Posts

Dibelokkan Dulu, Supaya Menemui Jalan Lurus

Oleh Prilia

Masih jelas kuingat, masa-masa ketika banyak energi dan emosi terkuras demi masuk kampus negeri impianku. Dengan segala persiapan dan rencana yang sudah kususun matang, aku yakin betul kalau aku pasti diterima. Tapi, hidup memang tak bisa ditebak. Keyakinan itu pupus, digantikan rasa kecewa dan patah hati yang rasa sakitnya buatku lebih pedih daripada putus cinta. Waktu itu kupikir semua usahaku sia-sia. 

Semenjak menduduki bangku SMA, aku sudah menargetkan jurusan dan universitas yang akan kupilih. Dan ketika sudah kelas 3 (SMA), aku mendaftarkan nilai raporku pada undangan PTN (Perguruan Tinggi Negeri). Sayangnya, aku gagal dalam undangan tersebut. Aku tidak sedih atau pun kecewa saat itu, toh masih banyak cara untuk masuk PTN, pikirku. Kemudian aku ingin mengikuti tes tulis masuk PTN. Namun, keadaan ekonomi keluarga membuatku berpikir kembali. Kalau aku diterima masuk PTN, selanjutnya bagaimana? Sanggupkah orang tuaku membiayai kuliahku selama 4 tahun?

Obsesiku untuk masuk kampus negeri muncul sejak aku duduk di bangku SMA. Aku sudah menargetkan prodi dan universitas mana yang mau kupilih. Saat aku naik ke kelas XII, kucoba ikut jalur undangan, tapi sayangnya aku gagal. Aku masih optimis, toh masih banyak cara lain, pikirku.

Ditunda dan diputar, tapi demi kebaikan

Namun, rasa optimisku kemudian berbenturan dengan keadaan. Aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Usia orang tuaku yang sudah cukup tua membuat mereka tidak lagi bekerja. Kebutuhan sehari-hari dibiayai oleh kedua kakakku yang lulusan SMA. Dengan kondisi ini, aku jadi berpikir lagi. Kalau aku memang bisa diterima, selanjutnya gimana? Aku tidak enak jika harus membebani keluarga. Meskipun aku bisa meraih beasiswa buat uang kuliahku, bagaimana dengan biaya lain-lainnya? 

“Tuhan, aku bingung,” ucapku dalam doa. “Aku mau banget kuliah. Aku mau buat bangga mama dan bapak. Tolong aku, Tuhan.” 

Doa itu dijawab Tuhan, tapi dengan jawaban yang lain. Setelah lulus SMA, aku pun memutuskan untuk bekerja lebih dulu sebelum nantinya mengambil studi. Dari gajiku itu, aku bisa menabung untuk biaya les SBMPTN dan biaya kuliah kelak. Meskipun sudah satu tahun lebih bekerja, tekadku untuk kuliah tidak pernah luntur. Setelah kurasa punya cukup modal, di tahun kedua kerja pasca lulus SMA, kuikuti seleksi masuk PTN. Kuambil cuti kerja 2 hari supaya bisa ikut tes dan mempersiapkannya dengan maksimal. Selama tes berjalan, aku yakin bisa menjawab banyak pertanyaan dengan benar. Aku optimis pasti lolos. Beberapa hari kemudian hasil pengumuman tes tulis itu keluar.

Aku sudah menabung, sangat siap untuk melepaskan pekerjaan jika dapat universitas negeri. Namun, harapanku sirna. Aku tidak lolos. 

Terkejut, kecewa, patah hati, sampai aku terdiam sekian lama dan tak bisa berkata apa-apa. 

Aku coba refresh lagi pengumuman hasil tes tulisku di situs SBMPTN, namun hasilnya tak berubah. “JANGAN PUTUS ASA DAN TETAP SEMANGAT!” Tulisan ber-font besar di layar komputer kantor yang harusnya memotivasiku itu, kupandang sebagai bentuk kegagalan dan kesia-siaan atas usahaku.

Aku luruh, tidak dapat menahan tangis di meja kantor. “Aku sudah mengorbankan banyak hal. Waktu, materi, pikiran, tenaga, dan banyak lagi. Tapi kenapa aku tidak lolos? Ini impianku sejak lama. Hasil ini rasanya tidak adil!” Aku menggugat Tuhan. 

Berhari-hari aku memikirkan hal ini. Tidak ada lagi harapan masuk universitas negeri karena batas waktuku melakukan tes tulis sudah habis, dan umurku juga sudah bukan lagi umur anak SMA yang baru lulus. Dalam kesedihan itu, aku berusaha untuk ikhlas. Dukungan orang tua yang menenangkan juga membantuku kembali bangkit. Jauh di lubuk hati, keinginanku untuk kuliah masih ada. Kakakku dan rekan-rekan di tempat kerjaku pun mendukung keinginanku itu, tapi mereka mengusulkanku untuk mengambil ospi lain, yaitu kuliah di perguruan tinggi swasta (PTS).

Kata mereka, meskipun kuliah di PTS biayanya lebih besar daripada di PTN, tapi ada kampus yang menyediakan opsi kelas karyawan. Jadi, sembari kuliah, aku tetap bisa bekerja. 

Saran itu kupertimbangkan dan kurasa baik. Kuputuskan untuk kuliah di PTS dan mengambil kelas karyawan. Pagi hingga sore aku bekerja, malamnya lanjut kuliah. Kupilih satu universitas di Jakarta yang akreditasinya baik, biaya dan lokasinya terjangkau buatku. 

Hari-hariku menjalani kuliah sembari bekerja rupanya perlahan menyadarkanku akan penyertaan dan rencana Tuhan padaku.

Aku bersyukur, HRD kantorku mendukungku untuk kerja sambil kuliah. Kalau ada ujian semester di jam kerja, beliau memberiku izin. Dosen-dosen pengajarku juga memahami keadaan mahasiswa yang terlambat masuk kelas karena jam pulang kerja tiap perusahaan berbeda. Teman-teman kuliahku yang bekerja di beragam perusahaan juga memberiku banyak wawasan baru dari pengalaman mereka. Di sinilah aku mulai menikmati perkuliahanku. Orang-orang yang kutemui turut membentuk pola pikirku jadi lebih dewasa. Dalam hal ini, aku percaya, lingkungan dapat membawa pengaruh pada seseorang.

Satu hal lagi yang membuatku semakin bersyukur kuliah di universitas swasta. Aku mendapatkan potongan biaya semester 20% karena nilai IPK yang baik, serta mendapatkan beasiswa selama dua tahun. Meskipun pada tahun ketiga perusahaanku mengurangi jumlah karyawan, dan aku pun kehilangan pekerjaanku, namun ada saja cara Tuhan menopangku. Tuhan menggerakkan hati saudaraku untuk mendukung biaya studiku sampai lulus. Di sinilah aku mengalami betul apa yang kuimani, bahwa jika Tuhan mengantarku pada suatu perjalanan, Dia pasti memastikan aku tiba di tujuan. Berkat demi berkat yang kuterima membuatku menangis bersyukur karena meskipun jalanku berbelok dan berputar jauh, ternyata Tuhan begitu memperhatikan keadaanku.

Rencana Tuhan tak pernah terbayangkan di benakku. Begitu banyak hal-hal berharga yang kudapat dari-Nya. Dari sini aku belajar bahwa tiap rencana yang sudah kususun dengan matang, bahkan dengan perjuangan keras, adalah upaya yang Tuhan berkati. Meskipun tidak semua upaya kita menjumpai hasil yang sesuai dengan keinginan kita, namun dalam hikmat-Nya, Tuhan pasti dan selalu memberikan yang terbaik buat kita. Rencana Tuhan luar biasa, kadang di luar akal manusia. 

Kawan, jika saat ini ada rencanamu yang tak berjalan mulus, atau kamu mengalami kegagalan, percayalah kalau jalan yang Tuhan rencanakan adalah jalan yang membawa kebaikan untuk hidupmu. Percayalah, Tuhan sanggup melakukan segala sesuatu dan tak ada rencana-Nya yang gagal (Ayub 42:2).

Ingatlah, yang paling tahu apa yang terbaik bagi kita bukanlah diri kita sendiri, tapi Tuhan Allah, Sang Pencipta yang begitu mengasihi kita. Dan biarlah setiap pengalaman hidup yang kita lalui dapat menjadi bukti bahwa begitu besar dan dahsyat-Nya kasih Tuhan kepada kita. Aku percaya, Tuhan melihat segala hal yang terjadi. Dia mengerti, dan Dia peduli.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Catatan Kecilku Saat Berduka: Ada Pengharapan dari-Nya

Oleh Jefferson

Natal identik dengan perayaan, sukacita, dan reuni bersama kerabat dan teman, tetapi Natal yang baru berlalu terasa berbeda untukku dan keluarga. Tepat satu minggu sebelum Natal, nenekku meninggal dunia. Aku yang sedang pulang liburan kuliah langsung membatalkan semua janjiku untuk menjalani proses kedukaan bersama keluarga.

Perasaanku campur aduk. Aku bingung bagaimana harus menanggapi kepergian nenek. Di satu sisi, aku selalu menemui beliau setiap kali aku pulang dan sebelum aku berangkat kembali Singapura. Di sisi lain, aku merasa tidak dekat dengan beliau karena jarak yang membatasi interaksi kami selama sembilan tahun terakhir.

Seperti yang biasa kulakukan untuk setiap peristiwa kehidupan yang signifikan, aku menulis jurnal sebagai doa kepada Tuhan sembari memproses setiap kejadian dan perasaan yang kualami bersama-Nya. Aku belakangan tahu manfaat di balik memusatkan diri kepada Allah selama berduka. Prakata buku On Death (“Tentang Maut”) karangan Tim Keller mengutip Samuel Johnson, “maut cenderung memusatkan pikiran dengan luar biasa.” Selama masa berduka kita cenderung merenungkan hal-hal yang tak biasa kita pikirkan seperti kehidupan dari yang berpulang, memori-memori bersamanya, dan apa yang terjadi setelah kematian. Dalam periode seperti inilah iman kita diuji. Oleh karena itu, kita yang mengaku percaya kepada Kristus harus mengarahkan diri untuk berduka dalam Tuhan. Dan dalam Firman-Nya kutemukan cara berduka yang menangkap dengan baik perasaanku yang campur aduk:

“Selanjutnya kami tidak mau, saudara-saudara, bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang meninggal, supaya kamu jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan. Karena jikalau kita percaya bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia. Ini kami katakan kepadamu dengan firman Tuhan: kita yang hidup, yang masih tinggal sampai kedatangan Tuhan, sekali-kali tidak akan mendahului mereka yang telah meninggal. Sebab pada waktu tanda diberi, yaitu pada waktu penghulu malaikat berseru dan sangkakala berbunyi, maka Tuhan sendiri akan turun dari sorga dan mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit; sesudah itu, kita yang hidup, yang masih tinggal, akan diangkat bersama-sama dengan mereka dalam awan menyongsong Tuhan di angkasa. Demikianlah kita akan selama-lamanya bersama-sama dengan Tuhan. Karena itu hiburkanlah seorang akan yang lain dengan perkataan-perkataan ini” [1 Tes. 4:13–18].

Berdukacita Menurut Alkitab: Tindakan yang Paradoksal

Tim Keller mengamati bahwa klausa terakhir dalam ayat 13 adalah negatif ganda (“jangan” dan “tidak”), jadi dalam konotasi positif Paulus sedang mengajarkan jemaat Tesalonika untuk berdukacita sebagai orang-orang yang mempunyai pengharapan. Tetapi bukankah frasa ini, berdukacita dalam pengharapan, terdengar kontradiktif? Bagaimana dua hal yang bertolak belakang, kesedihan dan pengharapan, dapat kita hidupi secara bersamaan? Sebelum kita menjawab pertanyaan ini, kita perlu memahami konteks surat 1 Tesalonika terlebih dahulu.

Tema utama kitab ini adalah kedatangan Yesus Kristus yang kedua (1:10; 2:19–20; 3:13; 4:13–18; 5:1–11, 23–24). Jemaat Tesalonika tampaknya tak memahami hal ini dengan benar sehingga ada beberapa isu berkaitan yang Paulus bahas dalam suratnya, termasuk tentang kebangkitan orang mati dalam perikop ini. Ada jemaat yang menganggap bahwa anggota gereja yang saat itu telah meninggal akan melewatkan kedatangan kedua Kristus sehingga mereka “berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan” (ay. 13).

Paulus tidak menyalahkan jemaat Tesalonika karena ia memang tidak sempat mengajarkan hal ini ketika ia melayani di sana (3:10, bdk. 2:15, 17; Kis. 17:5–10). Ia malahan mendorong mereka untuk berdukacita, tetapi dalam pengharapan yang tidak dunia miliki. Maka Paulus mengajak kita untuk menyeimbangkan dua ekstrim, duka dan pengharapan, sehingga kita dapat melihat dua sudut dari tanggapan Kristiani terhadap kepergian orang yang berpulang.

Di satu sisi, kita patut berdukacita karena itu memang adalah respons yang pantas ketika seseorang meninggal. Aku mungkin terdengar bodoh karena menuliskan hal yang sudah jelas, namun ada banyak orang Kristen yang mencoba melangkahi dukacita lalu menderita di kemudian hari karena tidak memproses kepergian orang yang berpulang dengan benar. Kita tahu ada pengharapan kebangkitan orang mati (yang akan dibahas di paragraf berikutnya), namun Paulus di suratnya yang lain juga mengajarkan kita untuk berduka bersama mereka yang sedang berduka (Rom. 12:15). Kekayaan catatan Alkitab tentang orang-orang yang berduka (e.g., Ul. 34:8; 2 Sam. 12:15–23; Ay. 1:13–21) turut mendorongku untuk berani merangkul kedukaan. Firman Tuhan menyediakan ruang bagi yang berduka dan meragukan kehadiran-Nya di tengah duka, bahkan Ayub tidak mempertanyakan Tuhan hanya pada dua pasal pertama dan terakhir kitabnya! Kamu dapat membaca bagian-bagian Alkitab lain yang mencatat pengalaman dukacita umat Allah, tapi aku ingin mengakhiri paragraf ini dengan air mata Tuhan Yesus sendiri (Yoh. 11:35). Mengapa Yesus meratapi kematian Lazarus ketika Ia tahu Ia akan membangkitkannya sesaat kemudian? Tim Keller mengamati, “Karena itu adalah respons yang benar terhadap kejahatan dan ketidakwajaran maut.”

Di sisi lain, kita menyandarkan kedukaan kita pada pengharapan “bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia” (ay. 14) dan “mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit” (ay. 16). Dengan kata lain, kita perlu mengingat pengharapan akan kebangkitan dari maut. Ketika Paulus mengajarkan kita untuk tidak berdukacita seperti mereka yang tak memiliki pengharapan di ayat 13, ia sedang menunjukkan keunikan iman Kristen yang berharap pada kebangkitan tubuh dan kehidupan kekal setelah kematian. Sambil memproses perasaanku, mengikuti setiap proses kedukaan, dan merenungkan Natal, aku jadi lebih menghargai kata-kata Tuhan Yesus dalam Yohanes 10:10, “Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” Ia pertama kali datang untuk mati dan bangkit agar kita dapat percaya dengan yakin bahwa Ia akan membangkitkan kita pada kedatangan-Nya yang kedua. Adakah pengharapan lain yang lebih kuat, hebat, dan mulia dibandingkan dengan yang Yesus Kristus berikan kepada manusia? Maka Ia memampukan kita untuk berdukacita dalam pengharapan.

Berdukacita untuk Mereka yang Mengaku Tidak Percaya Kepada Kristus

Namun bagaimana praktik berdukacita dalam pengharapan ini diterapkan kalau orang yang berpulang tidak percaya kepada Kristus, apalagi ayat 14 dengan spesifik mencatat “mereka yang telah meninggal dalam Yesus”? Jika Kekristenan adalah satu-satunya iman yang sejati dan benar, bukankah mereka yang tak percaya kepada Yesus tidak “akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia”? Bagaimana aku dapat berduka dalam pengharapan-Nya untuk nenekku yang sampai akhir hidupnya kelihatannya tidak percaya kepada Yesus?

Karena hal ini tidak dijelaskan oleh Alkitab dengan eksplisit, kita perlu menerapkan hikmat dari Allah untuk mencapai kesimpulan yang selaras Firman-Nya. Dua sumber terpercaya, Got Questions dan Desiring God, mengarahkanku kepada doa Abraham:

“Jauhlah kiranya dari pada-Mu untuk berbuat demikian, membunuh orang benar bersama-sama dengan orang fasik, sehingga orang benar itu seolah-olah sama dengan orang fasik! Jauhlah kiranya yang demikian dari pada-Mu! Masakan Hakim segenap bumi tidak menghukum dengan adil? [Kejadian 18:25].

Dalam ayat ini, Abraham memohon kepada Tuhan untuk tidak menghancurkan Sodom dan Gomora asalkan ada orang benar di sana. Perhatikan bahwa ia tidak melandaskan doanya pada kebajikan penduduk-penduduk Sodom dan Gomora. Abraham justru memohon atas dasar identitas Allah sendiri sebagai “Hakim segenap bumi” yang “menghukum dengan adil”.

Dari sumber-sumber di atas, aku belajar dua hal tentang bagaimana berduka bagi mereka yang tampaknya tidak percaya kepada Kristus. Pertama, urusan ke mana yang berpulang pergi adalah antara dia dengan Tuhan. Aku tidak dapat bilang dengan pasti bahwa nenekku tidak percaya dengan Tuhan sampai akhir, walaupun kelihatannya begitu. Mungkin saja Ia secara ajaib menemui nenekku di detik-detik akhirnya dan membawanya percaya pada-Nya. Yang pasti, kami yang percaya pada Kristus telah membagikan Injil kepada nenekku bahkan hingga di ranjang perawatannya. Percaya atau tidaknya nenekku adalah urusannya dengan Tuhan, bukan kami. Yang kedua, mengutip John Piper, “yang perlu kita ingat adalah Tuhan adil, baik, dan tidak melakukan apapun yang tidak akan kita setujui pada akhirnya.” Standar kebenaran, kebaikan, dan kebajikan adalah Tuhan Yesus, bukan kita. Ketika ada orang yang mengaku tidak percaya berpulang, kita dapat turut berduka baginya sambil berharap bahwa penghakiman Allah baginya adalah adil dan benar. Pada titik ini makna kedatangan pertama Yesus Kristus di momen Natal menjadi semakin berarti. Roma 8:32 terngiang dalam benak, “Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?”

Doa Dukaku dalam Pengharapan Natal

Tulisan ini adalah rangkuman perenungan yang kucatat dalam jurnalku pada hari kematian nenekku. Maka kurasa tepat untuk mengakhirinya dengan doaku hari itu kepada Allah:

Bapa di dalam surga, aku mengucap syukur atas segala karunia dan berkat yang telah Kau bagikan lewat nenek sehingga bahkan asisten rumah tangga kami pun meneteskan air mata atas kehilangannya. Aku berdoa dan berharap Engkau sempat menyatakan diri-Mu sendiri kepadanya di momen-momen terakhirnya di bumi dan membawanya kembali ke hadirat-Mu sehingga aku dapat bertemu dengannya lagi bersama-Mu di masa yang akan datang. Tetapi aku bukan Engkau, aku hanya dapat beriman bahwa Engkau telah melaksanakan apa yang Engkau kehendaki. Aku menyerahkan diriku sendiri dan semua anggota-anggota keluargaku ke dalam tangan-Mu, mengetahui bahwa bahkan kematian pun adalah salah satu berkat-Mu bagi kami. Beri aku kekuatan untuk mendampingi orangtuaku selama masa berkabung ini, biarlah Roh-Mu terus beserta dengan kami dan menghibur kami dalam kasih Anak-Mu bagi kami. Dan biarlah peristiwa ini menjadi alat-Mu untuk menjangkau kerabat-kerabatku yang belum percaya kepada-Mu. Sebab tak ada dukacita dalam pengharapan lain di dunia selain yang Injil-Mu beritakan.

Di dalam nama-Mu, Anak, dan Roh Kudus aku berduka, berharap, dan telah berdoa, amin.

Pentingnya Jujur pada Diri Sendiri

Oleh Still Ricardo Peea

Bulan Oktober lalu diperingati sebagai bulan kesadaran kesehatan mental sedunia. Di bulan itu pula, ada satu kejadian yang menegur dan mengingatkanku lagi tentang kesehatan mental di tengah pelayananku di pedalaman Papua.

Ada seorang ibu mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Sebelum meninggal, dia mengisi celananya dengan uang dari hasil kerjanya. Menurut sahabat terdekatnya, almarhumah sering dirundung oleh beberapa tetangga dan kepada sahabatnya itu dia berkata bahwa dia akan pergi ke kampung halamannya. Namun, yang terjadi malah dia pergi untuk selamanya. Kakak perawat yang bertugas bersamaku juga berkata kalau tahun sebelumnya juga ada warga yang bunuh diri dengan cara yang sama.

Dua kejadian itu menggerakkanku untuk mencari tahu lebih jauh data-data terkait kesehatan mental. Namun, kusadari bahwa tanpa perlu menjelajahi penelitian dari seluruh dunia, isu kesehatan mental adalah sesuatu yang terus kita gumulkan dalam diri. Aku pun teringat akan kitab Mazmur, kitab yang kalau kata teolog John Calvin, adalah “anatomi dari keseluruhan bagian jiwa.”

Kadang aku suka membukanya dan membaca ayat-ayat yang kutemukan secara acak entah sebelum ke sekolah atau kuliah, saat bosan atau sedang ingin saja. Selalu saja ada bagian yang bisa kunyanyikan dalam hati atau renungkan tatkala aku merasa galau, gelisah, overthinking, cemas, insecure, bertanya-tanya, suka atau duka, meratap atau mengeluh, hari berat, hari biasa, saat Tuhan terasa jauh atau dekat. Mazmur menjadi curahan ekspresi jiwa para pemazmur dalam berbagai situasi yang terjadi di masa mereka, bagaimana mereka bergumul dan berproses dengan jiwanya dan apa yang akhirnya menjadi keputusan mereka.

Mungkin Mazmur 42 salah satu yang cukup mainstream buat kita karena sering dinyanyikan lagunya. Bagian awalnya tertulis, “seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah.” Namun, muncul pertanyaan buatku: apakah yang bisa kurenungkan hanya hanya sebatas analogi diriku seperti rusa yang haus? Atau, seperti tanah gersang yang menanti air, apakah itu juga adalah kerinduan terbesar hatiku?

Di tengah banyaknya perspektif tentang kesehatan mental, seperti “insecure dan anxiety itu perlu biar kita stayin alive” dan lain sebagainya. Mazmur ini mengajakku untuk merenungkan kembali, mencoba memahami dan bertanya pada jiwaku, diriku sendiri apa yang menjadi kegelisahanku. Ya, Mazmur ini terasa seperti mengajakku untuk berseru, bersukacita, menangis, meratap atau berkeluh kesah, berinteraksi dan menegur diri sendiri, jujur akan kelemahan diri sendiri dan pada akhirnya berharap pada Pencipta kita yang paham betul ketidaksempurnaan kita. Dengan keadilan dan kasih-Nya yang sempurna Ia memulihkan kita.

Saat ini, banyak hal yang bisa jadi pemicu kegelisahan diri, entah saat merasa buntu atau tersesat, banyaknya pilihan yang ditawarkan dan dipamerkan dunia lewat media sosial ataupun lingkungan kita. Kadang hal-hal tersebut terasa seperti mengolok-ngolok kekurangan diri dan menuntunku bertanya apakah Allah benar-benar ada dan mencukupiku? Apakah kelegaan dan kepastian yang selama ini kudambakan benar-benar nyata atau hanya fiktif? Apakah keluargaku akan baik-baik saja? Dan berbagai pertanyaan yang menyerang diri sendiri setiap saat membuatku tidak baik-baik saja dan doa terasa tak berguna.

Mazmur 42 mengajakku bertanya dan mencoba jujur dengan diri sendiri. Aku tidak perlu ragu untuk bertanya dan jujur tentang apa yang aku rasakan meski kadang aku juga bingung dengan perasaan yang terus saja menggelisahkan diri. Setelah bercerita ke orang yang dipercaya, hasilnya kadang membuatku lega, tapi kadang juga tidak. Orang yang mendengarkanku pun kadang menanggapi tidak sesuai harapanku. Selain itu aku pun merasa lelah dengan beragam peristiwa di seluruh dunia seperti, serangan di Ukraina, bayi-bayi yang harus dievakuasi, korban di sana sini. Apakah Tuhan menutup mata dengan hal ini? Dan segudang pertanyaan lainnya.

Aku percaya bahwa Roh Kudus memampukanku berseru, mengeluh dan berharap dengan Tuhan, jujur akan kelemahan dan natur berdosaku. Roh Kudus juga menyadarkan dan mengingatkanku akan kesetiaan Tuhan yang terus menuntunku dalam segala masa, seperti dalam masa pelayanan sebagai perawat Covid, di mana aku merasa lelah karena berhadapan dengan kematian yang terasa sungguh dekat dengan ambang pintu. Baru semalam kudoakan pasienku, besoknya malah sudah tidak bernyawa. Namun, Tuhanlah yang memampukanku melayani sampai lulus. Dalam masa penantian untuk ke tempat penempatanku sekarang hingga aku positif COVID, Tuhan selalu menyanggupkanku.

Daud dalam seruannya di Mazmur 51 dan Tuhan Yesus dalam kisahnya di Matius 26:36-46, jadi contoh dari Alkitab yang menegurku untuk jujur akan perasaan dan berserah lebih lagi pada Tuhan. Tuhan Yesus mengajakku untuk datang pada-Nya dengan segala beban yang ada padaku (Matius 11:25-30), untuk belajar dari pada-Nya sang firman dan air hidup yang mampu melegakan kita (Mazmur 94:18-19). Dia mengajak kita untuk memikul beban yang Dia percayakan, belajar dan berpaut pada-Nya. Bukan kepada dunia yang hanya menggelisahkan dan memberikan kepuasan palsu.

Ke mana dan sejauh mana pikiran dan perasaanku mengembara akan menentukan sejauh mana aku akan berharap dan bertahan, atau keputusasaan akan melemahkanku.

Aku belajar untuk selalu menyanyikan dan mengingatkan jiwaku sampai aku tertegur dan sadar. Ingat dan hitunglah terus kasih setia Tuhan yang sudah kita alami. Tidak mengapa bila kita lemah, tak sempurna dan lelah, bawa semua itu pada-Nya dan jangan pikul apa yang tidak dipercayakan pada kita. Isi pikiran dan jiwa kita dengan memikirkan apa yang baik sebagaimana yang diingatkan Rasul Paulus kepada jemaat di Filipi (Filipi 4:8-9).

Aku menantang setiap kita untuk lakukan 3 hal berikut ini dalam 7 hari:

  1. Buatlah satu kertas atau catatan untuk menuliskan pertanyaan pada diri sendiri dan Tuhan akan segala keresahan, kegelisahan, kebimbangan atau perasaan apapun yang dirasakan di hari itu
  2. Satu hari tulislah satu ayat atau lebih yang dirasa bentuk kejujuran pada diri sendiri dan Tuhan, mengingatkan atau menegur atau mengajak kita untuk berharap dan berbalik sama Tuhan kita. Buatlah dalam satu kertas.
  3. Di 3 hari dalam 7 hari itu, lihatlah ke langit dan sekeliling kita sebentar, lalu lihat ke bawah, ke tangan dan kaki kita, lalu ingatkan diri sendiri “Hey, (nama), sejauh inilah Tuhan sudah menuntunmu melampaui segala suka dan dukamu, sakit dan senangmu. Mengapa tertekan dan resah? Ayo, (nama), berharap dan bersyukur pada penolong dan Bapa kita!

    Kiranya Tuhan memberkati dan senantiasa memelihara jiwa kita, untuk terus berpegang dan berharap pada-Nya.

Ketika Kerinduan untuk Memperoleh Kasih Sayang Menguasai Diriku

Oleh Rachel, Malaysia
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 为什么我喜欢“被爱”的感觉?(有声中文

Aku tumbuh besar dalam sebuah keluarga yang hangat dan penuh kasih sayang. Aku tidak perlu berusaha apa-apa untuk mendapatkan kasih dari mereka.

Namun, aku mendapati diriku mudah cemburu pada perhatian dari teman-teman dekatku. Setiap kali mereka lebih perhatian kepada teman-teman yang lain, aku merasakan kekecewaan yang rasanya sulit untuk dijelaskan. Ketika mereka lupa mengajakku untuk bertemu, aku merasa sedih, diabaikan, dan berpikir bahwa mereka tidak mengasihiku.

Sebagai wanita single, aku juga merindukan hadirnya seorang pasangan yang mengasihiku. Dalam masa-masa sedihku, aku sering berharap memiliki seseorang yang mampu menguatkanku, menenangkanku, dan mendukungku. Meskipun aku tidak secara aktif mencari seseorang yang seperti itu, aku berharap dalam hatiku untuk memiliki seseorang yang spesial untuk menghabiskan waktu bersama.

Aku juga selalu menginginkan orang-orang untuk berempati terhadapku di masa-masa sulit. Ketika aku bergumul dengan studiku, aku ingin dikuatkan dan didukung oleh teman-temanku. Ketika aku menghadapi masalah dalam relasiku, aku ingin ada seorang teman yang bersedia menasihati dan menolongku.

Aku ingin menjadi seseorang yang diprioritaskan. Aku ingin dianggap berharga dan dikasihi. Namun, ketika aku memasang ekspektasi tertentu terhadap teman-temanku, pada akhirnya yang kudapatkan adalah kekecewaan. Mungkin kekecewaaan itu berasal dari ekspektasiku yang terlalu tinggi dan tidak realistis. Hasilnya, aku malah merasa tidak bahagia dalam misiku mendapatkan kasih dan penerimaan dari teman-temanku.

Ketika aku menyadari bahwa berusaha merasa dikasihi membuatku semakin merasa tidak puas dan bersukacita, aku memutuskan untuk mengubah caraku menghadapi keinginanku. Meskipun aku ingin orang lain mengasihiku dan peduli akan perasaanku, aku belajar untuk melakukan hal yang serupa pada mereka. Keinginanku mendorongku untuk mengerti orang-orang di sekitarku—yang sama-sama memiliki keinginan untuk dikasihi. Sebagai ganti dari berusaha untuk dikasihi, aku perlu mengasihi dan berempati dengan orang-orang lain dalam kelemahan dan penderitaan mereka.

Jadi setiap kali keinginan itu muncul, aku akan menanyakan diriku pertanyaan-pertanyaan berikut:

1. Apakah kasih Tuhan memuaskanku?

“Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita” (1 Yohanes 4:9-10).

Apakah aku melupakan kasih yang dilimpahkan kepadaku oleh Yesus Kristus, Imam Besar yang Agung? Aku dibenarkan karena kasih penebusan-Nya di kayu salib. Apakah kasih Tuhan tidak bisa mengisi hatiku sepenuhnya? Atau apakah aku belum benar-benar merefleksikan dan menerima kebenaran ini?

Kasih dari teman maupun pasangan tidak dapat mengisi kekosongan dalamku. Lagipula, mereka hanya manusia yang tidak “sempurna”, yang perlu dikasihi dan diperhatikan, sama sepertiku. Hanya kasih Allah yang mampu memuaskan kita. Aku sudah dikasihi oleh Kasih yang sempurna! Aku tidak perlu mengkhawatirkan apakah aku dikasihi. Justru aku harus mengasihi orang-orang di sekitarku—dengan kasih yang telah dicurahkan kepadaku. Ketika aku sampai pada kesimpulan ini, hatiku dipenuhi dengan rasa syukur yang telah dibaharui.

Sejak saat itu, aku belajar untuk berinisiatif memperhatikan orang-orang di sekitarku. Kita semua, tanpa terkecuali, suatu saat akan berhadapan dengan kesulitan dan keletihan dalam perjalanan hidup kita. Memberikan penguatan dan bantuan untuk teman-temanku pada masa-masa itu dapat memberikan dampak yang besar dalam hidup mereka.

2. Apakah aku sedang mengejar sesuatu yang tidak sesuai dengan identitasku?

Apakah momen ketika temanku melupakanku benar-benar hal penting? Apakah aku harus tersinggung ketika aku bukanlah prioritas utama teman-temanku? Aku mengambil waktu untuk merefleksikan pertanyaan-pertanyaan ini, dan diingatkan bahwa identitasku adalah seorang anak Tuhan, bukan hanya seorang teman yang populer.

Roma 8:16-17 berkata, “Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah. Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia.”

Apa yang sedang kukejar seharusnya selaras dengan identitasku. Sebagai ahli waris bersama Kristus, aku memiliki akses pada sebuah kasih yang bisa mengisi diriku dengan sukacita yang lebih besar daripada yang dapat diberikan oleh siapapun. Ketika aku lebih tergoda untuk mengejar kasih teman-temanku dibandingkan mencari kenyamanan dari Tuhan, aku harus mengatakan pada diriku bahwa aku, yang pertama dan terutama, adalah seorang anak Tuhan.

3. Apakah aku membiarkan perasaan insecure menguasai diriku?

Mungkin salah satu alasan aku bergumul dengan pertanyaan ini adalah karena aku orang yang rendah diri sejak kecil. Aku selalu berpikir bahwa aku tidak cantik maupun pintar, dan aku merasa orang lain sepertinya tidak suka padaku. Karena itu, mendapatkan penerimaan dari teman-teman dan bahkan pasangan menjadi hal yang sangat penting bagiku.

Namun, kasih Tuhan telah menunjukkanku nilai diriku di dalam Kristus. Aku telah dibeli dengan harga yang mahal (1 Korintus 6:20). Yesus Kristus menderita di kayu salib agar aku dibenarkan oleh iman. Tuhan menciptakanku untuk memuliakan Dia, lalu bagaimana mungkin aku memandang rendah diriku sendiri?

Roma 8:38-39 berkata, “Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.”

Perasaan rendah diri, insecure, dan ketakutan-ketakutanku tidak bisa memisahkan diriku dari kasih Tuhan! Kasih ini hanya datang dari Yesus Kristus, dan tidak dapat ditemukan dalam teman-teman, keluarga, maupun pasangan kita.

Aku tidak dapat menahan diriku untuk tidak tersenyum seiring aku merenungkan dalam hati jawaban-jawaban dari pertanyaan di atas, karena aku tahu aku tidak lagi perlu merindukan perasaan dikasihi ketika aku memiliki kasih yang terbesar. Dan karena aku adalah seorang anak Tuhan, aku memiliki hak istimewa untuk menolong orang lain mengisi kerinduannya untuk dikasihi dengan kasih Kristus.

Ada masa-masa di mana aku kembali pada pola pikir lamaku dan merasa diabaikan oleh teman-temanku. Namun, mengingat kebenaran Tuhan tentang siapa diriku membantuku mengarahkan kembali tindakanku untuk mengasihi orang lain dan menunjukkan kasih Kristus pada mereka.

1 Yohanes 4:12 berkata, “Tidak ada seorang pun yang pernah melihat Allah. Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasih-Nya sempurna di dalam kita.”

Baca Juga:

Bukan Romantisme yang Membuat Relasi Kami Bertahan

Salah satu hal yang aku syukuri dalam hidupku saat ini adalah bisa mengenalnya. Tapi, dia bukanlah seorang pria yang romantis. Dia tidak memberiku bunga, membelikanku barang yang kusuka ataupun memposting fotoku di media sosialnya. Lalu, apa yang membuat kami bertahan?