturbasi, aku menyadari bahwa saat itu ada luka-luka batin ataupun masalah yang tidak ingin aku selesaikan. Ada rasa kesepian dan kesedihan mendalam yang pada akhirnya membuatku mengalihkan perhatian dari semuanya itu dengan mencari kepuasan seksual.

Di lain waktu, ketika aku merasa frustrasi, stres, ataupun marah karena sesuatu, aku mencoba memulihkan diriku dengan mencari kepuasan seksual dengan harapan supaya aku bisa melupakan sejenak segala masalahku. Bahkan, ketika aku hanya merasa sekadar bosan pun, aku akan mencari-cari sesuatu yang bisa membuatku gembira.

Apa yang kulakukan itu adalah sebuah lingkaran setan. Ketika suatu masalah tidak diselesaikan dengan cara yang benar, masalah itu akan terus menerus datang dan menekanku. Akibatnya, aku menjadikan masturbasi dan tindakan lainnya yang tidak sehat sebagai cara untuk mengatasi masalah-masalah itu. Akan tetapi, kenikmatan yang didapat dari masturbasi hanyalah sementara. Setelahnya, aku malah harus bergumul dengan perasaan bersalah dan kekosongan diri.

Dalam perjalananku untuk keluar dari jeratan masturbasi, aku terus menerus mengingatkan diriku sendiri untuk tidak menjadikan masturbasi sebagai pelarianku. Sebagai gantinya, aku belajar untuk menceritakan perasaanku kepada Tuhan, meminta-Nya untuk menolongku melihat masalah dalam cara pandang-Nya, dan juga berdiri dalam kebenaran-Nya.

Seiring berjalannya waktu, semakin aku menyerahkan hidupku pada Tuhan atas setiap masalah yang kuhadapi, aku pun semakin dimampukan untuk lepas dari jeratan kenyamanan sesaat masturbasi dan tindakan-tindakan lainnya yang tidak berkenan pada-Nya.

4. Masturbasi membuat kita kehilangan yang terbaik dari Tuhan

Alkitab memang tidak secara spesifik menyebut masturbasi sebagai sebuah dosa, namun aku percaya bahwa kita semua dipanggil untuk menanggalkan semua beban dan dosa yang bisa merintangi kita dari sebuah pertandingan iman (Ibrani 12:1-2).

Seorang penulis dan pembicara dari Amerika, Dannah Gresh menulis sebuah buku berjudul “What Are You Waiting For? The One Thing No One Ever Tells You About Sex”. Dalam buku itu dia menuliskan bahwa seks diciptakan Tuhan sebagai sarana untuk kita saling mengenal dan saling menghormati pasangan kita dalam sebuah ikatan pernikahan. Oleh karena itu, dia percaya bahwa masturbasi membuat kita kehilangan tujuan ideal Allah untuk hasrat seksual yang Dia berikan pada kita.

Aku setuju dengan pemikiran Dannah Gresh. Dalam tahun-tahun ketika aku terjebak dalam kebiasaan masturbasi, aku sempat berpikir bahwa kenikmatan seksual itu hanyalah tentang mendapatkan, bukan tentang memberi. Pemikiran inilah yang membuatku mencari-cari cara sendiri untuk memuaskan tubuhku. Akan tetapi, pemikiran seperti ini tidak menolongku untuk kelak bisa saling mengenal dan dikenal oleh pasanganku dalam pernikahan.

Aku percaya bahwa maksud Tuhan dalam sebuah pernikahan adalah supaya seorang lelaki dan perempuan saling memberi dan menyerahkan satu sama lain atas dasar kasih (Efesus 5:21-32). Hal ini juga berlaku dalam kehidupan seksual mereka. Suami dan istri harus mengabdikan diri untuk saling memberi kenikmatan seksual sebagai perwujudan kasih antara satu sama lain. Ketika mereka memberi, mereka pun menerima. Akan tetapi, apabila seseorang hanya berfokus untuk mendapatkan kepuasan seksual dari pasangannya saja, sukacita yang didapatkan dari persatuan seksual mereka akan berkurang. Ini bukanlah gambaran kehidupan seksual yang baik karena salah satu atau bahkan keduanya lebih mendominasi.

Oleh karena alasan ini, aku tidak percaya bahwa masturbasi adalah kehendak Tuhan untuk kehidupan seksualku, bahkan jika seandainya aku kelak tidak menikah. Ketika aku kehilangan bagian terbaik yang Tuhan sudah tetapkan, maka aku tidak bisa mengalami-Nya secara sempurna dalam hidupku.

5. Kita bisa lepas dari jeratan masturbasi

Mungkin saat ini kamu terbiasa melakukan masturbasi dan ingin lepas dari jeratannya. Kamu bisa melakukannya sebab ada harapan. Tuhan ingin membawa pemulihan ke dalam hidup kita.

Jika saat ini kamu sering menonton tayangan pornografi atau melakukan fantasi seksual, belajarlah secara perlahan untuk menguranginya hingga akhirnya kamu dapat menghapus dua hal ini dari kehidupanmu. Dengan kamu melakukan hal ini, artinya kamu sedang memulai untuk perlahan-lahan membebaskan dirimu dari jerat kecanduan masturbasi.

Semakin banyak waktu yang aku lakukan bersama Tuhan—entah itu memuji Dia lewat pujian, membaca Alkitab, berdoa, ikut komunitas orang percaya, melayani orang lain, dan sebagainya—aku semakin dimampukan untuk lepas dari jerat masturbasi. Ketika aku melakukan ini semua, sesungguhnya aku sedang belajar untuk mengaplikasikan apa yang Alkitab katakan dalam Galatia 5:16-17. “Hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging. Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging – karena keduanya bertentangan – sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki.”

Jika kamu, sama sepertiku, pernah menjadikan masturbasi sebagai jawaban atas masalahmu, aku mendorongmu untuk menyelidiki dirimu lebih dalam mengenai masalah apa yang sesungguhnya sedang kamu berusaha untuk hindari. Menghadapi masalah itu mungkin bukanlah sesuatu yang menyenangkan, bahkan terkadang bisa jadi menyakitkan. Akan tetapi, dari pengalamanku, aku belajar bahwa rasa sakit dan susah payah yang dilakukan ini jauh lebih baik daripada kita harus menanggung beban tambahan yang jauh lebih berat ketika kita tidak menyelesaikan masalah-masalah ini. Tuhan ada dan Dia bersedia untuk menyelesaikan masalah ini bersamamu. Dia akan memberimu penghiburan dan pertolongan yang kamu butuhkan ketika kamu sungguh-sungguh mengambil langkah untuk mencari pemulihan dari-Nya.

Dalam perjalananku keluar dari jeratan masturbasi, mungkin saja aku masih mengalami jatuh bangun, tapi aku punya pengharapan bahwa aku bisa lepas sepenuhnya dari jeratan ini. Maukah kamu bergabung denganku untuk berusaha melepaskan diri dari jeratan dosa dan menikmati kebebasan yang Tuhan berikan?

Baca Juga:

3 Alasan Mengapa Allah Mengizinkan Orang Saleh Mengalami Penderitaan

Di semester awal kuliahku, aku nyaris dikeluarkan dari universitas karena nilai-nilaiku yang buruk. Segala cara untuk memperbaiki nilai sudah kulakukan, tetapi hasilnya nihil. Kemudian, aku pun jadi bertanya-tanya, mengapa Tuhan mengizinkan semua ini terjadi?

Mengapa Aku Memutuskan untuk Tidak Berhubungan Seks Sebelum Menikah

mengapa-aku-memutuskan-untuk-tidak-berhubungan-seks-sebelum-menikah

Oleh Michele Ong, Selandia Baru
Artikel asli dalam bahasa Inggris : Is It Possible to Resist Sex in This Day and Age?

Aku memiliki pendirian yang teguh untuk menolak hubungan seks di luar pernikahan, dan tentunya ada risiko atas pendirian itu.

Aku sering dianggap aneh oleh teman-teman ketika mereka tahu tentang pendirianku itu. Mereka seringkali mengatakan padaku, “Tapi, kamu harus mencobanya supaya kamu tahu apakah kamu cocok dengan pasanganmu atau tidak.”

Tak hanya temanku, beberapa mantan pacarku juga berkeyakinan kalau melakukan hubungan seks di luar pernikahan itu tidak masalah selama dilakukan atas dasar cinta dan sama-sama mau melakukan. Aku baru berusia 16 tahun ketika mulai berpacaran dengan pacar pertamaku. Waktu itu, aku tidak yakin aku sudah cukup dewasa untuk membuat sebuah keputusan yang serius seperti itu. Tapi, mereka tetap saja mendesakku.

Mereka memberiku berbagai alasan, “Jika kamu mencintai aku…”, “Semua teman-temanku yang lain juga melakukannya dengan pacar mereka, aku jadi merasa terkucilkan”, atau “Sepertinya kita ketinggalan zaman, ya?” Salah satu mantan pacarku percaya bahwa Tuhan tak seharusnya lagi mengharapkan pasangan di zaman modern ini untuk menunggu hingga hari pernikahan mereka untuk berhubungan seks, karena kini orang-orang menikah di usia yang semakin tua.

Kemudian aku membayangkan jika diriku hamil akibat berhubungan seks di luar nikah, itu tentu mengerikan. Aku lebih memilih untuk duduk di kelas dan mengerjakan ujian akuntansi berulang-ulang daripada harus hamil di usiaku yang ke-16 tahun.

Mungkin kamu akan berpikir kalau penolakanku terhadap seks di luar nikah itu akibat dipengaruhi oleh orangtuaku atau karena aku takut masuk neraka. Tebakanmu salah. Orangtuaku hanya pernah sekali mengingatkanku untuk tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah, dan itu ketika aku menonton film Titanic saat aku berusia 12 tahun. Ketika ada adegan intim Jack bersama Rose, ibuku berkata, “Jangan lakukan itu, itu tidak baik.” Hanya itu saja yang pernah ibuku katakan.

Tidak tahu kenapa, kata-kata yang diucapkan oleh ibuku itu terngiang-ngiang di pikiranku, dan aku tetap berpegang pada pendirianku menolak hubungan seks di luar nikah bertahun-tahun setelahnya. Beberapa orang yang mendengar pendirianku itu terkadang merasa skeptis, tidak yakin kalau aku mampu berpegang teguh pada pendirian itu.

“Kamu rohani sekali, ya?” ejek mereka.

Sejujurnya, kalau aku menolak hubungan seks di luar nikah hanya untuk mematuhi hukum Taurat, aku mungkin takkan kuat menghadapi banyaknya tekanan yang ada. Namun secara pribadi, aku punya keyakinan kalau seks itu sangat sakral, sehingga aku sangat protektif menjaga diriku. Saat aku bertumbuh semakin dewasa, keyakinanku ini membuatku lebih mudah menguji apakah seorang lelaki ini layak dipacari atau tidak. Kalau dia tidak siap menerima pendirianku untuk tidak berhubungan seks sebelum menikah, tentu dia takkan menjadi pacarku.

Ketika aku berpacaran dahulu, mantan pacarku mengatakan kalau dia tidak bisa menjalin relasi ini tanpa melakukan hubungan seks. Dia berargumen, jika aku tidak mau berhubungan seks dengannya, bagaimana mungkin dia dapat yakin kalau aku adalah belahan jiwanya. Tanpa sepatah kata pun, aku pulang ke rumah dan menyadari bahwa hubungan ini tidak bisa diteruskan lagi.

Harus kuakui, terkadang aku pernah berpikir untuk melonggarkan sedikit pendirianku tentang hubungan seks sebelum pernikahan supaya hidupku bisa menjadi lebih mudah. “Mengapa memilih gaya hidup yang kaku ini?” tanyaku pada diri sendiri. Bagaimanapun, kita hidup di dunia yang menganggap seks di luar nikah adalah sebuah hal yang normal, dan menunda hubungan seks sampai waktu menikah adalah sesuatu yang aneh.

Tapi, bagaimana pendapat Tuhan mengenai seks?

Dalam sebuah buku yang berjudul “Laugh Your Way to a Better Marriage”, pendeta Amerika Mark Gungor mengatakan bahwa seks adalah ciptaan Tuhan. Dia menuliskan dalam bukunya, “Tuhanlah yang menciptakan tubuh kita untuk dapat merasakan sensasi ketika disentuh dan dibelai. Dia jugalah yang menciptakan kemampuan untuk orgasme. Seks adalah anugerah dari Tuhan.”

Namun, Alkitab juga memberitahu kita bahwa Tuhan menciptakan seks untuk dinikmati di dalam wadah pernikahan (Ibrani 13:4). Menikmati seks harus dilakukan dalam konteks yang benar karena itu berkaitan dengan keintiman yang tidak bisa dinikmati dalam sembarang relasi. Tuhan menciptakan seks untuk kebaikan kita dan Dia juga memerintahkan kita supaya tidak membangkitkan hasrat seks itu sebelum waktunya yang tepat tiba (Kidung Agung 8:4). Kita juga harus menghindari perbuatan seksual yang menyimpang karena sejatinya tubuh kita adalah bait Allah dan kita telah dibeli dengan harga yang teramat mahal—darah Yesus yang berharga (1 Korintus 6:18-20).

Aku memandang perintah Tuhan untuk tidak melakukan seks di luar pernikahan adalah seperti mendengar orang tua kita mengatakan untuk tidak membuka kado ulang tahun kita sebelum hari ulang tahun kita tiba. Seperti sebuah kado ulang tahun, pandanglah hubungan seks itu sebagai hadiah pernikahan dari Tuhan untuk suami dan istri yang baru menikah, dan untuk dibuka setelah mereka resmi menikah. Tapi, jika kamu tetap membuka hadiah itu sebelum hari ulang tahunmu, kamu mungkin akan kehilangan sukacita besar ketika hari ulang tahunmu itu tiba.

Ingatlah, Tuhan bukannya anti terhadap seks. Alasan Dia meminta kita menghindari hubungan seks yang tidak seharusnya bukanlah karena Dia menganggap bahwa seks itu buruk. Dia tahu yang terbaik bagi kita dan Dia menginginkan kita mendapatkan pengalaman seks yang terbaik, yaitu seks yang dilakukan dalam wadah pernikahan.

Baca Juga:

Mengapa Aku Berada dalam “Friend-Zone” Selama 15 Tahun

15 tahun bukanlah waktu yang singkat, tapi selama itulah Amy berada dalam “friend-zone”. Pengalaman itu membuatnya belajar bahwa sebuah hubungan yang baik kadang diawali dari pertemanan.