Posts

Kita adalah Buah dari Pohon Keluarga

Oleh Dhimas Anugrah

Kita tentu tidak asing dengan kalimat yang mengatakan “belajar itu bisa dari mana saja”. Tapi, pernahkah kita menyelidiki di mana tempat belajar pertama kali seorang manusia?

Setiap kita bertumbuh dari pembelajaran dalam keluarga. Secara mendasar, tiap insan belajar mengamati kehidupan sehari-hari dimulai dari rumah, dari lingkar terdekatnya, atau secara khusus: dari orangtua. Karena tiap rumah punya pola didik yang berbeda, tak heran jika kita amati orang-orang yang ada di komunitas, kita menjumpai beragam karakter. Seorang pemerhati sosial mengatakan: “setiap manusia adalah buah dari pohon keluarganya.”

Sebagai contoh, secara psikologis sikap orang tua yang terlalu keras pada anak dalam penerapan disiplin bisa memberikan pengaruh negatif terhadap kepribadiannya di kemudian hari. Anak cenderung bertumbuh menjadi pribadi yang terlalu khawatir, tidak percaya diri, berperilaku agresif atau terlalu malu dekat orang lain, sulit bersosialisasi, bahkan sulit mengendalikan diri. Ini bukan berarti tidak boleh mendisiplinkan anak, tetapi aturan dan batasannya perlu tetap proporsional. Hasil pendidikan di keluarga pun turut menyumbang dinamika pergaulan di antara manusia yang tidak jarang bersentuhan dengan kerumitan. Maka, tidak berlebihan jika Alkitab memandang peranan orangtua atau keluarga begitu penting.

Kitab Suci memberi perhatian penting pada keluarga. Sebagai contoh, di dalam Kitab 1 Raja-raja saja disebutkan ada 16 nama ibu dari raja yang berkuasa di Kerajaan Selatan, yaitu Zerua (ibu Yerobeam), Maakha (ibu Abiam), Azuba (ibu Yosafat), Atalya (ibu Ahazia), Zibya (ibu Yoas), Yoadan (ibu Amazia), Yekholya (ibu Uzia), Yerusa (ibu Yotam), Hebzhiba (ibu Manasye), Mesulemik (ibu Amon), Zedida (ibu Yosia), Mahamutal (ibu Yoahas), Nehusta (ibu Yoyakhin), dan Yehusta (ibu Zedekia). Raja Yosafat melakukan apa yang benar di hadapan Tuhan karena pengaruh ibunya, sementara Ahazia melakukan apa yang jahat karena pengaruh ibunya Atalya (2 Raja-raja 23:8).

Di dalam Perjanjian Baru disebutkan peran besar Lois dan Eunike bagi Timotius. Kedua wanita yang takut akan Tuhan ini memberikan teladan hidup dan didikan yang baik bagi anak rohani Paulus itu (2 Timotius 1:5; 3:15). Di dalam sejarah gereja, ada pula seorang ibu yang bernama Monica. Dia dikarunia putra yang jenius, tetapi hidup putranya itu hidup berkajang dalam dosa hingga akhirnya mengalami pertobatan. Anak itu bernama Agustinus, salah seorang teolog besar dalam sejarah gereja yang hingga kini pemikirannya dilestarikan oleh tradisi Katolik dan Protestan.

Orangtua sebagai Arsitek Peradaban

Contoh dari Alkitab dan sejarah tadi menguatkan anggapan bahwa peran orangtua begitu penting dalam perkembangan karakter seseorang, baik itu secara fisik, emosional, sosial, dan intelektual. Jika seorang arsitek ingin merancang sebuah bangunan, ia harus membuat fondasi dan struktur yang kukuh, sehingga bangunan yang ia rancang dapat berdiri tegak dan kuat selama mungkin. Jika fondasi dan strukturnya tidak kuat, maka bangunan tidak akan bertahan lama. Demikian pula perkembangan jiwa seseorang sejak ia kanak-kanak. Bila fondasi dan struktur jiwanya tidak solid, maka ia akan bertumbuh menjadi manusia berkepribadian tidak baik pula. Bisa saja itu terwujud dalam sikap yang sulit berhubungan dengan orang lain, tidak mengindahkan norma dan moral, dsb. Di sinilah pentingnya orangtua sebagai arsitek jiwa manusia. Yang tiba pada gilirannya, kumpulan manusia tersebut akan membentuk suatu peradaban.

Orangtua bertanggung jawab membentuk kepribadian anak dan mempengaruhi nilai-nilai, skill, sosialisasi, dan rasa aman mereka. Orangtua diundang menjadi panutan untuk dicontoh putra-putri mereka. Tentu, gereja memang bertugas mengajar anak-anak mengenai pengajaran dasar iman, tetapi tanggung jawab utama membangun dan membentuk anak-anak menjadi pribadi Kristen adalah orangtua mereka. Sebagai arsitek jiwa manusia dan peradaban, orangtua didorong untuk mengajar anak mereka mempunyai karakter Kristen, di mana Kristus menjadi yang utama dalam hidup mereka.

Tentu, tidak ada orangtua yang sempurna di dunia ini. Orangtua pun merupakan buah dari didikan orangtua mereka. Ada keluarga yang menjalankan fungsinya dengan baik, tetapi tidak sedikit keluarga yang kehilangan fungsinya bagi anak-anak mereka. Ini adalah realitas yang kita hadapi. Namun, ketika kini orangtua Kristen telah mengetahui betapa besarnya peran mereka bagi pertumbuhan anak-anak mereka, setiap orangtua diundang untuk mendidik anak-anaknya dalam kasih Kristus dan memperhatikan mereka sebagai pribadi yang utuh.

Keluarga adalah Pohon, Anak adalah Buahnya

Tidak bisa dipungkiri, keluarga laksana pohon dan anak adalah buah-buahnya. Ini karena di dalam keluarga anak-anak dibimbing serta diajar tentang nilai dan moral yang baik, yang jika itu terlaksana dengan baik, maka seorang anak akan bertumbuh menjadi pribadi yang utuh. Sebaliknya, jika proses pembimbingan dalam keluarga tidak tercapai, maka seorang anak akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak utuh. Dalam konteks Kristiani, ketidakutuhan ini dapat disebabkan antara lain: kurangnya kasih sayang orangtua terhadap anak, pengajaran firman Tuhan kepada anak yang minim, pengawasan orang tua yang kurang, dan absennya teladan yang baik dari orangtua.

Sebagai pusat pembentukan kehidupan rohani, dari keluargalah setiap orang mempelajari pola-pola hubungan akrab dengan orang lain, nilai-nilai, ide, dan perilaku sopan santun. Seperti pohon, keluarga merupakan tempat bernaung, yaitu tempat berteduh dan bertumbuh. Keluarga adalah bagian dari rencana Allah. Keluarga adalah bangunan dasar dari tata masyarakat yang kuat. Keluarga adalah tempat kita bisa merasakan cinta dan belajar mengasihi orang lain. Bagi kita yang mungkin berasal dari keluarga tidak ideal, kasih Kristus mendorong kita mengampuni orangtua kita dan berjuang menjadi pribadi yang lebih baik. Jika kita adalah orangtua Kristen, maka kita diundang untuk mendidik dan membesarkan putra-putri kita dalam kasih Kristus. Hidup terkadang terasa keras, dan setiap anak membutuhkan keluarga yang dapat menemani mereka menghadapi kerasnya dunia. Keluarga adalah tempat yang aman di mana kita bisa mendapatkan nasihat, dukungan, pelukan, dan, bila ada: setoples kacang mede.

Pahit Manis Sebuah Keluarga

Beberapa dari kita mungkin merasa bahasan tentang keluarga itu terasa manis, sementara yang lain mungkin menganggap keluarga adalah kepahitan.

Apa pun ‘rasa’ keluargamu, ketahuilah kalau kita punya kasih dan harapan yang tak pernah habis di dalam Yesus. Apa pun kemustahilan yang kamu dan keluargamu hadapi, Yesus hadir tepat di sisimu dan tiada yang mustahil buat Dia.

Hari ini bukan peringatan hari keluarga, tetapi keluarga adalah berkat yang harus kita sadari dan syukuri setiap hari. Doakanlah keluargamu, apa pun keadaan mereka. Mohonkanlah maaf atas kesalahanku dan ampunilah juga mereka apabila ada rasa sakit yang mereka torehkan di hatimu.

Artspace ini diterjemahkan dari YMI dengan judul “What Makes Family” dan dibuat oleh @susannelowillustration

Gak Adil! Memangnya Aku Penjaga Adikku?

Oleh Jessica Tanoesoedibjo, Jakarta

Aku dilahirkan sebagai anak tengah dari lima bersaudara, pada tengah minggu, di tengah bulan, dan tengah tahun. Banyak orang berkata “wah anak tengah tulen, middle child syndrome pastinya.” Karena, anak pertama biasa lebih dominan dan anak terakhir sering dimanja, sedangkan kebanyakan dari anak tengah merasa terabaikan, akibat urut kelahirannya.

Tambahan pula, dengan sifatku yang cukup penurut, sejak masa remajaku, aku sering diberi tanggung jawab oleh kedua orang tua, untuk turut menjaga adik-adikku. Dan sesungguhnya, sempat terlintas di benakku, “apakah aku penting?

Salah satu buku cerita favoritku berjudul, My Sister’s Keeper, yang ditulis oleh Jodi Picoult. Novel tersebut menceritakan tentang dinamika kakak-beradik yang saling mengasihi. Namun, sang adik bergumul dengan kepahitan yang ia rasakan, terhadap kedua orang tua dan sang kakak, yang adalah penderita kanker darah. Pusat perhatian kedua orang tua tentu ada pada sang kakak yang sakit, sedangkan ada ekspektasi tak terucapkan bagi sang adik untuk menjadi donor berkelanjutan bagi kakaknya sendiri.

Ketika membaca buku tersebut, aku merasa dimengerti. Bahwa perasaan sakit hati terhadap seseorang, bukan berarti kita tidak mengasihi mereka. Karena aku sangat mengasihi keluargaku. Namun, dalam hati kecil, ternyata ada sebuah luka yang mengiang dan melontarkan pemberontakan, “apakah aku sekadar penjaga adik-adikku?”

Kain, Penjaga Habel

Kuingat suatu hari ketika aku sedang saat teduh, dan membaca Kejadian 4. Cerita tentang sepasang kakak-beradik, Kain dan Habel. Dalam keirian hati seorang Kain, ia membunuh Habel, adiknya sendiri—ini adalah kali pertama Firman menyatakan seorang manusia membunuh dengan darah dingin. Dan ketika Tuhan menghampiri Kain dan menanyakan keberadaan Habel, ia berkata, “aku tidak tahu! Apakah aku penjaga adikku?” (ayat 9).

Ketika membaca kata-kata itu, hatiku tertegur. Bukankah ini pernyataan yang selama ini telah kuucapkan kepada Tuhan? Betapa miripnya keluhanku, dengan tanggapan Kain—dan pada saat itu juga, peringatan Tuhan kepada seorang Kain, menjadi peringatan bagiku: “dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya,” (ayat 7).

Seketika, aku memutuskan untuk segera menyelesaikan kekesalan yang selama ini kusimpan di hati kecilku ini.

Keadilan Tidak Berarti Sama

Setiap orang yang memiliki saudara, pasti pernah merasakan ketidakadilan. Sebuah contoh sederhana adalah ketika kedua anak berebutan mainan, dan orang tua harus melerai dan memihak. Bahkan ketika orang tua mengambil mainan tersebut, dan tidak ada satu dari mereka yang mendapatkannya, mudah bagi seorang anak, terutama yang merasa memiliki mainan tersebut, untuk berkata, “tidak adil! Itu punyaku!”

Dalam sebuah keluarga yang memiliki banyak anak, tentu sebagai orang tua tidak bisa memberlakukan anak-anaknya dengan seragam. Setiap anak memiliki karakteristik yang berbeda, dan sebagai orang tua, perlu kebijaksanaan untuk menanggapi seorang anak dengan cara yang sesuai dengan kepribadian dan kebutuhan anak tersebut. Ada anak yang bawaannya penurut, dan ada yang bersifat lebih pemberontak. Setiap orang juga merasakan kasih dengan cara yang berbeda. Ada yang merasa dikasihi ketika diperhatikan, ada yang lebih membutuhkan pelukan, dan ada yang memerlukan perkataan pujian.

Hal ini baru kusadari ketika aku beranjak dewasa. Ternyata, selama ini, ketika orang tuaku mendidik aku dan saudara-saudaraku dengan cara yang berbeda, mereka bukan sedang memperlakukanku dengan tidak adil. Bukan karena mereka menganggapku tidak penting, atau karena mereka kurang mengasihiku. Sebagai orang tua, mereka terus berusaha untuk mengasihiku sebagaimana aku perlu dikasihi.

Alkitab Penuh Keluarga Disfungsional

Namun, harus kita akui, tidak ada orang tua yang sempurna di dunia ini. Karena memang, tidak ada orang yang sempurna (Roma 3:23). Firman Tuhan pun penuh dengan cerita tentang keluarga-keluarga disfungsional. Seperti kisah Abraham, Sarah dan Hagar (Kejadian 16), yang menyebabkan permusuhan bebuyutan antara Ishak dan Ismael. Persekongkolan Yakub dengan ibunya, Ribka, untuk menipu Ishak, ayahnya yang sudah rabun, untuk mencuri hak sulung Esau (Kejadian 27)—Alkitab mengajarkan betapa bobroknya manusia, sehingga sulit bagi kita untuk mengasihi orang-orang terdekat kita!

Namun, kita tidak boleh putus asa. Karena walaupun Firman mengungkapkan dengan sangat eksplisit kebobrokan kita, kita melihat bahwa Tuhan dapat menebus kesalahan-kesalahan kita, dan tetap bekerja melalui orang-orang yang tidak sempurna. Oleh salib Kristus, Tuhan telah “mempersatukan kedua pihak…merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, [agar kita dapat menjadi] kawan sewarga…dan anggota-anggota keluarga Allah,” (Efesus 2:14-19). Tuhan sendiri yang datang sebagai Penengah, Pelerai, Pendamai, agar kita dapat dipersatukan dalam keluarga-Nya.

Ketidakadilan Yang Dialami Yesus, Penjagaku

Tetapi apakah kita sepenuhnya menyadari harga yang dibayar oleh Yesus di kayu salib? Firman mengatakan bahwa Ia adalah yang sulung, yang pertama (Kolose 1:18). Satu-satunya Anak Allah (Yohanes 3:16) yang datang ke dunia, dan rela memberikan diri-Nya bagi umat manusia yang tidak mengenal, maupun menerima-Nya (Yohanes 1:9-10). Ia mengalami ketidakadilan yang terbesar, karena Yesus adalah satu-satunya yang tidak berdosa, namun menanggung segala penderitaan dan upah dosa setiap manusia (2 Korintus 5:21). Dan karena kasih dan pengorbanan-Nya, kita sekarang dapat dipanggil anak-anak Allah (Galatia 4:7).

Betapa besar kasih-Nya! Dan betapa berbeda dengan postur seorang Kain, ataupun diriku sendiri. Yesus sebagai Anak Tunggal meletakkan hak-hak-Nya, dan memberikannya kepada aku. Kepada kamu. Maukah kita sekarang mengikuti-Nya? Maukah kita belajar untuk meletakkan hak-hak kita, ke-aku-an yang begitu besar, dan berseru seperti seorang Paulus? “Aku telah disalib bersama Kristus, bukanlah aku lagi yang hidup, tetapi Kristus yang hidup dalam aku,” (Galatia 2:20).

“Alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!” (Mazmur 133:1).

Baca Juga:

Belajar dari 2 Sosok Perempuan yang Jadi Berkat bagi Bangsanya

Kita kerap berpikir kalau hanya orang pilihan saja yang bisa melakukan hal besar. Tapi, cara Tuhan memilih seseorang bukanlah berdasarkan standar manusia.

Ketika Saudaramu Berbuat Dosa

Hari ke-30 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Ketika Saudaramu Berbuat Dosa

Baca: Yakobus 5:19-20

5:19 Saudara-saudaraku, jika ada di antara kamu yang menyimpang dari kebenaran dan ada seorang yang membuat dia berbalik,

5:20 ketahuilah, bahwa barangsiapa membuat orang berdosa berbalik dari jalannya yang sesat, ia akan menyelamatkan jiwa orang itu dari maut dan menutupi banyak dosa.

Ketika Saudaramu Berbuat Dosa

Pertama kali aku bertemu dengan temanku, ia mengaku sudah menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat saat ia berusia 6 tahun. Namun, saat aku mendorongnya untuk datang ke gereja secara teratur, ia mencoba mengalihkan pembicaraan dengan agak malu. Ia mengatakan bahwa ia sebenarnya bergumul dengan kecanduan dan ingin membereskan hidupnya dulu sebelum datang kembali kepada Tuhan.

Kami masih terus saling kontak. Tiga tahun kemudian, ia masih bergumul dengan kecanduan dan juga beberapa keputusan yang buruk dalam hidupnya. Setiap kali kami berbicara, ia berusaha meyakinkanku bahwa ia sedang berusaha berubah. Namun, setiap kali, aku melihat ia makin menderita (secara fisik dan emosional) akibat pilihan-pilihan yang dibuatnya.

Apakah kamu mengenal seseorang yang, dalam bahasa Yakobus, “menyimpang dari kebenaran”? Ada orang yang menyimpang dalam hal doktrin tentang Tuhan dan tentang Injil. Ada pula orang yang doktrinnya benar, tetapi tidak lagi hidup menurut apa yang diketahuinya itu.

Temanku adalah contohnya. Ia mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya—tetapi pengakuan itu tidak pernah bisa dilihat dari cara ia hidup.

Seperti yang ditekankan Yakobus dalam suratnya, Tuhan tidak menghendaki pengakuan superfisial kita akan Dia. Tuhan mau kita mewujudnyatakan Injil dalam cara kita hidup.

Tidak berhenti di sana, Tuhan juga mau kita peduli dengan saudara-saudara seiman kita di dalam Kristus. Saat kita melihat sesama pengikut Kristus mulai menyimpang dari kebenaran, baik itu dalam pemikiran atau perbuatannya, Yakobus berkata bahwa harus ada “seseorang yang membuat dia berbalik” (ayat 19).

Untuk mendorong kita memperhatikan jiwa-jiwa yang terhilang, Yakobus mengingatkan bahwa “barangsiapa membuat orang berdosa berbalik dari jalannya yang sesat, ia akan menyelamatkan jiwa orang itu dari maut dan menutupi banyak dosa” (ayat 20).

“Menutupi banyak dosa” berarti bahwa Tuhan akan mengampuni dosa-dosa itu (Roma 4:7). Tidak ada dosa yang terlalu besar untuk ditebus oleh pengorbanan Kristus. Saat kita menolong seorang saudara seiman untuk kembali pada Tuhan, apapun dosa yang sudah ia perbuat, pengampunan Tuhan tersedia untuk menyelamatkan mereka dari kematian rohani. Apa yang lebih luar biasa daripada sebuah kehidupan yang diperbarui dalam Kristus? Sungguh luar biasa kalau Tuhan mengizinkan kita ikut ambil bagian dalam karya pemulihan-Nya yang mengagumkan itu!

Namun, bagaimana caranya kita bisa menolong orang yang sudah menyimpang untuk kembali kepada Tuhan?

Kita dapat mengasihi mereka. Kita mengasihi mereka sama seperti Kristus mengasihi kita, dan itulah alasan kita mau peduli dan berusaha membawa mereka kembali kepada Tuhan (Yohanes 15:12). Mengasihi saudara-saudara seiman mencegah kita jatuh ke dalam dosa menghakimi atau bergosip. Saat kita mengasihi, kita akan berusaha menjaga hubungan baik dengan orang tersebut, dan hubungan yang baik itu dapat saja dipakai Tuhan untuk menyatakan karya-Nya.

Kita juga dapat berdoa—secara teratur dan dengan penuh keyakinan. Pada akhirnya, bukan argumen pintar atau perkataan tulus kita yang bisa mengubah pikiran seseorang. Roh Kudus yang bekerja di kedalaman hati orang tersebut, Dialah yang berkuasa membawa orang itu kembali. Dengan berdoa, kita membawa permohonan kita langsung kepada Tuhan, yang mengasihi orang itu jauh lebih daripada kita mengasihi mereka.

Kita juga dapat dengan kasih menegur orang yang sudah menyimpang dari Tuhan. Kasih melarang kita untuk sekadar menjadi seorang pengamat di pinggir lapangan, hanya diam menonton, sementara seseorang sedang kehilangan jiwanya. Saat berbicara dengan seseorang yang tindakannya melawan Tuhan, ”jangan anggap dia sebagai musuh, tetapi tegorlah dia sebagai seorang saudara” (2 Tesalonika 3:15), dengan kasih dan doa.

Tuhan menghendaki kita mewujudnyatakan Injil dalam hidup kita sehari-hari, Dia berduka saat salah satu dari kita menyimpang. Sebagai saudara seiman dalam Kristus, mari kita berkomitmen untuk saling menjaga satu sama lain karena kasih kita kepada Tuhan dan kasih kita kepada sesama saudara.

Dalam segala sesuatu yang kita lakukan, kiranya kita menyatakan kasih dalam tindakan dan bergantung sepenuhnya pada anugerah dan pimpinan Tuhan, percaya bahwa Dia akan terus bekerja dalam kehidupan semua orang yang adalah milik kepunyaan-Nya. —Christine Emmert, Amerika Serikat

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Apakah kamu mengenal seseorang yang sudah menyimpang dari Tuhan? Tanda-tanda apa saja yang bisa mengindikasikan seseorang mulai menyimpang dari kebenaran?

2. Satu langkah apa yang bisa kamu ambil untuk menolong saudara seiman yang menyimpang untuk dapat kembali lagi kepada Tuhan?

3. Satu kebenaran apa dari firman Tuhan yang dapat kamu pegang dalam proses membawa saudara seimanmu kembali ke jalan yang benar?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Christine Emmert, Amerika Serikat | Christine adalah seorang pengikut Kristus, pecinta buku dan makanan. Hidup ini indah, katanya, dan setiap hembusan nafas adalah pengingat bahwa di dalam segala keadaan Tuhan itu selalu baik. Dia dan suaminya sedang membangun sebuah keluarga yang mencari Kristus dan menjadi terang dan garam di antara bangsa-bangsa. Ezra 7:10 adalah ayat favoritnya.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus