Posts

Cerpen: Aku (Bukan) Si Pelit

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

Bukan rahasia lagi kalau aku dikenal konservatif dalam berbagai hal terlebih untuk urusan berbagi sampai-sampai temanku sering menyebutku “Anggi si pelit”. Gelar baru itu kudapat sehubungan dengan kebiasaanku yang sangat berhati-hati dalam memberikan sesuatu baik barang atau jasa.

Semasa kecil, aku akan sangat mudah mengatakan “tidak” untuk teman-teman yang meminjam pulpen atau mainanku. “Nanti mamaku marah,” “Aku masih memakainya,” atau lebih ekstrem sampai berbohong, “Aku hanya punya satu.” Aku selalu mencari alasan agar apa yang ada padaku tidak dipakai atau diminta orang lain.

Beranjak remaja dan kuliah, berbagai kecenderungan egoisku semakin kentara. Aku terkesan tidak mau sharing apa yang sudah kuketahui, tapi sebaliknya aku akan sedikit memaksa teman-temanku menjelaskan hal-hal yang tidak kumengerti. Dalam hal keuangan, aku juga begitu. Saat ada kegiatan di luar kampus, aku kadang memilih menumpang pada teman jadi uang bensinnya tidak kutanggung sendiri. Aku juga sering keberatan saat kami harus mengumpulkan uang untuk merayakan ulang tahun dosen atau teman sekelas. Dulu aku mencoba berdalih kalau semua itu kulakukan hanya untuk menghemat dan bersikap bijaksana dengan uang atau barang-barang yang kumiliki. Belakangan, sepertinya teman-temanku tidak lagi mengenal karakterku yang lain, mereka hanya mengingatku sebagai pribadi yang susah berbagi.

Aku mengakui dalam beberapa sisi hidupku, julukan ini ada benarnya, namun aku tidak nyaman kalau pada akhirnya keseluruhan hidupku disimpulkan dengan satu label negatif tersebut. Teman-temanku seharusnya bisa melihat bagaimana aku selalu berusaha menepati hal-hal yang kujanjikan, aku juga bisa mengerjakan bagianku dengan bertanggung jawab. Untuk urusan keuangan, menurutku aku bisa mengendalikan diri untuk membedakan kebutuhan dan keinginan. Dalam hal berbagi, aku pun sudah mulai belajar. Di masa pandemi lalu beberapa kali aku mengirimkan sesuatu untuk teman dan saudara yang sedang melakukan isoman. Akhir-akhir ini aku bahkan memilih mengontrak bersama teman-teman kerjaku agar bisa berbagi pakai barang dengan mereka. Aku minta maaf jika ini terkesan sesumbar, tapi aku juga ingin mereka menyadari ada sisi baik dari diriku.

Aku yakin kalau aku bukan satu-satunya orang yang merasa terganggu dengan muatan identitas baik berupa label negatif atau positif. Tidak hanya dari orang lain, kita sendiri pun terkadang mau memberikan label tertentu pada diri kita. Mungkin kita adalah “Si A Ekstrovert”, selalu ceria dan dianggap aneh jika terlihat murung. Boleh jadi juga kita menamai diri sebagai “Si B Introvert” yang bisa menjaga rahasia, jadi teman-teman sering curhat padahal kita sedang tidak siap mendengar. Barangkali kita lebih mirip dengan julukan “Si C yang menyenangkan”, enggan menolak karena khawatir melukai perasaan orang lain. Atau justru kita “Si D” yang cenderung mengatakan pikiran kita terlebih saat tidak setuju
atau tidak suka dengan sesuatu sehingga dijuluki si pemarah dan sulit diajak kompromi.

Tidak hanya berisi kesan negatif, label yang melekat pada seseorang juga ternyata ada yang berdampak baik. Contohnya dalam penelitian “The Saints and the Roughnecks” yang dilakukan sosiolog J. Chambliss. Penelitian ini mengamati dua kelompok remaja, yang sering melakukan kenakalan seperti bolos sekolah, mengkonsumsi alkohol di sekolah, melakukan vandalisme dan mencuri. Meski sama-sama nakal, masyarakat sekitar mencoba memberikan label yang berbeda bagi keduanya, yang satu sebagai “The Saints” (Orang Baik) dan yang lain dengan julukan “The Roughnecks” (orang Kasar). Dari hasil observasinya selama dua tahun, ia menemukan bahwa 7 dari 8 remaja kelompok The Saints bisa berubah. Sebaliknya, anak-anak yang berada dalam kelompok The Roughnecks tetap hidup dengan kenakalan mereka. Hasil ini tampak sejalan dengan teori pelabelan di mana dikatakan pada dasarnya jika seseorang berulang kali diberitahu/dicap dengan “sesuatu yang negatif atau sesuatu yang positif,” maka pada akhirnya dia akan cenderung memenuhi label tersebut.

Dari Alkitab kita juga bisa belajar bahwa baik penyebutannya bernilai baik atau buruk, label apapun yang melekat pada diri seseorang tidak bisa dipakai untuk menggambarkan keseluruhan hidup seseorang. Akhir kisah Thomas pasti jauh berbeda seandainya Tuhan Yesus hanya memandangnya sebagai “Si tukang ragu-ragu” atau “Pribadi yang sulit percaya.” Sebaliknya, Ia memberi kesempatan pada Thomas untuk mengulurkan dan mencucukkan jarinya ke lambung-Nya (Yohanes 20:24-29). Atau seperti cerita Simon yang bertemu dengan Yesus dan dinamai Kefas yang artinya Petrus (Yohanes 1:40-42). Kefas adalah nama dalam Bahasa Aram untuk Yunani Petrus yang secara harfiah artinya “Batu” atau “Batu Karang”.

Kita pasti setuju sebutan “Batu Karang” menggambarkan stabilitas atau keteguhan. Namun, tampaknya penyebutan ini bertentangan tidak saja dengan kepribadiannya, tetapi juga dengan sejumlah peristiwa dalam kehidupan Petrus di hari-hari selanjutnya ia bersama Yesus. Dalam Lukas 5 kita bisa membaca bagaimana ia akhirnya menuruti perintah Yesus untuk kembali menyebarkan jala meskipun sempat mempertanyakannya. Di lain hari, dengan kuasa-Nya Petrus berhasil berjalan di atas air hingga keraguannya membuat ia mulai tenggelam. (Matius 14:22-33) Kita juga tidak asing dengan kisah sebelum ayam berkokok. Petrus, “Si Batu Karang yang Teguh” menyangkal bahwa dia mengenal Yesus (Lukas 22:54-62).

Tidak hanya berlaku bagi Simon dan Petrus. Entah diberikan atau kita sendiri yang menyematkannya, julukan tidak selalu mewakili keseluruhan hidup kita. Perjalanan, pengalaman membawa kita mengalami pasang surut, termasuk dalam kepribadian dan karakter. Lebih dari itu kita juga harus mengetahui—terlepas dari apa yang telah atau belum kita lakukan—kuasa Allah cukup besar untuk membantu kita berubah. Tidak ada kesalahan atau dosa yang terlalu fatal untuk diampuni oleh anugerah-Nya. Tak satupun kebiasaan yang terlalu melekat untuk diubahkan oleh kasih-Nya. Ia sanggup membantu kita menghancurkan label yang menyandera kehidupan kita selama ini. Identitas kita tidak ditentukan oleh label atau pengakuan lain sejenisnya.

Kendati aku juga masih berjuang untuk tidak terpengaruh dengan label dan julukan diriku, aku berdoa semoga kamu juga merasakan kasih karunia Allah untuk menyingkirkan apapun label kejam yang membebanimu. Entah kamu seorang yang dikenal sebagai pecandu dan bergumul menyingkirkan hal-hal yang mengikatmu. Kamu yang sedang belajar untuk makan dengan benar dan olahraga teratur karena terganggu dengan mereka yang memanggilmu “Si Gemuk.” Kamu yang terus berusaha menikmati pekerjaanmu kendati sebagian keluarga menganggap pilihan kariermu kurang pas. Bahkan kamu yang selalu memperjuangkan hal-hal yang dampaknya mungkin tak kasat mata atau tidak berwujud.

Semoga Allah senantiasa menolong kamu dan aku untuk semakin menemukan kemerdekaan dalam kasih-Nya dan berjalan mendekati visi-Nya bagi kita masing-masing (Yeremia 29:11).

Soli Deo Gloria

Ketika Calon Pasangan Hidup Tidak Satu Suku

Oleh Santi Jaya Hutabarat

“Kamu menikah dengan anak Namborumu itu saja,” ungkap papa saat aku berusaha membujuknya lagi.

Kutarik nafas dalam-dalam agar emosiku terkendali. Udara sore itu terasa lebih panas sekalipun teras kami dinaungi pohon rimbun. Sebenarnya bayangan perbincangan ini pernah terbersit di pikiranku sejak menjalin hubungan dengan Brema tiga tahun lalu. Perbedaan suku di antara kami membuatku menghindari perbincangan panjang tentang Brema pada papa dan mama. Namun, kami tidak mungkin seterusnya menjalin hubungan backstreet dari mereka. Karena itu sore ini aku memberanikan diri berbicara serius tentang hubunganku pada mereka.

Aku dan Brema bertemu di acara Kamp Regional Mahasiswa untuk daerah Sumatera bagian Utara. Bersama peserta lain yang ditetapkan panitia, kami sekelompok selama seminggu rangkaian kegiatan.

“Halo! Namaku Brema Tarigan. Aku Batak Karo, lahir dan besar di Tanah Karo.” Brema memperkenalkan diri.

Berawal dari perkenalan dalam diskusi komsel, kami terus berteman dan semakin dekat hingga akhirnya memutuskan untuk berpacaran. Dan akhir tahun lalu, aku menjawab “ya” saat Brema menembakku secara pribadi.

“Brema baik, Pa. Aku sudah lama mengenalnya. Kami juga pernah mengikuti konseling. Kami cocok kok!” beberku pada papa.

“Pasti lebih mudah kalau menikah dengan yang satu suku. Lihat abang dan edamu (kakak ipar perempuan), kalau ada masalah kita lebih mudah menyelesaikan, karena kedua keluarga sama-sama tahu apa yang perlu dilakukan sesuai adat dan budaya batak Toba,” terang papa mengulang ketidaksetujuannya.

Memakai marga dibelakang namanya–tidak hanya tulen–menurutku papa dan mama sangat cinta dengan budaya batak Toba. Mereka terbilang aktif dalam berbagai kegiatan adat. Papaku juga beberapa kali berkesempatan jadi “parhata” dalam pesta kerabat. Parhata merupakan juru bicara acara adat yang harus memahami seluk-beluk adat Batak Toba pada umumnya, adat yang berlaku bagi rumpun semarganya, dan aturan batak Toba lainnya. Tidak heran kalau mereka ingin aku dan abangku menikah dengan orang Batak Toba juga.

Dibesarkan dengan prinsip dan nilai kebudayaan suku ini tentu membuatku bersyukur karena banyak prinsip dan nilai yang baik dan juga bermanfaat. Pun sedari kecil aku sudah dibekali dengan beragam nilai adat, jadi aku tidak mengingkari kalau aku semakin bangga terlahir jadi boru ni raja dan terus belajar menghidupi karakternya. Istilah boru ni raja (putri raja) merupakan identitas bagi perempuan batak Toba, yang artinya perempuan Batak itu sosok yang harus disayangi dan dihormati, sekaligus sebagai panggilan agar terus menjaga nilai-nilai kehormatan, seperti kepatutan, moral, etika, sensitivitas dan lain sebagainya.

“Pariban-mu itu baik, Ito. Kita sudah mengenalnya. Meski bukan sekandung, tapi amangboru dan bou-mu itu dekat dengan papa, mereka pasti setuju kamu jadi menantunya. Lagian, dia sekarang sudah PNS. Penugasannya juga disini, jadi dekat kalau ada apa-apa sama kalian.” Mama berusaha meyakinkanku.

Menikah dengan pariban sering terjadi dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, bahkan dianggap ideal. Pariban merujuk kepada saudara sepupu. Anak laki- laki akan memanggil “pariban” kepada anak perempuan dari tulang (tulang = paman, saudara laki-laki ibu), sebaliknya anak perempuan akan menyebut “pariban” kepada anak laki-laki dari namboru-nya (namboru = bibi, saudara perempuan ayah). Selain mempererat hubungan kekeluargaan, pernikahan ini biasanya mempermudah komunikasi keluarga mengenai acara adat, terlebih dalam urusan sinamot (mahar) untuk perempuan yang sering menyulitkan calon mempelai pria karena nominalnya dianggap terlalu besar.

“Kalau kau nikah sama pacarmu, nanti jadi tambah kerjaan. Kau akan diberi marga Karo dulu, adatnya juga berbeda. Semua jambar dan ulos pun tak akan lagi bisa dijalankan di pestamu. Kek mana lah nanti,” tambah Papa.

Ya, seperti kata Papa, dalam budaya Batak, jika ada pesta pernikahan adat Batak Karo, Uis tidak diberikan untuk pengantin dan orang tua pengantin, sedangkan dalam pesta pernikahan adat Batak Toba, pemberian ulos untuk pengantin dan orang tua termasuk dalam agenda acara adat. Ulos yang diberikan tersebut berasal dari saudara-saudara sedarah maupun semarga/rumpun marga. Lalu ada jambar yang menunjuk kepada hak atau bagian yang ditentukan bagi seseorang (sekelompok orang), seperti pemberian nama dan beberapa bagian yang diberikan. Pemberian hak ini berbeda antar batak Toba dengan batak Karo.

“Kami setuju kalau nanti ada pesta adat Batak Toba dan Batak Karo,” belaku.

“Ya, sudah. Terserah kamu!”

“Apa yang Papa takutkan sebenarnya? Yang nikah ‘kan aku!”

Papa mengalihkan pandangan, ia menggeleng tanpa suara lalu beranjak meninggalkanku bersama mama.

Huft.. Jika boleh memilih, lebih baik aku melakukan negosiasi pengadaan barang (procurement), seperti kesibukanku saat ini, dan mengurus penawaran (bidding) dari beragam penjual (vendor) yang kaya pengalaman dengan rata-rata tender berdigit-digit agar mau mengerjakan proyek yang sedang digarap NGO tempatku bekerja.

Sealot-alotnya perdebatan dalam pekerjaan, ini takkan membuahkan penyesalan dalam diriku. Tetapi ini berbeda. Rasanya berat harus beradu pendapat dengan papa dan mamaku sendiri. Silap sedikit, tidak hanya restu yang terhalang, relasi dengan orang tuaku pun bisa rusak.

“Kamu sudah yakin akan menikah dengan Brema?” tanya mama menatapku serius.

Belum sempat kujawab, ponselku berdering, ada panggilan video dari Brema.

“Boleh mama yang ngobrol dengan Brema?”

Dengan kikuk, aku menjawab panggilan video itu bersama mama di sampingku.

“Halo, Nantulang. Sehat?” sapa Brema dari seberang. Sepertinya ia sengaja memanggil nantulang agar bisa lebih akrab dengan mamaku. Selain panggilan untuk istri tulang, nantulang juga bisa dipakai laki-laki Batak Toba untuk menyapa calon ibu mertua.

“Sehat, Nak. Kamu bagaimana? Pekerjaanmu lancar?”

“Aman, Nantulang. Sedang apa, Nantulang?”

“Lagi duduk santai, Nak, cerita-cerita sama Ito. Dia banyak ngomongin kamu, lho.” Mama menggodaku.

Walau tidak direncanakan, aku melihat percakapan Mama dan Brema mengalir begitu saja. Sebelumnya, mereka tidak pernah bertemu langsung, tapi pernah beberapa kali berbicara lewat telepon saat aku sambungkan, itu pun tidak lama.

Aku lantas masuk ke rumah, beres-beres, dan menyiapkan makan malam. Aku membiarkan Mama dan Brema berbicara berdua.

“Kamu tidak ada rencana membawa Brema kesini?” tanya Mama saat mengembalikan ponselku.

Mama berlalu melihatku yang mengangguk tidak yakin. Pertanyaan mama sungguh diluar dugaanku.

“Kamu tadi ngomong apa sama mama?” Aku kirim pesan pada Brema.

“Aku bilang kalau putrinya tidak akan bisa hidup tanpaku.” balasnya disertai emoji meledek.

Saking penasaran, aku segera menelponnya.

“Tadi nantulang cerita kalau kamu baru selesai berdebat sama papamu. Terus nantulang undang aku ke rumah, katanya biar papamu ngobrol langsung dulu denganku,” jawab Brema atas rasa penasaranku.

“Terus kamu bilang apa?”

“Boleh, Nantulang, tapi Ito belum kasih kesempatan, nih. Begitu jawabku.”

Dalam hati aku membenarkan jawaban Brema. Selama ini aku belum pernah mengajak ia bertemu langsung dengan papa dan mama, aku hanya fokus bagaimana agar papa dan mama percaya dengan semua ceritaku tentang Brema dan menyetujui rencana pernikahanku. Padahal, selain perbedaan suku di antara kami, bisa saja papa dan mama tidak setuju karena belum mengenal Brema.

Bagaimanapun, pertimbangan papa dan mama tentang tantangan dalam pernikahan antar suku ada benarnya. Tidak semudah yang dibayangkan karena masing-masing suku memiliki cara pandang dan kebiasaan sendiri. Dan tanpa disadari, semua itu akan diadopsi oleh anggota suku masing-masing. Jika dua orang dari suku yang berbeda mengikatkan diri dalam sebuah pernikahan, mereka pasti membutuhkan penyesuaian lebih banyak dibandingkan dengan pasangan lain yang berlatar belakang sama.

Selain penyesuaian antara suami-istri, adaptasi dengan keluarga besar pasangan juga diperlukan. Bagi beberapa suku atau keluarga, sangat lazim untuk ikut mengurus permasalahan yang dialami anggota keluarga lain. Misalnya, sebuah persoalan dalam pernikahan si anak bisa dipandang sebagai urusan seluruh keluarga besar. Ya, batasan privasi tidak selalu diperhatikan, karena begitulah cara menolong sesuai adat yang berlaku dalam suku tersebut. Lebih jauh, cara mereka menyelesaikan persoalan tentu mengikuti kebiasaan adat mereka, di mana apa yang dianggap baik oleh suku tersebut belum tentu baik bagi yang lain. Aku setuju hal-hal tersebut tidaklah mudah untuk dilakukan.

“Kalau aku ajak di liburan paskah mendatang, mau?” tanyaku pada Brema.

Brema mengangkat jempolnya pertanda setuju.

Kendati Brema hanya berkunjung sebentar, aku melihat perubahan sikap orang tuaku, terlebih papa. Tidak terlalu besar, tapi aku menangkap adanya sinyal persetujuan dari papa untuk hubungan kami. Hampir sepekan berinteraksi langsung dengan Brema, tampaknya Papa dan Mama juga merasakan hal yang sama denganku mengenai Brema, ia supel dan apa adanya.

“Modal yang dikumpulkan belum banyak Tulang. Ke sini juga rencananya sekalian mengajukan pinjaman lunak.”

Kami terkekeh mendengar jawaban Brema saat papa iseng menanyakan besaran “sinamot” yang ia sanggupi untukku. Meski terkesan bercanda, papa tampaknya senang Brema mau terbuka. Brema juga tidak segan menceritakan beberapa hal yang menjadi ketakutannya saat memintaku menjadi istrinya. Bukan saja tentang perbedaan budaya di antara kami, Brema juga mengaku ada kalanya ia khawatir bagaimana kecukupan kebutuhan rumah tangga kami nantinya, mengingat kami masih sama-sama pegawai kontrak. Untuk kondisi yang terakhir, Brema sudah pernah mengatakannya padaku, namun aku tidak menyangka ia tidak sungkan membagikan hal yang sama pada papa dan mamaku.

Saat itu tidak mudah bagi kami untuk meyakinkan diri masing-masing. Di satu sisi, aku punya “bucket list” untuk pernikahanku, termasuk agar aku dan pasanganku mandiri secara finansial. Sementara akan sangat egois kalau aku hanya menuntut Brema mencukupi semua hal yang menjadi “dream wedding-ku”. Perbedaan sering mewarnai percakapan kami.
“Kayaknya, budget untuk souvenir dan prewedding bisa di-cut,” kata Brema.

“Kamu yakin? Bukannya kamu yang bilang prewedding masuk top of the list karena ada konsep Toba dan Karo yang akan jadi representatif kita?”

Memori obrolan kami sebelumnya terlintas di benakku. Salah satu momen dimana aku mengandalkan mauku, terkesan ngotot. Sebaliknya Brema bersikap lebih tenang.

“Nanti kita bahas lagi ya. Sekalian kita ambil waktu melirik ulang catatan “our dream wedding”, aku banyak lupa sepertinya.” Ia mengingatkanku.

Aku tidak mengingat persis kapan kami memulainya. Selain menikmati banyak hal berdua, aku dan Brema juga punya satu jurnal bersama. Di buku itu, beragam perkara kami catat. Mulai dari remeh temeh seperti ulasan film, makanan atau tempat wisata hingga menyangkut prinsip penting yang kami sepakati harus ada dalam relasi ini.

“Yakin dong, kayaknya kemarin itu aku terlalu memaksakan mauku. Rasanya keren bisa berkunjung dan berfoto langsung di Rumah Bolon dan di Rumah Si Waluh Jabu, dua rumah adat sekaligus. Dipantengin netizen kan pasti kece…….Setelah kupikir-pikir, kalau semua keinginanku dituruti, susah bukan?!” ucapanku seperti bertanya dan menjawab diriku sendiri.

Good! I wonder God, what I’ve done to deserve a wise girl like you.” Senyumnya merekah.

Kendati aku merasa kalimat ini berlebihan, aku juga bersyukur dipertemukan dengan Brema.

***

Perbedaan suku yang aku kira akan mengakhiri relasiku dengan Brema ternyata membuka jalinan hubungan keluarga yang berbeda secara suku. Diam-diam aku memperhatikan Brema berusaha belajar budaya batak Toba, terkhusus bahasanya, agar ia bisa nyambung berbicara dengan papa dan mama. Sama halnya dengan papa dan mama, kini keluarga besarku tidak lagi memintaku menikah dengan paribanku, mereka malah sering mengingatkanku untuk lebih mengakrabkan diri dengan keluarga Brema.

Lagi-lagi aku belajar, ternyata perbedaan tidak selalu jadi alasan untuk tidak bersama, baik dalam relasi kita dengan sesama, berpacaran, pekerjaan, bahkan untuk seluruh kehidupan kita sehari-hari. Lagipula, Alkitab secara konsisten mengajarkan bagaimana semua ras setara karena semua orang telah berbuat berdosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3:23), tetapi oleh kasih karunia, orang yang menerima Kristus beroleh anugerah pengampunan. Inilah kuncinya. Dalam mencari dan memilih pasangan hidup, Alkitab mengatakan agar kita mencari pasangan yang seimbang (2 Kor 6:14), yang mengarah pada kesepadanan. Sepadan tak harus seratus persen sama, tetapi berakar kuat pada dasar yang sama: Kristus, dan bertumbuh di dalam-Nya. Kesepadanan itulah yang akan mengikat suatu pasangan untuk hidup setia satu sama lain seraya melayani Tuhan dalam bahtera pernikahan.

Bertemu dan menjalin relasi dengan orang lain tidak selalu mudah, terlebih saat kita menemui banyak hal yang berbeda. Pasang surut tentu saja sering terjadi. Dalam relasiku dengan Brema, ada saat kami merasa perbedaan yang ada tidak jadi penghalang, semua mengalir baik-baik saja, penuh romansa. Pun sebaliknya terkadang gesekan perbedaan yang membuat kami seperti kehilangan makna dari setiap kebersamaan hingga merasa perlu berdiam dan merenungkan kembali apa yang menjadi tujuan hubungan kami. Dalam perjalanan menuju pernikahan, kami terus berusaha meyakini untuk melakukan bagian kami dan percaya bahwa dalam penyertaan-Nya, segala sesuatu akan dicukupkan atas rencana kami (Amsal 16:3).

Soli Deo Gloria

“Aku Gak Suka Dipanggil Si Batak!” Sebuah Kisah tentang Streotip

Oleh Santi Jaya Hutabarat

“Aku tidak suka dipanggil “si Batak”, mamaku menamaiku Togar!” ucapnya kesal setiba di mes.

Aku kaget mendengar reaksinya itu, mengingat saat kejadian sebelumnya dia tidak berkomentar apapun.

“Si Batak tidak usah dikasih mic. Suaranya sudah besar kok sejak orok,” kata salah satu rekan kerja kami saat Togar diminta menyampaikan sambutan untuk teman-teman yang sedang berpuasa. Hari ini ada acara berbuka bersama dengan teman-teman beragama Islam dari tempat kami bekerja.

Menganggap hal itu sebagai gurauan yang biasa saja, kami menyambutnya dengan gelak tawa. Sebaliknya, Togar ternyata merasakan hal berbeda.

Di kantor, Togar terkenal dengan logatnya yang khas serta bicaranya yang kuat. Pria bermarga yang lahir dan dibesarkan di Dolok Sanggul, Sumatera Utara ini, memang bersuku Batak Toba. Jadi, menurutku wajar saja kalau ia dipanggil “si Batak”. Lagipula selama ini kami tidak tahu kalau dia tidak nyaman dengan panggilan dan gurauan kami tentang ke-batakannya itu.

“Aku kan bicara keras tidak dibuat-buat, begitulah caraku ngomong. Janggal kali kurasa kalau pelan-pelan, macam berbisik,” terangnya tanpa kuminta.

“Tapi memang kamu kan orang Batak, mengapa kamu tidak nyaman dipanggil begitu?” tanyaku memberanikan diri.

“Jadi kalau kamu kupanggil Padang “si manusia pelit” mau?” balasnya seperti menyerangku balik.

Aku tertegun. Dalam diam aku memikirkan bagaimana hal yang terkesan sepele ini bisa menyulut emosi Togar. Aku tidak tahu pasti sudah berapa lama dia tidak nyaman dengan stereotip yang kami anggap candaan itu, dan aku yakin rekan kerjaku yang lain juga tidak menyadari hal itu.

Tidak hanya merusak relasi, dalam dampak yang lebih besar, pemberian stereotip juga bisa menimbulkan masalah. Seperti salah satu kasus yang terjadi di 2020 silam. Saat itu, di tengah pandemi Covid-19 yang menghantam hampir seluruh dunia, perhatian publik tertuju pada kematian pria kulit hitam, George Floyd. Hal ini bermula dari penangkapan dirinya oleh oknum polisi karena diduga melakukan transaksi dengan uang palsu. Derek Chauvin, polisi yang menangkapnya, memborgol kedua tangan Floyd dan menjatuhkannya ke aspal. Ia juga menekan leher Floyd dengan lututnya sampai lemas dan menyebabkan Floyd meninggal dunia di rumah sakit.

Peristiwa George Floyd tidak hanya menggugah kesadaran publik tentang stereotip yang berujung pada tindakan diskriminasi, namun kerusuhan atas aksi demonstran juga menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Meski tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh adanya stereotip tertentu pada kulit hitam, kejadian ini mengingatkan kita bagaimana pandangan atau stereotip terhadap kelompok tertentu sangat membahayakan. Dalam kejadian ini, seseorang sampai kehilangan nyawanya.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan stereotip berbentuk tetap atau berbentuk klise. Lebih lanjut didefinisikan bahwa stereotip merupakan konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tetap. Stereotip tidak sesederhana pandangan positif maupun negatif pada kelompok tertentu. Penyematan label-label tertentu pada etnis atau ras, gender, kelas sosial, usia, warna kulit, kebangsaan hingga agama tersebut, lahir dari anggapan yang dapat menimbulkan prasangka hingga diskriminasi.

Dalam konteks kehidupan kita sebagai umat Kristen di Indonesia yang sarat dengan perbedaan, beragam stereotip terhadap kelompok tertentu mungkin sudah sering kita dengar. Wajah ber-siku, mudah emosi, ngomong kasar, serta logat yang khas untuk suku batak Toba. Ada juga sebutan “si mata sipit dan kikir” pada etnis Tionghoa, “rambut keriting, kulit hitam” untuk teman-teman dari Timur, “Dang Jolma” (Batak Toba: tidak berkemanusiaan) bagi suku Nias, serta ragam penyebutan untuk suku dan ras lainnya. Di satu sisi penyebutan ini terkadang dianggap candaan, namun di sisi yang berbeda, hal ini juga bisa menimbulkan masalah dalam relasi.

Belajar dari hubungan orang Yahudi dan orang Samaria yang banyak sekat (Yohanes 4:9). Orang Yahudi memandang najis orang Samaria karena nenek moyang mereka yang melakukan kawin campur. Begitu juga orang Samaria menganggap orang Yahudi memegang ajaran yang salah karena berkeyakinan bahwa Taurat dan syariat Yahudi berasal dari Tuhan.

Lebih lanjut, kita juga dapat membaca kisah Natanael dalam Yohanes 1:45-46. “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?” tanya Natanael ragu saat Filipus mengaku bertemu dengan Mesias, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret. Tidak ada yang salah dengan Kota Nazaret, namun kota ini tidak pernah disebut sebagai kota asal sang Juru Selamat dalam nubuatan para nabi. Lain hal dengan Kota Betlehem, kota ini sudah dinubuatkan oleh Nabi Mikha bahwa akan bangkit seorang pemimpin bagi Israel (Mikha 5:1). Hal ini juga yang mungkin mendorong keraguan Natanael. Padahal Yesus lahir di kota Daud, Betlehem. Tetapi, demi penggenapan rancangan Allah, Yesus disebut orang Nazaret (Matius 2:23).

Tentang penggolongan, dalam pasalnya yang kedua dari ayat 1 sampai 4, Yakobus mengingatkan agar tidak ada pembedaan dalam hati yang membuat kita memperlakukan orang lain dengan berbeda. Yakobus memberikan nasihat agar tidak menilai dan memperlakukan seseorang berdasarkan penampilan atau kelas sosialnya.

Sama seperti pengalamanku dalam pertemananku dengan Togar, kita tidak pernah bisa mengetahui secara pasti bagaimana stereotip tertentu memberikan dampak bagi orang lain. Bagi sebagian orang, sebutan/panggilan tertentu mungkin terkesan biasa saja, namun untuk sebagian lainnya, penyebutan tersebut menyinggung atau mengganggu.

Yesus pun pernah menjadi korban dari prasangka. Ketika Dia menjumpai seorang perempuan Samaria di sumur Yakub, hal tersebut bukanlah tindakan lazim pada zaman itu, mengingat orang Yahudi tidak bergaul dengan perempuan Samaria. Komunikasi antara pria Yahudi dengan seorang perempuan Samaria tidaklah dibenarkan menurut budaya karena orang Samaria dianggap lebih rendah derajatnya. Belajar dari sikap Yesus yang mematahkan prasangka itu dengan hadir secara langsung dan bercakap dengan si perempuan Samaria, kita bisa memulai dengan belajar mengenal orang lain secara pribadi tanpa embel-embel stereotip tertentu.

Seperti keraguan Natanael yang terjawab setelah ia bertemu dengan Yesus, tentu saja pengenalan kita yang bersifat pribadi tidak boleh kita jadikan sebagai penilaian yang sama pada semua orang, meski mereka berasal dari daerah yang sama atau memiliki latar belakang yang mirip. Lebih dari itu, sebagai anak-anak Allah hendaknya kita juga terus belajar untuk mengasihi Allah dan sesama (Matius 22:37, 39) tanpa membeda-bedakan, sebab kita adalah satu di dalam Kristus Yesus (Galatia 3:28).

Soli Deo Gloria

Suatu Sore, Saat Aku Pulang Kampung

Sebuah cerpen oleh Santi Jaya Hutabarat

Dret! Dret! Dret! Aku membiarkan ponselku terus bergetar.

Entah panggilan keberapa yang kulewatkan di hari ini. Panggilan berulang dari Ito, adik perempuanku.

Tadi malam, ia masih saja berusaha membujuk aku pulang. Padahal sudah beberapa kali kukatakan, aku tidak pulang Natal tahun ini. Ya, pulang. Kembali ke rumah setelah sekian lama merantau menjadi hal asing bagiku sejak papa menikah lagi.

Ito memintaku pulang agar bisa ziarah ke makam mama untuk merayakan kelulusannya.

“Sudah lima tahun abang tidak kumpul dengan kami. Nggak kangen ya?” tanya Ito dari seberang.

“Nanti pulang nyekar, kita sama-sama merayakan kelulusanku. Tante Yose jago lho masak ayam pinadar kesukaan abang” sambungnya.

Aku diam saja, tidak mengiyakan, tidak pula menolak.

“Aku tahu abang enggan pulang karena ada tante Yose dan Yosafat di rumah, tapi kali ini pulang ya. Please!!” terdengar nada memelas dari Ito.

“Abang coba ajukan cuti ya, kan masih pandemi,” aku mencari alasan menutup pembicaraan.

Lima kali merayakan Natal dan tahun baru di perantauan biasanya aku habiskan di kosan. Meski hanya 55 menit naik pesawat, aku malas pulang. Padahal saat kuliah, tidak jarang aku mengalami homesick, rindu rumah dan mau pulang. Now, it doesn’t feel like home anymore.

Belum setahun kematian mama, papa memutuskan menikah lagi dengan Tante Yose, single parent 1 anak, teman sekantor papa. Agar ada sosok mama yang mengurus kami katanya.

Aku menentang rencana papa, aku merasa papa hanya memikirkan kepentingannya. Lebih dari itu, aku sulit menerima ada yang menggantikan mama.

Aku tidak siap menerima orang baru di rumah, apalagi jadi pengganti mama. Meski sudah beranjak dewasa, rumor kengerian hidup bersama ibu tiri pun mengganggu pikiranku. Lagipula, aku menaruh sedikit curiga kalau papa dan tante Yose sudah mulai berhubungan saat mama masih hidup.

“Bagaimana mungkin bisa menggantikan mama secepat itu,” batinku membenarkan.

Aku kecewa dengan keputusan papa. Menurutku, papa harusnya mendampingi aku yang masih berduka dengan kematian mama.

Setahun berlalu hidup dengan tante Yose dan anaknya di rumah kami, aku akhirnya punya alasan meninggalkan rumah. Meski gaji dan posisinya belum sesuai harapanku, aku menerima tawaran jadi asisten guru di tempat temanku mengajar.

Sejak hari itu, hubunganku dengan papa semakin berjarak. Aku memang terus berkabar dengan Ito, tapi tidak dengan papa.

“Bang, jadi pulang kan?” Ito menanyai lagi dari chat.

Aku mengirimkan capture tiket yang aku pesan setelah mendapat izin pulang dari tempatku bekerja.

Aku akhirnya memutuskan pulang, hitung-hitung jadi hadiah wisuda untuk Ito. Rencananya, aku akan tiba sehari sebelum Natal dan langsung ke makam mama. Ikut ibadah perayaan Natal sekaligus syukuran wisuda Ito di tanggal 25 lalu langsung balik esok harinya. Aku tidak ingin berlama-lama di sana. Syukur-syukur kalau Ito mau kuajak tahun baruan di Medan.

Can’t wait to see you soon brother,” ketiknya disertai foto selfie di depan rumah.

Aku melihat beberapa gambar serta papan penunjuk nama pantai atau pulau tempat wisata di sepanjang perjalanan menuju rumah dari bandara. Sibolga merupakan pesisir yang membentang antara utara dan selatan, tidak heran jika tanah kelahiranku ini memiliki banyak pantai dan pulau yang memukau.

Hari belum terlalu siang saat aku tiba di rumah. Papa, Ito, Tante Yose, dan Yosafat sudah berdiri menyambutku di teras. Meski sedikit canggung, aku menyalam mereka. Kuserahkan juga kardus berisi Bika Ambon oleh-olehku.

“Kamu makan dulu ya mang, tante Yose sudah masak ayam pinadar untukmu,” ujar papa.

“Nanti aja pa,” balasku datar.

“Ito, berangkat yuk. Biar bisa lama-lama di sana” ajakku mencari celah menghindari kikuk yang kurasa.

“Daud mau langsung ke makam mama ya?” Tanya Tante Yose.

“Perlu ditemani? Di hari Ibu kemarin, kami sudah kesana sekalian bersih-bersih tapi…”

“Aku sama Ito aja.” Ucapku memotong Tante Yose.

Ito mengeluarkan sepeda motornya lalu kami berboncengan menuju makam mama.

Di sana, air mata tak bisa kubendung. Aku menangis sejadi-jadinya. Duka beberapa tahun silam rasanya terulang lagi.

Ito sepertinya lebih tenang dariku, meski sesekali kudengar ia sesenggukan.

Kenangan tentang mama memenuhi pikiranku. Terlebih masa-masa pengobatannya. Gagal ginjal dengan risiko tinggi terkena serangan jantung membuat mama harus cuci darah, setidaknya satu kali setiap tiga minggu. Kami tidak tahu mengapa tensi mama bisa sampai di angka 160/100 mmHg di hari itu. Saat itu, Ito yang menemani papa membawa mama ke rumah sakit. Besoknya papa menelepon memintaku pulang, karena mama sudah berpulang.

Di pusara mama, selama beberapa waktu aku dan Ito duduk tanpa bicara.

“Bang, kita sudah boleh pulang? Aku ada kegiatan untuk persiapan ibadah nanti malam di gereja.” Tanya Ito menepuk pundakku.

Aku mengangguk sembari mengusap air mataku.

“Langsung mandi ya, biar segar.” Kata papa, saat aku dan Ito sampai di rumah.

Ito mengantarku ke kamar. Ruangan yang dulu kutempati itu tidak banyak berubah.

“Bang, sudah selesai mandi kan? Aku tunggu di meja makan ya.” Seru Ito mengetuk pintu.

Saat itu sudah hampir jam 3 sore, aku menghampiri Ito di meja makan. Kami sempat bercerita meski sebentar.

Bosan bermain gawai setelah ditinggal Ito, aku berjalan mengelilingi rumah. Setiap sudut rumah membawaku pada kenangan saat mama masih ada. Tak lupa aku menuju taman belakang. Aku melihat masih ada beberapa jenis tanaman herbal yang dulu dipakai untuk pengobatan mama di sana. Sepertinya papa menambahkan gazebo kayu di sudutnya. Aku berjalan kesana dan duduk bersandar di tiangnya.

“Mungkin bagimu terlalu cepat atau papa seharusnya tidak usah menikah lagi, tapi sudah lama papa menunggu kepulanganmu. Seperti kehilangan mama, papa juga sedih saat kamu meninggalkan rumah. Ia sering menanyai kamu pada Ito.” terangnya.

Aku masih terdiam mencerna kata-kata Tante Yose.

I am really sorry, Daud. Tante minta maaf untuk semua hal yang sulit tante jelaskan, terkhusus tentang pernikahan kami.”

I feel blessed through our wedding and I thank God for my new family.

Aku mendengar suara Tante Yose bergetar di pernyataannya yang terakhir.

Aku tidak bersuara sama sekali. Aku sibuk mempertanyakan banyak hal dalam hatiku.

Adakah berkat Tuhan hadir untukku? Should I thank God for all these, like she does?

Dulu, duka kematian mama masih menyesakkanku saat aku juga harus kembali kecewa dengan pernikahan papa. Lalu, di mana Tuhan saat ini semua terjadi?

“Oh iya ini sudah lewat jam 5, kamu ikut ibadah Malam Natal kan, mang? Ibadah memang mulai jam 8, tapi biasanya ramai, karena banyak anak rantau sepertimu yang hadir.” Tante Yose mengingatkanku.

Aku meringis, tidak nyaman mendengar panggilan Tante Yose. Di tempatku, kadang orang Batak Toba memanggil anak lelakinya amang atau mang.

Aku kembali ke kamar meninggalkan Tante Yose tanpa kata, namun di hati aku terus menimbangi yang ia sampaikan.

Kuputuskan untuk tidak ikut ibadah. Hati dan pikiranku masih kacau. Kususun pakaian yang kubawa tadi di lemari. Tidak sengaja aku melihat tumpukan file-file lamaku. Ada rapot, buku tahunan saat kuliah dan beberapa berkas penting lainnya.

Aku terdiam melihat surat katekisasiku saat SMA. Aku membaca ayat alkitab yang menjadi peneguhan sidiku.

“Inilah perintahKu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu,” (Yohanes 15:12).

Awalnya aku merasa ini hanya kebetulan atau karena aku lagi mellow. Namun aku coba membacanya kembali, merenungkan setiap kata demi kata.

Dulu saat peneguhan sidiku, papa dan mama membuat acara kecil-kecilan, mengundang beberapa kerabat. Ada juga penatua gereja yang sengaja diminta mama menjelaskan ayat peneguhan sidiku, katanya agar lebih kena di hati.

“Mengasihi, hal yang sering kita dengar bukan? Bentuk nyatanya juga banyak ya.” Penatua itu memulai penjelasannya.

Penuturannya ia lanjutkan dengan bercerita tentang penentuan ayat peneguhan sidi. Konon, pendeta akan berpuasa dan mendoakan si calon penerima sidi lalu membuka Alkitab dan menunjuk satu ayat dengan mata tertutup. Ayat yang ditunjuk akan menjadi ayat peneguhan sidi dari nama yang didoakan.

“Saat ini, kita belum tau bagaimana kehidupan Daud selanjutnya. Bisa jadi merantau, bertemu orang baru atau tetap tinggal di sini bersama orang-orang yang sudah dikenal. Ke depan, suasana dan mereka yang kamu temui bisa saja berganti, namun kasih-Nya bagimu tidak akan berubah. Ia mengasihimu dan dengan kasih-Nya itu juga, Daud diminta untuk selalu mengasihi ya nak,” tutupnya menepuk pundakku.

Aku memalingkan pandanganku ke luar jendela, berusaha menepis pikiranku. Hatiku berdebar tidak karuan. Aku lama termenung.

“Mengasihi sebagaimana aku dikasihi-Nya,” batinku mulai menyerah.

Aku mengingat kembali hari-hariku sejak kepergian mama. Aku mengakui saat itu aku hanya sibuk dengan pikiranku sendiri, hanya peduli pada lukaku sendiri. Aku lupa bahwa benar aku kehilangan mama tapi tidak dengan Tuhanku (Mazmur 27:10).

Perlahan, aku merasa Tuhan sedang menjelaskan kalut yang kurasa. Ia sepertinya menjawab aku yang meragukan penyertaan-Nya. Padahal, sebelum dan setelah kematian mama sekalipun, Tuhan tetap ada untukku. Kasihnya mengalir melalui orang-orang yang kutemui di perantauan bahkan lewat tante Yose dan Yosafat yang menemani papa dan Ito selama aku meninggalkan rumah.

Aku juga menyalahkan papa untuk semua hal yang terjadi bahkan tante Yose dan Yosafat. Aku alpa menyadari kalau papa juga berduka dan perlu dukungan. Harusnya aku belajar menerima keputusan papa dan tetap mengasihinya sebagaimana ia tetap ada bagiku. Terlebih dari itu karena Tuhan juga sudah dulu mengasihiku (1 Yohanes 4:19).

Dari depan, aku mendengar derit pintu, aku segera keluar kamar. Ternyata ada papa dan tante Yose yang akan berangkat ibadah.

“Eh, kamu ikut ibadah mang?” tanya tante Yose tersenyum kearahku.

Aku langsung memeluk papa dan tante Yose dalam diam dengan tubuh gemetaran. Kurasakan damai yang tidak bisa dideskripsikan saat di dekapan mereka.

Ahk, rasanya aku beruntung bisa memiliki sore tadi, suatu sore saat aku memutuskan pulang kampung.

Thank God, I found my way back home,” gumamku penuh syukur.

Soli Deo Gloria

Cerpen: Bekerja Sama dalam Perbedaan

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

Di hari-hari pengujung semester ini, aku sedikit lebih sibuk dari biasanya. Pembelajaran dan ujian sudah selesai, aku tinggal menyelesaikan penilaian dan hal-hal yang perlu untuk pembagian rapor peserta didik di minggu mendatang.

Tahun ini aku dipercaya menjadi wali kelas. Ada tiga puluhan rapor yang perlu kutuntaskan, tapi belum semua terisi karena beberapa guru pelajaran belum menyerahkan penilaian akhir mereka.

Pagi itu sekolah masih sepi meski arloji di tanganku sudah menunjukkan angka sembilan. Sejak pandemi, pembelajaran dilakukan dari rumah, namun kami guru diharuskan hadir di sekolah. Hal itu karena tidak seratus persen murid kami memiliki fasilitas untuk belajar daring. Biasanya dua sampai lima murid datang menemuiku untuk belajar tatap muka atau sekadar mengumpulkan tugas. Selain itu, kebijakan ini juga kurasa baik. Bertemu langsung dengan rekan guru membuatku lebih leluasa bertukar pikiran dengan mereka.

Kuteguk secangkir kopi di mejaku. Rekan guru yang kutunggu belum juga tiba. Aku memperhatikan kolom kosong di lembar penilaian kelasku yang artinya guru yang bersangkutan belum menyerahkan nilainya. Seminggu sudah berlalu dari tanggal pengumpulan yang sudah ditentukan. Aku sulit mentolerir hal-hal seperti ini. Aku lalu mengirim pesan pada mereka.

“Halo Bapak/Ibu. Saya Anggi, Wali Kelas 9-A. Mohon kerjasamanya untuk segera mengirimkan nilai dari pelajaran yang diampu ya. Saya membutuhkannya untuk pengisian rapor. Terima kasih.”

Sembari menunggu balasan, aku berjalan keluar menghirup udara sejuk. Kulayangkan pandang pada alam dari sekeliling sekolahku yang tidak berpagar. Hamparan rumput, sawah, pegunungan serta gembala yang menuntun kawanan kerbaunya terlihat jelas. Dari jauh tampak juga kepulan asap dari pondok petani yang mungkin sedang merebus air atau sekedar membakar ubi. Aku meyakini hal itu setelah beberapa kali menyaksikan tradisi “marsiadapari” yang masih lazim bagi petani di desa ini. Bentuk gotong-royong saat musim panen yang dilakukan secara bergantian dari sawah yang satu ke yang lain. Biasanya sekitar pukul 10 pemilik sawah akan menyajikan kopi atau ubi sebagai camilan yang disantap sembari istirahat sejenak. Pemandangan estetik yang jarang ditemui di tempat pengabdianku sebelumnya. Namun jika mengingat kendala yang kualami dalam pekerjaanku seperti hari ini, tidak jarang aku ingin kembali ke kota.

“Aku tidak suka memindahkan nilai-nilai itu mendekati deadline,” aku menghempaskan nafas, melangkah kembali ke ruangan.

Menjadi wali kelas sebenarnya bukan pengalaman pertama untukku. Sebelum menjadi guru Aparatur Sipil Negara di sekolah ini, aku sudah mengajar di sekolah dan beberapa kali menerima tanggung jawab yang sama. Di sekolah sebelumnya, setiap bulan para guru menginput nilai di lembaran excel pada laman penilaian yang disediakan sekolah. Dengan begitu, urusan penilaian tidak menumpuk di akhir semester, kami hanya perlu menambahkan nilai terakhir. Data-data itu juga bisa diakses kapanpun dengan mudah. Di sana, kami tidak hanya memiliki fasilitas yang memadai, namun ada rekan guru yang mumpuni sebagai pendidik dan mau beradaptasi dengan perubahan untuk perbaikan yang diperlukan.

Walau masih bekerja di bidang yang sama, namun aku menemukan banyak perbedaan di sekolahku sekarang. Tidak hanya dari fasilitas yang masih minim, aku juga kesulitan menyesuaikan diri dengan kemampuan, pola pikir dan ritme kerja rekan di sini. Aku pernah kesal dengan seorang rekan guru. Saat itu kami harus mengirimkan materi les sore tambahan. Sebelumnya pengumpulan dan proses evaluasi dilakukan secara manual. Aku melihat beberapa kendala dengan cara seperti itu, aku lantas mengusulkan penggunaan fitur kolaborasi yang disediakan Google. Dengan begitu, setiap guru tinggal mengunggah file yang dimaksud dan pengevaluasian juga bisa dilakukan di sana. Usulku sempat diterima, namun pelaksanaanya tidak lancar. Meski sudah diberitahu cara pengerjaanya, masih ada guru yang kesulitan hingga merepotkan operator sekolah kami untuk melakukannya. Menganggap pengerjaannya lebih rumit, akhirnya pengumpulan materi kembali dilakukan secara manual. Aku juga mendengar ada label “carmuk” yang disematkan padaku terkait dengan ide itu. Alih-alih mendapat respons yang baik, aku disebut sedang cari perhatian ingin dipuji. Aku kesal dan menaruh penggolongan tertentu tentang mereka dalam pikiranku.

Di waktu yang berbeda, aku pernah mengajukan kepada kepala sekolah agar diadakan pelatihan penggunaan laptop yang berkelanjutan bagi guru-guru. Selama bekerja di sekolah ini, aku melihat beberapa teman guru masih terkendala khususnya dalam menggunakan fitur aplikasi yang sering diperlukan. Sebut saja ketika harus menghitung nilai menggunakan rumus otomatis atau ketika harus melakukan pengaturan ukuran dokumen. Terkesan sepele, tapi aku sendiri menyaksikan bagaimana hal itu mempengaruhi kinerja kami. Aku yakin jika pelatihan diberikan secara rutin, guru-guru akan terbiasa juga semakin paham.

“Sebelumnya sudah pernah ada pelatihan seperti itu dari Dinas Pendidikan,” respon pak kepala sekolah saat itu.

“Pelatihan tentu tidak cukup sekali atau dua kali Pak. Kita bisa karena terbiasa,” ujarku meyakinkan. “Kita bisa memberdayakan guru-guru yang lebih paham untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan Pak” lanjutku sembari menyebutkan nama beberapa guru yang menurutku bisa dilibatkan.

“Ide dari Pak Anggi akan saya pertimbangkan, nanti saya kabari lagi.”

Hari-hari terus berlalu, tapi hingga kini aku belum juga menerima kelanjutan jawaban itu. Terakhir, aku membenarkan anggapanku. Mayoritas rekan kerja di sekolah ini anti perubahan, termasuk bapak kepala sekolah. Mereka enggan mengubah kebiasaan dengan dalih tidak tahu atau rumit. Belajar hal-hal baru tentu bukan perkara gampang bagi siapapun, tapi bukankah seyogyanya belajar merupakan proses yang berlangsung sepanjang hayat?

“Pagi Anggi, ngapain kamu?” Sabeth tetiba datang. Kehadirannya membuyarkan lamunanku.

“Eh Kakak. Tumben lama?”

“Iya, tadi ke rumah siswa dulu diskusi sama orang tuanya.”

Kak Sabeth mengajar IPS. Aku bersyukur memiliki dia menjadi salah satu rekan kerja di tempat ini. Usia kami hanya terpaut 2 tahun, tapi aku banyak belajar darinya. Kak Sabeth sering mengingatkanku untuk memandang persoalan dari sudut berbeda. Ia juga yang mengajakku mengumpulkan buku-buku bekas dari teman-teman di kota untuk menambah koleksi di kontrakannya yang diubah mirip perpustakaan terbuka bagi anak-anak desa.

Desa tempat sekolahku sekarang berada di ujung Kabupaten Tapanuli bagian Tengah. Dengan kondisi jalan bebatuan belum beraspal, truk bak terbuka adalah satu-satunya angkutan keluar masuk desa, maka tidak heran akses yang sulit ini juga mempengaruhi tersedianya variasi koleksi bacaan yang ada. Perpustakaan hanya tersedia di sekolah dan itu pun masih terbatas.

“Aku lagi mengisi rapor kak tapi belum semua guru menyerahkan nilainya,” keluhku menunjukkan daftar nilai yang kosong.

“Sudah hubungi guru-gurunya?”

“Tidak ada respon kak.”

“Belum merespon mungkin. Coba tunggu, sebentar lagi mereka juga datang.”

“Iya datang tapi entah jam berapa. Kira-kira mereka sadar nggak ya kak sudah mengganggu pekerjaan rekannya?” Aku membela diri. “Seandainya setiap bulan nilai itu langsung dikumpulkan dalam satu sistem pasti hal-hal seperti ini tidak terjadi. Malas berubah ya begini. Diingatkan nggak mau terima,” aku mengoceh kesal

Kak Sabeth tidak menanggapiku. Aku kembali bekerja dengan laptop sembari berharap agar nilai yang kuperlukan segera diserahkan.

“Siang Pak Anggi, Bu Sabeth,” sapa Ibu Dina berjalan menuju meja kerjaku.

“Pak Anggi. Ini nilai yang diminta, maaf melewati waktu pengumpulannya. Rumus di lembar kerja excel-nya error entah apa sebabnya. Jadi saya hitung manual pakai kalkulator.” Terangnya menyerahkan dokumen yang membuatku kesal sedari pagi.

“Bah, kok bisa begitu bu?” tanya kak Sabeth mengambil jeda dari kegiatannya.

“Semua nilai Ibu kalkulasi manual?” Aku mengernyitkan kening membayangkan waktu yang dihabiskan untuk menghitungnya.

“Iya Pak. Saya kurang mengerti masalahnya. Selesai memasukkan semua nilai, saya coba gunakan rumusnya tapi tidak berhasil, daripada bengong ya saya hitung pakai kalkulator saja.”

Kami bertiga memeriksa permasalahannya. Ternyata Bu Dina menginput beberapa tanda baca yang tidak diperlukan jadi rumus yang dimaksud tidak bekerja semestinya.

“Wah, hanya perlu diganti yang itu ya,” Bu Dina mengangguk, menyadari kesalahannya ternyata sangat sepele.

Darahku berdesir cepat mengingat isi pikiranku sebelumnya. Beberapa kali aku kesal dengan teman-teman guru yang kurang mahir menggunakan laptop. Tidak jarang aku menganggap mereka enggan atau malas mempelajarinya. Pikiranku yang lebih sering terfokus pada kekurangan mereka, membuatku lupa kalau aku punya kesempatan untuk membantu mereka secara langsung. Meski beberapa usulku ditolak, aku merasa justru dengan begini, aku lebih leluasa membagikan hal-hal yang belum mereka ketahui.

“Ah, andai aku menyadari lebih awal,” gumamku.

Aku tersenyum menyadari kekeliruanku. Situasi dan rekan kerja yang kumiliki sekarang memang berbeda. Tapi tidak seharusnya hal itu menjadi pembenaran untuk bertindak laksana hakim dengan pikiran-pikiranku yang jahat (Yakobus 2:4). Mereka mungkin tidak mahir menggunakan beberapa fitur di laptop, namun membuat penggolongan tertentu dalam pikiranku bukanlah hal yang benar. Sama seperti mereka, aku juga pasti memiliki keterbatasan dalam bidang lain. Aku hanya perlu menyampingkan ego agar perbedaan yang ada tidak berujung konflik. Menggunakan sudut pandang yang benar memberi kita kesempatan untuk menjadi rekan kerja yang mau menolong kesukaran mereka (Amsal 17:17). Kita mungkin berbeda dalam banyak hal, tapi bekerja sama tidak selalu harus sama. Meski masih harus terus belajar, biarlah kiranya ini menjadi komitmen untuk kita. Terkhusus sebagai pendidik, hal ini menjadi bagian dari tanggung jawab moral untuk menjadi teladan, mengikut Bapa yang mengasihi semua orang—tanpa pilih kasih ( Yakobus 2:1-10, 14-17).

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Duta Pengampunan di Tengah Budaya Pengenyahan

Belakangan ini kita tidak asing dengan fenomena para pelanggar yang viral, lalu diangkat menjadi duta. Ada hal menarik yang bisa kita jelajahi dari fenomena ini.

Cerpen: Memaafkan Papa Mengikuti Teladan Bapa

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

Aku menghela napas panjang mendengar keputusan mama. Permintaannya kali ini sungguh di luar dugaanku.

“Kak, kamu harus menemui papamu dulu, baru kamu bisa pergi sama Daniel!” tegas mama.

“Mama, please! I just need you and I am happy,” pintaku sedikit memelas.

“Sere, you will walk the aisle with papa,” ujar mama meyakinkanku.

“Udah deh, Ma! Banyak kok pengantin perempuan yang nikah nggak digandeng sama papanya. Lagian aku bisa meminta Daud atau Natan yang mengantarku berjalan menuju altar.”

Akhir Februari nanti, aku akan menikah dengan Daniel, pria yang kukenal lewat kegiatan kemanusiaan yang diinisiasi yayasan tempatku bekerja. Meski baru dua tahun menjalin relasi, kami telah lama berteman. Daniel sudah mengenalkanku pada orangtuanya dan dia juga sudah bertemu dengan mamaku. Mama tidak keberatan dengan rencana pernikahan kami. Hanya, mama memintaku untuk terlebih dulu menemui papa, pria yang meninggalkan kami 20 tahun silam karena terlilit utang.

Kisah kelam papa terjerat utang dimulai dari iseng-iseng mencoba judi togel, jenis judi berupa permainan taruhan menebak angka. Awal-awal bertaruh, nominal uangnya masih kecil. Tapi, seiring papa merasa penasaran dan tertantang, jumlah uang yang ditaruhkan makin besar. Dari sepuluh ribu, dua puluh ribu, terus naik sampai barang-barang berharga dijual tanpa persetujuan mama. Saat kecanduannya tidak terkendali, rumah kami pun digadaikannya. Ketika harta yang tersisa makin menipis, utang jadi solusi yang dipilih papa. Sikap tamak papa itu turut menyulut api konflik dalam keluarga kami. Pertengkaran antara papa dan mama tidak terelakkan, padahal sebelumnya kehidupan rumah tangga mereka baik-baik saja. Papa menjalankan usaha rental mobil yang telah dirintisnya sedari lajang dan mama bekerja sebagai guru dengan gaji tetap. Penghasilan yang mereka dapatkan setiap bulannya selalu cukup untuk kelangsungan hidup keluarga kami.

Merasa malu dan penat menghadapi orang-orang yang datang menagih utangnya, papa mengajak mama pindah. Ia bermaksud membawa kami pulang ke kampung halamannya, tapi mama menolak ide itu. Pertengkaran mereka pun terulang.

Saat itu usiaku masih sepuluh tahun. Aku tidak tahu banyak tentang biduk rumah tangga, terlebih cara untuk menghentikan pertengkaran antara papa dan mama. Aku hanya diam menyaksikan mereka bertengkar. Satu-satunya hal yang kutahu di momen itu adalah papa akhirnya pergi tanpa kami. Ia meninggalkan mama dengan utang judinya yang berserak. Aku tak mengerti mengapa papa sanggup meninggalkan aku dan kedua adikku begitu saja.

“Kalian sudah lama tidak bertemu. Pergilah! Papa pasti rindu melihatmu,”sambung mama.

Otakku mencerna perkataan mama. “Aneh! Kalau benar papa rindu, tentu dia datang menemuiku.” Sekilas rekaman kenangan pahit di masa kecil itu kembali terbayang di benakku. Perginya papa secara tiba-tiba telah mengecewakanku, dan bagiku dia itu tak ubahnya bak seorang pengecut.

“Kak, ia tetap papamu. Perginya papa dari kita tidak akan mengubah statusmu sebagai anaknya. Kasih papa kesempatan menemanimu di momen itu,” suara mama bergetar.

Banyak jeda dalam percakapanku dengan mama. Aku bingung dengan langkahku selanjutnya. Meskipun nasihat mama terasa baik, tapi aku tidak siap bertemu papa. Atau lebih tepatnya, aku tidak ingin menemuinya.

Di tengah keheningan diskusi kami, ponselku tetiba berdering. Daniel meneleponku. Momen itu menyelamatkanku dari kebuntuan percakapan dengan mama. Kuraih ponselku dan berjalan menuju kamar.

“Ayolah sayang. Selagi papa masih hidup. Mau sampai kapan kamu membenci papa?” Dengan lembut Daniel membujukku mengikuti saran mama.

“Aku sudah memaafkan papa kok! Tidak menemui bukan berarti benci kan?” timpalku membela diri.

“Aku akan menemanimu.”

“Aku nggak tahu!” dengan ketus kututup telepon kami.

Aku merebahkan badan di kasur, berharap bisa segera terlelap. Hingga pukul 1 dini hari, mataku tidak juga terpejam. Beragam imaji pertemuanku dengan papa lalu-lalang di pikiranku. Aku tidak tahu jam berapa akhirnya aku pulas sampai akhirnya pagi ini aku terbangun karena mendengar mama memanggilku dari ruang makan. Di hari Minggu, kami biasanya menyantap mie gomak dengan kuah santan yang dibeli dari warung kecil di ujung gang. Penjualnya kami panggil inang. Andaliman yang menjadi rempah andalan pada kuah dan sambalnya memberi sensasi getir pada lidah. Rasanya semakin mantap bila ditambah bakwan dan gorengan lainnya.

Suasana kaku tadi malam telah mencair. Salah satu anugerah yang kusyukuri ialah meski tanpa kehadiran papa, keluarga kami bisa tetap kompak. Sembari menikmati sarapan, kami bercerita ngalor-ngidul. Kami menggoda Natan, adik bungsuku, yang kemungkinan akan wisuda online di masa pandemi ini. Tawa kami juga lepas saat Daud menceritakan siswa-siswanya yang lucu dan polos. Saat ini adikku yang kedua itu bekerja sebagai guru mengikuti jejak mama. Aku pun berbagi keseharianku sebagai pekerja di salah satu cabang perusahaan nirlaba yang berpusat di luar negeri. Mama juga tentu tidak ketinggalan. Ia bercerita tentang hal-hal yang ia lakukan untuk mengisi masa pensiunnya.

Cerita terus berlanjut dengan ragam topik yang tidak terencana. Bermula dari sarapan, hingga tiga jam berlalu tanpa terasa. Kami mengakhiri obrolan itu. Aku kembali ke kamar, beres-beres sebelum mengikuti ibadah live streaming di sore nanti.

Dret! Dret! Dret! Ponselku bergetar. Daniel mengirimi aku chat.

“Kamu pasti bisa membuang semua kepahitan itu. Kamu berdoa dulu. Tuhan akan menuntunmu. Happy Sunday sayang!” kirimnya disertai emotikon berbentuk hati.

Membaca pesan itu, aku tertegun. “Benarkah aku menyimpan kepahitan pada papa? Sejak kapan kekecewaanku berubah menjadi kepahitan?” batinku.

“Doakan aku ya,” balasku.

Hari-hari terus bergulir. Rencana hari pernikahanku semakin dekat. Aku harus segera menemui papa.

Kendati di awal aku hanya ingin menyenangkan mama, tapi secara pribadi aku juga ingin memperbaiki relasiku dengan papa. Rasanya sudah terlalu lama aku selalu merasa benar dengan menyimpan kekecewaanku pada papa. Kepedihan di masa silam itu membuatku menjadi benci pada papa dan sulit mengingat hal-hal baik yang pernah ia lakukan untuk kami. Perasaan sakit hati itu awet bertahun-tahun membebaniku tanpa solusi. Aku merasa kebencian itu seperti racun yang menghancurkan dari dalam, menghasilkan kepahitan yang menggerogoti hati dan pikiranku. Rasul Paulus dalam Ibrani 12:15 juga sudah menyatakan hal itu. Aku membenarkan chat Daniel tempo hari. Aku menyadari pengalaman masa lalu itu ternyata menjadi “akar pahit” yang membuatku kehilangan sukacita setiap kali mengingat papa. Aku mungkin kecewa dan memutuskan tidak ingin menjalin relasi lagi dengan papa. Tapi, aku sadar kepahitan itu membuat batinku tidak nyaman. Aku harus segera membuangnya.

Karena lama tak pernah berjumpa ataupun mengobrol, aku tak punya kontak papa, tapi papa punya akun media sosial. Perasaanku campur aduk: ragu, takut, sedih, rindu menjadi satu. “Pa, bisa ketemu tanggal 12 Februari nanti? Aku akan ke Siantar,” ketikku singkat

Tidak berselang lama setelah pesanku terkirim, papa menghubungiku. Aku menjawab panggilan itu dengan canggung. Tidak banyak yang kami bicarakan. Aku dan papa hanya menyepakati waktu dan tempat kami bertemu. Aku tidak bisa mendeskripsikan bagaimana perasaanku saat mendengar suara papa setelah sekian lama. Suara di seberang telepon itu masih sama seperti suara yang kukenal puluhan tahun lalu. Suara yang berat tapi lembut. Suara yang sejatinya kurindukan tetapi sekaligus juga pernah kubenci dengan sangat. Hari itu aku merasa hatiku menikmati kelegaan yang Tuhan anugerahkan. Aku pun sedikit memahami kata-kata keras mama: bagaimanapun juga, dia adalah papaku. Ikatan batin dan biologis antara ayah dan anak tetaplah ada tak peduli seberapa kelam kisah perpisahan itu terjadi.

Sekitar jam sepuluh pagi di hari Jumat, aku naik bus dari Medan. Kutolak tawaran Daniel yang ingin mengantarku. Tiga jam berselang, aku tiba di Kopi Kok Tong. Papa sudah menungguku di sana.

Aku memasuki kedai yang sudah beroperasi hampir seabad itu. Aroma seduhan kopi mengepul di ujung penciumanku. Bau itu seakan membuat hatiku semakin tidak karuan. Aku masih tidak percaya kalau aku akhirnya menemui papa.

Degup jantungku semakin kencang saat melihat pria yang duduk di sudut kedai itu. Wajahnya tidak banyak berubah meski kini tampak ada kerutan dan kelopak mata yang sudah mengendur. Ia mengenakan celana jeans dipadu dengan kaos merah tua berkerah. Pria itu papaku!

Kutarik nafas dalam-dalam lalu menghampirinya.

“Apa kabar pa?” sapaku terdengar kaku.

Papa tidak segera menjawabku. Ditariknya kursi di depanku, lalu dipersilakannya aku duduk.

“Daniel pria yang baik,” ucapnya sembari menorehkan senyum tipis ke wajahku. “Ia sepertinya menyukai anak-anak ya.”

Aku terdiam. Wajahku menyiratkan tanda tanya, mengapa papa bisa tahu tentang Daniel ketika aku sendiri tidak pernah menceritakannya pada papa.

“Mama kamu yang memberitahu papa soal Daniel,” jawab papa memecah diamku. “Papa akan hadir di pernikahan kalian, Maafkan papa ya kak. Papa senang bisa ketemu kamu.”

Jawaban lirih itu menghantam hatiku, mengaktifkan kedua kelenjar air mataku. Tangis sesenggukan pun pecah. Dengan spontan kurekatkan tubuhku pada papa. Kurasakan hangat tubuhnya, sehangat pertemuan kami siang itu yang menghancurkan kebekuan yang telah terbangun bertahun-tahun.

Pertemuan kami tidak berlangsung lama, tapi aku yakin ini menjadi awal yang baik untuk memulihkan hubunganku dengan papa. Saat aku belajar memaafkan papa, di situlah aku sedang belajar pula untuk meneladani kasih Bapa (Efesus 4:31-32). Sebab Bapa adalah kasih, dan oleh kasih-Nya pula aku dimampukan untuk mengasihi, bahkan kepada orang yang seharusnya tidak terampuni.

Soli Deo Gloria.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Mengasihi dan Mendoakan Musuh: Antara Perintah dan Kasih

Aku sempat memiliki kepahitan terhadap teman sepelayananku. Berkali-kali aku bicara tentang keberatanku padanya, berkali-kali juga argumen-argumen pembelaan membentengi dirinya.

Cerpen: Setoples Nastar di Pergantian Tahun

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

Wangi lelehan mentega bercampur sirup gula dan serbuk vanilla memenuhi udara saat jemari Chesa sibuk menguleni adonan. Jika kemarin ia sibuk membuat nastar pesanan pelanggan, kali ini ia akan membuat setoples nastar untuknya dan kedua adiknya. Setoples nastar untuk dinikmati di malam pergantian tahun nanti.

Setelah adonan dicetak dan ditata di loyang, ia beranjak memanaskan oven lalu memanggang nastar menjadi setengah matang. Aroma nenas khas nastar membumbung, mengguggah selera. Setelah setengah matang, nastar dikeluarkan dari oven, diolesi dengan kuning telur yang sudah dicampur minyak dan susu kental manis, setelah itu dipanggang lagi hingga matang sempurna.

Membuat nastar merupakan pengalaman baru bagi Chesa. Sepanjang 20 tahun usianya, biasanya mamanya yang menyiapkan kue-kue enak untuk mereka. Agar nastar buatannya sempurna, Chesa menonton tutorial di YouTube. Ia memperhatikan setiap langkah-langkahnya secara detail.

Hari sudah hampir gelap, sambil menunggu kue nastarnya matang, Chesa meminta adik kembarnya bersiap-siap untuk ibadah pergantian tahun di gereja.

“Dion, Dian. Mandi gih, udah jam 18.30 ini” seru Chesa dari dapur.

“Kita jadi ibadah di gereja kak?” sahut Dian.

“Iya, kita ibadah langsung aja. Jangan lupa Alkitab kita ya”, Chesa mengingatkan adik-adiknya.

Malam pergantian tahun ini terasa berbeda bagi Chesa dan adik-adiknya. Tahun pertama tanpa kehadiran kedua orang tuanya. Mamanya meninggal di bulan April kemarin. Mama Chesa menjadi salah satu dari sekian banyak petugas medis yang gugur saat menangani mereka yang terinfeksi virus Corona. Sedangkan ayahnya sudah pergi meninggalkan mereka sejak 15 tahun lalu tanpa alasan yang ia ketahui dengan jelas.

Chesa sengaja mengajak Dian dan Dion mengikuti ibadah di gereja daripada mengikutinya secara online dari rumah. Ia ingin menikmati malam pergantian tahun di gereja. Chesa berharap, ia merasakan sukacita bertemu dengan beberapa orang yang sudah ia anggap sebagai keluarga di gereja. Ia juga ingin menepis rasa sepi setelah kehilangan mamanya.

Meski belum sepenuhnya menerima kemalangan yang menimpa keluarganya, Chesa berusaha mengumpulkan semangatnya. Tepatnya, ia harus bangkit demi adiknya dan ia sendiri. Chesa menyadari dunia tidak akan berhenti sedetik pun untuk sekadar berempati padanya. Life must go on. Terutama sebagai sulung, ia harus menopang adik-adiknya. Namun terlebih dari semua hal itu, Chesa harus kuat karena ia tahu semua yang terjadi ada dalam kendali Tuhan. Ia percaya Tuhan sudah menegakkan takhta-Nya di sorga dan kerajaan-Nya berkuasa atas segala sesuatu (Mazmur 103:19).

Tentu tidak mudah untuk sampai di tahap itu. Sebulan setelah kehilangan mamanya, Chesa sering merasa Tuhan sedang tidak adil. Terlebih ia tahu kalau mamanya berjuang untuk keselamatan hidup orang lain namun harus kehilangan nyawanya sendiri. Ditambah lagi dengan ramainya pemberitaan tentang banyaknya orang yang meragukan keberadaan Covid-19 dan enggan mengikuti protokol kesehatan. Seiring berjalannya waktu, ia terus berusaha melewati masa-masa sukar itu.

Ia bersyukur pada Tuhan karena walau menjadi single parent, mamanya selalu mengenalkan Tuhan pada Chesa dan adik-adiknya. Mamanya menyadari keterbatasan waktu yang ia punya bersama anak-anaknya. Ia harus bekerja untuk kebutuhan mereka. Maka di masa hidupnya, mama Chesa memastikan adanya pengenalan akan Tuhan bagi Chesa dan adik-adiknya. Mamanya sering mengajak mereka beribadah dan membaca Alkitab. Mamanya juga yang mendorong Chesa untuk aktif dalam pelayanan pemuda di gereja dan di kampusnya. Menurut mamanya, komunitas rohani yang real itu sangat penting dalam hingar kehidupan media sosial yang semakin bingar di zaman ini.

“Mama tidak selalu bisa bersama kalian. Kalian pasti membutuhkan orang lain. Dari sana juga kalian akan semakin mengenal Tuhan yang selalu ada bagi kalian.”

Pesan khas mama yang diterima Chesa saat merasa bosan atau sedang kecewa dengan sikap orang-orang yang terlibat dalam pelayanan dan hendak memutuskan berhenti ambil bagian. Atau saat Chesa merasa relasinya dengan orang-orang di komunitas tidak begitu penting.

Benar saja seperti yang dikatakan mamanya. Pasca kematian mamanya, Chesa menerima banyak penghiburan. Chesa mendapati orang-orang yang ia kenal lewat pelayanan di gereja dan kampus hadir memberikan dukungan padanya secara bergantian. Meski tidak semuanya hadir secara fisik, tapi Chesa merasakan dan mengenal kasih Tuhan lewat mereka. Penghiburan, topangan doa dan sumbangan belasungkawa ia terima.

Demikian halnya dengan usaha nastar yang sedang ia geluti akhir-akhir ini. Awalnya, Chesa hanya mencari ide agar ia bisa memperoleh uang tambahan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Meski saat itu ia masih menerima uang santunan dari kematian mamanya serta dana pensiun mamanya sebagai perawat, Chesa merasa perlu memiliki penghasilan tambahan. Ia ingin kuliah dan sekolah adiknya bisa terus berlanjut.

Chesa mulai belajar membuat nastar dan menawarkannya kepada orang-orang yang ia kenal. Ia juga membuat promosinya di media sosial. Meski tidak jago, berbekal tutorial dari beragam sumber, Chesa memupuk optimismenya untuk memulai usahanya. Kurang lebih 5 bulan berjualan nastar, ada sekitar 100 toples pesanan yang sudah berhasil ia penuhi. Pesanan itu datang dari sebagian besar orang-orang yang ia kenal di komunitasnya, ditambah dengan mereka yang tertarik dengan promosinya di media sosial. Dengan harga Rp50.000-Rp75.000 untuk tiap toples berukuran 300 gram, Chesa memperoleh pemasukan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Dentang lonceng gereja yang tidak jauh dari rumah Chesa sudah terdengar. Lonceng panggilan beribadah. Chesa dan adik-adiknya pun berangkat ke gereja. Tidak lupa mereka membawa toples berisi nastar untuk hidangan mereka di pergantian tahun nanti. Meski ia tahu keadaan akan terasa sulit tanpa kehadiran mamanya, Chesa menepis rasa pesimisnya.

“Jika lewat nastar saja Tuhan bisa memelihara hidupku, lantas apa yang membuat aku ragu untuk berjalan bersama Kristus di tahun 2021 ini!”, gumamnya sembari menggenggam tangan adik-adiknya memasuki gereja. Setoples nastar di pergantian tahun yang berhasil dipakai Tuhan untuk mengingatkannya akan kasih-Nya.

“Sekalipun ayahku dan ibuku meninggalkan aku, namun TUHAN menyambut aku” (Mazmur 27:10).

Soli Deo Gloria.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Keluar dari Pekerjaan Lama, Tuhan Memberiku Pengalaman Baru

Ketika kontrak kerjaku tidak diperpanjang, aku beralih profesi menjadi seorang pengusaha skala mikro. Ragu, takut gagal, minim pengalaman dan modal, tapi Tuhan menuntun dan mencukupkan setiap proses yang kulalui.

Mematahkan Mitos ‘Dosen Killer’ Ala Mahasiswa

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

Kami menerima surat penetapan dosen yang menjadi pembimbing skripsi kami di bulan Maret dua tahun lalu. Membaca dua nama yang tertera, semangatku yang telah terkumpul menciut begitu saja. Isu yang beredar dari mahasiswa-mahasiswa lain, dua dosen pembimbing ini sulit ditemui, mereka pun ‘perfeksionis’. Kesulitan-kesulitan itu menjadi momok tersendiri bagiku.

Ketakutanku akan sulitnya bimbingan dengan kedua dosen itu kujadikan alasan untuk menunda pengerjaan skripsiku. Aku berharap keajaiban agar ada pergantian dosen. Padahal, aku tahu kalau penggantian dosen pembimbing hanya bisa terjadi untuk alasan urgen seperti musibah atau kematian. Penggalan firman Tuhan yang kuingat dari Matius 7:7-8 dan 21:22 tentang bagaimana Allah akan memberikan hal-hal yang kuminta membuatku menjadikan doa seperti jurus ‘Sim Salabim’. Tuhan kujadikan layaknya ‘kantong doraemon’ yang harus menyediakan setiap hal yang kumau. Dengan persepsi yang salah, beragam alasan juga kuajukan pada-Nya seolah aku berhak komplain dengan rencana-Nya.

Aku seperti menyerah sebelum berperang. Ketakutan menghadapi dosen pembimbing dengan label ‘killer’ tidak kualami sendiri. Ada teman seangkatan lain yang sampai mengajukan pergantian dosen ke jurusan. Ada pula yang jadi lama wisuda dan stuck di revisi. Meski memang bukan satu-satunya faktor penentu kelulusan, dosen pembimbing skripsi juga berperan dalam proses mengakhiri masa studi mahasiswa. Dosen killer dianggap sulit untuk ditemui bimbingan, penliaiannya berstandar tinggi, dan kritik sana-sini. Maka tak ayal, menghindari dosen tipe ini dianggap pilihan yang tepat.

Sebulan pun berlalu. Dosen pembimbing pertamaku meminta kami menemuinya, itu pun karena ada temanku yang berinisiatif menghubunginya duluan. Walau dengan mental tempe, kuberanikan diri mengajukan garis besar penelitianku di bimbingan pertamaku. Di luar dugaanku, dia memberi banyak masukan agar di dua minggu berikutnya judulku bisa di-acc. Anak bimbingan dosen itu hanya diberi kesempatan revisi sekali dua minggu. Pertimbangannya, dengan durasi 14 hari, perbaikan akan lebih maksimal. Kesempatan bimbingan yang terbatas juga harus dimanfaatkan agar mahasiswa tidak asal-asalan menyerahkan revisi.

Kesan pertamaku malah berbanding terbalik dengan cerita yang kudengar. Asumsi ‘killer’ yang penuh kritik tidak masuk akal ternyata tidak sepenuhnya benar. Seolah menjadi amunisi untuk semangat yang sempat menipis, aku pun menemui dosen pembimbing keduaku. Aku menceritakan ide penelitian yang akan kukerjakan. Walau sedikit berbeda dalam beberapa hal, beliau yang sudah professor sekaligus guru besar itu tidak sepenuhnya keberatan. Dengan berbagai saran perbaikan di beberapa pertemuan, judul yang kuajukan disetujui.

Meski usaha tidak selalu berbuah manis, secara perlahan aku menemukan sudut pandang baru di pengerjaan tugas akhirku. Beragam stigma negatif yang terbangun karena mendengar opini lain terkikis secara perlahan. Selain karena memang tidak ada pilihan lain, sebisa mungkin aku memenuhi corat-coret perbaikan dari keduanya. Prinsipnya, mengabaikan saran perbaikan sama saja memperpanjang masa studiku. Tentu menjadi mahasiswa abadi atau ‘dropout’ karena tugas akhir tidak diinginkan siapa pun. Namun, dengan beberapa kondisi, ada teman-teman yang harus mengalaminya.

Dengan bantuan dari mereka yang kutemui di sepanjang proses, aku belajar bahwa benar Allah tidak pernah meninggalkan umat-Nya (Ibrani 13:5b). Ia memakai siapa saja sesuai kehendak-Nya (Yohanes 15:16) dalam setiap kondisi (Roma 8:28). Meski terkesan sepele, namun aku merasa tertolong dengan adanya adik-adik tingkat maupun petugas kebersihan yang biasanya kutanyai tentang keberadaan dua dosenku di kampus. “Pak, ada lihat bapak ini?”, “Dek, kamu ada kelas sama Prof hari ini?”. Dua pertanyaan pamungkas untuk menjawab ketidakpastian bimbingan. Terkadang dosen itu seperti PHP (Pemberi Harapan Palsu). Meski sudah ada jadwal, janji bimbingan tidak serta-merta berjalan mulus, biasanya terjadi jika ada rapat atau agenda lain yang lebih penting.

Bertemu dengan teman seperjuangan yang seangkatan atau orang baru dengan dosen yang sama juga sangat kusyukuri. Mereka menjadi teman melewati suka-duka perjalanan skripsweet. Sharing saran perbaikan, informasi jurnal, judul buku hingga menjadi momen saling menghibur. Kadang, karena ide sudah mandek atau sembari menunggu, kami sering usil dengan guyonan lama wisuda. Tidak hanya menghibur saat bisa menertawakan kondisi, gurauan atas nama solidaritas itu ternyata bisa jadi pelecut semangat.

Pengerjaan terus berlanjut. Revisi demi revisi kukerjakan seiring dengan semangat yang kadang on dan off tidak menentu. Sepanjang proses, ada saja lega yang bisa disyukuri atau kesal berujung tangis. Hingga dinyatakan lulus memperoleh gelar sarjana, pandangan dosen ‘killer’ untuk kedua dosenku ternyata tidak sepenuhnya benar. Anggapan itu tentu kusimpulkan dari pengalamanku. Kesulitan atau situasi yang dialami teman-teman bisa saja berbeda. Untuk itu, kita perlu berhati-hati merespon stigma yang ada.

Apalagi dengan kemudahan yang diberikan kemajuan teknologi. Dampaknya dalam berbagai sendi kehidupan tidak bisa diingkari. Tidak hanya bersifat membangun, efeknya juga ada yang negatif. Salah satunya mengenai tirani opini mayoritas. Tidak hanya di dunia nyata, kini melalui media sosial pandangan yang disampaikan secara daring pun mempengaruhi keputusan seseorang. Pandangan netizen melalui like, views dan comment seakan menjadi penentu dalam berkarya. Tanpa kita sadari, kita sering bertindak dengan memperhatikan atau bahkan mengikuti pendapat orang lain. Dari urusan menentukan sekolah, jurusan, tempat kuliah, memilih pacar hingga memutuskan jalur berkarir.

Pandangan yang beredar di masyarakat tentu ada yang bersifat positif, bisa dijadikan pedoman sebelum mengambil keputusan. Di sisi lain, kita juga harus menyadari ada stigma yang perlu diperbaiki. Sebagai manusia, tentu kita tidak bisa membatasi opini orang lain. Pendapat mereka tidak ada dalam kendali kita. Alih-alih nekat dengan dalih ingin mematahkan ‘mitos’, kita juga perlu mendengarkan pandangan itu sebagai nasihat agar bijak mengambil keputusan (Amsal 12: 15).

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Kita Tak Bisa Memilih untuk Lahir di Keluarga Mana, Tapi Kita Bisa Memilih Berjalan Bersama-Nya

Tuhan mengirimku untuk lahir di dunia ini, di keluarga yang dirundung konflik. Mungkin sekarang aku belum tahu apa maksud Tuhan dari semua ini, namun sekelumit kesan di hari ulang tahun ini mengingatkanku bahwa dalam perjalanan hidupku, aku disertai-Nya.

Kemenangan Melintasi Jalur Sunyi

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

Perbedaan bukan hal yang baru di kehidupan kita. Kita sering menyaksikan harmoni keindahan dari perbedaan. Dalam beberapa hal, pandangan atas pilihan berbeda yang kita buat sering disalahartikan. Kita dianggap aneh, melawan arus. Karena tidak seperti pilihan orang-orang pada umumnya, kita harus melintasi jalur sunyi. Dianggap sok suci, ketika tidak memberi contekan. Direndahkan tatkala gagal seleksi sekolah favorit atau kampus bergengsi. Dinilai salah, saat pacaran beda suku.

Selepas dari SMP, aku memutuskan melanjutkan studi di sekolah kejuruan. Berkas pendaftaran kuantar, setelah orang tuaku tidak menyetujui pilihanku. Sebelumnya aku di terima di SMA, salah satu yang bergengsi dan direkomendasikan oleh sekolahku. Namun, hasil tes yang kuikuti rupanya gagal membawaku masuk ke kelas yang biaya pendidikannya disubsidi. Jika bersekolah di sana, orang tuaku harus membayar keperluan sekolah secara mandiri tanpa potongan. Melihat rincian biaya yang akan dikeluarkan setiap bulan, bapak dan ibu menolak pilihanku. Padahal, menurutku sekolah favorit itu bisa menjembatani kesuksesanku.

“Emas akan tetap jadi emas sekalipun di kubangan lumpur. Sekolah di mana pun, kalau kamu sunguh-sungguh akan tetap berhasil”. Pernyataan ini kuterima, tiap kali aku berusaha memaksakan kehendakku. Motto pendidikan kejuruan berhasil memikatku. Iming-iming lulusan terampil yang siap kerja menjadi satu-satunya alasanku yang masuk akal ketika mendaftar ke SMK. Selebihnya hanya karena kesal, tidak jadi bersekolah di SMA favorit.

Tahun pertama bersekolah sulit kujalani. Bukan hanya karena tidak dari hati, suasana belajarnya juga berbeda dari bayanganku. Pembelajarannya kebanyakan praktik. Memoriku masih merekam jelas momen saat kami harus menjual produk perusahaan yang bekerja sama dengan sekolahku. Tidak mudah bagiku memenuhi tugas untuk nilai kewirausahaan itu.

Aku juga minder ketika bertemu teman SMP-ku. “Kenapa ke SMK?”, Pertanyaan yang sering diajukan temanku sembari mengernyit. Label bandel dan stigma siswa SMK yang tidak sebagus SMA membuat mereka menyayangkan pilihanku. Pandangan yang sama juga beredar secara publik. “Nanti langsung kerja ke Batam saja ya”, “Jadi TKI saja, anak SMK biasanya langsung diterima”. Pernyataan yang menunjukkan pandangan mereka tentang terbatasnya kesempatan berkuliah bagi anak SMK. Berita tentang anak SMK yang tawuran sampai merusak fasilitas umum juga seolah mempertegas stigma negatif yang sudah ada entah dari kapan.

Walau tidak bisa dipukul rata untuk semua siswa SMK, penilaian yang tidak menyenangkan itu sempat membuatku pesimis. Ibarat pelari di luar lintasan, aku merasa salah jalan karena mengambil pilihan yang berbeda.

Perbedaan target sekolah kejuruan dan sekolah menengah lainnya membuat proses belajar di SMK tidak seserius di SMA, apalagi untuk urusan teori. Menciptakan lulusan yang siap kerja membuat kegiatan belajar kebanyakan bersifat praktik. Mau tidak mau, kondisi itu mempersempit kesempatan anak SMK untuk bersaing secara akademis apalagi untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Pendalaman materinya jauh berbeda. Pilihan program studi di kampus juga tidak terbuka untuk semua kejuruan yang ada di SMK.

Mirip dengan Abraham dan Sara di Kejadian 17-18. Abraham yang sudah tua dan Sara yang juga sudah menopause, menertawakan Tuhan ketika Ia menjanjikan anak laki-laki bagi mereka. Tepat seperti yang difirmankan-Nya, di masa tuanya Sara melahirkan anak laki-laki bagi Abraham (Kejadian 21:2).

Demikian halnya dengan masa putih abu-abu yang sudah kulewati. Tuhan terus mengikis rasa minder yang pernah kumiliki. Ia juga memakai beberapa temanku untuk mengikuti lomba, bersaing dengan perwakilan dari beberapa sekolah yang dianggap favorit. Di antara para alumni, kami juga ada yang berhasil menjadi sarjana. Banyak juga dari mereka yang terus menjaga nama baik sekolah di dunia kerja ataupun dalam bermasyarakat. Akhir-akhir ini juga, secara nasional banyak karya anak SMK yang bisa dipakai untuk keperluan bangsa ini. Sebagai salah satu alumni SMK, aku berharap semoga semakin banyak karya dari teman-teman yang memutuskan sekolah kejuruan. Mengikis stigma-stigma negatif yang ada di masyarakat.

Bersekolah di SMK atau di SMA bahkan tidak bersekolah pun, Tuhan memiliki tujuan tersendiri bagi setiap ciptaan-Nya. Kita bisa mengetahui hal itu dari riwayat penciptaan Allah dari hari pertama hingga hari keenam (Kejadian 1). Allah melihat semua pekerjaan tangan-Nya itu baik dan menceritakan kemuliaan-Nya (Mazmur 19: 1-15).

Memasuki bulan ketujuh di tahun ini, teman-teman mungkin sedang berhadapan dengan pilihan yang sarat dengan label atau cap tertentu. Menyambut tahun ajaran baru yang artinya harus menentukan sekolah atau kampus tujuan. Atau teman-teman sedang berjalan melintasi jalan sunyi dan berjuang mematahkan ‘mitos’ tertentu. Terbentur dengan kalimat-kalimat yang menurunkan semangat seperti: ‘kuliah itu harus di negeri’, ‘anak kota mah manja, mana sanggup mandiri jauh dari orang tua’ ‘susah cari kerja di masa pandemi, apalagi untuk fresh graduate’.

Walau tidak mudah, semoga Allah sumber pengharapan memenuhi sukacita kita melintasi jalan sunyi (Roma 15:13). Menuju kemenangan atas pilihan-pilihan sesuai ketetapan-Nya yang kadang berlawanan dengan pandangan banyak orang. Keputusan terbentur kebiasaan umum yang direncanakan-Nya untuk mendatangkan kebaikan. (Yeremia 29:11).

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Dia yang Kukasihi, Dia yang Berpulang Lebih Dulu

Pernikahan kami baru seumur jagung ketika Tuhan memanggil dia yang kukasihi ke pangkuan-Nya. Namun, dari kisah yang terasa getir ini, aku merasakan manisnya kasih setia Tuhan.