Posts

Kemenangan Melintasi Jalur Sunyi

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

Perbedaan bukan hal yang baru di kehidupan kita. Kita sering menyaksikan harmoni keindahan dari perbedaan. Dalam beberapa hal, pandangan atas pilihan berbeda yang kita buat sering disalahartikan. Kita dianggap aneh, melawan arus. Karena tidak seperti pilihan orang-orang pada umumnya, kita harus melintasi jalur sunyi. Dianggap sok suci, ketika tidak memberi contekan. Direndahkan tatkala gagal seleksi sekolah favorit atau kampus bergengsi. Dinilai salah, saat pacaran beda suku.

Selepas dari SMP, aku memutuskan melanjutkan studi di sekolah kejuruan. Berkas pendaftaran kuantar, setelah orang tuaku tidak menyetujui pilihanku. Sebelumnya aku di terima di SMA, salah satu yang bergengsi dan direkomendasikan oleh sekolahku. Namun, hasil tes yang kuikuti rupanya gagal membawaku masuk ke kelas yang biaya pendidikannya disubsidi. Jika bersekolah di sana, orang tuaku harus membayar keperluan sekolah secara mandiri tanpa potongan. Melihat rincian biaya yang akan dikeluarkan setiap bulan, bapak dan ibu menolak pilihanku. Padahal, menurutku sekolah favorit itu bisa menjembatani kesuksesanku.

“Emas akan tetap jadi emas sekalipun di kubangan lumpur. Sekolah di mana pun, kalau kamu sunguh-sungguh akan tetap berhasil”. Pernyataan ini kuterima, tiap kali aku berusaha memaksakan kehendakku. Motto pendidikan kejuruan berhasil memikatku. Iming-iming lulusan terampil yang siap kerja menjadi satu-satunya alasanku yang masuk akal ketika mendaftar ke SMK. Selebihnya hanya karena kesal, tidak jadi bersekolah di SMA favorit.

Tahun pertama bersekolah sulit kujalani. Bukan hanya karena tidak dari hati, suasana belajarnya juga berbeda dari bayanganku. Pembelajarannya kebanyakan praktik. Memoriku masih merekam jelas momen saat kami harus menjual produk perusahaan yang bekerja sama dengan sekolahku. Tidak mudah bagiku memenuhi tugas untuk nilai kewirausahaan itu.

Aku juga minder ketika bertemu teman SMP-ku. “Kenapa ke SMK?”, Pertanyaan yang sering diajukan temanku sembari mengernyit. Label bandel dan stigma siswa SMK yang tidak sebagus SMA membuat mereka menyayangkan pilihanku. Pandangan yang sama juga beredar secara publik. “Nanti langsung kerja ke Batam saja ya”, “Jadi TKI saja, anak SMK biasanya langsung diterima”. Pernyataan yang menunjukkan pandangan mereka tentang terbatasnya kesempatan berkuliah bagi anak SMK. Berita tentang anak SMK yang tawuran sampai merusak fasilitas umum juga seolah mempertegas stigma negatif yang sudah ada entah dari kapan.

Walau tidak bisa dipukul rata untuk semua siswa SMK, penilaian yang tidak menyenangkan itu sempat membuatku pesimis. Ibarat pelari di luar lintasan, aku merasa salah jalan karena mengambil pilihan yang berbeda.

Perbedaan target sekolah kejuruan dan sekolah menengah lainnya membuat proses belajar di SMK tidak seserius di SMA, apalagi untuk urusan teori. Menciptakan lulusan yang siap kerja membuat kegiatan belajar kebanyakan bersifat praktik. Mau tidak mau, kondisi itu mempersempit kesempatan anak SMK untuk bersaing secara akademis apalagi untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Pendalaman materinya jauh berbeda. Pilihan program studi di kampus juga tidak terbuka untuk semua kejuruan yang ada di SMK.

Mirip dengan Abraham dan Sara di Kejadian 17-18. Abraham yang sudah tua dan Sara yang juga sudah menopause, menertawakan Tuhan ketika Ia menjanjikan anak laki-laki bagi mereka. Tepat seperti yang difirmankan-Nya, di masa tuanya Sara melahirkan anak laki-laki bagi Abraham (Kejadian 21:2).

Demikian halnya dengan masa putih abu-abu yang sudah kulewati. Tuhan terus mengikis rasa minder yang pernah kumiliki. Ia juga memakai beberapa temanku untuk mengikuti lomba, bersaing dengan perwakilan dari beberapa sekolah yang dianggap favorit. Di antara para alumni, kami juga ada yang berhasil menjadi sarjana. Banyak juga dari mereka yang terus menjaga nama baik sekolah di dunia kerja ataupun dalam bermasyarakat. Akhir-akhir ini juga, secara nasional banyak karya anak SMK yang bisa dipakai untuk keperluan bangsa ini. Sebagai salah satu alumni SMK, aku berharap semoga semakin banyak karya dari teman-teman yang memutuskan sekolah kejuruan. Mengikis stigma-stigma negatif yang ada di masyarakat.

Bersekolah di SMK atau di SMA bahkan tidak bersekolah pun, Tuhan memiliki tujuan tersendiri bagi setiap ciptaan-Nya. Kita bisa mengetahui hal itu dari riwayat penciptaan Allah dari hari pertama hingga hari keenam (Kejadian 1). Allah melihat semua pekerjaan tangan-Nya itu baik dan menceritakan kemuliaan-Nya (Mazmur 19: 1-15).

Memasuki bulan ketujuh di tahun ini, teman-teman mungkin sedang berhadapan dengan pilihan yang sarat dengan label atau cap tertentu. Menyambut tahun ajaran baru yang artinya harus menentukan sekolah atau kampus tujuan. Atau teman-teman sedang berjalan melintasi jalan sunyi dan berjuang mematahkan ‘mitos’ tertentu. Terbentur dengan kalimat-kalimat yang menurunkan semangat seperti: ‘kuliah itu harus di negeri’, ‘anak kota mah manja, mana sanggup mandiri jauh dari orang tua’ ‘susah cari kerja di masa pandemi, apalagi untuk fresh graduate’.

Walau tidak mudah, semoga Allah sumber pengharapan memenuhi sukacita kita melintasi jalan sunyi (Roma 15:13). Menuju kemenangan atas pilihan-pilihan sesuai ketetapan-Nya yang kadang berlawanan dengan pandangan banyak orang. Keputusan terbentur kebiasaan umum yang direncanakan-Nya untuk mendatangkan kebaikan. (Yeremia 29:11).

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Dia yang Kukasihi, Dia yang Berpulang Lebih Dulu

Pernikahan kami baru seumur jagung ketika Tuhan memanggil dia yang kukasihi ke pangkuan-Nya. Namun, dari kisah yang terasa getir ini, aku merasakan manisnya kasih setia Tuhan.

Mengalami Kehadiran Allah Ketika Menghadapi Bullying

Oleh Meysinta Sitompul* Semarang

Boss Wadulan” (Wadulan yang berarti tukang ngadu dalam bahasa jawa)

Dua kata itu dipakai teman-temanku untuk menjulukiku sewaktu masih duduk di bangku SMP. “Wadulan” berasal dari bahasa Jawa, artinya “tukang ngadu”. Aku masih ingat betul rasanya ketika kata “Boss Wadulan” itu diucapkan teman-temanku ketika aku lewat. Entah mau menuju kelas, kantin, atau ruang manapun setiap bertemu teman-teman aku selalu diteriakkan dengan dua kata tersebut.

Aku pernah menjadi korban bullying sewaktu aku masih duduk di bangku SMP. Sekolahku adalah sekolah swasta yang memiliki peraturan ketat dan menanamkan prinsip kedisiplinan bagi seluruh siswanya. Salah satu aturannya adalah setiap siswanya dilarang membawa hand-phone (HP) ke sekolah. Namun, banyak siswa yang melanggar. Mereka membawa HP dan menyembunyikannya di laci-laci tas mereka. Berawal dari kesalahpahaman teman-temanku, mereka semua menuduhku telah “mewadulkan” teman-temanku yang membawa HP ke pihak BK. Padahal sejujurnya mereka tidak mengerti kisah yang sesungguhnya.

Kisah ini berawal pada saat aku tak bisa berbohong kepada guru yang bertanya kepadaku. “Non, teman sekelasmu ndak yo ada yang bawa HP ke sekolah?”

Pada saat itu aku ingat betul aku sempat terdiam dan berpikir cepat. Jika aku membela temanku berarti aku telah berbohong kepada guru yang menjadi orang tuaku di sekolah. Namun, jika aku jujur, sebetulnya aku sudah mengira bahwa aku akan mendapat respons tidak menyenangkan dari temanku.

Pada saat itu aku tak menyangka akan di-bully habis-habisan secara mental, perkataan, bahkan fisik sampai aku lulus SMP. Aku ingat betul ketika satu kelas bahkan satu angkatan mulai merundungku. Aku tidak memiliki teman di kelas, setiap ada tugas kelompok tidak ada satu pun yang mau menerimaku. Bahkan bagi mereka adalah hal yang “sial” ketika harus sekelompok denganku. Selain dirundung lewat perkataan, mereka juga pernah merundungku secara fisik. Aku masih ingat betul nama, wajah, dan ekspresi mereka ketika merundungku. Di kelas aku dihempas menggunakan pintu saat aku hendak masuk ke kelas. Sakit betul rasanya karena pintu itu mengenai hidungku walaupun aku langsung refleks mengelak ke belakang.

Pernah juga sewaktu aku duduk di bangku kelas 9, kelasku ada di koridor bawah, aku disiram air oleh teman-temanku yang kelasnya di koridor atas. Sakit rasanya ketika tidak ada satu pun teman yang mau mengerti bahkan semua menyalahkanku yang dikira “wadulan”. Aku yang biasanya ceria dan mudah tertawa menjadi siswa pendiam dan banyak menahan beban sendiri karena tidak ada satu pun yang mau mengerti dan mau menjadi seorang pendengar. Setiap hari aku ke sekolah dengan perasaan takut.

Sewaktu aku SMP, aku belum mengerti banyak tentang peran Tuhan di tengah pergumulan. Sifatku yang labil membuatku kemudian menjauh dari Tuhan. Aku merasa, “Ah mereka yang membullyku juga percaya Yesus tapi buktinya Tuhan gak negor dia… katanya Tuhan baik mana buktinya?…” Namun seiring berjalannya waktu aku sadar ada banyak bukti bahwa Tuhan tetap menyertaiku hingga aku lulus dan masuk ke SMA favorit di kotaku.

Meskipun teman-teman sekolahku merundungku, Tuhan menganugerahiku dengan kedua orang tua yang selalu menyemangatiku saat aku takut. Dan, meskipun saat itu aku belum mengerti tentang peranan Tuhan dalam pergumulanku, Tuhan nyatanya tidak meninggalkanku. Saat hatiku disakiti, Roh Kudus memberiku penghiburan dan kekuatan agar hatiku dapat berkata, “Ampuni mereka”. Roh Kuduslah yang memampukanku.

Lukas 17:4 berkata, “Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia.” Mengampuni orang lain memang berat, namun janganlah berhenti untuk mengampuni orang lain.

Aku bersyukur telah dimampukan-Nya melalui masalah tersebut sehingga aku bisa lebih dewasa sekarang. Jika ada di antara kamu yang mengalami perundungan atau penolakan dari rekan-rekanmu, tetaplah semangat. Ingat kita tidak berjalan sendiri, namun ada Tuhan yang melindungi kita dari berbagai pencobaan. Jika hatimu berduka, kiranya Roh Kudus menghibur dan menguatkanmu sehingga kamu mampu untuk mengampuni mereka dan beroleh damai sejahtera dari Allah.

Tuhan Yesus memberkati.

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Kedamaian di Tengah Ketidakpastian

Penelitian tugas akhirku sedianya akan dilakukan di rumah sakit. Tapi, karena pandemi ini, aku tidak bisa melakukan penelitian dan terancam tak lulus tepat waktu. Namun, di masa-masa inilah aku belajar menikmati kedamaian dari Tuhan.

Memandang Salib Yesus, Aku Belajar Mengampuni

Oleh Veronica*, Jakarta

Dalam kehidupan orang percaya, tiap kita punya pergumulan yang berbeda-beda. Ada yang bergumul dengan dosa seksual, masalah keluarga, keuangan, dan lain-lain. Aku sendiri bergumul dengan proses memaafkan, yang awalnya begitu sulit kulakukan, tetapi puji Tuhan aku dimampukan-Nya untuk melakukannya.

Beginilah kisahku.

Aku melayani di sekolah Minggu di gerejaku. Namun, studi S-2 dan bekerja penuh waktu (pukul 8-5 sore) membuat aku kewalahan mengatur jadwalku. Belum lagi untuk menyiapkan sekolah Minggu aku membutuhkan waktu yang cukup banyak: mulai dari kelas persiapan sebulan sekali, kunjungan ke anak-anak pada periode tertentu, games, pemberian hadiah, juga persiapan lainnya untuk acara besar seperti Paskah dan Natal. Itu belum ditambah dengan persiapan membuat cerita tentang firman Tuhan dan membuat aktivitas lanjutannya. Kalau aku mendapat tugas sebagai pemimpin pujian di minggu itu, persiapannya akan lebih banyak lagi.

Suatu ketika, akan diselenggarakan acara tahunan sekolah Minggu. Kelas kecil sampai besar akan digabung untuk bermain games. Untuk bisa mengikuti games ini, tiap anak harus mengumpulkan kupon dalam satu tahun. Banyak yang harus disiapkan, mulai dari jenis games yang akan diadakan sampai hadiah apa yang harus disediakan. Pula kupon yang harus didesain untuk diberikan ke anak-anak dan guru-guru lain. Singkat cerita, persiapannya akan cukup rumit.

Aku pun ditunjuk untuk menjadi ketua. Aku mengelak. Setiap hari Senin sampai Jumat, aku bekerja di kantor pukul 8 pagi sampai 5 sore dan sorenya aku kuliah pukul setengah 7 malam hingga pulang jam 21:30 dari kampus, belum ditambah dengan kemacetan di jalan raya yang menyita waktu. Dengan jadwalku yang sangat padat itu aku tentu tidak akan mampu mengurusi setiap detail persiapan acara. Hari Sabtu kugunakan untuk mengerjakan tugas kuliah dan menyiapkan aktivitas sekolah Minggu. Tetapi, tetap saja aku yang ditunjuk untuk menjadi ketua.

Setiap Minggu, aku ditagih progress yang sudah dibuat. Aku benar-benar kewalahan. Hampir tiap hari, sepulang kuliah aku menyiapkan benda-benda yang perlu dibuat dan baru selesai hampir jam 1 pagi. Aku lelah dan menangis, mengapa beban ini dilimpahkan kepadaku. Aku berkata pada Tuhan kalau aku rasanya tidak sanggup, tapi aku memohon kekuatan dari-Nya.

Ketika rapat persiapan acara berlangsung, ketua sekolah Minggu tidak puas dengan apa yang kusiapkan. Dia berkata kalau aku tidak prepare dan menyindirku atas proses yang lambat. Katanya, aku belum memiliki anak tetapi kok tidak bisa mengatur waktu dengan baik. Kucoba jelaskan tentang padatnya jadwalku dan aku telah melakukan yang terbaik. Tapi, tetap saja, kurasa rekan-rekanku di panitia itu pun menyalahkanku. Aku merasa terpukul.

Tapi, aku bersyukur karena saat itu ada hamba Tuhan yang menenangkanku. Dia menolongku untuk menyiapkan dan merapikan apa yang perlu kubuat.

Singkat cerita, acara berlangsung. Puji Tuhan bisa terselenggara dengan baik meskipun ada kekurangan di sana sininya. Selepas acara ini selesai, aku pun bergumul untuk mengampuni.

“Jangan menyimpan kesalahan orang dalam hati,” agaknya kata-kata ini mudah diucapkan tapi sulit dipraktikkan.

Aku berdoa, meminta kekuatan daripada-Nya untuk memaafkan dan tidak menyimpan hal-hal yang membuat sakit hati. Secara manusia, kurasa aku tidak bisa dan sulit sekali untuk tidak sakit hati. Tapi, Tuhan memberiku hikmat melalui Matius 5:43-47:

“Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian?”

Aku diingatkan sekaligus ditegur, bahwa sebagai manusia berdosa, aku tidak boleh menghakimi orang lain. Aku belajar untuk tidak menyimpan kesalahan orang lain dalam hatiku, dan menyerahkan hidupku ke tangan Tuhan. Pun aku berdoa meminta kekuatan dari Tuhan supaya aku diberikan hati seperti hati Yesus yang mengampuni orang-orang yang menyalibkan Dia.

Untuk bisa mengampuni adalah proses yang cukup panjang. Aku tidak ingat berapa lama persisnya. Tapi, sejak aku berdoa memohon kekuatan untuk mengampuni, aku diteguhkan bahwa pelayananku adalah untuk Tuhan, bukan manusia. Mentor rohaniku juga memberitahuku bahwa pertanggungjawaban kita kelak adalah pada Tuhan, dalam hal apapun di setiap aspek kehidupan kita. Ketika aku bertemu dengan mereka yang telah menyakitiku, aku berusaha tidak lagi mengingat-ngingat keburukannya. Aku belajar untuk menumbuhkan dan menunjukkan kasihku dengan cara yang sederhana, menyapa dan senyum pada mereka.

Melayani di gereja bukan berarti akan terbebas dari konflik, karena pada dasarnya kita semua adalah manusia berdosa. Alih-alih menghakimi, aku harus melihat kepada pengorbanan Yesus, Dia mau mengampuniku meskipun sesungguhnya aku tidak pantas mendapatkannya.

Kawan-kawan, mungkin ada di antara kalian ang bergumul untuk mengampuni orang lain. Siapapun itu, entah orang terdekat, atau mungkin orang yang jauh, marilah kita sama-sama belajar menyerahkan apa yang kita rasakan kepada Tuhan. Mintalah Tuhan memperbaharui hati kita, supaya semakin hari kita semakin dibentuk-Nya. Meski secara manusia rasanya sangat sulit, tetapi kekuatan yang melampaui akal pikiran dan hikmat manusia diberikan Tuhan bagi anak-anak-Nya yang mau berserah dan mengandalkan Dia dalam segala hal.

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Andrew Hui: Usiaku 32 Tahun dan Aku Menanti Ajalku

Di usia 32 tahun, Andrew hanya memiliki waktu dua hingga tiga bulan untuk hidup. “Aku mau mendorong orang-orang untuk percaya kepada Tuhan di momen-momen tergelap hidup mereka,” ucap Andrew.

Sulit Membuat Keputusan? Libatkanlah Tuhan dalam Hidupmu

Oleh Airell Ivana, Bandung

Kelas 3 SMA—momen di mana keputusan tentang masa depan harus dibuat.

Aku bingung. Di jenjang ini, semua siswa harus menentukan, antara melanjutkan studi ke perguruan tinggi atau langsung bekerja. Aku ingin berkuliah. Namun, saat itu aku belum memiliki bayangan sama sekali tentang dunia perkuliahan, dan jurusan-jurusan apa saja yang bisa kutempuh hingga masing-masing prospek karirnya.

Orang tuaku menginginkanku untuk langsung bekerja saja karena alasan finansial—mereka tidak sanggup membiayaiku untuk berkuliah. Orang tuaku juga memintaku memeriksa motivasiku untuk berkuliah, apakah karena aku benar-benar ingin belajar atau hanya karena gengsi semata karena mayoritas teman-temanku melanjutkan studi ke perguruan tinggi.

Aku menuruti saran orang tuaku, aku pun berpikir ulang. Tapi, aku merasa dilema. Di satu sisi aku belum siap memasuki dunia kerja. Di sisi lain, aku takut untuk kuliah. Aku takut jika kuliahku nantinya menjadi zona nyamanku, karena aku hanya perlu belajar dan tidak perlu menghadapi tekanan-tekanan dalam dunia pekerjaan.

Di tengah-tengah kebimbangan, aku berdoa dan berserah kepada Tuhan. Aku membutuhkan hikmat Tuhan untuk menentukan pilihan yang tepat. Ia menjawab doaku lewat pameran pendidikan yang diadakan di sekolahku.

Salah satu universitas menarik perhatianku karena menawarkan jurusan yang kuminati, yaitu Teknik. Lebih menariknya lagi, universitas tersebut memiliki program 3 tahun untuk Strata 1—satu tahun lebih cepat dari S1 pada umumnya. “Kalau hanya 3 tahun, mungkin biayanya tidak akan terlalu membebani orang tua,” pikirku.

Aku kembali membawa pergumulanku dalam doa. Apakah ini benar-benar jawaban yang Tuhan tunjukkan padaku? Jika Tuhan memang mengizinkan, aku percaya Tuhan akan membukakan jalan bagiku.

Setelah aku berdiskusi dengan orang tuaku, puji Tuhan mereka mengizinkanku berkuliah di tempat yang kuinginkan. Mereka juga akan berusaha mencari penghasilan tambahan untuk membiayai kuliahku.

Dunia perkuliahan dimulai. Berbagai tantangan kuhadapi, salah satunya adalah mengatur waktu antara mengerjakan tugas-tugas kuliah dengan melakukan tanggung jawabku sebagai ketua himpunan mahasiswa. Sempat terpikir untuk mundur dari jabatanku, tetapi aku bersyukur Tuhan memberiku kekuatan untuk menjalaninya sampai akhir.

Meskipun kuliah dengan jurusan pilihanku, aku ingin cepat-cepat lulus dan segera bekerja penuh waktu karena keterbatasan uang jajan yang diberikan oleh orang tuaku. Uang yang diberikan hanya cukup untuk makan dan membeli keperluan kuliah. Aku memperoleh uang tambahan dengan mengajar les privat dan menjadi asisten dosen. Kondisi finansial yang cukup menantang membuatku sempat sedikit menyesali keputusanku untuk tidak langsung bekerja. Namun, aku percaya Tuhan sendiri yang menuntunku ke jalan yang kutempuh saat itu (Ulangan 31:8). Aku berjalan dalam rencana-Nya dengan tuntunan-Nya.

Tidak pernah luput dari penyertaan Tuhan, aku berhasil menyelesaikan perkuliahan dalam 3 tahun—sesuai janjiku pada orangtuaku.

Saat ini aku sudah bekerja, dan aku masih seorang yang sulit membuat keputusan. Menyadari hal itu, aku selalu melibatkan Tuhan dalam setiap prosesnya. Tuhan mengingatkan kita akan janji-Nya dalam Yesaya 41:10, “Janganlah takut, sebab aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab aku ini Allahmu; aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan.”

Ketika kita bingung akan langkah yang harus kita ambil, izinkan Tuhan mengambil alih kemudi hidup kita. Ia akan mengantarkan kita pada rencana indah-Nya. Tuhan Yesus memberkati kita semua.

“Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu” (Amsal 3:5-6).

Baca Juga:

Pergumulanku untuk Belajar Menyayangi Diriku Sendiri

“Tak kenal maka tak sayang”, ungkapan yang tak lagi asing di telinga kita. Jika dicermati, rasanya memang tidak mungkin menyayangi seseorang jika kita belum mengenalnya. Mengenal adalah langkah pertama untuk dapat menyayangi.

Meski Kuanggap Diriku Gagal, Tuhan Punya Alur Cerita yang Berbeda

Oleh Tri Nurdiyanso, Surabaya

Aku, salah satu siswa kelas 12 IPA di salah satu SMA Negeri di Jawa Tengah. Tahun 2010 merupakan tahun yang penting bagiku, itu tahun kelulusanku. Untuk merayakan kelulusan, teman-temanku melakukan konvoi dan corat-coret seragam. Tapi, berbeda dari teman-temanku, aku malah bingung dengan kelulusanku sendiri.

Aku tidak tahu apakah aku lulus atau tidak. Kalaupun lulus, orang tuaku pasti memarahiku kalau aku ikut-ikutan konvoi atau corat-coret seragam. Padahal dulu aku ingin sekali melakukan itu, ketika melihat kakakku terlihat asyik melakukan konvoi dan corat-coret seragam, bahkan rambutnya dibuat berwarna.

Pada hari pengumuman, aku tidak mengambil surat pengumuman kelulusan. Aku takut mengambil surat itu karena aku belum melunasi uang sekolah selama satu semester. Pekerjaan orang tuaku memang tidak bisa diharapkan untuk membiayai pendidikanku. Bapakku bekerja sebagai tukang becak dan ibuku sebagai penjual makanan keliling setiap sorenya. Kami bisa makan sehari-hari saja sudah untung.

Suatu siang, teman sekolahku, Made namanya, bertanya, “Kamu lulus nggak?”

“Tidak tahu.”

Kok nggak tahu?”

“Ya aku belum mengambil surat pengumumannya, karena bayaran sekolahku belum lunas.”

“Loh, buat ngambil surat itu, syaratnya nggak harus lunas SPPnya (uang sekolah).”

Aku cuma diam saja. Aku ragu apakah tahun ini aku lulus. Waktu ujian berlangsung, aku kesulitan mengerjakan mata pelajaran Biologi. Aku hanya bisa mengerjakan 5 dari 50 soal. Sisanya kukerjakan dengan ngawur. Aku bisa memastikan kalau aku tidak akan lulus di mata pelajaran ini.

Selain Made, ada teman gerejaku juga datang ke rumahku. Dia melontarkan pertanyaan yang sama, “Tri, gimana? Lulus?”

“Belum tahu.”

Loh kok belum tahu?”

Jawaban yang sama kusampaikan kepadanya. Masalah tunggakan biaya membuatku tidak berani ke sekolah untuk mengambil surat pengumuman kelulusan. Temanku lalu melontarkan ide untuk meminta bantuan gereja. Katanya di gereja kami ada alokasi anggaran untuk pendidikan. Kuiyakan ide itu dan kuhitung jumlah kekurangan biaya sekolahku satu semester itu, jumlahnya kira-kira ada enam ratus ribu.

Keesokan harinya, beberapa majelis gereja datang ke rumahku. Mereka bertemu dengan ibuku, lalu pergi ke sekolah. Bukannya senang, aku mlaah takut bukan kepalang. Aku merasa pasti tidak lulus karena nilai Biologiku yang jeblok. Jam satu siang, ibuku pulang dari sekolah dan menyerahkan surat pengumuman.

LULUS!

Ya, aku lulus, meskipun nilai Biologiku cuma 5,25.

Tuhan mengarang alur cerita yang indah

Setelah lulus, masalah selanjutnya yang kuhadapi adalah apakah aku harus lanjut kuliah jika kutahu kemampuan finansial keluargaku lemah? Tanpa diketahui orang tuaku, aku mendaftar ujian masuk tertulis ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN), dulu namanya SNMPTN. Aku hanya memilih satu jurusan: Pendidikan Matematika. Meskipun sebenarnya aku ingin kuliah di MIPA Matematika agar nanti ketika lulus bisa menjadi seorang matematikawan, tetapi setelah diskusi dengan guru Matematikaku, aku memilih pendidikan Matematika yang setelah lulus nanti aku bisa jadi guru. Aku tak punya bayangan yang jelas untuk tujuan belajarku ini. Tekad adalah salah satu modalku saat itu. Keyakinanku bahwa otak adalah modal belajar.

Pada waktu ujian tulis selama tiga hari, aku mengerjakannya semaksimal mungkin. Tapi, hasilnya tidak lolos. Kecewa dan malu. Ingin menangis, tapi sungkan. Bahkan kadang pikiranku meragukan keberadaan Tuhan, Kenapa Tuhan diam saja dan membiarkanku gagal seperti ini? Apa kata orang kalau melihatku menganggur, atau tidak lanjut kuliah? Kata orang aku pintar, tapi malah gagal masuk PTN? Sebaliknya, temanku yang dianggap kurang pintar dan kuajari tiap malam untuk persiapan ujian, malah lolos. Sungguh mengecewakan dan tidak adil.

Setelah pengumuman itu, kakak rohaniku meneleponku. “Tri, bagaimana? Kamu lolos tidak?”

“Tidak, kak.”

“Lalu, apa rencanamu?”

“Nunggu SPMBTN tahun depan kak.”

“Kalau gagal lagi?”

“Ya nunggu tahun depannya lagi.”

Jawaban itu kuucapkan spontan, tanpa berpikir lebih dulu. Perasaan gagal masih menyelimuti pikiranku. Jarang sekali aku gagal soal akademik, tetapi kali ini aku gagal. Aku merasa malu dan juga bingung apa yang harus kukerjakan selama setahun ke depan.

Tiga hari kemudian, tetanggaku tiba-tiba mendatangiku dan menawariku pekerjaan sebagai penjaga warnet. Pekerjaan ini dikelola oleh menantunya. Aku diminta menjaga warnet sekitar jam 4 sore sampai 12 malam. Tapi, tak cuma itu. Teman-temanku menawariku pekerjaan sebagai tutor atau guru les buat adik mereka yang masih SMA. Aku merasa aneh, mengapa mereka mempercayaiku untuk mengajari adik mereka? Padahal statusku kan hanya lulusan SMA. Selama setahun, aku mengerjakan dua pekerjaan ini.

Tak jarang ada orang tua murid lesku yang bertanya, “Mas, kuliah di mana?”

“Saya tidak kuliah.”

“Kenapa tidak kuliah, Mas?”

“Karena gagal ujian masuk kemarin, Bu.”

Ibu itu lalu terdiam. Mungkin ia kecewa karena jawabanku. Mungkin juga ia takut kalau anaknya diajari oleh seorang yang gagal. Pikiranku diselimuti oleh jawaban ‘mungkin’. Tapi jika terlalu lama berpikir mengenai ini juga, aku hanya akan berjalan di tempat. Lambat laun, keraguanku akan keberadaan Tuhan mulai terkikis, karena pekerjaan demi pekerjaan mulai bertambah di tahun 2011. Aku sadar bahwa aku salah menganggap bahwa Tuhan itu tidak ada hanya karena aku gagal masuk PTN. Meski Tuhan mungkin terlihat diam bagiku, namun Dia sedang mengerjakan sesuatu untukku.

Jika aku melihat ke belakang, kurasa aku adalah orang yang terlena dengan kepandaian hingga aku melihat semuanya bisa kuatasi sendiri. Namun nyatanya, aku kecewa dan malu ketika gagal. Orang selalu memujiku sebagai anak pandai, tetapi kegagalan menghinaku sebagai anak bodoh. Tapi, melalui keadaan ini, Tuhan menerima “anak bodoh” ini untuk belajar di luar sekolah.

Alur cerita yang Tuhan sediakan berbeda dengan apa yang kurencanakan. Apakah aku harus marah kepada-Nya jika pendapatku berbeda dengan-Nya? Kupikir tidak, karena yang aku ketahui hanyalah keinginanku saja, tetapi Tuhan jauh lebih mengetahui melampaui sekadar keinginanku. Tuhan tahu apa yang kubutuhkan. Tuhan tahu bahwa aku butuh uang untuk kuliah, maka Dia memberiku kesempatan untuk bekerja terlebih dulu untuk mengumpulkan uang itu. Hingga akhirnya di tahun 2011, Tuhan mengizinkanku lolos di SBMPTN 2011 dengan jurusan Pendidikan Ekonomi.

“Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan TUHANlah yang terlaksana” (Amsal 19:21).

Baca Juga:

Belajar Menerima Hal Buruk, Sebagaimana Aku Menerima Hal Baik dari Tuhan

Kobaran api menghanguskan rumahku. Segala harta benda hilang dalam sekejap. Hari-hari setelahnya jadi momen terendah dalam hidupku. Namun, dari musibah inilah aku belajar tentang kebaikan Tuhan dan penyertaan-Nya yang sempurna.

Segala Sesuatu Ada Masanya, Gagal Hari Ini Bukan Berarti Gagal Seterusnya

Oleh Pebri Sitorus, Bogor

Aku lahir di keluarga yang menuntutku untuk memperoleh nilai akademis yang tinggi. Sejak kecil aku selalu berusaha mempertahankan nilai-nilaiku dengan baik. Semua berjalan lancar, hingga tibalah waktu untukku melanjutkan sekolah ke jenjang SMA. Orang tuaku menginginkanku untuk masuk ke SMA Negeri, agar nantinya aku punya kesempatan lebih besar untuk masuk PTN (Perguruan Tinggi Negeri). Selain biaya kuliah yang lebih murah, menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka melihat anaknya menjadi mahasiswa di PTN.

Namun, harapan tidak sejalan dengan kenyataan. Aku gagal masuk SMA Negeri.

Aku sedih dan kecewa, terlebih lagi orang tuaku. Pilihan kedua saat itu adalah mendaftar ke SMA swasta Kristen, tetapi pendaftaran sudah tertutup. Pilihan akhirnya adalah masuk ke SMA swasta umum. Tidak pernah terpikir sebelumnya olehku untuk mendaftar ke SMA itu. “Daripada tidak sekolah”, pikirku. Singkat cerita, aku pun masuk ke sekolah tersebut.

Aku menjalani masa SMA selayaknya murid biasa yang menaati peraturan-peraturan sekolah. Aku bukan si kutu buku, tapi bukan juga seorang yang malas. Kata orang-orang, masa SMA adalah masa yang paling menyenangkan. Tetapi, aku tidak merasakan itu—aku malah ingin segera melewatinya.

Tahun terakhir pun datang. Murid kelas 12 mulai sibuk dengan ujian-ujian kelulusan yang akan dihadapi, begitu juga dengan rencana kuliah. Aku dan orangtuaku masih berharap untuk bisa berkuliah di PTN, sehingga mereka menawariku untuk mengikuti les persiapan ujian masuk PTN. Namun, aku menolak. Bukan karena aku merasa bisa, tetapi aku punya pertimbangan lain. Bagaimana jika aku sudah mengeluarkan uang yang besar untuk ikut les, tetapi aku tetap tidak berhasil masuk ke PTN? Mengikuti les tidak menjamin seseorang untuk lolos ke PTN, bukan? Aku pun memutuskan untuk mempersiapkan diri tanpa mengikuti les.

Kegagalan kedua

Aku mengikuti seleksi SNMPTN (Seleksi Nilai Masuk Perguruan Tinggi Negeri), alias jalur rapor (tanpa tes). Puji Tuhan, aku memenuhi syarat untuk mendaftar. Namun, aku lagi-lagi gagal. Sudah pasti aku sedih, tetapi aku tidak mau terlalu lama meratap. Masih banyak jalur lain yang bisa kutempuh, salah satunya jalur SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri) atau jalur tes.

Aku pun mengikuti tes SBMPTN dan rentang waktu menuju pengumuman cukup lama. Selama menunggu pengumuman hasil tes SBMPTN, aku mengikuti jalur mandiri di 4 PTN. Aku cukup deg-degan sembari terus berdoa kepada Tuhan agar dapat diterima di salah satu perguruan tinggi yang aku daftarkan.

Saat membuka pengumuman hasil tes, aku tidak diterima di satu universitas pun. Sedih, kecewa, dan marah bercampur aduk. Dalam kondisi seperti itu, orang tuaku mulai membandingkanku dengan orang lain yang berhasil lolos ke PTN.

“Si A masuk PTN itu. Si B masuk PTN itu. Kenapa kamu gak bisa kayak mereka?”

Aku paham bahwa mereka juga sedih dan kecewa. Mereka banting tulang untukku, tetapi aku tidak berhasil membanggakan mereka. Namun, membandingkanku dengan anak-anak lain hanya membuatku semakin jatuh. Belum lagi, orang tuaku juga melihat kesibukanku pelayanan di gereja sebagai salah satu faktor yang membuatku kurang fokus belajar.

Aku mengungkapkan kesedihanku pada Tuhan. “Kenapa Tuhan? Kenapa aku gagal? Aku lelah dibanding-bandingkan dengan orang lain.”

Gagal bukan berarti akhir

Dengan berat hati, aku pun mendaftarkan diri ke universitas swasta. Aku sudah menyerahkan berkas-berkas yang diminta dan hendak melakukan pembayaran uang kuliah.

Suatu hari, aku membuka kembali pengumuman salah satu PTN yang aku daftarkan waktu itu. Ternyata, mereka sedang membuka pendaftaran untuk jalur D3. Aku diam-diam mendaftar, dengan pikiran hanya untuk coba-coba. Aku juga tidak berharap banyak.

Tiba-tiba, aku menerima pengumuman bahwa aku diterima. Aku sangat kaget. Aku bahkan tidak tahu bagaimana cara menyampaikan hal ini kepada orang tuaku.

Orang pertama yang kuberitahu adalah kakakku. Ia menyarankanku untuk mengikuti kata hatiku. Aku pun menyampaikan hal ini kepada orang tuaku dan yakin bahwa mereka akan menyetujui keputusanku. Nyatanya, mereka tidak memberi dukungan karena jurusan yang kupilih—Keperawatan. Mereka lebih memilih aku untuk masuk ke universitas swasta dan mengambil jurusan Teknik Industri. Mereka menganggap bekerja sebagai perawat tidak akan senyaman kerja di kantor, seperti lulusan teknik. Mendengar jawaban mereka yang tidak sesuai ekspektasi, aku kembali bersedih. Aku pun berdoa kepada Tuhan, “Tuhan aku merasa Tuhan yang tunjukkan jalan ini untukku. Jika ini memang rencana-Mu, biarlah terjadi. Bimbing aku terus sampai akhir, ya Bapa.”

Setelah dibantu oleh kakakku untuk meyakinkan kedua orang tua tentang jurusan Keperawatan, puji Tuhan aku diperbolehkan untuk masuk D3 jurusan tersebut dengan satu syarat: aku tidak boleh mengeluh. Aku harus bertanggung jawab atas semua resiko dari hasil keputusanku sendiri.

Memasuki dunia perkuliahan, aku mengalami kesulitan untuk beradaptasi. Aku sempat merasa minder karena merasa sama sekali tidak mengerti dunia keperawatan, ketika teman-teman lainnya adalah lulusan SMK dari jurusan yang sama. Di tengah-tengah ketidaksanggupan itu, aku meminta kekuatan dari Tuhan. Aku percaya, ketika Tuhan sudah membukakan jalan, Tuhan juga yang akan menyertaiku sampai garis akhir.

Perjalanan kuliahku tidak semudah yang kupikirkan. Aku harus berjuang menyesuaikan diri dengan berbagai metode pembelajaran dan tugas-tugas yang ada, menjalani lika-liku pertemanan, serta sering kelelahan karena harus pulang pergi dari rumah dan kampusku yang jauh setiap harinya. Tetapi aku tidak mau cepat mengeluh, apalagi menyerah begitu saja. Aku sudah berkomitmen kepada Tuhan dan orang tuaku sejak awal. Aku mau menyerahkan segala kekuatiran dan keluh kesahku kepada Tuhan. Aku dikuatkan oleh firman-Nya dalam Matius 11:28 “Marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.”

Kiranya pengalamanku juga bisa membantu teman-teman yang pernah ataupun sedang mengalami pergumulan yang sama. Aku bisa melewati ini semua hanya karena kebaikan Tuhan semata. Setiap kali aku terpuruk dan merasa kesulitan, Tuhan selalu punya cara untuk membuatku bangkit kembali.

Aku percaya, kesuksesan tidak datang dengan mudah. Pengkhotbah 3:11 menuliskan “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya”. Jangan pernah menyerah, libatkan Tuhan dalam perjalanan hidup kita—suka maupun duka. Mari tumbuh bersama di dalam Tuhan! Tuhan Yesus memberkati kita.

Baca Juga:

Kepada Temanku yang Berpikir untuk Menyerah

Temanku, aku terkejut dan tak menyangka ketika kamu berkata bahwa kamu ingin “menyerah”. Tapi, temanku, meskipun hari ini mungkin kamu mengeraskan hatimu, ada satu hal yang aku ingin kamu tahu.

Aku Gagal Masuk SMA Favorit, Tapi Aku Belajar untuk Tidak Larut dalam Kekecewaan

Oleh Anatasya Patricia, Bontang

Saat aku naik ke kelas 9 SMP, aku mulai menyiapkan banyak hal yang bisa mendukung pembelajaranku supaya nanti aku mendapat nilai yang memuaskan di Ujian Nasional dan bisa diterima di SMA favorit yang kudambakan. Aku belajar mati-matian. Aku ikut bimbingan belajar di sekolah, dan juga les privat di rumah. Pun, aku selalu berdoa supaya Tuhan mengabulkan permintaanku.

Setelah Ujian Nasional usai, aku menunggu pengumuman hasilnya. Aku memikirkan kembali perjuangan-perjuangan yang sudah kulakukan sampai maksimal dan juga doa-doa yang kumohon pada Tuhan. Meski aku ingin mendapatkan nilai yang memuaskan, dalam hatiku aku berpikir: “Tidak perlu dapat nilai sempurna. Yang penting nilainya cukup untuk masuk ke sekolah yang aku inginkan. Itu sudah cukup memuaskan buatku.”

Tapi, hasil ujian yang kuterima menyentakku. Nilai yang kuperoleh ternyata lebih kecil dari yang kuharapkan. Dari total empat mata pelajaran diujikan, aku hanya mendapat nilai 20,15 dari nilai sempurna 40,0 sedangkan untuk bisa diterima di sekolah itu nilai yang kudapat seharusnya lebih dari 24,00. Aku tidak dapat diterima di SMA favorit itu.

Aku kecewa.

Untuk sesaat pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan. Mengapa Tuhan tidak mengabulkan permintaanku untuk aku mendapatkan nilai Ujian Nasional yang baik? Mengapa Tuhan memberikan temanku nilai yang bagus hingga bisa diterima di sekolah itu tetapi aku tidak? Aku sedih. Tak terbayangkan olehku ketika segala perjuanganku untuk menggapai nilai maksimal berbuah dengan hasil yang tak kuharapkan. Aku pun sempat marah kepada Tuhan karena terus memikirkan mengapa Dia tidak sepemikiran denganku.

Tapi, dalam keadaan itu aku coba untuk menenangkan diriku. Aku tidak ingin kecewa ini berlarut-larut. Aku berdoa dan menyerahkan kembali diriku pada Tuhan dengan cara membaca Alkitab dan artikel-artikel rohani.

Hingga tibalah waktunya untukku mendaftar ke SMA. Dengan berat hati aku pun masuk ke SMA yang menurutku biasa-biasa saja. Aku merasa terpaksa masuk di SMA itu. Tapi, aku harus berbesar hati karena kalau aku tidak mau sekolah di sini, orang tuaku akan memindahkanku ke kota lain. Jadi, aku berusaha menyesuaikan diriku dengan sekolah ini.

Saat awal-awal masuk, beberapa guru ternyata adalah alumni dari SMA itu. Mereka bercerita kepadaku kalau mereka juga pernah mengalami hal yang sama denganku. Mereka ingin masuk ke sekolah impian mereka, tapi mereka gagal. Akhirnya mereka pun bersekolah di sekolah yang bukan prioritas mereka waktu itu. Namun, mereka tidak mau dicap sebagai murid yang buruk hanya karena tidak masuk di sekolah favorit. Kualitas murid tidak diukur hanya berdasarkan dia sekolah di mana, juga keberhasilan tidak selalu bisa diukur berdasarkan lingkungan tempat dia dibesarkan. Mereka belajar dengan giat dan mengandalkan Tuhan hingga mereka menjadi siswa yang bisa dibilang berprestasi sangat baik dan tidak kalah dengan lulusan dari sekolah-sekolah favorit lainnya. Setelah menyelesaikan studi di perguruan tinggi, mereka pun memutuskan kembali mengajar di SMA yang dulu mereka pernah belajar di dalamnya.

Sejujurnya, kisah yang dituturkan guruku itu tidak begitu membuatku bersemangat buat rajin belajar. Namun, seiring waktu aku merasa tidak mau diperbudak terus-terusan oleh rasa pesimis, kecil hati, dan malas. Saat aku merenung, aku pun teringat firman Tuhan dari Amsal 1:7 yang berkata: “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.” Firman itu menegurku. Aku belajar untuk mempraktikkan firman itu dalam kehidupanku. Hingga akhirnya, aku bisa mengikuti proses belajar mengajar di sekolah itu. Aku merasa nyaman dengan lingkungan sekolahku yang bersahabat, bersama guru-guruku yang tak hentinya menasihati kami para murid untuk mengerti dan mempraktikkan firman Tuhan.

Sekarang aku sudah duduk di kelas XI SMA dan aku bisa mengatakan bahwa aku betah dengan sekolahku. Teman-temanku di sini sangat baik, juga guru-gurunya. Mereka menyenangkan dan tulus berteman denganku. Kupikir kelas seperti ini hanya aku dapatkan jika aku sekolah di sini.

Puji Tuhan, saat hasil ujian dibagikan, aku mendapatkan hasil yang memuaskan. Aku bersyukur dan tak lagi merasa kecewa. Aku sadar bahwa apa yang kuinginkan belum tentu menjadi kehendak Tuhan. Tapi, semua hal yang Tuhan kehendaki adalah yang terbaik buat hidupku.

Aku percaya bahwa hal ini terjadi bukan secara kebetulan, tapi Tuhan sudah rencanakan supaya aku belajar bagaimana percaya kepada-Nya dalam setiap kejadian yang Dia izinkan terjadi dan juga tentang bagaimana aku bisa bersyukur meskipun aku mendapatkan sesuatu yang tidak sesuai keinginanku. Dan, yang terpenting adalah aku belajar bahwa di balik setiap peristiwa yang terjadi atas diriku, Tuhan punya rencana besar.

Sobatku, setiap kita pasti punya keinginan untuk masa depan kita. Tapi, ingatlah satu hal bahwa keinginan kita belum tentu sesuai dengan kehendak Tuhan tetapi kehendak-Nya sudah pasti yang terbaik untuk kita. Karena Tuhan memberi apa yang kita benar-benar butuhkan, bukan apa yang kita inginkan semata.

Tuhan memiliki rencana untuk setiap pribadi kita di masa yang akan datang. Oleh karena itu, janganlah kita khawatir akan hari esok karena Tuhan yang menyiapkan semuanya, seperti yang tertulis dalam Yeremia 29:11, “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”

Allah berdaulat penuh atas kehidupan kita, jadi percayalah pada-Nya dengan segenap hati.

Baca Juga:

Tuhan Tidak Pernah Ingkar Janji, Dia Memelihara Keluargaku

Delapan tahun lalu keluargaku mengalami kesulitan ekonomi. Masalah demi masalah datang menghampiri kami, dan kami merasa berada di titik terendah dalam hidup, tapi Tuhan tidak pernah sedetik pun meninggalkan kami.