Posts

Yesus Kristus dan Celana Kolor

Oleh Dhimas Anugrah, Jakarta

Judul di atas mungkin terasa aneh. Rasanya kok tidak sopan. Sepertinya kurang elok kalau menyandangkan Yesus Kristus dengan celana kolor.

Tetapi judul ini bukannya tanpa alasan. Ceritanya begini:

Beberapa waktu silam, saat jemaat di gereja kami sedang beribadah Jumat Agung, remaja kami menampilkan suatu drama Jalan Salib yang mengharukan.

Yesus Kristus diperankan dengan sangat hidup oleh Yordan, sang wakil ketua remaja, dan para pemeran prajurit Roma serta wanita-wanita yang menangisi kematian-Nya juga diperankan secara apik oleh anak-anak remaja belasan tahun itu.

Nah, puncak drama ini ada di adegan ketika Kristus disalibkan.

Tanpa sengaja, para “prajurit Roma” tadi melepaskan peniti di salah satu bagian jubah yang dikenakan oleh “Yesus Kristus”, yang mana peniti yang satu itu jangan sampai dilepas sebenarnya.

Yemima, pembina mereka yang menjadi sutradara drama ini, sudah mewanti-wanti mereka agar peniti yang satu itu jangan sampai dilepas.

Tetapi toh, para “prajurit Roma” itu lupa, atau mungkin karena terlalu menjiwai peran mereka, dengan semangat khas pasukan Roma, semua peniti di jubah “Yesus” itu pun dilepas.

Alhasil, seluruh kain atau jubah putih yang menutupi badan bagian atas dan bawah “Yesus” itu melorot semua.

Drama mengharukan yang mencapai puncaknya di penyaliban Sang Mesias itu mempertontonkan: Yesus Kristus yang disalibkan dengan celana kolor kotak-kotak.

Sebagian jemaat, termasuk paduan suara remaja yang sudah berbaris di depan, hampir tak bisa menahan tawa.

Namun tawa itu segera lari dari bibir kami sebab para pemain drama itu tidak menunjukkan mimik malu atau grogi sedikitpun akibat “kesalahan teknis” itu.

Bahkan mereka menganggap dilucutinya semua jubah Kristus itu adalah bagian dari skenario drama.

Semua pemeran berakting serius dan menghayati. Yordan, Daniel, Dylan, Adriel, Albert, Bhisma, dkk, yang berada di “Golgota” benar-benar tampil prima.

Mereka menjalankan detail instruksi sutradara dengan baik, kecuali urusan peniti tadi.

Melucuti jubah Yesus memang bagian dari skenario, tetapi tidak semua jubah perlu dilucuti, hanya yang bagian atas saja, yang bawah tidak perlu dilepas.

Namun, semua sudah terjadi. Peniti itu sudah tidak pada tempatnya, entah siapa yang mencabutnya. Celana kolor “Yesus” pun menjadi sorotan ratusan pasang mata yang memadati gereja kami.

Aku berdiri di belakang kamera milik Yordan. Tak kuhiraukan adegan ganjil itu. “Yang penting Yordan masih pakai kolor,” begitu pikirku.

Bayangkan jika tidak ada sehelai benangpun menempel di tubuhnya saat puncak drama ditampilkan?

Ahh, lebih baik jangan dibayangkan lah.. tak elok..

Aku teruskan tugasku memotret drama itu. Ironis memang karena ini seperti “senjata makan tuan”, kamera milik Yordan dipakai untuk memotret dia dan celana kolor kotak-kotak miliknya di puncak drama penyaliban Sang Juruselamat.

Tetapi Yordan memiliki hati yang luas dan mental yang matang, ia tetap bisa menguasai dirinya selama memerankan Yesus Kristus hingga akhir, sampai ia menjerit, “Eli, Eli, lama sabakhtani?”

Salut kepada Yordan, ia sungguh berbakat sebagai aktor.

Celana kolor itu bukan alasan baginya untuk membuyarkan konsentrasi jemaat pada klimaks penyaliban Kristus.

Drama itu memang berlangsung tidak lebih dari 11 menit, tetapi drama itu takkan bisa dilupakan oleh jemaat.

Pesan sakral Jumat Agung yang terkandung drama remaja kemarin terasa lancar dan deras mengalir ke dalam sanubari kami.

Pikiranku pun terbang ke tanah Palestina dua puluh abad lampau.

Celana kolor yang dipakai “Yesus” di Golgota kemarin membuatku memikirkan lagi, “Bukankah Kristus sewaktu Ia disalibkan begitu menderita karena dosa-dosa kita?

Selain cambukan, hinaan, tonjokan, dan semua aksi memilukan itu, Kristus juga ditelanjangi.

Ya, Ia bukan hanya disalib, tetapi disalib dengan telanjang.

Mari kita perhatikan sejumlah nats berikut:

Matius 27:35,“Sesudah menyalibkan Dia mereka membagi-bagi pakaian-Nya dengan membuang undi”; Markus 15:24, “Kemudian mereka menyalibkan Dia, lalu mereka membagi pakaian-Nya dengan membuang undi atasnya untuk menentukan bagian masing-masing”;

Lukas 23:34b, “Dan mereka membuang undi untuk membagi pakaian-Nya”.

Tiga ayat ini menunjukkan bahwa pada saat Yesus disalibkan, para prajurit yang menyalibkan-Nya membagi-bagi pakaian-Nya.

Injil Yohanes malah menginformasikan ternyata yang diambil dan dibagi-bagi oleh para prajurit itu bukan hanya pakaian-Nya, tetapi dikatakan juga jubah-Nya (19:23).

Kata “jubah” berasal dari kata Yunani “khitona” yang artinya adalah pakaian dalam.

Alkitab NIV menulis, “When the soldiers crucified Jesus, they took his clothes (pakaian), dividing them into four shares, one for each of them, with the undergarment (pakaian dalam) remaining. This garment was seamless, woven in one piece from top to bottom” (Yohanes 19:23).

Di sini NIV menerjemahkan kata pertama dan kedua dengan tepat tetapi kata ketiga diterjemahkan ‘garment’ (pakaian), yang agak kurang cocok karena dalam bahasa Yunani kata kedua dan ketiga adalah sama.

Jadi, kata “garment” pun sebaiknya diterjemahkan sebagai pakaian dalam (yang ikut dilucuti).

Karena itu, dari nats ini dapat dipahami bahwa Yesus disalibkan dalam keadaan telanjang.

Ini jelas adalah sesuatu yang sangat memalukan. Ia ditelanjangi dan menjadi tontonan semua orang yang melihat-Nya.

Maka tak heranlah para wanita yang menjadi murid Kristus tidak berani berdiri dekat salib-Nya ketika mereka di Golgota, sangat mungkin karena mereka tidak tega melihat guru mereka dalam kondisi telanjang seperti itu.

Drama yang tanpa sengaja mempertontonkan celana kolor kotak-kotak itu mengingatkan aku dan kamu bahwa Tuhan Yesus disalibkan dengan telanjang bulat.

Penelanjangan Kristus ini menunjukkan betapa rusaknya manusia berdosa.

Seharusnya kita yang ditelanjangi, dipermalukan, disiksa, dan mengerang di neraka sebagai hukuman atas keberdosaan kita, namun itu semua dipikul oleh Yesus Kristus.

Ia memikul itu semua agar kita tidak menerima hukuman Allah.

Yesus Kristus adalah Allah, Ia rela dipermalukan dan ditelanjangi, supaya manusia bisa diselamatkan dari hukuman Allah.

Upah dosa adalah maut, dan kita semua telah berdosa, tidak seorangpun dari kita yang tidak berdosa.

Oleh sebab itu kita perlu datang kepada Dia yang tersalib dengan telanjang itu, agar kita beroleh keselamatan dan jubah kebenaran yang membuat kita tidak lagi telanjang di hadapan Allah dan tidak lagi malu ketika berjumpa muka dengan muka di hadapan-Nya.

Baca Juga:

Panggilan Melayani di Pelosok Negeri

Lahir dan tinggal di Indonesia tentunya bukan sebuah kebetulan, memuliakan-Nya melalui panggilan kita masing-masing harus menjadi tujuan utama kita. Sudahkah kau temukan panggilanmu?

Kerinduanku Ketika Mengingat Besar Pengurbanan-Nya di Kalvari!

Oleh Vina Agustina Gultom, Bekasi

Dua tahun yang lalu, aku memiliki kerinduan untuk membawa satu jiwa bisa mengenal Tuhan. Kerinduan itu pun dijawab Tuhan dengan berita bahwa aku berhasil diterima di salah satu universitas di Taiwan. Aku begitu bersemangat, sebab di negeri yang akan kutuju itu ada banyak orang yang belum mengenal Tuhan. Dalam hati aku berbisik, “Tuhan, aku benar-benar akan berjuang melakukannya.”

Melihat semangatku itu, salah seorang penatua di gerejaku pun bertanya, “Apa yang membuatmu semangat sekali kuliah di sana?”

Dengan suara lantang, aku menjawab, “Aku ingin menuntut ilmu dan membawa satu jiwa mengenal Dia. Doakan aku Ibu.”

“Pastinya,” refleks beliau seketika.

Dipertemukan dengan orang-orang baru

Ketika aku sudah tiba di Taiwan, aku masuk ke kamar asramaku. Tapi, aku tak melihat ada seorang pun di dalam. Kulihat meja-meja temanku, kucoba menebak dari mana asal mereka. Dari penelusuran sederhanaku itu, aku menyimpulkan kalau mereka adalah orang-orang lokal di negeri ini. Ketika seorang seniorku yang adalah orang Indonesia dan yang sudah tinggal di Taiwan selama enam bulan mengunjungiku, dia mengiyakan kesimpulanku. Katanya, teman-teman seasramaku adalah orang-orang Taiwan. Mereka belum datang ke asrama karena perkuliahan belum dimulai.

Seminggu berselang, ketka perkuliahan siap dimulai, satu per satu mereka pun berdatangan. Mereka kaget melihat kehadiranku, mungkin karena warna kulit kami berbeda. Tapi aku coba membuat suasana pertemanan yang hangat supaya mereka bisa terbuka dan berteman baik nantinya.

Aku memberikan gantungan kunci khas Indonesia buat mereka, berkenalan, dan menceritakan apa alasanku memilih negara dan kampus ini, juga memberitahukan pada mereka kalau aku seorang Kristen. Ketika tahu bahwa aku orang Kristen, mereka mengajukan beberapa pertanyaan. Bagi mereka yang kebanyakan acuh tak acuh pada keberadaan Tuhan, percaya kepada Tuhan adalah sesuatu yang aneh. Aku berusaha menjawab pertanyaan mereka dengan apa yang aku tahu dari Alkitab. Aku menceritakan kasih Tuhan yang nyata, yang aku rasakan sepanjang hidupku. Mereka meresponsku dengan mengiyakan saja, tanpa tertarik untuk mengetahui lebih dalam. Bagi mereka, apa yang kusampaikan itu adalah hal yang tidak masuk akal.

Meski begitu, aku tidak berkecil hati. Misi keduaku adalah aku mencoba terlibat dalam setiap aktivitas mereka: makan malam bersama, cuci baju di laundry bersama, mengunjungi lab mereka satu per satu, mendengarkan cerita hidup mereka, mengikuti seminar tesis, sampai ikut merayakan hari besar mereka secara langsung di salah satu rumah mereka. Hal-hal itu kuperjuangkan hari demi hari meskipun selama melakukannya aku mengalami cultural shock, perbedaan sistem pendidikan, tekanan dari profesor, juga kandasnya agenda jalan-jalan bersama teman-teman Indonesiaku. Tapi, aku bersyukur dan bersukacita menjalaninya. Bagiku, teman-teman baruku ini adalah anugerah yang harus kuperjuangkan, agar mereka juga bisa mendengar dan kelak mengenal Allah yang aku kenal.

Satu temanku akhirnya lulus, dan dua lagi memutuskan untuk pindah ke asrama yang hanya dihuni dua orang dalam satu kamar. Mereka ingin pindah karena mereka tidak mau beradaptasi lagi jika nanti ada mahasiswa baru yang masuk ke kamar kami tersebut. Perasaanku tercabik, kupikir kesempatan untuk mengenalkan Tuhan kepada mereka akan pergi tak lama lagi. Kerinduanku belum selesai kulakukan, tapi berujung dengan perpisahan. Aku menangis kepada Tuhan, aku merasa bersalah karena aku belum mencapai visi itu, dan aku juga tak ingin kehilangan mereka.

Di dalam masa kesedihanku, aku tetap setia berdoa bagi mereka dan juga berdoa kiranya teman baruku adalah orang Filipina. Doaku untuk untuk memiliki teman sekamar orang Filipina adalah keinginan besarku. Mereka biasanya mampu berbahasa Inggris dengan baik, sehingga nantinya aku bisa sekalian belajar meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisku. Peluang ini rasanya sangat besar terjadi, karena jumlah mahasiswa Filipina lumayan banyak ada di kampusku.

Namun, kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Satu bulan kemudian, datanglah teman kamar baruku. Dia bukan orang Filipina, melainkan orang Vietnam. Aku merasa sedih, tapi kurasa aku tidak layak untuk bersedih, karena aku tahu doaku itu hanya keinginanku semata. Aku mencoba memulihkan perasaanku dengan mengingat kembali visiku dan menyanyikan sebuah lagu yang berjudul “Sudahkah yang Terbaik ‘Ku Berikan?

Lirik lagu ini, ayat pertama dan ketiganya berkata demikian:

Sudahkah yang terbaik ‘ku berikan
kepada Yesus Tuhanku?
Besar pengurbanan-Nya di Kalvari!
Diharap-Nya terbaik dariku.

Telah ‘ku perhatikankah sesama,
atau ‘ku biarkan tegar?
‘Ku patut menghantarnya pada Kristus
dan kasih Tuhan harus ‘ku sebar.

Reff:
Berapa yang terhilang t’lah ‘ku cari
dan ‘ku lepaskan yang terbelenggu?
Sudahkah yang terbaik ‘ku berikan
kepada Yesus, Tuhanku?

Kesempatan baru yang Tuhan berikan

Semangatku pun kembali. Apapun kondisinya, aku berjanji untuk tidak melupakan dan terus memperjuangkan visiku. Aku coba melakukan misi yang sebelumnya sudah kulakukan ke ketiga mantan teman kamarku, dan puji Tuhan, temanku yang baru ini sangat terbuka. Bahkan dia bersedia kuajak ke gereja walaupun hanya sekali. Aku tetap bersyukur, dan aku berdoa supaya benih firman yang telah dia dengar bisa berakar dalam hidupnya. Walaupun aku tidak tahu seberapa lama masa pertumbuhan benih firman itu, namun aku beriman bahwa suatu saat benih itu akan berbuah secara nyata dalam hidupnya.

Perjuanganku untuk membawa jiwa kepada Tuhan rasanya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan penderitaan Tuhan Yesus bagiku. Namun, aku berdoa bagi kamu yang saat ini membaca tulisanku, supaya kita sama-sama terbeban, sekecil apapun itu, untuk membawa satu jiwa mengenal Tuhan.

Sebuah lagu yang kutulis di atas, bait keduanya berbunyi demikian:

Begitu banyak waktu yang terluang, sedikit ‘ku b’ri bagi-Nya.
Sebab kurang kasihku pada Yesus;
mungkinkah hancur pula hati-Nya?

Lirik ini menjadi suatu pengingat, agar kita pun mau memiliki kerinduan tersebut, dan pada akhirnya memperjuangkannya. Hidup kita sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan, lalu lenyap. Yuk kita gunakan waktu-waktu kita untuk Tuhan Yesus, yang telah berkurban di Kalvari demi kita.

Selamat menghayati hari-hari menjelang Paskah dan menikmati kebangkitan Tuhan Yesus di dalam hati kita!

Baca Juga:

Gagal Naik Podium Tidak Menghentikan Rencana Tuhan dalam Hidupku

Sebagai atlet, aku berusaha keras untuk menggapai prestasi. Namun, usaha kerasku tidak membuahkan hasil sesuai harapanku. Tetapi, di balik prestasiku yang seolah gagal, Tuhan sesungguhnya tidak berhenti bekerja dalam hidupku.

3 Hal yang Membuat Kematian Yesus Berbeda

Penulis: Abyasat Tandirura

Kematian-yang-istimewa

Kematian itu menakutkan. Bisa merenggut siapa saja tanpa memandang usia. Dua tahun silam, nenekku meninggal setelah menjalani perawatan di rumah sakit selama beberapa hari. Sebulan setelah pemakamannya, keponakan perempuanku yang masih bayi juga meninggal dunia. Bersama keluarga besar di Toraja, aku mengikuti ritual panjang pemakaman jenazah dengan perasaan campur aduk.

Di Toraja, jenazah tidak dimakamkan begitu saja. Ada ritual panjang yang disebut Rambu Solo’ (Rambu=asap, Solo’=turun) yang meliputi penyembelihan hewan (kerbau dan babi) dengan jumlah yang tidak sedikit. Menurut kepercayaan leluhur orang Toraja (aluk todolo), makin banyak hewan yang dikurbankan, makin cepat roh orang yang meninggal mencapai Puya (dunia arwah, tempat perhentian sejatinya). Biayanya yang fantastis membuat ada yang berkata bahwa “orang Toraja itu hidup hanya untuk mempersiapkan kematian”.

Setelah Injil masuk ke Toraja lebih dari 100 tahun lalu, pandangan orang Toraja sudah banyak berubah. Yang diyakini dapat membawa orang ke tempat perhentian sejati (surga) bukan lagi kurban hewan yang banyak, melainkan Yesus Kristus saja. Yesus telah mati disalib sebagai kurban yang sempurna, sehingga setiap orang yang percaya kepada-Nya dapat memasuki tempat perhentian yang kekal (surga). Kalaupun orang masih menyumbang dan menyembelih hewan, kebanyakan orang Toraja memaknainya hanya sebagai simbol penghormatan dan kasih kepada orang yang meninggal sekaligus wujud empati terhadap keluarga yang berduka. Ritual rambu solo kini menjadi sarana mempererat tali kasih persaudaraan dan semangat kekeluargaan. Di dalamnya ada kebaktian penghiburan bagi segenap keluarga besar yang ditinggalkan.

Mengikuti rangkaian pemakaman kedua anggota keluarga yang sangat kukasihi membuat aku banyak merenungkan kembali tentang kematian. Secara khusus, aku diingatkan pada kematian Yesus Kristus yang sangat berbeda dengan kematian manusia pada umumnya.

1. Yesus memilih untuk memberikan nyawa-Nya sekalipun Dia sebenarnya berkuasa untuk menghindari kematian.

Nenekku meninggal di usia 80-an, sedangkan keponakan perempuanku di usia 42 hari. Tidak seorang pun di dunia ini yang tahu persis kapan kematian akan menjemputnya. Namun, Yesus berbeda. Dia tahu kapan “saatnya tiba” (bandingkan Yohanes 7:30 dengan Markus 14:41-42). Yesus mati bukan karena Dia tidak berdaya menghadapi kematian, namun karena Dia memang memilih untuk menyerahkan nyawa-Nya (Yohanes 10:17-18; 2 Korintus 5:15). Kebangkitan-Nya setelah tiga hari kemudian menegaskan fakta bahwa Yesus berkuasa atas kehidupan dan kematian. Sebab itulah, kita dapat mempercayakan hidup dan mati kita kepada-Nya.

2. Yesus rela mati dalam kehinaan sekalipun Dia adalah Anak Allah yang layak dihormati.

Seringkali besarnya acara pemakaman dianggap menjadi simbol penghormatan dan kasih keluarga kepada orang yang meninggal. Dalam Rambu Solo’ yang aku ikuti bahkan ada yang namanya Ma’badong, suatu tarian kedukaan yang disertai lantunan syair ratapan.

Yesus mati disalib bersama para penjahat, hukuman paling hina pada zaman itu. Tidak ada ritual khusus yang mengantar kematian-Nya, orang-orang yang mengasihi-Nya mungkin hanya bisa melihat dan menangis dari jauh. Dia bahkan dimakamkan secara sembunyi-sembunyi di kuburan milik orang lain (Matius 27:57-60; Yohanes 19:38). Padahal, Yesus adalah Pribadi yang selayaknya mendapat penghormatan tertinggi. Tanda-tanda ajaib menjelang kematian-Nya membuat kepala pasukan dan para prajurit yang berjaga di dekat-Nya mau tidak mau mengakui bahwa Dia sungguh adalah Anak Allah (Matius 27:45-54).

Yesus menunjukkan kepada kita bahwa menaati Allah dan mendapatkan penghormatan-Nya itu jauh lebih penting daripada penghormatan manusia (Yohanes 17:4; Filipi 2:5-11). Melalui kematian-Nya Yesus menunjukkan betapa besar kasih Allah kepada kita (Yohanes 3:16; Roma 5:10).

3. Yesus mati untuk memberikan kehidupan kekal bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya.

Kerinduan leluhur orang Toraja adalah masuk ke dalam tempat perhentian yang sejati. Segala harta diberikan demi bisa mengurbankan banyak hewan yang dipercaya dapat mengantar roh mereka menuju ke sana. Yesus mati untuk menjawab kerinduan orang Toraja dan semua manusia akan tempat perhentian yang sejati (surga) itu. Dia adalah jalan kepada Allah Bapa dan sedang menyediakan tempat kediaman abadi bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya (Yohanes 14:1-7). Kelak, Dia akan datang kembali untuk membawa kita yang percaya tinggal bersama-Nya (ayat 3).

Betapa istimewanya kematian Yesus! Setiap kali mengingat-Nya, aku dihiburkan, karena Yesus menunjukkan kepadaku betapa besar kasih Allah kepadaku. Kematian bukan akhir dari segalanya, melainkan awal dari kehidupan yang baru bersama Allah selamanya. Meski di dunia ini, maut bisa memisahkan kita dengan orang-orang yang kita kasihi, di surga nanti, setiap orang yang percaya kepada-Nya akan kembali bertemu dan tinggal bersama dalam sukacita abadi, sebagaimana yang dinubuatkan nabi Yesaya: “... dan orang-orang yang dibebaskan TUHAN akan pulang dan masuk ke Sion dengan bersorak-sorai, sedang sukacita abadi meliputi mereka; kegirangan dan sukacita akan memenuhi mereka, kedukaan dan keluh kesah akan menjauh” (Yesaya 35:10).

 

Untuk direnungkan lebih lanjut

Apa arti kematian dan kebangkitan Yesus untukmu?
Yuk bagikan dalam kolom komentar di bawah ini…

#ruangsenikamu: Di Kaki Salib

Proyek Kriya: Di Kaki Salib [At The Cross]
Bahan: Kertas
Deskripsi: Karya ini terinspirasi dari lukisan Rembrandt, “Elevation of the Cross“.
Seniman: Sven Lim

Karya ini mencoba menggambarkan orang-orang yang dengan sekuat tenaga berusaha mengangkat salib yang sangat berat. Pada saat yang sama, tampak para iman kepala, ahli-ahli Taurat, dan para pemuka agama berdiri di pojok kiri dengan senyum mengejek. Di pojok kanan, tampak para murid yang sedang berduka.

Semoga perspektif yang dihadirkan lewat karya seni yang unik ini dapat menolong kita untuk kembali merenungkan dan mensyukuri apa yang telah dilakukan Kristus bagi kita (Matius 27:32; Yohanes 19:17).

At-the-cross-01

At-the-cross-02

At-the-cross-03

At-the-cross-04

At-the-cross

Sven-Lim

Tentang Sven Lim
Aku bekerja sebagai application engineer di siang hari dan berkarya sebagai seorang seniman di malam hari. Aku percaya bahwa Tuhan telah mengaruniakan kepada setiap kita kemampuan untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi sesama.

Ketika aku masih kecil, aku suka membuat miniatur tokoh tiga dimensi. Saat punya waktu lebih, aku mencoba memakai bahan kayu, tetapi ternyata memahat kayu itu tidak mudah. Aku kemudian mencoba menggunakan bahan sabun, tetapi ternyata bahannya mudah retak.

Lalu suatu hari saat sedang berselancar di internet, aku menemukan gambar seekor gurita yang dibuat dari lembaran-lembaran buku. Bukunya sendiri difungsikan sebagai “lautan”, halaman-halamannya dibuat bergelombang seperti ombak.

Dari sana aku menyadari bahwa aku bisa menggunakan buku-buku tua yang sudah tidak terpakai untuk membuat miniatur tokoh tiga dimensi. Aku mulai membuat karya seni semacam ini sejak tahun 2011.

Harapanku, karya-karya seni yang aku buat dapat menginspirasi orang lain agar menggunakan karunia-karunia mereka untuk melayani sesama (1 Petrus 4:10).

Seperti Seekor Domba

Jumat Agung, 2 April 2010

Baca: Yohanes 15:9-17

Dia . . . seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya. —Yesaya 53:7

Pada tahun 1602, Caravaggio, seorang seniman berkebangsaan Italia, membuat sebuah lukisan yang dikenal dengan judul The Taking of Christ (Penangkapan Kristus). Lukisan ini, sebuah contoh awal dari gaya Barok, sangat mengesankan. Dilukis dengan warna-warna gelap, lukisan ini mampu membuat orang yang melihatnya untuk merenungkan peristiwa penangkapan Yesus di Taman Getsemani. Dua elemen utama dari peristiwa itu, yang tergambar pada lukisan tersebut menarik perhatian pengamat.

Gambaran pertama adalah Yudas yang menyampaikan ciuman maut. Namun, fokus pengamat segera tertuju pada jari-jari Yesus yang saling terlipat. Ini menunjukkan bahwa Yesus tidak memberikan perlawanan terhadap ketidakadilan. Meskipun Dia memiliki kuasa untuk menciptakan alam semesta, Kristus memberikan diri-Nya secara sukarela kepada para penangkap-Nya dan salib yang menanti.

Jauh sebelum peristiwa ini terjadi, Yesus memberitahu para pendengar- Nya bahwa tidak ada seorang pun yang dapat mengambil nyawa-Nya dari-Nya—Dia akan memberikannya menurut kehendak-Nya (Yoh. 10:18). Hati yang rela untuk berserah telah dinubuatkan Yesaya, yang menuliskan, “Dia . . . seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya” (Yes. 53:7).

Pengorbanan Kristus yang diibaratkan seperti domba tersebut merupakan indikator hebat akan kasih-Nya yang penuh kuasa. “Tidak ada kasih yang lebih besar,” kata-Nya, “daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh. 15:13). Pikirkanlah itu. Yesus mengasihi kita sedemikian besarnya! —WEC

Karena kasih, Juruselamat mati menggantikanku
Mengapa Dia begitu mengasihiku?
Dengan taat Dia menuju ke salib Kalvari itu
Mengapa Dia begitu mengasihiku? —Harkness

Tangan Yesus yang terpaku menyatakan hati Allah yang penuh kasih.