Posts

“Aku Gak Suka Dipanggil Si Batak!” Sebuah Kisah tentang Streotip

Oleh Santi Jaya Hutabarat

“Aku tidak suka dipanggil “si Batak”, mamaku menamaiku Togar!” ucapnya kesal setiba di mes.

Aku kaget mendengar reaksinya itu, mengingat saat kejadian sebelumnya dia tidak berkomentar apapun.

“Si Batak tidak usah dikasih mic. Suaranya sudah besar kok sejak orok,” kata salah satu rekan kerja kami saat Togar diminta menyampaikan sambutan untuk teman-teman yang sedang berpuasa. Hari ini ada acara berbuka bersama dengan teman-teman beragama Islam dari tempat kami bekerja.

Menganggap hal itu sebagai gurauan yang biasa saja, kami menyambutnya dengan gelak tawa. Sebaliknya, Togar ternyata merasakan hal berbeda.

Di kantor, Togar terkenal dengan logatnya yang khas serta bicaranya yang kuat. Pria bermarga yang lahir dan dibesarkan di Dolok Sanggul, Sumatera Utara ini, memang bersuku Batak Toba. Jadi, menurutku wajar saja kalau ia dipanggil “si Batak”. Lagipula selama ini kami tidak tahu kalau dia tidak nyaman dengan panggilan dan gurauan kami tentang ke-batakannya itu.

“Aku kan bicara keras tidak dibuat-buat, begitulah caraku ngomong. Janggal kali kurasa kalau pelan-pelan, macam berbisik,” terangnya tanpa kuminta.

“Tapi memang kamu kan orang Batak, mengapa kamu tidak nyaman dipanggil begitu?” tanyaku memberanikan diri.

“Jadi kalau kamu kupanggil Padang “si manusia pelit” mau?” balasnya seperti menyerangku balik.

Aku tertegun. Dalam diam aku memikirkan bagaimana hal yang terkesan sepele ini bisa menyulut emosi Togar. Aku tidak tahu pasti sudah berapa lama dia tidak nyaman dengan stereotip yang kami anggap candaan itu, dan aku yakin rekan kerjaku yang lain juga tidak menyadari hal itu.

Tidak hanya merusak relasi, dalam dampak yang lebih besar, pemberian stereotip juga bisa menimbulkan masalah. Seperti salah satu kasus yang terjadi di 2020 silam. Saat itu, di tengah pandemi Covid-19 yang menghantam hampir seluruh dunia, perhatian publik tertuju pada kematian pria kulit hitam, George Floyd. Hal ini bermula dari penangkapan dirinya oleh oknum polisi karena diduga melakukan transaksi dengan uang palsu. Derek Chauvin, polisi yang menangkapnya, memborgol kedua tangan Floyd dan menjatuhkannya ke aspal. Ia juga menekan leher Floyd dengan lututnya sampai lemas dan menyebabkan Floyd meninggal dunia di rumah sakit.

Peristiwa George Floyd tidak hanya menggugah kesadaran publik tentang stereotip yang berujung pada tindakan diskriminasi, namun kerusuhan atas aksi demonstran juga menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Meski tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh adanya stereotip tertentu pada kulit hitam, kejadian ini mengingatkan kita bagaimana pandangan atau stereotip terhadap kelompok tertentu sangat membahayakan. Dalam kejadian ini, seseorang sampai kehilangan nyawanya.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan stereotip berbentuk tetap atau berbentuk klise. Lebih lanjut didefinisikan bahwa stereotip merupakan konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tetap. Stereotip tidak sesederhana pandangan positif maupun negatif pada kelompok tertentu. Penyematan label-label tertentu pada etnis atau ras, gender, kelas sosial, usia, warna kulit, kebangsaan hingga agama tersebut, lahir dari anggapan yang dapat menimbulkan prasangka hingga diskriminasi.

Dalam konteks kehidupan kita sebagai umat Kristen di Indonesia yang sarat dengan perbedaan, beragam stereotip terhadap kelompok tertentu mungkin sudah sering kita dengar. Wajah ber-siku, mudah emosi, ngomong kasar, serta logat yang khas untuk suku batak Toba. Ada juga sebutan “si mata sipit dan kikir” pada etnis Tionghoa, “rambut keriting, kulit hitam” untuk teman-teman dari Timur, “Dang Jolma” (Batak Toba: tidak berkemanusiaan) bagi suku Nias, serta ragam penyebutan untuk suku dan ras lainnya. Di satu sisi penyebutan ini terkadang dianggap candaan, namun di sisi yang berbeda, hal ini juga bisa menimbulkan masalah dalam relasi.

Belajar dari hubungan orang Yahudi dan orang Samaria yang banyak sekat (Yohanes 4:9). Orang Yahudi memandang najis orang Samaria karena nenek moyang mereka yang melakukan kawin campur. Begitu juga orang Samaria menganggap orang Yahudi memegang ajaran yang salah karena berkeyakinan bahwa Taurat dan syariat Yahudi berasal dari Tuhan.

Lebih lanjut, kita juga dapat membaca kisah Natanael dalam Yohanes 1:45-46. “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?” tanya Natanael ragu saat Filipus mengaku bertemu dengan Mesias, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret. Tidak ada yang salah dengan Kota Nazaret, namun kota ini tidak pernah disebut sebagai kota asal sang Juru Selamat dalam nubuatan para nabi. Lain hal dengan Kota Betlehem, kota ini sudah dinubuatkan oleh Nabi Mikha bahwa akan bangkit seorang pemimpin bagi Israel (Mikha 5:1). Hal ini juga yang mungkin mendorong keraguan Natanael. Padahal Yesus lahir di kota Daud, Betlehem. Tetapi, demi penggenapan rancangan Allah, Yesus disebut orang Nazaret (Matius 2:23).

Tentang penggolongan, dalam pasalnya yang kedua dari ayat 1 sampai 4, Yakobus mengingatkan agar tidak ada pembedaan dalam hati yang membuat kita memperlakukan orang lain dengan berbeda. Yakobus memberikan nasihat agar tidak menilai dan memperlakukan seseorang berdasarkan penampilan atau kelas sosialnya.

Sama seperti pengalamanku dalam pertemananku dengan Togar, kita tidak pernah bisa mengetahui secara pasti bagaimana stereotip tertentu memberikan dampak bagi orang lain. Bagi sebagian orang, sebutan/panggilan tertentu mungkin terkesan biasa saja, namun untuk sebagian lainnya, penyebutan tersebut menyinggung atau mengganggu.

Yesus pun pernah menjadi korban dari prasangka. Ketika Dia menjumpai seorang perempuan Samaria di sumur Yakub, hal tersebut bukanlah tindakan lazim pada zaman itu, mengingat orang Yahudi tidak bergaul dengan perempuan Samaria. Komunikasi antara pria Yahudi dengan seorang perempuan Samaria tidaklah dibenarkan menurut budaya karena orang Samaria dianggap lebih rendah derajatnya. Belajar dari sikap Yesus yang mematahkan prasangka itu dengan hadir secara langsung dan bercakap dengan si perempuan Samaria, kita bisa memulai dengan belajar mengenal orang lain secara pribadi tanpa embel-embel stereotip tertentu.

Seperti keraguan Natanael yang terjawab setelah ia bertemu dengan Yesus, tentu saja pengenalan kita yang bersifat pribadi tidak boleh kita jadikan sebagai penilaian yang sama pada semua orang, meski mereka berasal dari daerah yang sama atau memiliki latar belakang yang mirip. Lebih dari itu, sebagai anak-anak Allah hendaknya kita juga terus belajar untuk mengasihi Allah dan sesama (Matius 22:37, 39) tanpa membeda-bedakan, sebab kita adalah satu di dalam Kristus Yesus (Galatia 3:28).

Soli Deo Gloria