Posts

Mengatasi Burnout di Tempat Kerja

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

Aku kembali melihat arloji di lengan kiriku, untuk kesekian kalinya dalam 30 menit. Aku tidak sabar menunggu jarumnya menunjuk angka 4 pertanda waktu mengajarku selesai. Memasuki tahun terakhir di kampus, sembari mengerjakan skripsi aku menerima tawaran mengajar persiapan Ujian Nasional bagi anak SMA di salah satu daerah di Sumatera Utara. Walau sudah beberapa kali punya kesempatan untuk menjadi pendidik, rasa jenuh dan keinginan untuk segera selesai mengajar tidak selalu berhasil kuhindari.

Bekerja dan berhadapan dengan anak didik sebagai manusia dengan kehendak bebas yang kaya dengan berbagai respons atau pun tingkah laku di setiap harinya tidak menjadi jaminan bagi seorang pendidik untuk tidak mengalami kejenuhan bekerja atau dikenal dengan istilah burnout. WHO yang merupakan organisasi kesehatan dunia mendefinisikan burnout sebagai sindrom yang dihasilkan stres kronis di tempat kerja yang belum berhasil dikelola dengan baik. Sindrom tersebut ditandai dengan tiga hal: pertama, merasa kehilangan energi atau kelelahan; kedua, meningkatnya keinginan untuk mengasingkan diri dari pekerjaan, atau adanya perasaan negatif atau sinisme terhadap pekerjaan; dan yang ketiga berkurangnya efikasi profesional.

Secara umum burnout menggambarakan kondisi di mana seseorang merasa lelah dan jenuh dengan pekerjaannya. Dari 1 Raja-raja 19:1-18, kita bisa membaca kisah tentang nabi Elia yang melarikan diri ke padang gurun. Elia menghindari pengejaran ratu Izebel yang mengancam ingin membunuhnya. “Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku”, katanya ingin mati (ayat 4). Merasa gagal dengan yang dikerjakan, ketakutan akan keselamatan diri dan kelelahan fisik setelah berjalan seharian penuh menggiring rasa ingin mati pada Elia.

Hal yang sama juga dapat terjadi pada kita. Sebagai pendidik tidak jarang aku merasa kurang maksimal ketika aku melihat anak didikku kesulitan mengerti materi yang kami bahas, terkadang aku khawatir tentang pertumbuhan karakter mereka dengan semua pengaruh teknologi yang mereka gunakan dan seringkali hal itu membuatku mempertimbangkan untuk meninggalkan profesi yang idealnya memanusiakan manusia tersebut.

Apa pun pekerjaan yang sedang kita tekuni, bukan tidak mungkin kita mengalami kejenuhan. Kendati WHO menyarankan agar perusahaan/tempat bekerja untuk menfasilitasi pencegahan atau pun penyembuhan burnout pada pekerja, secara pribadi kita juga bisa menerapkan beberapa hal berikut untuk membantu menghindari ataupun mengatasi burnout :

  1. Memiliki motivasi kerja yang benar (Kolose 3:23)
  2. Mengerjakan segala sesuatu untuk Tuhan mungkin terdengar klise karena setiap pekerjaan tentu mempunyai target yang harus dicapai dalam jangka waktu tertentu. Jurnalis yang mesti memenuhi jumlah berita minimal yang diterbitkan, manager pemasaran yang harus mencapai target penjualan, supir angkot yang perlu kejar setoran serta pekerjaan lain dengan target-target yang wajib diselesaikan.

    Keberhasilan memenuhi target kerja tentu berpengaruh baik pada karier dan kesejahteraan kita, namun acap kali motivasi pengejaran tersebut berubah menjadi ambisi berlebihan berujung serakah. Gaji yang besar, kenaikan pangkat, pujian dari atasan memang perlu bagi kita namun tidak selalu menjadi kebutuhan kita yang utama, kelegaan dan sukacita ketika bekerja tentu menjadi award yang tidak terukur.

  3. Memiliki perencanaan yang dikerjakan (Amsal 21:5)
  4. Mengerjakan tugas dengan sistem kebut semalam (SKS), menyelesaikan laporan bulanan sampai subuh, menonton drama dari pagi hingga pagi adalah contoh kegiatan yang mungkin pernah kita kerjakan. Selain berbahaya bagi kesehatan tubuh dan performa dalam bekerja, hal tersebut bisa jadi alarm untuk manajemen waktu yang kita punya. Demikian halnya dalam bekerja, kita mungkin kerap menunda-nunda pengerjaanya atau sebaliknya kita sangat bersemangat hingga ingin segera menyelesaikannya.

    Dengan pertimbangan, kita bisa menyusun perencanaan tentang mana pekerjaan yang harus diselesaikan dulu, memutuskan kapan waktu untuk microbreak atau rehat kilat dengan bermain gim atau mendengarkan musik, mengatur jadwal makan yang teratur serta aktivitas lainnya yang kita kerjakan di tempat kerja (Amsal 15:22). Tentang hal ini, Tuhan Yesus juga mengingatkan orang yang mengikut Dia dalam perjalanan-Nya tentang pentingnya perencanaan sebelum mengerjakan sesuatu. Dia menggunakan ilustrasi tentang seseorang yang akan melihat ketersediaan anggarannya sebelum mendirikan menara serta tentang seorang raja yang akan mengatur strategi sebelum berperang (Lukas 14:28-31).

  5. Menjalin relasi yang baik (Ibrani 10:22-25)
  6. Abai dalam menjalin relasi kepada Tuhan dan kepada sesama dengan berbagai alasan sering menggiring kita untuk selalu asyik sendiri seakan punya dunia sendiri. Baik kepada Tuhan maupun terhadap sesama, relasi dibangun lewat komunikasi. Kita menemukan kekuatan di saat lemah dan semangat ketika kita merasa tidak berdaya untuk melanjutkan pekerjaan kita lewat relasi dengan Tuhan (Yesaya 40:29). Sama halnya dengan relasi dengan mereka yang kita temui hampir setiap hari di jam kerja. Sapaan di pagi hari, lelucon receh dari rekan kerja, pujian dan kerjasama yang baik dengan teman-teman di kantor sampai saling menolong dan berbagi suka-duka dengan mereka dapat menjadi sumber sukacita di tempat kerja.

    Datang menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh dan saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih di tempat bekerja merupakan bentuk relasi yang bisa membantu kita mengatasi burnout yang sedang kita alami.

Menjadi rekan sekerja Allah melalui pekerjaan kita tentu tidak menjamin kita terbebas dari belenggu kejenuhan (burnout). Selain mencoba ketiga hal diatas, dengan akal budi yang dianugerahkan Allah kepada kita, kiranya kita juga terus berusaha mengatasi kejenuhan (burnout) yang kita alami serta senantiasa mengimani bahwa Allah tetap menyertai kita untuk melaluinya (Yesaya 41:10).

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Kemarin Aku Gagal, Hari Ini Aku Memilih Mengucap Syukur

Meski di awal usahaku meniti karier pil terasa getir, tapi aku mau tetap membuka hatiku untuk mengecap kebaikan-Nya. Aku mau tetap mengucap syukur.

Bosan Tidak Selalu Jadi Pertanda untuk Berhenti

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

“If you are tired, learn to rest, not quit.”

Pesan di atas kuterima di bulan keenam tahun 2018 dari seorang teman dekat yang mengetahui keputusanku untuk mengundurkan diri dari kepengurusan organisasi pelayanan intern-kampus. Jenuh merupakan faktor utama yang mendorongku untuk memutuskan mundur dari koordinasi yang seharusnya kuselesaikan hingga bulan Desember di tahun yang sama.

Sebagai pengurus, aku dan kesembilan teman dalam koordinasi biasanya memiliki jadwal yang padat. Selain karena kami juga masih menjalani rutinitas kuliah, kegiatan di organisasi dengan visi pelayanan “murid yang memuridkan kembali” tersebut juga terbilang cukup padat. Kegiatan dalam Kelompok Kecil yang merupakan ujung tombak dari pelayanan tak boleh luput dari pantauan kami sebagai motor organisasi di tahun itu. Begitu juga dengan kegiatan lain seperti persiapan ibadah yang biasanya dilakukan 2 kali sebulan, jam doa puasa, pelatihan untuk meningkatkan keterampilan anggota organisasi yang masih mahasiswa hingga harus menjalin komunikasi dengan keseluruhan anggota baik alumni maupun mahasiswa melalui sharing ataupun via daring serta mengadakan pertemuan untuk regenerasi kepengurusan di tahun mendatang.

Hampir setiap malam kami harus bertemu di rumah sekretariat, terkadang kami juga harus sampai begadang karena susah mencocokkan jadwal kosong di siang atau sore hari. Aktivitas yang di awal membuatku bersemangat perlahan berubah menjadi rutinitas yang berlalu tak berbekas ataupun bermakna. Di bulan keenam, kuberanikan diri bercerita dengan seorang teman yang juga pernah mengerjakan kepengurusan. Walau berbeda kampus namun aku percaya dia bisa jadi tempat berbagi.

“Mengapa kemarin mau menerima pelayanan itu?” Pertanyaan pertama darinya membuatku mengingat kembali momen ketika PKK-ku (Pemimpin Kelompok Kecil) secara khusus mengajakku membahas firman Tuhan dari Lukas 19:28-40 tentang bagaimana Yesus dielu-elukan di Yerusalem.

Di sana diceritakan bagaimana Yesus meminta murid-murid-Nya membawa keledai untuk-Nya yang akan ditunggangi-Nya menuju Yerusalem. Saat Yesus akan menaiki keledai, orang-orang menghamparkan pakaiannya dan membantu Yesus menaiki keledai itu.

“Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan, damai sejahtera di sorga dan kemuliaan di tempat yang Maha Tinggi”, kata semua murid yang mengiring Dia. Karena hal itu, orang Farisi menegur Yesus, “Guru, tegorlah murid-murid-Mu itu”. Jawab Yesus, “Jika mereka ini diam, maka batu ini akan berteriak” (Ayat 40).

“Jangan mengeraskan hati dek, jika Tuhan mau, batu pun bisa dipakai-Nya untuk melayani Dia”, begitu kakak di kelompok kecil mengingatkanku di akhir pertemuan itu.

“Ahk, aku capek. Bosan! Daripada kukerjakan tapi tidak dari hati” belaku dengan berbagai alasan pembenaran atas keputusanku. Merasa lelah karena terlalu sering dipekerjakan merupakan salah satu penyebab kejenuhan. Walau tak selalu benar, kejenuhan bisa menjadi alasan bagi kita untuk tidak mengerjakan hal itu lagi.

“If you tired, learn to rest, not quit”, kutipan di awal tulisan ini mengingatkanku untuk menyediakan waktu beristirahat alih-alih mundur dan mengingkari komitmen yang sudah diambil. Di dalam pelayanan-Nya, Yesus juga pernah mengajak murid-murid-Nya untuk beristirahat ketika mereka harus memberi makan lima ribu orang yang mengikuti mereka (Markus 6:31). Tentu beristirahat dan berhenti adalah dua hal yang berbeda. Secara perlahan dengan pertolongan-Nya, aku mengingat kembali kenapa aku mau menerima tanggung jawab itu. Dengan menyediakan waktu untuk beristirahat, itu berhasil membantuku memulihkan keadaanku saat itu.

Jenuh, jemu, bosan menggambarkan situasi emosional di mana kita sudah tidak suka dengan si objek yang bisa jadi dalam bentuk keadaan, pekerjaaan, lingkungan bahkan hubungan dengan seseorang. Ayah yang sudah bosan bertahun-tahun bekerja di tempat yang sama; ibu yang jenuh dengan urusan dapur dan kegiatan beres-beres yang dilakukan setiap hari; anak yang jemu duduk berjam-jam di kelas ditambah dengan tugas sekolah; atau mungkin sepasang kekasih yang mulai bosan dengan dering telpon yang dipisahkan jarak; bahkan kita anak-anak Tuhan yang mungkin merasa jenuh menjalin persekutuan dengan-Nya.

Memasuki bulan keempat setelah aturan-aturan untuk menanggulangi pandemi virus corona digalakkan, beradaptasi untuk menghilangkan kejenuhan bukanlah perkara yang mudah. Berhenti beraktivitas dari rumah, pergi berkerumun, atau menolak anjuran pemerintah tentu memiliki konsekuensi tersendiri khususnya bagi kesehatan kita. Sebagai individu yang diciptakan berbeda-beda, tips treatment untuk kejenuhan orang yang satu bisa saja tidak mempan untuk yang lainnya. Pilihan untuk menikmati waktu dengan keluarga, mengubah situasi kamar atau rumah agar lebih nyaman untuk belajar dan bekerja dari rumah, hingga mencari kreativitas lain agar tetap waras selama #DiRumahaAja terdengar klise dan tak berpengaruh. Namun sebagai ciptaan-Nya kita perlu mengingat bahwa pada-Nya ada jawaban dari setiap pergumulan kita dan pada-Nya ada kelegaan bagi setiap kita (Matius 11:28).

Kiranya kita bisa memaknai setiap waktu atau kesempatan dengan bijaksana. Sama seperti Musa, biarlah kita tak bosan meminta kekuatan dari Tuhan untuk menyadari berharganya setiap waktu yang ada (Mazmur 90:12).

Dia akan menolong dan memulihkan semangat kita (Yesaya 40:29).

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Ketika Aku Terjebak Membandingkan Diriku dengan Orang Lain

Aku pernah ada dalam kondisi membandingkan diriku dengan orang lain. Dan orang itu adalah teman terdekatku! Aku merasa temanku itu lebih baik dalam banyak hal, terutama pelayanan yang dia kerjakan.

Kehendak-Nya Tidak Selalu Tentang Mauku

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

Doakan aku ya biar wisuda tahun ini,” begitu isi chat dari teman seangkatanku di kampus beberapa hari yang lalu. Dia adalah satu dari beberapa temanku yang belum berhasil menyelesaikan perkuliahannya walau tahun 2020 ini merupakan tahun keenam bagi angkatan kami. Selain karena ingin segera menjadi alumni, tekanan pertanyaan dari orang tua, beban keuangan karena harus membayar uang kuliah, jenuh dengan urusan revisi, malu dengan teman-teman seangkatan bahkan adik tingkat yang sudah selesai merupakan ha-hal lain yang juga ikut mendesaknya untuk menyelesaikan kuliah.

Menyelesaikan tugas akhir merupakan salah satu hal yang sering terasa sulit bagi mahasiswa tingkat akhir. Terbatasnya dana yang dimiliki untuk melakukan penelitian, bermasalah dengan hasil penelitian, kehabisan ide untuk judul penelitian, kesulitan memperbaiki revisi adalah beberapa contoh kesusahan yang dialami. Maka tidak heran jika ada mahasiswa yang putus asa dan tidak menyelesaikannya hingga drop out dari kampus atau bahkan ada yang sampai mengakhiri hidupnya pada masa penyusunan tugas akhir.

Sebagian kita mungkin berpikir mereka bodoh sekali. Kok seperti tidak beriman? Kan masih banyak jalan lain, tugas akhir kan bukan segalanya. Namun bagi mereka yang sudah mengusahakannya tapi tidak kunjung berhasil, menyelesaikan studi tak semudah mengomentarinya. Kita memang sebaiknya tidak menghakimi sesama (Matius 7:1-2), kita juga harus mengingat bahwa tidak semua orang memiliki persepsi dan tingkat kerentanan yang sama walaupun berhadapan dengan hal yang sama.

“Kemarin katanya ini adalah bimbingan kami yang terakhir, aku sudah mengerjakan yang diminta, namun hari ini aku diminta lagi melakukan perbaikan di bagian lain, entah apa salahku bisa lama wisuda,” keluhnya disertai emotikon sedih.

“Kerjakanlah, He knows the best for you! Mungkin ini akan menjadi revisimu yang ke 20/25,” balasku sedikit jahil.

Ya, Tuhan tahu yang terbaik bagi setiap ciptaan-Nya (Yeremia 29:11). Dari Alkitab kita melihat bahwa Tuhan tahu yang terbaik bagi Ayub yang mengalami sakit penyakit serta kehilangan harta dan anaknya (Ayub 42:2). Tuhan juga yang mengutus Musa dengan setiap keterbatasannya untuk rencana-Nya atas bangsa Israel (Keluaran 3:11-12). Tuhan juga tahu yang terbaik untuk memelihara kehidupan umat-Nya (Kejadian 45:5) melalui Yusuf yang dijual saudara-saudaranya menjadi budak orang Mesir. Dan kita juga tahu bagaimana Yesus, anak-Nya yang tunggal melalui Via Dolorosa untuk menggenapi rencana-Nya bagi dunia yang dikasihi-Nya (Matius 26:39). Semua menceritakan bagaimana Tuhan dapat memakai setiap hal bahkan situasi yang kita anggap paling sulit sekalipun untuk menyatakan rencana-Nya.

Percaya pada Tuhan dan setiap rencana-Nya ketika semua terasa sulit akan terdengar klise apalagi ketika kita merasa sudah mengusahakannya, namun hasil tak jua maksimal. Sudah berdoa tapi rasanya Tuhan kok semakin terasa jauh, berserah namun merasa semakin tak berdaya. Alih-alih mencoba untuk mengerti dari sudut pandang Tuhan dan percaya dengan rencana-Nya, kita mungkin akan cenderung bertanya apa yang menjadi alasan Tuhan mengizinkan hal itu menjadi bagian dari cerita kita. Kita cenderung membombardir Allah dengan deretan pertanyaan. Mengapa harus aku yang kehilangan ibu? Mengapa aku yang harus lama wisuda? Apakah Engkau peduli? Mengapa Engkau membiarkan ini terjadi? Apakah maksud dari semuanya ini? Apa yang salah denganku dan pertanyaan mengapa lainnya yang mungkin sering malah membuat kita kurang peka untuk melihat bagaimana Allah akan bekerja lewat situasi tersebut.

Hal yang sama juga ditanyakan oleh murid Tuhan Yesus ketika Ia menyembuhkan orang yang buta sejak lahir (Yohannes 9:1-7).

“Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orangtuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” (ayat 2) Yesus menjawab dengan “Bukan dia dan bukan juga orangtuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia” (ayat 3). Hal ini juga tak jarang kita alami, kita mengaitkan kesulitan yang kita alami sebagai akibat dari dosa di masa lampau, layaknya hukum tabur tuai. Namun lewat kisah orang buta tersebut kita belajar bahwa tak selamanya kesulitan yang kita alami adalah upah dosa, Tuhan juga bisa memakai penderitaan yang kita alami untuk menyatakan rencana-Nya seperti kesembuhan orang buta itu (ayat 11).

Kita juga melihat bagaimana Ayub, orang yang paling saleh di dalam Alkitab (Ayub 1:1,8) yang juga menanyakan apakah maksud Allah dengan penderitaan yang dialaminya (Ayub 10), walaupun Ayub merupakan tokoh Alkitab yang seringkali dihubungkan dengan ketabahan dalam menghadapi penderitaan (Yakobus 5:11). Melalui kesembuhan yang dialami orang buta itu, para tetangganya dan juga orang farisi mendapat kesempatan untuk melihat karya Allah dan meresponnya begitu juga dengan kisah Ayub yang dipakai Allah untuk memurnikan imannya.

Demikian juga dengan temanku yang sedang tidak mengerti dengan rencana Tuhan atasnya dalam pengerjaan skripsinya. Selain membantu memberi masukan untuk penelitiannya atau sekadar menghiburnya lewat media komunikasi, aku juga berdoa semoga dia semakin mengenal Tuhan dan bergantung pada-Nya dalam setiap proses yang ia lalui (Yesaya 40:31).

Mungkin kita juga sedang mengalami situasi-situasi yang menyulitkan kita dan membuat kita kehilangan sukacita, terlebih ditengah pandemi COVID-19 ini. Ketidakpastian akan rencana mendatang, kehilangan sahabat atau orang terdekat, kehilangan pekerjaan, kesulitan ekonomi serta kesulitan lain yang kita alami mungkin sering menyurutkan iman percaya kita, seperti kapal yang dihantam badai. Namun lagi-lagi kita harus mengingat bahwa dalam badai pun Tuhan tetap bisa menyatakan rencana-Nya (Mazmur 29; Markus 4: 35- 5:1).

Untuk setiap situasi kita selalu memegang janji Tuhan, bahwa Dia sekali-kali tidak akan membiarkan kita dan sekali-kali tidak akan meninggalkan kita (Ibrani 13:5) Dia tetaplah Allah yang menjadi sumber harapan ketika menghadapi setiap hal (2 Korintus 1:3). Kiranya kita terus meminta Tuhan untuk menuntun kita agar tetap percaya padaNya dan setiap rencana-Nya yang tidak selalu tentang kehendak dan kemauan kita (Amsal 3:5)

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Ketika Penolakan Menjadi Awal Baru Relasiku dengan Tuhan

Ketika sesuatu terjadi tak sesuai mau kita, kita mungkin membombardir Tuhan dengan deretan pertanyaan kenapa. Tapi, mengapa tidak menjadikan momen ini sebagai kesempatan untuk melihat dari sudut pandang-Nya?

Memang Lidah Tak Bertulang, Tapi Firman-Nya Ada di Lidahku

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

Banyak cara bisa kita lakukan untuk menikmati quality time bersama orang-orang terkasih: jalan-jalan ke tempat wisata, bertemu sanak keluarga untuk melepas rindu, atau menikmati makan malam bersama. Namun, apa pun dan di mana pun acara quality time itu berlangsung, ada satu aktivitas yang pasti kita lakukan, yaitu berbicara.

Ada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa setidaknya manusia mengucapkan sekitar 7.000 kata dalam sehari. Dengan jumlah kata yang begitu banyak, apakah ada aturan yang jelas untuk kita berkata-kata?

Alkitab memberikan penekanan yang jelas pada pentingnya menjaga perkataan. Menurut studi yang dilakukan para penafsir, ketika Yakobus menulis suratnya kepada kedua belas jemaat di perantauan, jemaat Kristen mula-mula pada saat itu suka bergosip. Di pasal 3 ayat 1-2, Yakobus menekankan pentingnya anggota gereja yang tersebar di luar Israel atau Palestina untuk menyatakan iman mereka lewat perbuatan-perbuatan, atau tindakan sehari-hari, termasuk tutur kata.

Dari apa yang Yakobus tuliskan, kita mendapati fakta bahwa meskipun seseorang sudah berstatus Kristen, itu tidak menjadikan kita otomatis bisa bertutur kata dengan bijak dan tanpa salah. Kadang, karena sudah kebiasaan, kita bisa saja tidak menganggap salah cibiran, guyonan, makian, atau bahkan kebiasaan bergosip yang kita lakukan secara sengaja atau keceplosan. Kata-kata yang diucapkan sejatinya bukanlah sekadar ucapan, Yakobus berkata kata-kata kita bisa berkuasa memberikan berkat tapi juga bisa merusak (Yakobus 3:9-10).

Lantas, kata-kata seperti apa yang seharusnya keluar dari mulut kita?

Untuk menjawabnya, aku mengajakmu untuk menelaah tiga ayat dari firman Tuhan berikut ini:

1. Kata-kata yang jujur (Amsal 2:7)

“Ia menyediakan pertolongan bagi orang yang jujur, menjadi perisai bagi orang yang tidak bercela lakunya.”

Berkata jujur merupakan salah satu wujud dari penguasaan diri yang kita miliki. Dalam Mazmur 15:1-3, Daud menulis bagaimana Allah berkenan bagi orang-orang yang mengatakan kebenaran dan yang tidak menyebarkan fitnah dengan lidahnya.

Allah berkenan kepada Ayub yang jujur dan menghukum Akhan yang tidak jujur. Dalam Yosua 7 dituliskan bahwa Akhan adalah seorang Yehuda yang mencuri barang jarahan dan menyembunyikannya dalam kemah. Selain Akhan, Allah juga menghukum Kain (Kejadian 4), juga Ananias dan Safira (Kisah Para Rasul 5:3-4) yang bersikap tidak jujur.

Menjaga kejujuran seperti yang Alkitab tuliskan berarti kita perlu jujur tak cuma dalam perkataan verbal, tetapi juga dalam perkataan yang dituangkan dalam bentuk teks. Ketidakjujuran adalah akar dari menyebarnya berita bohong, gosip, dan fitnah.

2. Kata-kata yang membangun (Efesus 4:29)

“Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.”

Ketika sedang sesi sharing dengan kelompok PA di kampus, seorang rekanku bercerita bahwa dia merasa terganggu ketika disinggung tentang rambutnya yang keriting. Komentar teman-temannya pernah membuat dia ingin segera ke salon untuk smoothing dan meluruskan rambutnya. Dari ceritanya, aku mendapati bagaimana kata-kata yang kesannya biasa saja, atau sekadar basa-basi, ternyata bisa menganggu orang lain bahkan bisa membuat seseorang jadi insecure, apalagi jika basa-basinya menyangkut dengan kondisi fisik seseorang.

Dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, Paulus menekankan bagaimana setelah hubungan kita dnegan Allah dipulihkan, atau ketika kita hidup sebagai manusia baru, roh dan pikiran kita juga harus diperbaharui sehingga kita boleh dikembalikan dalam kebenaran dan kekudusan yang sejati, yang mengubah cara hidup kita dalam berelasi dengan sesama, termasuk berbicara (Efesus 4:29).

3. Kata-kata yang berkenan bagi Tuhan (Mazmur 19:15)

“Mudah-mudahan Engkau berkenan akan ucapan mulutku dan renungan hatiku, ya TUHAN, gunung batuku dan penebusku.”

Ketika orang lain sedang berbicara, alih-alih mendengarkan dengan fokus, seringkali kita malah sibuk memikirkan bagaimana kita akan meresponsnya. Amsal 10:19 berkata, “Di dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran, tetapi siapa yang menahan bibirnya, berakal budi.”

Surat Yakobus pada pasal pertamanya juga mengingatkan kita untuk cepat mendengar dan lambat berkata-kata. Maksud dari ayat ini bukan berarti kita harus diam dan tidak berkata-kata sama sekali, namun kita diminta untuk bijak dalam berbicara karena perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak (Amsal 25:11) dan tentunya berkenan bagi Allah.

Sebagai penutup, dalam Matius 12:34-37 disebutkan bahwa apa yang diucapkan mulut meluap dari hati. Orang yang baik mengeluarkan hal-hal yang baik dari perbendaharaannya yang baik, dan orang yang jahat mengeluarkan hal-hal yang jahat dari perbendaharaannya yang jahat. Hal ini serupa ketika kita menyajikan makanan atau minuman untuk tamu atau orang-orang yang kita kasihi. Makanan enak yang tersaji merupakan hasil dari kombinasi bahan-bahan yang berkualitas baik. Juga minuman, jika kita mengisi cerek/teko dengan gula dan kopi maka rasa pahit dan manis dari kopi dan gula tersebutlah yang kita kecap. Demikian halnya dengan perkataan kita, jika kita sering mengisi hati kita dengan kebaikan-kebaikan dari pembacaan, pendengaran maupun perenungan firman Tuhan, maka hal itu jugalah yang akan terpancar lewat kata-kata kita.

Mazmur 141:3 (Awasilah mulutku, ya TUHAN, berjagalah pada pintu bibirku!) kiranya menjadi permohonan kita kepada Tuhan agar Tuhan semakin dimuliakan lewat kata-kata kita.

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Hanya Sekadar Baca Alkitab Tidaklah Cukup

““Kamu baca Alkitab tiap pagi, tapi selalu mengeluh!” Setelahnya, dia bergegas ke kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat.

Kata-katanya seperti tamparan di wajahku. Tadi pagi aku baru saja baca Alkitab. Namun, ketika kesalahpahaman muncul, aku menyerah pada pencobaan dan meresponsnya dengan marah. Aku terdiam.”

Kini dan Nanti, Penyertaan-Nya Tetap Ada

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

JANGAN PUTUS ASA DAN TETAP SEMANGAT

Begitu pesan yang muncul di laman pengumuman SBMPTN 2019. Hari itu adalah salah satu hari yang paling kuingat di sepanjang hidupku. Sebagai kakak perempuan dari adikku satu-satunya, aku turut sedih dengan pengumuman itu. Kutenangkan hati dan pikiranku, lalu ku-screen shot pengumuman itu dan kukirimkan pada adikku. Tidak ada kata-kata atau emotikon apa pun yang kusertakan selayaknya kami biasanya saling chat. Bukan sedang tidak mau memberi semangat atau enggan menulis kalimat supaya adikku tidak putus asa, tapi kali itu aku menyadari kalau hal itu sepertinya tidak akan menolongnya untuk tidak bersedih atau pun bingung.

Memoriku saat mengantar dan menemani adikku mengikuti ujian seleksi masuk perguruan tinggi negeri kembali terngiang.

“Kayakmana lah aku kalau nggak lulus ke kampus negeri,” adikku bertanya padaku saat perjalalan pulang.

Aku sengaja mengajak adikku pulang jalan kaki, selain karena lokasi ujian yang dekat dengan kosku, aku juga jadi punya kesempatan untuk menanyakan bagaimana pengalamannya ikut ujian itu.

“Optimislah dek, kalau memang bagianmu yang kuliah itu, jalannya akan tersedia,” nasihatku padanya.

Saat aku mengantarnya ikut ujian itu, kami memang tidak punya rencana alternatif jika dia tidak lulus. Kuliah di negeri menjadi satu-satunya rencana kami karena biaya kuliah yang relatif lebih murah. Walau sudah punya penghasilan, aku belum bisa membantu adikku secara finansial karena aku masih mengerjakan tugas akhirku. Tidak kuliah dan mencari pekerjaan adalah satu-satunya cara yang harus diterima adikku jika dia gagal seleksi.

Kami tiga bersaudara. Ayah dan ibuku bukan orang yang mengenyam bangku kuliah. Ibuku tamatan SMP dan ayah tidak pernah mengenyam pendidikan sama sekali. Kuliah adalah hal yang baru bagi keluarga kami, termasuk juga dalam keluarga besar maupun masyarakat di kampung kami. Bagi banyak orang tua di tempat kami, kuliah itu identik dengan biaya mahal: uang studi, uang kos, uang bulanan, belum lagi lokasi kampus yang jauh dari kampung. Setelah menyelesaikan SMA, merantau ke kota besar seperti Batam, atau menjadi tenaga kerja di Malaysia seolah jadi kebiasaan yang diturunkan antar generasi. Jika tidak beruntung menyelesaikan SMA, menjadi buruh tani, kernet mobil tanah, atau menjadi buruh bangunan adalah hal yang umum di keluarga besar kami.

Aku masih ingat bagaimana respons kedua orang tuaku ketika mendengar kalau aku akan kuliah. Mereka terkejut, tapi tidak berani melarangku. Mungkin mereka tak tega karena aku sering berprestasi dalam bidang akademik maupun non-akademik di sekolah. Singkat cerita, dengan beberapa usaha, khususnya dalam dana dan beberapa perjanjian tentang hal yang boleh dan tidak boleh kulakukan selama kuliah, aku bisa mengenyam pendidikan tinggi di salah satu kampus negeri di kota Medan. Keputusanku untuk kuliah terinspirasi dari abang sepupuku. Dia menjadi orang pertama dalam keluarga besar kami yang kuliah. Dia kuliah di kampus keguruan yang ada di bagian selatan Tapanuli.

Nggak pernah aku nggak makan, dek. Tuhan mencukupkan setiap hal yang kubutuhkan,” begitu dia menasihatiku setipa kali aku bercerita tentang kekhawatiranku.

“Kuliah tidak menjamin pekerjaan yang baik untukmu, tapi ada pola pikir yang lebih luas terbentuk selama proses itu.” Perkataan ini merupakan bagian yang selalu kuingat sampai saat ini. Dan, benar, sampai di penghujung waktu kuliah, aku merasakan bagaimana Tuhan memelihara hidupku seperti yang Dia janjikan dalam Ibrani 13:5b.

Sama seperti aku yang terinspirasi dari abang sepupuku tersebut, tampaknya adikku juga mengalami hal yang sma. Dulu dia sempat menyatakan kalau dia akan bersekolah di SMK karena tidak mau kuliah. Bisa jadi dia terdorong memutuskan itu karena dia menyaksikan bagaimana keluarga kami berjuang agar kuliahku bisa terus berlanjut. Sebagai kakak, tentu aku berharap setiap kebaikan Tuhan terjadi pada adikku, termasuk harapanku kalau dia juga bisa berkuliah. Sembari berharap, aku mengingat firman Tuhan dari Yeremia 1:5, “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau.”

Semua yang terjadi adalah bagian dari rencana Tuhan. Pandangan yang sama mengenai perkuliahan serta sharing pengalamanku selama kuliah tetap kubagikan padanya. Seiring waktu berlalu, aku tidak mengerti bagaimana Tuhan bekerja. Alih-alih mendaftar ke SMK, adikku malah mengikuti beberapa seleksi masuk SMA dan berhasil menamatkan studinya dari bidang IPS. Lagi-lagi, aku belajar bahwa banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan Tuhanlah yang terlaksana (Amsal 19:21).

Ketika hal-hal terjadi sesuai dengan yang kita inginkan atau harapkan, mungkin tidak sulit untuk menerima dan menyatakan itu sebagai bagian dari penyertaan Tuhan. Namun, ketika semua terjadi di luar perencanaan kita, maka kekecewaan dan kekhawatiran sering menjadi teman setia kita, dan Tuhan pun terasa jauh. Ketika menerima kabar ketidaklulusan adikku, itu bukanlah hal yang mudah bagiku dan keluarga besarku.

Mungkin, saat ini semuanya masih tampak belum jelas. Adikku belum bisa berkuliah, tapi dia berencana untuk ikut seleksi kembali di tahun 2020 ini. Namun, kegagalan ini bukan berarti Tuhan tidak merestui rencananya berkuliah. Seperti aku yang dahulu merasakan bagaimana Tuhan menyertai perjalanan hidupku melewati suka dan duka, aku juga belajar percaya bahwa rancangan Tuhan adalah yang terbaik buat adikku dan keluargaku (Yesaya 55:8-9).

Perencanaan-perencanaan untuk mencapai hal-hal yang lebih baik tentu menjadi harapan kita di awal tahun 2020 ini. Resolusi pada karakter diri, karier, asmara, serta hal-hal lainnya kiranya tidak meluputkan kita dari menyerahkan diri kepada Tuhan.

Melewati setiap musim kehidupan yang sudah kita alami, atau yang akan kita lalui kelak, biarlah kita tetap percaya bahwa Allah akan memenuhi segala keperluan kita menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus (FIlipi 4:19).

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Bersyukur dan Percaya di Tengah Kesulitan, Sanggupkah?

Sepanjang tahun 2019 lalu, rasanya mudah sekali menuliskan “kejutan-kejutan” yang tak terduga karena begitu banyak hal yang terjadi di luar perkiraanku dan tak terbayangkan sebelumnya. Lantas, haruskah aku tetap percaya pada penyertaan Tuhan?