Disiplin Rohani: Perlukah Menjadi Orang Saleh di Abad Ke-21?
Oleh Jefferson
Pada 2 November yang akan datang, secara rohani aku akan genap berusia satu dekade. Sepuluh tahun yang berlalu sejak pertobatanku terasa begitu panjang dan singkat; panjang, karena ada begitu banyak pengalaman hidup yang telah kulalui (dan segelintir darinya aku bagikan lewat tulisan); singkat, karena rasanya baru kemarin aku menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatku.
Rasanya baru kemarin juga aku menerima undangan untuk menulis tentang disiplin rohani. Topik ini cukup familiar karena pernah kubahas dalam beberapa tulisan terdahulu. Melihat kesempatan ini sebagai anugerah dari Tuhan untuk sekali lagi membagikan pembelajaranku bersama-Nya lewat tulisan, keempat artikel dalam seri ini kutulis sebagai kristalisasi dari pengalamanku “berlatih dalam kesalehan” selama ~10 tahun terakhir.
Untuk memulai penjelajahan kita tentang disiplin rohani selama beberapa minggu ke depan, kita perlu pertama-tama mempelajari dasar-dasar daripada disiplin rohani itu sendiri, yang kurangkum dalam dua pertanyaan besar.
“Apa itu ‘disiplin rohani’ menurut Kekristenan?”
Walaupun istilah “disiplin rohani” tidak pernah disebut secara eksplisit dalam Alkitab, konsep ini tersirat dalam berbagai bagiannya, terutama di Perjanjian Baru. Perumusan terjelasnya terkandung dalam 1 Timotius 4:7b, “latihlah dirimu untuk hidup dalam kesalehan”. Dari ayat ini, kita memahami bahwa “disiplin rohani” pada dasarnya diartikan menurut tujuan yang ingin dicapai, yaitu “kesalehan” atau godliness (ESV). Dengan kata lain, disiplin rohani hanyalah cara untuk mencapai kesalehan dan bukanlah kesalehan itu sendiri.
Mendengar kalimat di atas, kamu mungkin berpikir, “Jadi apa bedanya disiplin rohani Kristen dengan tindakan agamawi kepercayaan lain kalau tujuan akhirnya sama, yaitu kesalehan?”
Untuk menjawab keberatan di atas, kita perlu mengklarifikasi apakah definisi “kesalehan” yang dimaksud Paulus dalam 1 Timotius 4:7b sama dengan pemahaman pada umumnya, yaitu “sikap hidup pribadi yang tidak berdosa/bercela”. Pembacaan ayat-ayat sebelum (ay. 1–7a) dan sesudahnya (ay. 8–10) membantu kita menguraikan kebingungan ini.
Pertama-tama, 1 Timotius 1:1–7a menjelaskan latar belakang ayat 7b: akan ada sebagian jemaat Efesus yang meninggalkan iman mereka “dengan menyerahkan diri kepada roh-roh penyesat dan ajaran setan-setan” (ay. 1). Orang-orang ini mengharamkan hal-hal baik yang diciptakan oleh Allah, seperti pernikahan dan makanan tertentu (ay. 3–5), dan mempercayai berbagai takhayul (ay. 7a). Terhadap latar kebejatan inilah Paulus mengarahkan Timotius untuk tidak hanya mengajarkan “perkataan-perkataan iman dan ajaran sehat” kepada gereja di Efesus (ay. 6), tetapi juga melatih dirinya “untuk hidup dalam kesalehan” (ay. 7b). Dari ayat-ayat ini, kita mempelajari bahwa disiplin rohani dipraktikkan agar kesalehan dapat dihidupi baik secara pribadi maupun komunal; kita berlatih untuk hidup menurut “perkataan-perkataan iman dan ajaran sehat” dalam Firman Tuhan agar dapat mengenali dan menjauhi berbagai ajaran yang menyimpang dari kebenaran Kristus serta membantu sesama orang percaya melakukan hal serupa untuk mencapai kesalehan.
Ayat 8 memperjelas alasan di balik dorongan Paulus: karena kesalehan “mengandung janji untuk kehidupan sekarang dan juga kehidupan yang akan datang”. Don Whitney dalam bukunya “10 Pilar Penopang Kehidupan Kristen” mengidentifikasi janji tersebut sebagai keserupaan dengan Kristus, baik di masa kini maupun di masa depan. Rasul Yohanes menulis dengan yakin bahwa ketika Kristus datang kedua kalinya, “kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya” (1 Yoh. 3:2). Perintah Tuhan dalam Ibrani 12:14 lebih lanjut menjangkarkan janji itu di masa sekarang, “kejarlah kekudusan [yang berhubungan erat dengan “kesalehan”], sebab tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan”. Jadi kita berdisiplin rohani, melatih diri untuk hidup serupa dengan Kristus, supaya dapat melihat kehadiran Kristus secara nyata dalam kehidupan kita di masa kini dan mempersiapkan diri menikmati kekekalan bersama dengan-Nya ketika Ia nanti datang yang kedua kali.
Faktor pembeda terakhir yang perlu kita perhatikan adalah peranan manusia dalam praktik agamawi. Kepercayaan-kepercayaan lain pada umumnya mengajarkan praktik agamawi sebagai jalan untuk mendapatkan keselamatan. Implikasinya adalah manusia harus secara aktif mengejar keselamatan lewat berbagai bentuk kesalehan; kesalehan hanyalah hasil dari praktik agamawi. Keyakinan ini bertolak belakang dengan Kekristenan, yang percaya bahwa kesalehan yang sempurna telah dihidupi oleh Yesus Kristus sehingga orang-orang yang percaya kepada-Nya mempraktikkan disiplin rohani untuk menjadi serupa dengan-Nya, bukan untuk memperoleh keselamatan (bdk. 1 Kor. 1:30–31). Kesalehan yang merupakan keserupaan dengan Kristus adalah penyebab sekaligus sasaran dari disiplin rohani, bukan hasil usaha manusia berdosa, “supaya tidak ada seorang pun yang menyombongkan diri” (Ef. 2:9). Karena keselamatan diberikan Allah kepada kita oleh karunia-Nya semata, kita mempraktikkan disiplin rohani dengan sepenuhnya “menaruh pengharapan kepada Allah yang hidup” (ay. 10), yang telah membuat Kristus “yang tidak mengenal dosa… menjadi dosa karena kita supaya kita dibenarkan Allah di dalam Dia” (2 Kor. 5:21). Ya, untuk janji di kehidupan sekarang dan yang akan datang “itulah kita bekerja keras dan berjuang” (ay. 10), “tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku” (1 Kor. 15:10 TB).
Jadi, apa itu ‘disiplin rohani’ menurut Kekristenan? Secara singkat, “praktik-praktik pribadi dan komunal yang melatih setiap pengikut Kristus untuk menjadi semakin serupa dengan-Nya dan mempersiapkan kita menikmati kekekalan bersama-Nya”.
Definisi ini jelas berbeda dari tindakan agamawi kepercayaan-kepercayaan lainnya bukan?
“Apa saja bentuk-bentuk disiplin rohani?”
Sebelum sepenuhnya bergeser dari konsep disiplin rohani menuju bentuk-bentuk praktiknya, kita perlu menyadari adanya bahaya dari ketiadaan batasan bentuk disiplin rohani. Kalau kita “kecanduan” pada perasaan dekat dengan Allah lewat aktivitas-aktivitas tertentu—yang mungkin hanya berlaku untuk diri kita saja—seperti berkebun dan berolahraga, kita dapat melabeli setiap hal sebagai “disiplin rohani”. Don Whitney melanjutkan dalam “10 Pilar Penopang Kehidupan Kristen”, … lebih parahnya lagi, ini berarti bahwa kita sendirilah yang menentukan praktik-praktik mana saja yang paling baik untuk kesehatan dan kedewasaan rohani kita, bukannya menerima dan melakukan praktik-praktik yang telah Allah ungkapkan dalam Alkitab; dengan kata lain, kita mencoba menggeser Allah dari tempat-Nya sebagai Tuhan atas hidup kita.
Kalau begitu, apa saja bentuk-bentuk disiplin rohani yang Alkitabiah? Don Whitney mencatat paling tidak ada 10 praktik yang paling menonjol dalam Alkitab, sebagai berikut:
- Bergaul dengan Firman / Bible intake (2 Tim. 3:14–17; Ez. 7:10; Mzm. 119)
- Berdoa (Mat. 6:5–9; 1 Tes. 5:17; Lk. 11:1; Mrk. 1:35–39; Mzm. 19)
- Beribadah (Yoh. 4:23–24; Ibr. 10:24–25; Mrk. 12:30; Why. 4:8)
- Memberitakan Injil (Mat. 28:18–20; Mrk. 16:15; Yoh. 20:21; Kis. 1:8)
- Melayani (Ibr. 9:14; Mzm. 100:2; 1 Sam. 12:24; Yoh. 13:12–16)
- Penatalayanan / stewardship (Ef. 5:15–16; Yoh. 9:4; 1 Tim. 5:8; 2 Kor. 9:7)
- Berpuasa (Mat. 6:16–18, 9:14–15; Ez. 8:23; Kis. 14:23; Mzm. 35:13)
- Bersaat teduh / silence and solitude (Kol. 3:2; Mat. 14:23; Lk. 4:42; Yes. 30:15)
- Menulis jurnal (Mzm. 86:1, 62:8, 102:18; Rom. 12:3; Ul. 17:18)
- Pembelajaran / learning (Mat. 22:37–39; Ams. 10:14, 18:15; Rom. 12:1–2)
Kamu mungkin sangat familiar dengan beberapa praktik di atas dan merasa bisa bertumbuh tanpa perlu mempraktikkan semua yang ada dalam daftar, namun aku ingin mendorongmu untuk mencoba melakukan semuanya, satu demi satu. Mengapa begitu? Karena kesepuluh praktik ini adalah jalan-jalan yang Tuhan rancang sendiri dan berikan kepada kita agar kita dapat bertumbuh menjadi semakin serupa dengan Anak-Nya (bdk. 2 Tim. 3:16–17). Kalau misalkan ada aktivitas-aktivitas lain yang telah dirancang Allah untuk melakukan tujuan yang sama, tentunya mereka pasti dicatat oleh Firman-Nya, bukan?
Masih ada satu pertanyaan besar lagi yang karena keterbatasan waktu tidak bisa kujawab sekarang, yaitu tentang bagaimana melakukan disiplin rohani. Tenang saja, pertanyaan itu akan kubahas minggu depan, beserta dengan catatan satu percakapanku dengan seorang kakak pembina, yang tanpa kuduga-duga merangkum dengan sangat baik realita manusia yang mempraktikkan disiplin rohani.
Semoga artikel ini membantu kamu dalam mulai berdisiplin rohani di dalam Kristus. Sampai jumpa dalam tulisan berikutnya, Tuhan Yesus menyertai kamu, soli Deo Gloria.
Pertanyaan refleksi:
- Apa pengertianmu tentang disiplin rohani sebelum membaca tulisan ini?
- Apa motivasimu mempraktikkan disiplin rohani selama ini? untuk menjadi saleh dan mendapat pahala dari Allah, atau untuk menjadi semakin serupa dengan Kristus?
- Disiplin-disiplin rohani mana saja yang telah kamu praktikkan selama ini? Adakah disiplin tertentu yang belum pernah kamu telusuri dan bisa kamu lakukan dalam waktu dekat, baik secara pribadi maupun bersama orang lain, untuk dapat semakin mengenal dan mengasihi Tuhan Yesus?
Catatan:
kecuali bagian-bagian yang memiliki singkatan TB / ESV, kutipan-kutipan Alkitab dalam tulisan ini memakai terjemahan Alkitab Yang Terbuka (AYT).
Kamu diberkati oleh artikel ini?
Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!
3 Manfaat Melakukan Disiplin Rohani
Jika kita ingin sungguh-sungguh hidup dalam Tuhan, kita tidak boleh menghindar dari disiplin rohani. Ketika kita melatih diri lewat berdoa, saat teduh, dan bersekutu, di situlah kita membangun relasi yang erat dengan-Nya. Sekalipun tantangan dan godaan selalu datang, tetapi Tuhan sendirilah yang memampukan kita.