Posts

Gundam, Natal, dan Surat Galatia: Sebuah Perenungan

Hari ke-7 | 7 Hari Renungan Persiapan Natal, “Lebih dari Sekadar Perayaan”

Baca: Galatia 4:1-7 AYT

4:1 Yang kumaksud, selama ahli waris itu masih anak-anak, ia tidak ada bedanya dengan budak walaupun ia adalah pemilik segala sesuatu.

4:2 Ia berada di bawah kuasa pengawas dan pengurus rumah tangga sampai waktu yang telah ditetapkan oleh ayahnya.

4:3 Demikian juga kita, ketika masih anak-anak, kita diperbudak oleh roh-roh dunia ini.

4:4 Akan tetapi, ketika hari penggenapan tiba, Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan lahir di bawah Hukum Taurat,

4:5 untuk menebus mereka yang ada di bawah Hukum Taurat supaya kita dapat menerima pengangkatan sebagai anak-anak-Nya.

4:6 Karena kamu adalah anak-anak-Nya, Allah telah mengutus Roh Anak-Nya ke dalam hati kita, yang memanggil, “Abba, Bapa.”

4:7 Jadi, kamu bukan lagi budak, tetapi anak. Jika kamu adalah anak, Allah menjadikan kamu ahli waris melalui Kristus.

 

Waktu kecil, buatku Natal hanya berarti satu hal: hadiah dari Sinterklas. Sepanjang tahun, aku dan adikku akan berusaha sebaik mungkin untuk menjadi anak yang baik bagi orangtua kami. Harapannya adalah kami akan menemukan kado untuk kami di pagi hari tanggal 25 Desember. Selama beberapa tahun berturut-turut, kado itu selalu ada dan selalu berisi benda-benda yang kami inginkan. Bisa kamu bayangkan betapa kaget dan kecewanya aku dan adikku ketika orangtua kami memutuskan untuk membuka rahasia di balik kado-kado Natal tersebut di tahun 2006.

“Gak ada yang namanya Sinterklas, adanya papa dan mama yang rakitin Gundam buat kalian ketika kalian sudah tidur,” begitu kira-kira kata mereka. (“Tapi mestinya kami rakit Gundamnya sendiri…” dengan lemah aku dan adikku memprotes.)

Melihat ke belakang, aku bersyukur pernah percaya pada mitos tentang seorang tua yang menghadiahi anak-anak yang berbuat baik pada hari Natal. Lewat “iman”-ku ini, aku jadi lebih bisa memaknai betapa besarnya kasih orangtuaku kepada aku dan adikku. Rasanya dulu tiada hari tanpa kenakalan kami dan kemarahan mereka, tetapi orangtua kami tetap memberi kami hadiah Natal. “Kasih papa dan mama kepadaku tidak bergantung pada perilakuku,” simpulku.

Kemiripan pengalaman Natal Gundamku dengan jemaat Galatia

Pengalaman serupa kurasa terjadi pada jemaat Galatia ketika mereka tiba pada satu kalimat dalam surat Paulus kepada mereka, “Tetapi setelah genap waktunya…” (4:4 TB). Dalam perikop-perikop sebelumnya, Paulus mengingatkan mereka bahwa semua orang percaya, baik Yahudi maupun non-Yahudi, tidak dibenarkan oleh ketaatan kepada Hukum Taurat melainkan oleh kematian Kristus yang membebaskan mereka dan kita dari kuasa dosa dan maut (2:15–21; 3:10–14). Jadi mengapa Tuhan memberikan Hukum Taurat? Ia adalah “penuntun” (3:24 TB), “pengawas bagi kita sampai Kristus datang supaya kita dapat dibenarkan oleh iman” (3:24 AYT). Pada dasarnya, Hukum Taurat menyatakan siapa kita di hadapan Allah yang kudus: orang berdosa yang patut dimurkai (3:22). Bangsa Israel adalah bukti hidup bahwa tidak ada seorang pun yang dapat menggenapi Hukum Taurat secara sempurna dan memperoleh hidup kekal, sebab memang bukan itu tujuannya diberikan (3:21).

Galatia 4:4 menyatakan dengan gamblang bahwa era Hukum Taurat benar-benar telah berakhir dengan kedatangan Yesus yang lahir di bawahnya. Sebagai 100% Allah dan 100% manusia, Yesus digantung pada kayu salib untuk menebus dengan lunas semua orang yang percaya kepada-Nya dari kutuk Hukum Taurat yang menyatakan kuasa dosa dan maut “sehingga oleh iman kita menerima Roh yang telah dijanjikan itu” (3:13–14 TB). Layaknya kata-kata orangtuaku yang membebaskan aku dan adikku dari usaha kami untuk menjadi anak yang baik serta memampukan kami untuk menerima kasih mereka dengan rasa syukur, demikianlah Kristus datang dan mati supaya kita tidak lagi hidup sebagai budak-budak dosa, melainkan sebagai anak-anak Allah (4:7).

Signifikansi “setelah genap waktunya”

Oh, betapa mulia dan menakjubkannya Tuhan yang merancangkan semuanya ini untuk terjadi tepat pada waktu yang paling tepat! Variabel sejarah yang tidak terhitung jumlahnya (e.g. sensus Kerajaan Romawi dan penempatan garis keturunan Daud di Nazaret) diatur Tuhan sedemikan rupa sehingga Yesus lahir di kota Betlehem sesuai nubuat nabi Mikha (Mik. 5:2). Sayangnya renungan ini terlalu singkat untuk menunjukkan berbagai nubuat dalam Alkitab yang kemudian digenapi oleh Yesus, jadi aku ingin menekankan pada satu observasiku: pemilihan waktu Allah juga berlaku untuk pertobatan kita masing-masing secara pribadi.

Mungkinkah adalah sebuah kebetulan ketika orangtuaku memberitahukan aku dan adikku bahwa Sinterklas tidak ada? Kurasa tidak. Begitu juga bukanlah kebetulan ketika Tuhan, “yang telah memilih [kita] sejak kandungan ibu [kita] dan memanggil [kita] oleh kasih karunia-Nya, berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam [kita]” (1:15–16 TB) sewaktu kita bertobat. Karena pemilihan waktu kedatangan pertama Tuhan Yesus yang begitu tepat inilah kita bisa percaya bahwa tidak ada satu hal pun yang dapat memisahkan kita dari kasih-Nya, bahkan koronavirus sekalipun (Rm. 8:32). Tuhan Yesus pasti akan datang untuk kedua kalinya (Why. 22:20) untuk “tinggal di antara [kita]” (Why. 21:3).

Menyambut Natal sebagai anak dan ahli waris Allah

Akhir kata, apalah arti Natal menurut perikop hari ini? Dalam kata-kataku sendiri, Kabar Baik yang memerdekakan kita dari dorongan untuk berbuat baik untuk diselamatkan, dari hasrat untuk diterima orang lain agar merasa utuh. Sebaliknya, kita mengasihi karena Kristus telah lebih dulu mengasihi kita dengan memberikan diri-Nya datang ke dunia untuk menebus kita dari Hukum Taurat dan mengangkat kita sebagai anak-anak Allah (4:5).

Pada hari Natal 2020, marilah sebagai anak-anak dan pewaris-pewaris Allah melalui Kristus kita bersatu dalam paduan suara ilahi dengan penuh sukacita dan rasa syukur, sambil mengajak orang-orang di sekitar kita dan juga dunia, “sembah dan puji Dia, sembah dan puji Dia, sembah dan puji Dia, Sang Raja…”

Pertanyaan refleksi:

1. Luangkan 15–20 menit untuk membaca habis kitab Galatia agar bisa mendapatkan gambaran utuh dari Kabar Baik ini.

2. Bagaimana reaksimu ketika pertama kali tentang mendengar kabar kelahiran Yesus Kristus? Setelah membaca renungan ini, bagaimanakah reaksimu terhadap Injil berubah?

3. Bagaimanakah kamu telah hidup selama ini, apakah sebagai budak dari roh-roh dunia ini dan hukum Taurat atau sebagai anak dan ahli waris Allah?

4. Bagaimanakah kamu memaknai pemilihan waktu Allah terhadap peristiwa-peristiwa dalam kehidupanmu, terutama pertobatanmu?

5. Bagaimanakah kamu akan membagikan Kabar Baik yang membebaskan ini kepada orang-orang di sekitarmu yang masih belum percaya kepada Tuhan Yesus?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Jefferson, Singapura.| Pertama-tama, Jeff memang tidak punya nama belakang. Sejak pertobatannya pada November 2011, Tuhan Yesus terus menumbuhkan iman Jeff selama melanjutkan studi dan sekarang bekerja sebagai konsultan lingkungan hidup di Singapura. Berbagai kelompok pemuridan yang ia ikuti menginspirasi Jeff untuk
aktif memuridkan orang lain, terutama lewat tulisan. Di waktu luangnya, kamu bisa menemukan Jeff sedang bersekutu dengan teman, nature walk, atau membaca. Dengan 2 Korintus 10:13 sebagai panduan, Jeff membagikan pengalaman hidupnya ditilik oleh Firman lewat blog Life Examined by the Word of God.

Di Balik Sebuah Drama Natal

Hari ke-6 | 7 Hari Renungan Persiapan Natal, “Lebih dari Sekadar Perayaan”

Baca: Yohanes 1:14

1:14 Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.

 

Aku termasuk orang yang sulit percaya pada sesuatu yang belum pernah kulihat atau kualami sebelumnya. Ketika aku belum mengenal Kristus, aku sering meragukan kisah tentang Natal dan mempertanyakan beberapa hal seperti:

“Bagaimana bisa Tuhan dilahirkan ke dunia? Apakah Kristus benar-benar Tuhan? Bukankah Ia juga lahir dari seorang manusia sama seperti kita?”.

Hiruk-pikuk perayaan Natal yang sering digambarkan dengan drama kelahiran seorang bayi yang dipercaya sebagai Tuhan di kota kecil Betlehem, membuatku menutup mata terhadap narasi surgawi di baliknya. Meski begitu, Allah yang penuh kasih tidak kehabisan cara untuk menyatakan kisah agung-Nya melalui Injil yang ditulis oleh Yohanes. Alih-alih menceritakan tentang kelahiran seorang Bayi, tokoh Maria dan Yusuf, orang Majus serta para gembala, Yohanes memilih untuk menyoroti sisi supranatural dari kisah Natal dan mengusung sebuah tema besar yakni inkarnasi sang Firman.

Dulu aku pernah memahami bahwa Firman adalah perkataan atau kalimat yang diucapkan Allah kepada umat-Nya. Lantas bagaimana bisa perkataan tersebut menjadi manusia? Apa sebenarnya makna kata Firman yang dituliskan oleh Yohanes?

Kegelisahan tersebut menghantarkanku untuk mencari tahu lebih dalam sebuah seminar yang diadakan pada tahun 2015 oleh salah satu lembaga pelayanan. Meski datang dengan mengenakan atribut kepercayaan lamaku, aku tetap diterima untuk mengikuti rangkaian seminar sampai akhir. Saat itu, aku masih mengeraskan hati dan berkomitmen untuk hanya mendengarkan pemaparan materi, tanpa perlu mengikuti rangkaian ibadah.

Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan.

Diawali dengan pembacaan kitab Yohanes 1:1-3, sang pembawa materi memulai penjelasannya mengenai keberadaan sang Firman sebelum semua diciptakan. Penggunaan bahasa yang rumit tidak membuatku gagal memahami hal ini dengan baik. Aku percaya, saat itu Roh Kuduslah yang menuntunku untuk dapat mengerti setiap materi yang dijelaskan.

Fakta bahwa Ia ada sebelum segala sesuatu yang dijadikan membuatku menyadari bahwa Dia tidak mengkategorikan diri-Nya sebagai sesuatu “yang diciptakan”. Melainkan melalui Dialah, segala sesuatu dijadikan, termasuk kita manusia. Hal yang lebih menarik adalah penjelasan mengenai bahasa Yunani dari kata Firman yakni “Logos”, yang dipercaya sebagai sumber dari segala kekuatan, pengetahuan, serta hikmat. Siapakah yang dapat menciptakan segala sesuatu jika bukan Allah? Siapakah sang Sumber kekuatan, pengetahuan serta hikmat jika bukan Allah? Merenungkan hal ini membuatku mulai membuka hati untuk mempercayai bahwa Firman yang dimaksud oleh Yohanes adalah Allah sendiri.

Meski demikian, serangkaian peristiwa mengenai inkarnasi sang Firman ini masih menjadi hal yang sulit kupercaya. Bagiku, pribadi Allah sangat bertolak belakang dengan natur daging (manusia) yang dalam filosofi Yunani juga diyakini sebagai penjara jiwa yang jahat. Jika demikian, mengapa Allah mau repot-repot menjadi manusia yang “jahat” untuk sekadar memperlihatkan kemuliaan-Nya kepada kita?

Mempertanyakan hal itu tanpa sadar membuatku melupakan kebenaran mengenai kekudusan dan kemuliaan Allah yang tidak dapat dijangkau oleh manusia. Sebelumnya aku pernah mendengar kisah tentang Musa yang tidak sanggup melihat kemuliaan Allah secara langsung dikarenakan keberdosaannya sebagai manusia. Dosa yang terlalu hina inilah yang juga menjadi penyebab terusirnya Adam dan Hawa dari Taman Eden.

Jika dulu aku percaya bahwa siapa pun yang memiliki keburukan dapat hidup bersama Allah selama tetap melakukan banyak kebaikan, kebenaran injil semakin meneguhkan hatiku bahwa tidak ada cara lain bagi Allah untuk menyatakan kemuliaan-Nya kepada kita selain dengan datang ke dalam dunia dan menjadi sama seperti kita. Dengan demikian, kita dapat melihat kemuliaan-Nya secara langsung dan dilayakkan untuk hidup bersama-sama dengan Dia sampai kekekalan (Filipi 3:20-21).

Kasih karunia-Nya yang begitu besar membuat Dia rela mengosongkan diri, meninggalkan takhta-Nya dan turun ke dunia dalam rupa seorang hamba agar kita dapat mengenal Dia, serta melihat terang kemuliaan-Nya. Keindahan kasih karunia dan kebenaran ini menundukkanku yang tanpa sadar sedang meninggikan diri seolah mampu menelusuri jalan pemikiran Tuhan yang melampaui segala akal.

Menyadari betapa rendahnya diriku di hadapan Tuhan juga membangkitkan rasa syukurku atas kasih setia-Nya yang telah menuntunku hingga aku dapat benar-benar melihat kemuliaan-Nya. Orang-orang Farisi, kerumunan yang berseru “Salibkan Dia”, dan bahkan Yudas yang sebelumnya sangat dekat dengan Dia pun tidak dapat mengalami hal ini. Oleh karena itu, merupakan suatu anugerah, jika kita dapat melihat kemuliaan Anak Tunggal Bapa dan mengimaninya sampai saat ini. Bukan karena banyaknya perbuatan baik atau persembahan yang kita berikan, melainkan hanya karena kasih karunia-Nya semata.

Inilah serangkaian narasi Ilahi tentang Natal yang tertuang indah dalam sebuah kitab yang dituliskan oleh Yohanes. Kisah yang sarat akan makna meski tanpa drama para gembala, orang-orang Majus, Yusuf, Maria, dan bahkan sang Bayi. Kisah yang membangkitkanku dari kepercayaan semu tentang Natal ini, juga melembutkan hatiku untuk mau mengakui bahwa sang Bayi yang telah lahir itu bukan hanya bayi Betlehem biasa, melainkan merupakan manifestasi kemuliaan Tuhan dalam bentuk manusia. Ia yang semula kudus, mulia dan ditinggikan rela merendahkan diri dan menanggung penderitaan karena kasih-Nya yang begitu besar kepada kita.

Kiranya Kristus yang penuh kemuliaan, Firman yang telah menjadi manusia itu senantiasa memberkati dan mendampingi kita. Kiranya Ia yang telah merasakan segenap pergumulan manusia secara utuh berkenan untuk menghibur, menolong dan menguatkan kita dalam melewati setiap masa kehidupan. Dan seperti hidup perempuan Samaria yang telah diubahkan, kiranya Ia juga berkenan untuk senantiasa menyatakan diri-Nya dan mengubahkan hidup kita. Amin.

Pertanyaan refleksi:

1. Luangkan waktu sekitar 5-10 menit untuk mengingat-ingat momen kali pertama kamu menerima anugerah keselamatan melalui Kristus yang turun sebagai Firman Allah, dan hidup di antara kita.

2. Tidak semua orang dianugerahkan pengertian untuk dapat melihat kemuliaan-Nya melalui iman kepada Kristus, sudahkah kamu sungguh-sungguh bersyukur atas hal ini?

3. Sebagai rasa syukur, maukah kamu turut membagikan kabar baik ini kepada orang-orang terdekatmu yang belum mengenal Kristus dan melihat kemuliaan-Nya?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Inilah Saatnya

Hari ke-5 | 7 Hari Renungan Persiapan Natal, “Lebih dari Sekadar Perayaan”

Baca: Lukas 2:8-20

8: Di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam.

9: Tiba-tiba berdirilah seorang malaikat Tuhan di dekat mereka dan kemuliaan Tuhan bersinar meliputi mereka dan mereka sangat ketakutan.

10: Lalu kata malaikat itu kepada mereka: “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa:

11: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud.

12: Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan.”

13: Dan tiba-tiba tampaklah bersama-sama dengan malaikat itu sejumlah besar bala tentara sorga yang memuji Allah, katanya:

14: “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.”

15: Setelah malaikat-malaikat itu meninggalkan mereka dan kembali ke sorga, gembala-gembala itu berkata seorang kepada yang lain: “Marilah kita pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana, seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita.”

16: Lalu mereka cepat-cepat berangkat dan menjumpai Maria dan Yusuf dan bayi itu, yang sedang berbaring di dalam palungan.

17: Dan ketika mereka melihat-Nya, mereka memberitahukan apa yang telah dikatakan kepada mereka tentang Anak itu.

18: Dan semua orang yang mendengarnya heran tentang apa yang dikatakan gembala-gembala itu kepada mereka.

19: Tetapi Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya.

20: Maka kembalilah gembala-gembala itu sambil memuji dan memuliakan Allah karena segala sesuatu yang mereka dengar dan mereka lihat, semuanya sesuai dengan apa yang telah dikatakan kepada mereka.

 

Tiga hari yang lalu kita telah membaca renungan natal dari Matius 2:1–12 , yaitu tentang orang Majus dari timur yang datang menjumpai Yesus. Nas kali ini juga menceritakan hal yang hampir sama: tentang kunjungan pertama kepada bayi Yesus. Namun, para penjenguk ini seharusnya bukanlah orang yang masuk hitungan untuk menghadap kepada Sang Raja. Berbeda dengan para Majus yang merupakan orang-orang terhormat, orang-orang pertama yang mengunjungi bayi Yesus yang tercatat di Alkitab adalah para gembala! Tidak seperti para Majus yang terkenal karena keahlian astronominya, para gembala tak punya keahlian khusus selain menjaga kawanan domba. Selain itu, para gembala pada zaman tersebut merupakan orang yang dipandang sebelah mata, tetapi Allah memilih mereka sebagai saksi kelahiran bayi Yesus melalui kedatangan seorang malaikat secara tiba-tiba di hadapan mereka (Lukas 2:9).

Kedatangan malaikat yang tiba-tiba itu mengagetkan para gembala. Alkitab mencatat di Lukas 2:9 bahwa mereka sangat ketakutan. Tetapi kemudian, berita sukacita pun disampaikan. Jika kita memosisikan diri sebagai para gembala malam itu, mungkin ketakutan yang sama juga akan kita alami.

Ketakutan para gembala tersebut mengingatkanku akan peristiwa enam tahun yang lalu. Saat aku masih kuliah di semester 4, aku merasa terpanggil untuk menggembalakan beberapa mahasiswi di kampusku. Para pengurus persekutuan mahasiswa pun memperlengkapi kami para calon gembala dengan beberapa kali pembinaan. Saat itu, aku sangat menikmati pembinaan yang ada. Namun, ketika aku sudah merasa sangat diperlengkapi, seorang ‘malaikat Tuhan’ melalui koordinator fakultasku (Fakultas MIPA) mengatakan bahwa calon ‘domba’ yang akan aku gembalakan adalah orang-orang di luar fakultasku, yaitu Fakultas Bahasa dan Seni. Fakultas yang tidak terduga itu sangat menakutkan buatku. Aku menganggap orang-orang di fakultas itu punya pergaulan yang LUAR BIASA, sedangkan aku? Aku hanyalah mahasiswi Fakultas MIPA yang pergaulannya sangat biasa, bahkan bisa dianggap sebagai kaum kupu-kupu (kuliah-pulang, kuliah-pulang).

Beberapa hari setelah itu, seorang ‘malaikat Tuhan’ lain menghampiriku kembali, yaitu koordinator Fakultas Bahasa dan Seni. Beliau mengatakan bahwasanya salah satu orang dari calon domba-dombaku ini kemungkinan akan menjadi bakal penerus koordinator Fakultas Bahasa dan Seni di tahun berikutnya, karena beberapa tahun terakhir, jurusan Bahasa Indonesia (jurusan domba-dombaku) adalah tonggak penerus koordinator fakultas. Tidak seperti gembala di ayat 15–16 yang langsung cepat-cepat berangkat setelah malaikat-malaikat itu pergi meninggalkan mereka, aku malah tetap diam di tempat dengan rasa takut dan masih tidak percaya. Kalau di ayat 15b menyatakan bahwa para gembala menganggap kata-kata malaikat merupakan kata-kata Tuhan (seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita), aku pun juga mengimani hal itu. Aku percaya perkataan dua koordinator fakultas buatku asalnya dari Tuhan. Akan tetapi, suara dari Tuhan itu belum cukup meneguhkanku untuk ‘cepat-cepat berangkat’, sampai akhirnya pemimpin kelompokku mendorongku untuk menaati panggilan tersebut.

Aku bersyukur api ketaatanku belum padam pada saat masa-masa penundaanku untuk segera “berangkat” itu, aku juga bersyukur Tuhan yang adalah Gembalaku memampukanku untuk tidak serta-merta meninggalkan begitu saja tanggung jawab studiku. Aku sungguh sangat memuji dan memuliakan Tuhan sampai detik ini, karena Dia memberikan domba-domba seperti mereka. Mereka yang menjadi alasanku untuk terus berkarya di ladang-Nya melalui sebuah tulisan. Melalui merekalah, tulisan-tulisanku bisa menjadi karya yang indah karena kesetiaan mereka menjadi pembaca dan juga pemeriksa.

Biarlah Natal 2020 ini saatnya untuk kita menjadi gembala yang ‘cepat-cepat bergerak’ dalam setiap peran kehidupan kita sehari-hari. Belajar melayani, belajar beriman, belajar bergantung pada Allah, dan belajar bertindak.

Pertanyaan refleksi:

1. Panggilan Tuhan apa yang Dia kehendaki untuk kita kerjakan terkhusus dalam menyambut Natal di musim pandemi ini? Jikalau panggilan itu untuk menjadi gembala, siapakah domba yang Tuhan percayakan padamu? Rekan kerjamu, bawahanmu, muridmu, mahasiswamu, atau orang di sekitarmu?

2. Apakah responsmu, tidak peduli, pergi menjauh, atau taat dan segera bertindak?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Vina Agustina Gultom, Batam.| Telah ikut serta menjadi salah satu penulis artikel Kristen di WarungSaTeKaMu sejak tahun 2018. Renungan Natal kali ini menjadi tulisan kesembilannya. Vina dengan semangat menulis dari apa yang menyentuh jiwanya dan dari apa yang dia amati dan terjadi di sekitarnya. Vina mencoba merajut Kitab Suci di sepanjang tulisannya, sehingga orang-orang yang membaca dapat menerima Firman secara implisit dan merefleksikan apa artinya itu di dalam hidup mereka masing-masing. Bagi Vina, hidup harus berbicara sebelum mulut mengucapkan sepatah kata. Inilah yang membuat Vina terus berjuang menulis, untuk akhirnya hidupnya bisa menjadi karya rajutan indah bagi Tuhan dan bagi sesama.

Adakah Tempat Bagi-Nya?

Hari ke-4 | 7 Hari Renungan Persiapan Natal, “Lebih dari Sekadar Perayaan”

Baca: Lukas 2:1-7

2:1 Pada waktu itu Kaisar Agustus mengeluarkan suatu perintah, menyuruh mendaftarkan semua orang di seluruh dunia.

2:2 Inilah pendaftaran yang pertama kali diadakan sewaktu Kirenius menjadi wali negeri di Siria.

2:3 Maka pergilah semua orang mendaftarkan diri, masing-masing di kotanya sendiri.

2:4 Demikian juga Yusuf pergi dari kota Nazaret di Galilea ke Yudea, ke kota Daud yang bernama Betlehem, –karena ia berasal dari keluarga dan keturunan Daud–

2:5 supaya didaftarkan bersama-sama dengan Maria, tunangannya, yang sedang mengandung.

2:6 Ketika mereka di situ tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin,

2:7 dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.

 

Aku masih ingat peran pertamaku di drama Natal Sekolah Minggu di gerejaku: menjadi pemilik penginapan yang memberikan tempat untuk menginap bagi “Yusuf dan Maria”. Menurut naskah drama yang aku dapat, aku diminta menyatakan bahwa tidak ada lagi tempat di penginapanku karena sudah penuh oleh tamu lain. Tempat yang tersisa hanyalah kandang domba di belakang penginapanku. Karena tidak ada pilihan lain, “Yusuf” menyetujui untuk bermalam di kandang domba tersebut. Kemudian lahirlah bayi Yesus yang dibungkus dengan lampin dan dibaringkan dalam palungan.

Pada saat itu, aku tidak menganggap peran maupun dialogku bermakna banyak. Tapi ketika aku dewasa, kalimat penolakan terhadap Maria dan Yusuf oleh para pemilik penginapan menjadi sebuah pertanyaan: “Mungkinkah juga tidak ada tempat bagi Yesus di dalam hatiku?”

Kelahiran yang Sepi

Dua ribu tahun yang lalu, seorang laki-laki bernama Yusuf bersama tunangannya yang kontroversial bernama Maria meninggalkan tempat tinggal mereka di Nazaret, menuju Betlehem untuk mengikuti sensus yang ditetapkan Kekaisaran Romawi. Sebenarnya Maria tidak perlu mengikuti Yusuf, toh mereka belum menikah secara resmi. Namun ada satu kondisi yang mungkin membuat Maria harus pergi mengikuti Yusuf ke Betlehem: ia sedang hamil, tapi di luar nikah.

Dalam tradisi Yahudi di masa itu (bahkan mungkin hingga saat ini) kehamilan di luar pernikahan resmi sangat kontroversial. Bukan mustahil seluruh Nazaret gempar mendengar kabar tersebut dan semua orang membicarakan pasangan itu. Dalam kondisi yang mungkin ditolak dan digosipkan oleh seisi kota, Yusuf dan Maria berjalan sejauh 80 mil menuju Betlehem, kota kelahiran Daud.

Sesampainya di Betlehem, mereka berusaha mencari tempat bernaung di rumah penginapan. Mungkin Yusuf tidak lagi memiliki sanak saudara yang dapat mereka tumpangi, atau mungkin Yusuf terlalu takut (dan malu) apabila sanak saudaranya tahu bahwa ia membawa tunangannya yang sedang hamil. Entahlah. Namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, seluruh tempat penginapan penuh karena semua orang juga sedang mengikuti sensus. Terlebih lagi, telah tiba saatnya bagi Maria untuk melahirkan. Aku tidak bisa membayangkan apa yang ada di pikiran Yusuf. Bingung, cemas, takut, dan semangat bercampur aduk menjadi satu.

Pasangan muda yang kontroversial itu terpaksa membiarkan anak mereka dilahirkan dalam kondisi yang menyedihkan: hanya dibungkus dengan secarik kain bekas dan diletakan di dalam tempat pakan hewan ternak. Maria, yang menerima berita kehamilannya dari seorang malaikat, melahirkan bayinya di kandang domba, terpisah dari keluarganya, jauh dari kampung asalnya, dan ditolak oleh para pemilik penginapan. Juruselamat yang agung dan mulia lahir dalam kesepian dan kesunyian, ditolak oleh orang-orang yang akan diselamatkan-Nya. Karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.

Adakah Tempat Bagi-Nya?

Di dunia yang penuh dengan tuntutan dan daya tarik, terlalu banyak hal yang dapat mengisi hati dan hidup kita. Keluarga, pekerjaan atau studi, pasangan, kegiatan organisasi, atau bahkan pelayanan silih berganti menuntut perhatian, waktu, pikiran, dan tenaga kita. Hal-hal yang ‘baik’ terkadang mengalihkan seluruh keberadaan kita dari hal yang seharusnya mendapat tempat terbaik dan teristimewa dalam hidup kita: Tuhan Yesus sendiri. Sama seperti para pemilik penginapan, mungkin kita berkata kepada Tuhan Yesus, “Tunggulah, Tuhan, aku sedang sibuk dan tidak bisa diganggu,” atau, “Hatiku sedang penuh dengan pergumulan dan masalah, aku sedang tidak punya waktu untuk memikirkan-Mu,” atau bahkan, “Maaf Tuhan, tapi tidak ada tempat bagi-Mu dalam hidupku.”

Sadar ataupun tidak, ada kalanya kita menolak kelahiran dan kehadiran Tuhan Yesus dalam hidup kita. Terkadang kita tidak melihat signifikansi kehadiran-Nya bagi kita; Ia hanya bayi yang lahir dengan dibungkus kain bekas dan dibaringkan dalam tempat pakan hewan ternak. Kita lupa, bahwa Sang Bayi yang lahir dalam segala kerendahan itu juga adalah Sang Juruselamat yang mati di atas kayu salib untuk menebus dosa-dosa kita, Sang Raja yang akan datang dalam kemuliaan untuk menggenapkan Kerajaan-Nya di dunia.

Tuhan Yesus layak dan seharusnya mendapat tempat terbaik dan teristimewa dan hidup kita. Sang Pencipta Semesta datang sendiri ke dunia, mengosongkan diri-Nya, mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Lebih dari itu, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati di atas kayu salib (Filipi 2:7-8). Semua dilakukan-Nya karena kasih-Nya yang begitu besar bagi kamu dan aku.

Karena itu, Natal harusnya menjadi momen di mana kita kembali mengosongkan hati dan hidup kita untuk memberi tempat terbaik bagi-Nya, Tuhan Yesus Kristus, Juruselamat dan Penebus. Di Natal tahun ini, aku mengajak kita untuk menyelidiki hati kita dan kembali bertanya pada diri kita sendiri: adakah tempat bagi-Nya?

Soli Deo Gloria.

Adakah tempat bagi-Nya, yang menanggung dosamu?
Yesus t’lah ketuk hatimu; sambutlah Penebusmu!

(“Adakah Tempat Bagi-Nya”, Nyanyikanlah Kidung
Baru No. 203)

Pertanyaan refleksi:

1. Apa arti kelahiran Tuhan Yesus bagi dirimu secara pribadi?

2. Sudahkah kamu memberikan tempat terbaik dalam hati dan hidupmu kepada Sang Juruselamat?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Lidya Corry lahir, besar, dan tinggal di Jakarta.| Meyakini panggilan hidup di bidang hak asasi manusia, Lidya memutuskan mengabdikan diri sebagai abdi negara. Lidya berjumpa dengan Kristus di masa SMA, dan kemudian memutuskan untuk hidup bagi Dia dan melayani-Nya lewat pelayanan mahasiswa dan pelayanan mimbar. Untuk mengisi waktu senggang, Lidya suka membaca buku rohani, menulis blog, dan streaming youtube. Terkadang Lidya membagikan pengalaman menikmati hidup bersama Tuhan di blog pribadinya, lidcorr.wordpress.com.

Mempercayai Allah

Hari ke-3 | 7 Hari Renungan Persiapan Natal, “Lebih dari Sekadar Perayaan”

Baca: Matius 2:16-18

16 : Ketika Herodes tahu, bahwa ia telah diperdayakan oleh orang-orang Majus itu, ia sangat marah. Lalu ia menyuruh membunuh semua anak di Betlehem dan sekitarnya, yaitu anak-anak yang berumur dua tahun ke bawah, sesuai dengan waktu yang dapat diketahuinya dari orang-orang Majus itu.

17 : Dengan demikian genaplah firman yang disampaikan oleh nabi Yeremia:

18 : “Terdengarlah suara di Rama, tangis dan ratap yang amat sedih; Rahel menangisi anak-anaknya dan ia tidak mau dihibur, sebab mereka tidak ada lagi.”

 

“Aku sangat membenci tahun 2020, aku pengen tahun ini segera berakhir,” kata seorang teman kepadaku. Aku tidak membalasnya, tetapi pernyataan itu mendorongku untuk mengulas kembali apa yang terjadi selama tahun 2020.

Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, kurasa 2020 terasa lebih getir. 2020 diawali dengan banjir besar yang melumpuhkan sebagian besar area ibu kota. Dan, sejak bulan Maret, pandemi COVID-19 menjangkit di Indonesia yang hingga sekarang pun belum berakhir. Selain dua peristiwa itu yang skalanya luas, di skala yang lebih personal pun kita menghadapi kegetiran. Mungkin ada di antara kita ada yang terluka karena kepergian orang-orang terkasih, sedih karena harus menunda melanjutkan studi, gagal mendapat pekerjaan yang diharapkan, dan kesulitan untuk beradaptasi mengerjakan pekerjaan serta pelayanan di tengah kondisi yang tidak biasa.

Keadaan sulit pun terjadi ketika Yesus dilahirkan di Betlehem. Ketika kabar tentang kelahiran Yesus tersiar dan orang-orang Majus bergegas menemui-Nya, Herodes mengundang para Majus itu ke istananya. Herodes yang merasa terancam dengan kelahiran Sang Raja berdalih menyampaikan kepada orang Majus bahwa dia pun akan datang dan sujud menyembah Yesus bila nanti mereka memberitahukan keberadaan-Nya. Allah memperingatkan para Majus dalam mimpi (Matius 2:12) agar tidak kembali kepada Herodes, mereka pun pulang melalui jalan yang lain.

Ketika Herodes tahu bahwa orang-orang Majus tidak kembali, Herodes pun murka sehingga ia memerintahkan untuk membunuh semua anak yang berusia di bawah dua tahun di Betlehem dan sekitarnya (ayat 16). Pikir Herodes tindakan ini akan melenyapkan juga Yesus. Kekejaman Herodes saat itu bukanlah yang pertama. Menurut beberapa penafsir, Herodes membunuh anak-anaknya karena tidak menyukai mereka dan tidak menghendaki mereka memiliki kedudukan yang penting.

Ketika Herodes memerintahkan pembunuhan kepada setiap anak, Yesus bisa saja ikut terbunuh. Namun, malaikat Tuhan memerintahkan Yusuf untuk pergi mengungsi ke Mesir. Tujuan Allah bagi keselamatan dunia tidak terhenti karena kekejaman Herodes.

Kisah pembunuhan anak-anak di Betlehem, bukanlah bagian kisah Natal yang akrab bagiku. Sejak kecil aku pun belum pernah mendengar khotbah Natal yang diambil dari bagian ini. Tetapi, ketika membacanya, itu mengingatkan aku secara pribadi bahwa di tengah Natal yang biasanya digambarkan dengan sukacita ternyata terselip kisah kengerian karena kekejaman Herodes.

Natal tahun ini tentu sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, ditambah dengan pergumulan kita yang terasa berat. Kita pun bertanya, di mana Yesus Sang Juruselamat di tengah pergumulanku saat ini? Di mana Yesus yang tak kunjung menjawab doa-doaku? Di mana Yesus yang berjanji memberikan pengharapan buat masa depanku? Mempercayai Allah di tengah kondisi yang baik tentu sangat mudah. Tapi, bagaimana cara kita dapat mempercayai Allah di tengah kondisi yang sulit kita terima yang membuat kita mulai mempertanyakan keberadaan-Nya? Apakah Allah masih layak terus dipercayai? Jawabannya adalah YA.

Jerry Bridges dalam bukunya yang berjudul “Trusting God” mengatakan, Allah punya tujuan dan rencana bagi setiap kita, dan Dia punya kuasa untuk mewujudkan rencana tersebut. Memang baik untuk tahu bahwa tidak ada orang atau keadaan yang bisa menjamah kita di luar kendali Allah yang berdaulat; namun lebih penting lagi untuk menyadari bahwa tidak ada orang atau keadaan yang bisa menggagalkan tujuan Allah bagi hidup kita. Allah berdaulat di masa “baik” dan masa “buruk” kita. Dia tidak memalingkan wajah-Nya. Dia mengendalikan semuanya, mengarahkan pada kemuliaan-Nya dan kebaikan kita.

Mempercayai Allah berada dalam area tanpa batasan. Kita tidak tahu sejauh mana, berapa durasinya, atau frekuensi situasi kesukaran yang menyakitkan untuk harus terus percaya kepada-Nya. Kita selalu berhadapan dengan keadaan yang tidak diketahui dengan jelas.

Teman-teman, seberat apa pun pergumulan kita saat ini dan seberapa tidak pahamnya kita akan segala sesuatu yang terjadi dalam hidup, Ia adalah Allah yang selalu dapat kita percayai. Allah yang dengan segala rencana dan tujuan-Nya yang agung rela memberikan Yesus, Anak-Nya yang tunggal, untuk menebus kita dan dunia yang berdosa ini. Apa lagi alasan-Nya selain karena Allah mengasihi kita.

Kedaulatan Allah adalah batu tak tergoyahkan, yang kepadanya hati manusia yang sengsara harus melekat. Tidak ada kecelakaan dalam situasi di sekeliling kita: mungkin itu adalah perbuatan jahat, namun kejahatan itu berada dalam genggaman tangan kedaulatan Allah yang berkuasa. Segala kejahatan tunduk kepada Dia, dan si jahat tidak bisa menyentuh anak-anak-Nya kecuali Dia mengizinkannya. Tuhan adalah Allah atas sejarah manusia dan atas sejarah pribadi setiap anggota keluarga-Nya yang telah ditebus. (Margaret Clarkson)

Pertanyaan releksi:

1. Coba renungkan hal-hal yang harusnya bisa disyukuri di tengah kondisi hidupmu yang berat saat ini!

2. Apakah bagimu Allah masih terus dapat dipercayai? Berdoalah, minta Roh Kudus menguatkanmu untuk senantiasa percaya kepada Allah di tengah kondisi sulit dan tidak dimengerti sekalipun.

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Novita Sari Hutasoit. Tangerang | Menerima dan mengenal Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat sejak tahun 2012. Saat ini bekerja sebagai staf Human Resources Department di Universitas Pelita Harapan dan sedang melanjutkan studi di Magister Manajemen Universitas Pelita Harapan. Penulis buku “Pulang, artinya bukan tidak ada harapan.” Sampai hari ini masih mengerjakan pemuridan di pelayanan mahasiswa dan alumni.

Kelahiran Kristus: Disambut atau Ditakuti?

Hari ke-2 | 7 Hari Renungan Persiapan Natal, “Lebih dari Sekadar Perayaan”

Baca: Matius 2:1-12

2:1 Sesudah Yesus dilahirkan di Betlehem di tanah Yudea pada zaman raja Herodes, datanglah orang-orang majus dari Timur ke Yerusalem

2:2 dan bertanya-tanya: “Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia.”

2:3 Ketika raja Herodes mendengar hal itu terkejutlah ia beserta seluruh Yerusalem.

2:4 Maka dikumpulkannya semua imam kepala dan ahli Taurat bangsa Yahudi, lalu dimintanya keterangan dari mereka, di mana Mesias akan dilahirkan.

2:5 Mereka berkata kepadanya: “Di Betlehem d di tanah Yudea, karena demikianlah ada tertulis dalam kitab nabi:

2:6 Dan engkau Betlehem, tanah Yehuda, engkau sekali-kali bukanlah yang terkecil di antara mereka yang memerintah Yehuda, karena dari padamulah akan bangkit seorang pemimpin, yang akan menggembalakan umat-Ku Israel.”

2:7 Lalu dengan diam-diam Herodes memanggil orang-orang majus itu dan dengan teliti bertanya kepada mereka, bilamana bintang itu nampak.

2:8 Kemudian ia menyuruh mereka ke Betlehem, katanya: “Pergi dan selidikilah dengan seksama hal-hal mengenai Anak itu dan segera sesudah kamu menemukan Dia, kabarkanlah kepadaku supaya akupun datang menyembah Dia.”

2:9 Setelah mendengar kata-kata raja itu, berangkatlah mereka. Dan lihatlah, bintang yang mereka lihat di Timur itu mendahului mereka hingga tiba dan berhenti di atas tempat, di mana Anak itu berada.

2:10 Ketika mereka melihat bintang itu, sangat bersukacitalah mereka.

2:11 Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia. Merekapun membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepada-Nya, yaitu emas, kemenyan dan mur.

2:12 Dan karena diperingatkan dalam mimpi, supaya jangan kembali kepada Herodes, maka pulanglah mereka ke negerinya melalui jalan lain.

 

Pernahkah kita membayangkan bagaimana situasi pada Natal pertama? Natal pertama, yaitu pada saat kelahiran Yesus sebenarnya jauh dari kesan sebuah “perayaan”. Natal pertama cenderung diwarnai situasi yang kelam karena pada masa itu, bangsa Israel sedang dijajah oleh Kekaisaran Romawi. Mereka terhimpit, tertekan, bahkan menderita karenanya. Mereka tinggal di tanah milik mereka sendiri, tetapi tidak punya kuasa atasnya. Mungkin pada saat itu bangsa Israel menjerit, meratap kepada Tuhan, “Bilamanakah janji Allah akan kedatangan Mesias digenapi?”

Bacaan hari ini menunjukkan bahwa Allah menepati janji-Nya tentang kelahiran seorang Raja dan Mesias yang akan memimpin dan menggembalakan umat-Nya. Yesus Kristus lahir sebagai jawaban atas peliknya kondisi bangsa Israel yang tengah terhimpit dan tertindas karena pemerintahan Romawi. Yesus Kristus adalah Raja sejati yang akan memimpin umat-Nya seperti gembala memimpin kawanan dombanya, dan bukan seperti Herodes yang memimpin mereka dengan tangan besi. Melalui bacaan ini, kita diajak melihat dari kesaksian para imam dan ahli Taurat bahwa dari Bethlehem akan bangkit seorang pemimpin yang akan menggembalakan mereka (ay. 6). Artinya, Allah tidak mengingkari janji-Nya. Di saat yang kelam itulah, janji kehadiran Mesias yang akan memulihkan bangsa Israel diterbitkan bagi mereka. Di masa-masa sulit bagi bangsa Israel, Kristus justru lahir dan hadir memberikan pengharapan bagi mereka.

Kalau aku membandingkan situasi Natal pertama dengan kondisi hari ini, aku menemukan persamaan di dalamnya. Hari ini, hidup kita akrab dengan berbagai kesulitan, bahkan penderitaan, bukan? Fenomena yang mewarnai sepanjang tahun 2020 ini adalah pandemi Covid-19. Pandemi ini telah menjadi keadaan global yang menghujani kita dengan berbagai bentuk kesulitan, bahkan penderitaan sepanjang tahun 2020. Pandemi ini mungkin menggoreskan pengalaman buruk, bahkan luka yang mendalam untuk sebagian besar kita. Akibat pandemi, kita menjadi takut untuk bepergian dan terpaksa beradaptasi dengan work from home. Hari ini mungkin kita mengalami belajar dan bekerja dari rumah, pemotongan gaji, atau sampai dirumahkan oleh perusahaan kita. Mungkin juga pandemi ini membuat orang-orang yang kita kasihi sakit tak berdaya, bahkan sampai merenggut mereka dari kita. Menapaki bulan terakhir di tahun 2020, keadaan nampaknya tidak kunjung membaik.

Bulan Desember yang biasanya kita disibukkan oleh perayaan Natal tidak terasa seperti tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini kita dipaksa membatasi diri kita untuk berjumpa dan merayakan Natal bersama dengan keluarga dan teman-teman kita. Natal di tengah pandemi secara tidak langsung membuat kita jauh dari makna “perayaan” itu sendiri. Pada tahun ini, kita diajak untuk memikirkan ulang bahwa Natal sesungguhnya bukan sekadar perayaan.

Merespons Natal di Tengah Pandemi

Lantas, bagaimana sih seharusnya kita merespons Natal tahun ini? Bacaan kita hari ini menunjukkan dua respons yang kontras, yaitu dari orang-orang Majus dan Herodes atas berita Natal atau kelahiran Kristus. Orang-orang Majus menyambut kelahiran Yesus Kristus. Jika diperhatikan, orang-orang Majus bukan termasuk keturunan bangsa Israel. Artinya, mereka dianggap orang-orang yang tidak mengenal Allah. Menariknya, dalam bacaan ini kita melihat betapa bergairahnya orang-orang Majus ini untuk berjumpa, memberikan persembahan, bahkan menyembah Yesus. Mereka bersukacita ketika bintang dari Allah itu akhirnya menuntun mereka berjumpa dengan bayi Yesus (ay. 10). Meskipun harus menempuh ketidakpastian di tengah perjalanannya, mereka tetap setia mengikuti petunjuk dari bintang Allah itu.

Berbeda dengan para Majus, Herodes malah merasa terancam dengan kelahiran Yesus Kristus. Ketika ia mendengar berita tentang kelahiran raja Yahudi, ia langsung terkejut (ay. 3). Ia takut jikalau takhtanya berpindah tangan kepada Yesus yang disebut-sebut akan menjadi raja Yahudi. Ia memperdayai orang-orang Majus supaya mereka mengatakan kepadanya di mana bayi Yesus itu berada, sehingga ia dapat membunuh bayi Yesus. Herodes memang sudah terkenal sebagai raja boneka Romawi yang licik dan haus akan kekuasaan. Sejarah mencatat bahwa dia bahkan tega membunuh istri dan anak-anaknya sendiri demi mempertahankan takhtanya. Darinya, kita melihat bahwa ia menyambut kelahiran Kristus
dengan penuh ketakutan dan sebagai suatu ancaman bagi kekuasaannya.

Dari narasi ini, aku pribadi merefleksikan bagaimana seharusnya aku merespons Natal tahun ini. Meskipun hari ini pandemi bisa saja menggoreskan pengalaman yang tidak menyenangkan bagi sebagian besar kita, tetapi kita tetap dapat menyambut kelahiran Kristus dengan sukacita, karena kelahiran Kristus adalah bukti nyata bahwa Allah menggenapi janji-Nya dan tidak meninggalkan kita, umat-Nya. Paul David Tripp di dalam bukunya “suffering” mengatakan begini, “tidak ada hadiah yang lebih manis, lebih indah daripada hadiah yang telah Allah berikan kepada kita, yaitu diri-Nya sendiri. Dia adalah hadiah yang mengubah segalanya. Kehadiran-Nya ialah apa yang dibutuhkan oleh setiap orang yang menderita, entah mereka mengetahuinya atau tidak.” Maka, sekalipun keadaan kita jatuh bangun di tengah tahun 2020 ini, tetapi Allah tetap menaruh pengharapan dalam hidup kita, melalui kelahiran Yesus Kristus. Seperti orang-orang Majus, kita bisa belajar untuk menyongsong kelahiran Kristus dengan penuh sukacita di tengah ketidakpastian dan pergumulan hidup kita hari ini.

Pertanyaan refleksi:

1. Di dalam suasana pandemi, bagaimana perasaan kita ketika menyambut kelahiran Yesus Kristus tahun ini?

2. Bagaimana berita kelahiran Kristus memberikan kekuatan dan pengharapan di dalam keadaanmu hari ini?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Aldi Darmawan Sie, Jakarta | Saat ini, penulis sedang dipersiapkan menjadi hamba Tuhan penuh waktu di STT Amanat Agung, Jakarta. Pertobatan penulis bermula pada tahun 2011 di dalam ibadah persekutuan mahasiswa di Trisakti, Jakarta. Dari situlah kerinduan penulis muncul untuk mengenal dan melayani Tuhan Yesus. Penulis mulai aktif membagikan perenungannya melalui tulisan di WarungSateKaMu semenjak bulan Agustus tahun 2020.

Takut? Jangan!

Hari ke-1 | 7 Hari Renungan Persiapan Natal, “Lebih dari Sekadar Perayaan”

Baca: Matius 1:18-25

1:18 Kelahiran Yesus Kristus adalah seperti berikut: Pada waktu Maria, ibu-Nya, bertunangan dengan Yusuf, ternyata ia mengandung dari Roh Kudus, sebelum mereka hidup sebagai suami isteri.

1:19 Karena Yusuf suaminya, seorang yang tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama isterinya di muka umum, ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam.

1:20 Tetapi ketika ia mempertimbangkan maksud itu, malaikat Tuhan nampak kepadanya dalam mimpi dan berkata: “Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus.

1:21 Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka.”

1:22 Hal itu terjadi supaya genaplah yang difirmankan Tuhan oleh nabi:

1:23 “Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel ” –yang berarti: Allah menyertai kita.

1:24 Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai isterinya,

1:25 tetapi tidak bersetubuh dengan dia sampai ia melahirkan anaknya laki-laki dan Yusuf menamakan Dia Yesus.

 

Satu malam sebelum aku menyelesaikan renungan ini, aku harus merasakan situasi yang tidak enak, yaitu berhadapan dengan fobiaku. Entah karena musim penghujan yang mulai sering mengguyur kotaku atau karena berbagai hewan antah-berantah keluar dari habitatnya dan kerap kita lihat, tetapi mengapa malam itu harus ada ular yang melingkar di sudut ruang kamarku! Aku sangat-sangat-sangat fobia dengan ular. Sejak kecil jika melihat ada ular di tanah lapang, sontak aku lari dengan cepat. Di usia 17 tahun pun, ketika ada ular yang tiba-tiba jatuh di dekatku dan guru les bahasa Inggrisku, aku langsung loncat dan meminta dia berada di depanku,agak bodo amat dengan genderku pria dan guru lesku wanita; untuk satu hal ini aku emang pengecut.

Setelah merenung, ternyata aku punya fobia lain selain ular. Aku pernah memiliki fobia berada dalam kerumunan banyak orang yang membuat badan mual dan kepala pusing. Aku punya fobia akan ketinggian, yang membuat aku agak anti terhadap beberapa wahana permainan. Menilik Merriam Webster, fobia dipahami sebagai sebuah hal yang nampak berlebihan, disebabkan oleh ketakutan akan satu atau banyak objek, atau situasi, yang tidak bisa dijelaskan dan tidak logis. Bagi “Panji Sang Petualang” ular adalah sahabatnya, atau bagi atlet parkour, berada di tempat tinggi adalah kebahagiaan, dan ketakutanku mungkin dianggap tidak logis.

Tapi aku cukup yakin, sebagian dari kita juga memiliki fobia, entah sama atau berbeda dengan fobia yang kumiliki. Dengan mengambil pemahaman fobia sebagai ketakutan yang berlebih, kita bisa melihat banyak fobia-fobia baru bermunculan di tahun 2020 yang diwarnai dengan pandemi: fobia akan kondisi kesehatan yang menurun, fobia berkunjung ke rumah sakit atau tempat fasilitas kesehatan lainnya, fobia akan kondisi ekonomi-sosial-politik yang tidak stabil, fobia berada dalam kondisi yang padat orang, dan banyak fobia lainnya.

Kalau kita merunut Natal kembali ke asal mulanya, suasana kelahiran Kristus di dunia juga jauh dari ingar bingar, kemeriahan dan gemerlap ala pusat perbelanjaan di abad 21; kelahiran Yesus penuh dengan suasana kegelapan. Penulis kitab Matius mencatat kondisi ketakutan yang dirasakan oleh Yusuf. Ia berada dalam situasi yang kompleks. Yusuf mengetahui Maria sedang hamil di luar persetubuhan dengannya. Sebagai orang Yahudi, Yusuf berhak membatalkan pernikahannya, bahkan menghukumnya, karena Yusuf tidak punya tanggung jawab atas bayi yang dikandung Maria. Secara logika manusiawi (terlebih logika patriarki yang memprioritaskan laki-laki), tetap menikahi Maria adalah sebuah kerugian. Mungkin kekhawatiran juga ada di benak Yusuf: apakah Maria bukan perempuan baik sehingga berzina, apakah nanti anak dari Maria dapat dididik dengan ajaran Yahudi, apakah keluarganya kelak dapat hidup seturut ajaran Allah?

Dalam kondisi pelik Yusuf, di mana menceraikan Maria adalah sebuah keputusan terbaik, sosok Ilahi hadir dalam rupa malaikat Tuhan. Melalui mimpi, sosok tersebut menyatakan “jangan takut” atau dalam bahasa Yunani “μὴ φοβηθῇς” (baca: me phobethes). Kata “φοβηθῇς” ini pun diserap dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia yang kita kenal dengan “fobia”. Malaikat Tuhan menyampaikan agar Yusuf meninggalkan segala ketakutannya untuk memperistri Maria karena anak yang dikandungnya berasal dari Roh Kudus. Roh Kudus, Roh (dengan huruf besar), Roh Tuhan atau Roh Allah, telah hadir sejak manusia memahami penciptaan (Kej 1:2), memberi kuasa dan tuntunan kepada pemimpin Israel, Musa dan tujuh puluh dua pemimpin yang dipilih untuk membantunya (Bil 11:24-30), Gideon (Hak 6:34), Raja Daud (2 Sam 23:1-4) dan para nabi. Roh Kuduslah yang mampu membuat banyak hal yang nampak bagi manusia tidak mungkin, dapat terjadi.

Setelah menguatkan Yusuf dalam ketakutannya, malaikat juga memberikan perintah kepadanya untuk menamai anak tersebut “Yesus”. Nama “Yesus” berasal dari bahasa Ibrani “Yoshua” (Aram: “Yeshua”) yang berarti “Tuhan Menyelamatkan”. Keselamatan yang diberikan oleh Yesus, bukan keselamatan dari penjajahan Romawi, melainkan menyelamatkan dari dosa. Hal ini mengganti konsep yang dipahami dalam Perjanjian Lama dalam penebusan dosa, di mana bangsa Israel, melalui para Imam, membawa kurban bakaran, demi penghapusan dosa, yang bersifat temporal (Imamat 7:1-10).

Sang malaikat pun menegaskan akan kelahiran bayi kudus tersebut sebagai Imanuel, yang berarti Allah beserta kita. Kehadiran Yesus merupakan wujud nyata Allah yang turut hidup di tengah-tengah manusia, ikut merasakan kesulitan dan tantangan yang ada di dunia, turut serta menderita sebagai manusia, yang turut berjuang merespons ketakutan dalam kehidupan. Dengan kehadiran Yesus di dunia, seharusnya kita pun sadar bahwa Allah turut bekerja bersama kita merespons segala fobia yang kita gumulkan.

Memiliki ketakutan merupakan hal yang wajar dan manusiawi. Namun, bagaimana kita merespons ketakutan tersebut adalah hal yang penting. Ketika melihat ular, tentu awalnya aku sangat panik, tapi akan sangat bodoh jika aku terus menerus terdiam, maka aku perlu mengolah ketakutanku dengan membuangnya jauh-jauh. Kita pun perlu mengolah ketakutan yang hadir di kehidupan kita, kita perlu bergerak dari situasi rumit di hidup kita yang membuat kita cemas. Sadari bahwa Kristus turut berjuang bersama kita mengalahkan segala ketakutan dan menghadirkan kasih sukacita dalam hidup kita.

Pertanyaan refleksi:

1. Ambil waktu teduh, dan tanyakan pada dirimu, apa yang menjadi ketakutanmu saat ini? Akui dan ungkapkan hal tersebut pada Tuhan.

2. Tanyakan pada diri kita, apakah kita sudah cukup memekakan diri akan kehadiran Tuhan dalam ketakutan kita, atau kita justru mengabaikan-Nya?

3. Dalam segala kekuatiranmu, maukah kamu berserah kepada Tuhan, menerima kehadiran-Nya dalam hidup kita, dan ikut berjuang melawan ketakutan kita?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Ari Setiawan, Yogyakarta | Merupakan lulusan Ilmu Komunikasi UK Petra. Sedang dan terus bergumul akan panggilan Tuhan dalam hidup, berjuang juga untuk mengalahkan ketakutan akan kehidupan. Aktif menulis di WarungSaTeKaMu, Ignite GKI dan merupakan head producer dari podcast Ignite GKI. Berharap dapat menjadi penggerak bagi anak muda Kristen untuk menjadi berkat bagi bangsa dan dunia dalam berbagai aspek kemampuan.