Posts

Kecelakaan Hebat Menghancurkan Hidupku, Namun Kisahku Tidak Berakhir di Situ

Ditulis oleh Matthew Job Tan, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Surviving Traumatic Brain Injury: From “Why Me” To “Why Not Me?”

Yeremia 29:11 berkata, “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”

Sebagian besar orang Kristen mungkin pernah mendengar ayat Alkitab yang terkenal ini. Seperti yang mungkin pernah kita dengar, mengetahui dan mengalami merupakan dua hal yang berbeda. Jika suatu hal tidak dialami secara pribadi, ayat ini hanya akan menjadi kepercayaan yang abstrak.

Pencobaan

“Karena bukan dari debu timbul bencana dan bukan dari tanah tumbuh kesusahan.” (Ayub 5:6)

Ketika aku berusia 16 tahun, segala sesuatu dalam hidupku berjalan dengan baik. Aku unggul di bidang akademis dan olahraga Judo, masa depanku tampak menjanjikan. Namun, hari-hari kejayaanku itu berakhir secara tragis dan mendadak pada 20 April 2010. Kala itu, aku sedang bertanding di babak semifinal pertandingan Judo—sedekat itulah aku dengan medali emas pertamaku—ketika aku mendarat dalam posisi yang salah saat menerima pukulan lawan. Kejadian ini membuatku mengalami cedera otak traumatik (traumatic brain injury; TBI).

Akibat cedera itu, aku mengalami koma selama 2 bulan. Cedera otak itu turut menyebabkan kerusakan otot-ototku. Aku tidak mampu menjalankan aktivitas apapun. Aku memperoleh asupan gizi lewat infus (untuk minum) dan selang (untuk makan). Pasca koma, otot-ototku terlalu lemah untuk menahan kepala atau badanku pada posisi tegak. Berbicara dan bergerak adalah hal yang mustahil untuk kulakukan. Dalam sekejap mata, hidupku hancur berantakan.

Perjalananku untuk pulih dan kembali ke kehidupan normal dipenuhi dengan hambatan. Pada masa-masa awal, proses pemulihan fungsi-fungsi tubuhku bagaikan mimpi buruk. Aku tidak bisa berbicara maupun bergerak. Aku takut untuk bangun setiap pagi karena kondisi tubuhku yang rusak.

Satu tahun kemudian, aku kembali ke sekolah menengahku yang lama dengan kursi roda, yang membuatku menghadapi semakin banyak kesulitan. Selain harus menghadiri sesi terapi rawat jalan setiap minggunya, aku kesulitan untuk fokus dan mengikuti pelajaran karena stamina mental yang terbatas dan proses berpikir yang lambat. Saat itulah aku menyadari kerusakan yang ditimbulkan cedera otak pada sisi kognitifku.

Aku tidak lagi dapat mengejar ketertinggalan dari teman-temanku di sekolah sekalipun aku sudah mengurangi beberapa mata pelajaran. Aku hanya mengambil lima mata pelajaran, sementara teman-teman sekelasku mengambil sembilan. Dari kegagalan yang berulang kali terjadi saat ujian, terbukti bahwa aku bukan lagi peraih prestasi seperti dulu.
Pindah ke politeknik, aku tidak hanya terus bergumul di bidang akademik—aku juga harus berjuang agar bisa berbaur dengan baik. Proses berpikir yang lambat membuatku terus bersikap canggung. Sekalipun orang-orang di sekitarku menghiburku, aku tetap merasa sendirian dan mulai membenci diriku sendiri.

Kesulitan yang kualami membuatku mempertanyakan maksud Tuhan yang mengizinkan malapetaka ini menimpaku. Kalau rencana Tuhan dalam hidupku memang untuk memberikan damai sejahtera dan masa depan yang berpengharapan, aku benar-benar tidak mengerti mengapa Tuhan tidak menghentikan terjadinya kecelakaan itu.

“Apa aku telah berbuat dosa besar yang membuatku pantas dihukum seberat ini? Kenapa Dia masih membiarkanku hidup di sini untuk menderita? Bukankah lebih baik kalau aku mati saja pada hari itu? Kenapa aku?” Itu adalah sederet pertanyaan yang menyeretku masuk dalam keputusasaan. Pada satu titik, aku bahkan berpikir untuk mengakhiri hidupku. Pencobaan yang kualami terlalu menyesakkan. Manusiawi jika aku memilih untuk menyerah.

Memahami “mengapa”

“Hidup dan kasih setia Kau karuniakan kepadaku, dan pemeliharaan-Mu menjaga nyawaku.” (Ayub 10:12)

Ketidakpercayaanku akan rencana Tuhan yang sempurna tidak membuat-Nya berhenti mengasihiku. Melalui keluarga, guru, teman, mentor, dan bahkan orang yang tidak kukenal, Tuhan memberikan kekuatan, semangat, dan mukjizat yang memampukanku melewati masa-masa sulit itu. Saat aku menengok ke belakang, aku menyadari penyertaan-Nya dalam hidupku: hanya kasih karunia-Nya yang dapat menjaga dan memberiku kekuatan untuk memikul salibku.

Sekalipun sempat mengalami kegagalan saat kembali ke sekolah menengah, aku berhasil meraih beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di politeknik berkat dukungan dari guru-guruku.

Dalam masa pemulihan, aku diperkenalkan pada pengobatan alternatif seperti akupuntur, terapi berenang, dan meditasi. Ditambah dengan olahraga yang intens setiap harinya, akhirnya setelah dua tahun aku bisa kembali berjalan. Bahkan, aku dapat menyelesaikan pertandingan lari jarak jauh, termasuk perlombaan maraton 10 kilometer di tahun 2016.

Walaupun diperhadapkan pada kenyataan bahwa aku tidak akan mampu bkerja di bidang pendidikan atau industri, aku diterima bekerja sebagai asisten terapis untuk terapi musik di sebuah panti jompo Kristen yang mau mempekerjakan dan memberi dukungan tanpa pamrih untukku.

Pekerjaanku membuatku berkembang, baik dalam pemulihanku maupun kompetensiku sebagai seorang profesional. Kompleks panti jompo yang besar mengharuskanku banyak menggerakkan kaki dan memberiku banyak kesempatan untuk latihan berjalan. Dengan bangga kukatakan bahwa kecepatan berjalanku sudah bertambah!

Aku tertantang untuk memikirkan cara supaya tugas yang diberikan kepadaku bisa menjadi sesuatu yang bermakna. Jam klinik harian bersama para penghuni panti jompo juga membantuku mengembangkan kemampuan untuk bersosialisasi dan menjalin hubungan. Disiplin untuk mengerjakan semua kewajiban seperti persiapan, pelaksanaan, dan pembersihan untuk sesi individu maupun kelompok memberiku kesempatan untuk melatih kemampuan manajemen waktu. Terlepas dari keterampilan kerjaku yang bertambah baik, aku mulai mengerti sebagian kecil dari alasan mengapa Tuhan mengizinkan aku mengalami kejadian yang mengerikan itu.

Mengalami maksud penebusan Tuhan

Di tempat kerja, hari-hariku dilalui dengan berinteraksi dengan mereka yang sudah memasuki usia senja. Aku berjalan bersama mereka yang telah—entah secara perlahan maupun tiba-tiba—kehilangan kendali atas hidup mereka. Oleh karena itu, mereka hanya bisa bergantung pada orang-orang di sekitar mereka untuk bertahan hidup. Kondisi mereka mencerminkan masa laluku.

Melalui musik, aku dapat membawa sukacita dan penghiburan bagi orang-orang yang mirip denganku. Tentu saja, kesakitan dan penderitaanku tidak dapat dibandingkan dengan apa yang mereka rasakan. Tetapi aku percaya, Tuhan mengizinkanku merasakan kehilangan pengharapan dan ketidakberdayaan supaya aku bisa lebih berempati kepada para penghuni panti jompo ini.

Dengan empati yang aku miliki, aku menjadi lebih sabar dan peka dalam menjalani keseharianku bersama mereka. Aku bersikeras untuk terus berusaha menjalin hubungan dengan mereka, sekalipun ada dari mereka yang sulit ditangani atau tidak responsif. Aku tahu betul bagaimana rasanya kesepian, dan inilah yang menggerakkanku untuk menjangkau dan mengunjungi penghuni panti setiap hari sekalipun saat itu bukan jadwal tugasku.

Tentu, dedikasiku padapekerjaan membuatku merasa lelah di ujung hari. Namun, aku bersukacita karena aku pulang ke rumah tanpa membawa penyesalan. Aku kagum akan kasih Tuhan untukku, karena melalui keadaan hidupku yang unik, yang dulu pernah kulalui, aku bisa memaknai pekerjaanku dan menemukan sukacitaku berlipat ganda.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai memahami apa maksud Tuhan untuk hidupku. Tuhan tahu bahwa aku akan menderita, tetapi Dia memberiku kekuatan yang cukup untuk bertahan dari kecelakaan cedera otak dan mempersiapkanku untuk melakukan pekerjaan yang indah ini. Dengan kasih karunia Allah, aku berhasil membalikkan pencobaan terberatku menjadi hal terbaik yang mungkin dapat terjadi kepadaku.

Setelah mengalami kebenaran dan indahnya janji Tuhan, aku bisa memiliki harapan akan masa depanku. Jika saja dulu aku memutuskan untuk menyerah, aku tidak akan bisa melihat karya-Nya di hidupku dan menikmati perjalanan bersama Tuhan hari ini. Pertanyaan terbesarku “Mengapa aku?” sudah berganti menjadi “Mengapa bukan aku?”, dan hal ini dapat terjadi karena aku telah bertekun dalam penderitaanku yang bersifat sementara.

Tuhan tidak pernah menjanjikan hidup yang mudah, tapi sama seperti Ia menyertai orang Israel selama masa pengasingan, Ia juga berjanji tidak akan pernah meninggalkan atau membuang kita di tengah pencobaan dan penderitaan yang kita alami.

Rencana Tuhan kadangkala melibatkan rasa sakit dan penderitaan, namun Dia berjanji akan menyertai kita melewati semua itu (Yesaya 41:10). Apapun yang kamu sedang alami saat ini, aku mengajakmu untuk tetap bertahan. Sebab, saat kamu “membiarkan ketekunan itu memperoleh buah yang matang”, kamu akan menjadi “sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apa pun” (Yakobus 1:4). Pengharapan bahwa kita akan disempurnakan di dalam Dia akan memberikan kita pengharapan untuk masa depan kita. Amin.

Artikel ini diterjemahkan oleh Stephanie Yudith

Baca Juga:

Jangan Sekadar Mengeluh!

“Ya Gusti, cepet banget ya dari hari Minggu ke hari Senin, tapi dari Senin ke Minggu lama banget. Coba jarak Senin ke Minggu kita sama kaya Pasar Minggu sama Pasar Senen di Jakarta, kan bolak-balik gak beda jauh.”

Pernahkah teman-teman mengeluh seperti itu? Mungkin sebagian besar dari kita juga pernah mengeluh karena weekend kita berlalu dengan cepat.”

Saat Aku Mengizinkan Ketakutan Menguasaiku

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When I Let Fear Rule Me

Setiap orang punya ketakutannya masing-masing. Kadang, ketakutan itu begitu mempengaruhi kita hingga kita terjebak di dalamnya. Buatku, ketakutan yang kualami bermula dari peristiwa masuk angin.

Suatu hari aku terbangun dengan rasa tidak enak di tenggorokan yang kemudian berubah menjadi batuk-batuk. Aku memutuskan untuk pergi menemui dokter. Apa diagnosisnya? Kata dokter, itu hanya gejala masuk angin biasa. Aku disarankan untuk cuti beristirahat di rumah selama dua hari.

Kupikir tubuhku akan lebih baik setelah itu, tapi batuknya malah semakin parah. Aku juga merasa mual. Aku kehilangan nafsu makan dan tidak bisa menyantap makanan apapun. Tapi, aku harus memaksa diriku makan supaya aku bisa minum obat. Sepanjang hari aku merasa mengantuk dan terkadang demam. Aktivitas yang kulakukan cuma tertidur, tapi karena batuk, aku jadi sering terbangun.

Keadaan terasa lebih parah karena aku khawatir akan pekerjaanku yang harus kuselesaikan di kantor. Bosku sedang pergi dan tidak ada staf lain yang terlatih untuk menjalin komunikasi dengan klien.

Akhirnya, aku memutuskan untuk kembali ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaanku. Saat aku berada di dalam kereta, aku mulai batuk-batuk. Orang-orang di sekelilingku pun menjauhiku.

Aku benci situasi itu—aku berharap seandainya saja aku tidak sakit. Aku berharap seandainya aku bisa menyembunyikan diri dari penumpang-penumpang lain. Orang-orang menghindariku seolah aku ini sedang menderita penyakit yang aneh dan menular. Rasanya begitu memalukan.

Bagaimana mungkin sekadar masuk angin membuatku merasa begitu tidak nyaman? Kapan aku akan sembuh? Sudah lima hari berlalu. Apakah ini benar-benar cuma masuk angin? Dokter yang memeriksaku sepertinya telah salah!

Bagaimana kalau ternyata aku menderita kanker paru-paru? Atau TBC? Aku tahu seseorang yang menderita TBC dan masa-masa pemulihannya itu sangat menyakitkan, penuh dengan jarum, obat-obatan yang berbeda, rawat inap, dan beberapa kali kunjungan ke dokter. Gejala awal penyakit parah itu dimulai dari sekadar masuk angin dan pilek juga.

Aku mencoba mengalihkan diriku dari pikiran-pikiran negatif dengan mendengarkan lagu-lagu. Aku menemukan sebuah lagu dari Casting Crowns yang berjudul Oh My Soul. Mark Hall, penulis sekaligus penyanyinya berkata: “Ada suatu tempat di mana ketakutan harus berhadapan dengan Tuhan yang kamu percaya.” Lagu ini melegakanku.

Tuhan sedang memberitahuku untuk tidak takut. Tuhan menggunakan lagu itu untuk meyakinkanku, agar aku meletakkan ketakutanku di hadapan-Nya sebab Dia begitu mengerti akan diriku. Ketika kita membawa ketakutan kita ke hadapan Tuhan, Dia memikulnya untuk kita dan membebaskan kita.

Ketika aku mencari tahu lebih tentang lagu itu, aku mendapati bahwa penulisnya menulis lagu itu saat dia berada di titik terendahnya—di suatu malam ketika dia didiagnosis menderita tumor di di dalam ginjalnya.

Aku terinspirasi dari iman yang diungkapkan oleh sang penulis lagu itu. Aku menyembah Tuhan yang selalu berada di sisiku di segala musim kehidupan, dan Dia tidak pernah meninggalkanku. Lantas, mengapa aku tidak menanggalkan segala ketakutanku? Aku begitu khawatir, terjebak di dalamnya, hingga aku lupa kalau sebenarnya aku bisa menyerahkan segala ketakutan itu kepada Tuhan.

Ketakutanku yang berlebihan itu rasanya adalah sesuatu yang konyol, sebab ketakutan itu tidak berdasar. Semakin aku berfokus kepadanya, semakin aku menjadi takut. Sebaliknya, aku dapat memberitahu diriku untuk fokus kepada Tuhan. Dan, dengan segera aku mendapatkan kedamaian hati karena aku mengetahui bahwa aku dapat menyerahkan segala ketakutanku kepada Tuhan yang kutahu.

Dalam diam, aku mengucapkan doa memohon ampun. Aku telah mengizinkan ketakutanku merampas kedamaian hatiku ketika seharusnya aku dapat menyerahkan segala rasa itu kepada Tuhan. Malam itu, aku menyembah Tuhan, berdoa, lalu tertidur.

Di tengah malam, aku batuk-batuk lagi. Tapi, anehnya, kali ini aku menangis. Aku merasa hadirat Tuhan melingkupiku tepat di saat aku benar-benar membutuhkan penghiburan. Saat itu aku merasakan kedamaian yang Ilahi dalam hatiku. Aku teringat Yohanes 14:27, ketika Tuhan Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.” Perkataan ini memenuhi hatiku dan aku merasa terhibur oleh firman Tuhan. Dari ayat ini, aku diingatkan bahwa Tuhan memberikan damai-Nya bagi kita bahkan ketika kita sedang menghadapi masalah. Kita tidak perlu takut sebab Tuhan ada bersama dengan kita.

Setelah beberapa menit, aku merasa seperti ada sesuatu yang terangkat dari tenggorokanku dan secara ajaib Tuhan menyembuhkanku. Tenggorokanku tidak lagi terasa gatal dan kering seperti hari-hari sebelumnya, dan batukku pun lebih berkurang sejak saat itu dan seterusnya. Di akhir minggu, batuk itu lenyap seutuhnya.

Melalui sakit yang kualami, itulah cara Tuhan mengingatkanku bahwa ada sebuah tempat di mana kita bisa meletakkan segala ketakutan kita, sebuah tempat di mana kita dapat merasa aman. Tuhan adalah Gembala yang baik, yang menyerahkan hidup-Nya untuk domba-domba-Nya (Yohanes 10:11). Karena Tuhan ada di sisiku, aku tidak perlu takut kehilangan kesehatan atau kenyamanan hidupku. Meskipun aku tidak dapat mengendalikan apa yang terjadi dalam hidupku, Tuhan sanggup melakukannya.

Baca Juga:

Di Balik Hambatan yang Kita Alami, Tuhan Sedang Merenda Kebaikan

Ketika melepas tahun 2018 yang lalu, kita mungkin mengidentikkan tahun 2019 ini dengan harapan-harapan baru. Tapi, mungkin juga kita bertanya-tanya, apakah tahun ini akan berbeda dari tahun sebelumnya? Atau, apakah sama saja?

Tuhan Yesus Menyelamatkanku dengan Cara-Nya yang Tak Terduga

Oleh Aisha*, Jakarta

Aku bukanlah orang Kristen sejak lahir. Orang tua dan keluarga besarku pun tidak ada yang percaya bahwa Yesus adalah Tuhan. Keluargaku melarangku berteman dengan orang yang tidak seiman dengan kami. Sampai aku duduk di kelas 2 SMP, aku tidak pernah tahu Yesus itu siapa. Hingga akhirnya aku pun pindah sekolah ke Jakarta dan di sekolah itu aku memiliki teman-teman yang beraneka ragam.

Suatu ketika, aku berdiskusi dengan temanku yang Kristen. Dia bercerita kepadaku tentang Tuhan, dan itu membuatku sangat penasaran. Katanya, Tuhannya itu bernama Yesus yang sangat penuh kasih. Yesus rela mati di kayu salib demi menebus dosa manusia. Tapi, aku merasa apa yang disampaikan temanku itu berbeda dengan apa yang disampaikan oleh guruku dulu dan aku malah ngotot bahwa apa yang temanku percayai itu salah. Namun, aku merasa ada sebuah pertanyaan besar mengganjal di hatiku, “Siapakah Yesus sebenarnya?”

Diselamatkan melalui tragedi

Saat itu aku adalah orang yang suka tidak bersyukur dan hidup tanpa hikmat. Ayah dan ibuku telah bercerai sejak aku masih bayi dan aku pun dirawat oleh nenekku. Latar belakangku dari keluarga broken-home membuatku sering berpikir pendek atas masalah-masalah yang kuhadapi. Aku sering merasa lelah dengan hidupku dan sempat beberapa kali mencoba bunuh diri.

Hingga suatu ketika, saat aku berusia 14 tahun, suatu hal yang tidak kuinginkan terjadi kepadaku. Aku divonis menderita sakit kanker darah stadium dua. Untuk mengobati penyakit itu seharusnya aku menjalani operasi pencangkokan sumsum tulang belakang. Tapi, karena tidak mendapat pendonor sumsum tulang belakang yang cocok, akhirnya aku hanya menjalani pengobatan kemoterapi dan radioterapi selama beberapa kali.

Penyakit ini membuatku merasa menjadi beban buat keluargaku. Nenekku tidak dapat membiayai pengobatanku, jadi ibukulah yang bertanggung jawab untuk masalah keuanganku. Tapi, saat itu ternyata ibuku sedang kesulitan ekonomi. Kalau sebelumnya aku pernah ingin bunuh diri, saat itu aku ingin bertahan hidup. Aku ingin sembuh supaya bisa membalas budi perjuangan ibuku. Tapi, melihat keadaan yang sepertinya tidak baik itu, aku jadi sangat sedih dan aku pun pasrah atas hidupku, mungkin sudah waktunya aku pulang ke pangkuan Tuhan.

Hari-hariku kemudian terasa berat. Rasa sakit yang timbul dari sakit kanker itu luar biasa. Hingga suatu ketika, saat aku sedang kesakitan di rumah sakit, tanpa sadar aku teringat akan Tuhan Yesus, nama yang dahulu pernah temanku ceritakan kepadaku.

“Aku sakit, aku sesak, tolong aku! Tolong aku, Yesus! Jikalau memang Engkau adalah Tuhan, aku mohon pulihkan aku!” kataku pada Tuhan.

Air mataku pun jatuh membasahi pipiku. Aku masih tidak tahu apa yang akan terjadi dengan hidupku, tapi saat itu aku merasakan ada kedamaian yang tak biasa. Aku merasa seperti ada harapan dan kekuatan untuk berjuang melawan penyakit kankerku.

Singkat cerita, aku pun terus melanjutkan proses pengobatan radioterapiku. Hingga suatu ketika, saat dokter melakukan pemeriksaan kembali, hasilnya mengejutkanku. Dokter melihat bahwa sel-sel kankerku hilang, dan aku dapat dinyatakan sembuh. Dokter dan orang tuaku yakin bahwa kesembuhan ini terjadi sebagai buah dari pengobatan rutin yang kulakukan. Tapi, buatku pribadi, aku merasa yakin bahwa kesembuhan ini adalah anugerah dari Tuhan Yesus yang telah mendengarkan seruan minta tolongku.

Menjalani hidup yang baru bersama Tuhan Yesus

Saat itu usiaku 14 tahun, tapi aku begitu yakin untuk memantapkan imanku kepada Tuhan Yesus. Lewat bantuan beberapa temanku yang percaya pada Yesus, aku pun bertemu dengan seorang hamba Tuhan dan mengucapkan pengakuan iman percayaku dengan lidahku sendiri. Aku melakukan semuanya itu secara sembunyi-sembunyi, sebab aku tidak ingin menimbulkan kegaduhan dalam keluargaku.

Sekarang, sudah tiga tahun berlalu sejak Yesus masuk ke dalam hidupku. Selama waktu inilah aku mendapati bahwa mengikut Kristus bukanlah hal yang mudah. Berbagai masalah tetap ada dalam hidupku. Namun, di balik semua masalah itu, Tuhan tidak pernah meninggalkanku. Di malam sebelum Paskah, aku teringat akan betapa beratnya proses yang Tuhan Yesus lakukan sampai Dia disalib di Golgota. Aku pun merasa tertegur. Tuhan Yesus sudah begitu baik buatku. Dia tidak hanya menyembuhkanku dari sakit fisik di dunia, melainkan juga menyelamatanku dari kesakitan kekal akibat dosa. Aku pun menangis, bukan karena sedih, tapi tangis bahagia karena aku punya Tuhan yang sangat mengasihiku yang hina ini.

Melalui ujian-ujian dalam hidupku, imanku semakin kuat dan semakin besar juga keinginanku untuk lebih mengenal dan dekat dengan Tuhan. Aku mengenal Tuhan Yesus sebagai Pribadi yang penuh kasih. Dia adalah Tuhan yang ingin agar kita, ciptaan-Nya kelak tinggal bersama-sama dengan Dia di surga. Dan, untuk itulah Dia rela disiksa dan disalib. Aku bersyukur kepada Tuhan atas iman yang Dia berikan padaku. Sekarang hidupku sudah terjamin, karena aku tahu ke mana tujuanku kelak setelah kehidupan ini berakhir.

“Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan” (Roma 10:9).

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Belajar dari Kisah Aldi, Yang Kita Butuhkan Bukan Hanya Makanan Jasmani Saja

49 hari terkatung-katung di laut, Aldi putus asa dan hampir saja mengakhiri hidupnya. Namun, ada satu yang membuatnya kembali menemukan harapan: firman Tuhan.

Teguran dari Tuhan Saat Aku Bertemu Temanku yang Pernah Sakit Kanker

Oleh Anne Grace, Medan

Beberapa bulan lalu aku dan teman-temanku sedang berada di kantin. Buat kami, kantin adalah tempat yang menyenangkan. Sembari menunggu mata kuliah selanjutnya, kami bisa saling bercanda sambil internetan, apalagi di sana ada fasilitas wifi.

Suatu ketika, dua orang lelaki melintas di depan kami. Salah satu dari mereka menarik perhatian kami.

“Astaga, lihat tuh botak. Lucu ya,” celetuk temanku.

“Haha, dia kok pede ya?” sambung yang lain.

Aku menanggapi teman-temanku dengan tersenyum. Aku tidak mengenal siapa lelaki botak itu, dan kupikir dia berpenampilan seperti itu karena dia sedang mengikuti tes masuk kerja.

Peristiwa itu pun berlalu. Sampai suatu ketika, aku menemui seorang teman dekatku di pojokan kampus. Rupanya saat itu temanku itu tidak sendiri, lelaki botak yang dulu kulihat dari kantin ada bersamanya. Tapi, kali ini lelaki itu sudah tidak botak lagi. Temanku berkata kepadanya, “Rambutmu sekarang udah panjang aja ya.”

Aku langsung menatap ke arah lelaki yang tak lagi botak itu. “Hah? Memangnya waktu itu sengaja dibotakin ya?”

“Aku baru sembuh dari kanker,” jawabnya perlahan.

Tiba-tiba aku merinding dan penasaran. “Kanker? Kok bisa? Serius? Eh cerita dong,” tanyaku dengan nada tinggi sehingga membuatnya enggan bercerita. Aku merendahkan nada suaraku dan mencoba memberikan pertanyaan dengan lebih lembut. Dia pun akhirnya bersedia menceritakan pengalamannya.

Suatu ketika dia merasa ada yang tidak beres dengan mulutnya. Ada gigi yang busuk dan gusi yang membengkak. Dia pikir itu hanya sakit biasa yang akan segera sembuh. Tapi, keadaan makin memburuk hingga akhirnya dia dan orang tuanya memeriksakan diri ke rumah sakit. Setelah mengikuti serangkaian pemeriksaan, dokter mendiagnosis bahwa dia terkena kanker kelenjar getah bening. Awalnya dia tidak percaya. Dia berusaha mengelak dari kenyataan ini. Tapi, ayahnya menyadarkannya bahwa penyakit kankernya itu bisa saja merenggut nyawanya dan sesegera mungkin dia harus menjalani perawatan. Saat itu kedua orang tuanya menangis. Mereka tidak menyangka bahwa anaknya bisa terkena penyakit ini, padahal tidak ada riwayat kanker dalam keluarga mereka.

Kedua orang tuanya kemudian membawanya berobat ke luar negeri. Dokter mengatakan kankernya sudah memasuki stadium dua, namun masih ada peluang sembuh asalkan mengikuti semua perintah dan ketentuan dari dokter. Dia harus dikemoterapi. Rasa takut pun memenuhinya, apalagi setelah mendengar cerita dari orang-orang yang berkata kemoterapi itu adalah proses yang menyakitkan. Efek samping yang ditimbulkannya pada pasien bisa berupa rasa sakit, mual, dan pusing yang luar biasa.

Namun saat itu dia merenung. Di satu sisi dia sangat ketakutan. Tapi, di sisi lainnya dia tidak tahan melihat orang tuanya yang bersedih karena penyakitnya. Dia pun akhirnya belajar untuk menyerahkan apa yang akan terjadi kepada tangan Tuhan seraya memohon supaya Tuhan memberinya kekuatan untuk menjalani proses kemoterapi itu.

Proses kemoterapi pun dimulai. Kedua orang tuanya tak pernah berhenti memberinya dorongan, semangat, dan doa. Hingga singkat cerita, melalui proses pengobatan itu, Tuhan memberinya kesembuhan. Dokter menyatakan dia sembuh dan sekarang rambut-rambut kecil mulai tumbuh di kepalanya.

Aku membayangkan bagaimana rasanya menanggung penyakit itu, apalagi di usia yang masih muda. Aku pun bertanya bagaimana responsnya ketika dia divonis terkena kanker.

“Saat itu aku cuma bisa pasrah. Yah kalau memang waktunya dari Tuhan, mau bilang apa,” tuturnya.

Dia pun melanjutkan bahwa sekarang dia bersyukur buat kesempatan yang Tuhan berikan padanya karena tidak banyak orang yang seberuntung dirinya, yang bisa sembuh dari penyakit mematikan ini. Saat ini dia belajar untuk menggunakan hari-harinya sebaik mungkin selagi masih diberi kesempatan untuk hidup dan berbakti kepada orang tua.

Kata-kata yang keluar dari mulutnya itu membuat batinku terguncang. Aku diam membisu. Aku merasa apa yang baru saja kudengar itu seperti sebuah kisah novel yang nyata. Aku malu tatkala mendengar bahwa dia masih bisa bersyukur untuk beban berat yang dia alami. Aku merasa ditegur hebat.

Mungkin aku harus mengatakan bahwa aku adalah orang yang bebal di mata Tuhan. Seringkali aku menuntut supaya kehendakku saja yang harus dituruti. Aku kehilangan ayahku saat aku masih kecil, dan sejak saat itu tertanam pemikiran di hatiku bahwa aku bukanlah anak yang beruntung. Aku selalu merasa iri hati saat aku bertemu dengan orang lain yang hidupnya tampak sempurna di mataku. Aku pun merasa Tuhan tidak mengasihiku.

Hingga akhirnya, melalui pertemuanku dengan seorang mantan penderita kanker, aku merasa Tuhan seperti berbicara langsung kepadaku. Aku disadarkan bahwa selama ini aku tidak pernah ingat untuk bersyukur. Aku jadi teringat kata-kata yang guru agamaku ucapkan waktu aku SMA dulu:

“Kalau kamu ingin bahagia, jadilah orang yang bersyukur. Bersyukurlah untuk setiap hal kecil dalam hidupmu. Ketika kamu baru mulai membuka mata, mintalah hati yang bersyukur, mintalah dengan hati yang tulus bukan untuk kesenanganmu semata.”

Aku menangis, namun aku merasa lega karena Tuhan menyadarkanku apa yang salah dalam diriku. Sejak saat itu, aku belajar berdoa dan selalu menyempatkan diri untuk mengucap syukur terlebih dulu kepada Tuhan dan membiarkan Tuhan mengisi ruang kosong dalam hatiku.

Memang kehidupanku saat ini tidak pernah lepas dari masalah dan mungkin juga beban hidup akan bertambah berat. Tapi, aku percaya bahwa Tuhan tidak pernah mengizinkan masalah terjadi di luar kemampuan hamba-Nya. Dan yang pasti, Tuhan berjanji akan selalu mendampingi melewati setiap masalah yang ada. Aku bersyukur bahwa Tuhan selalu mengajariku dengan cara-Nya yang tak terduga. Sekarang, aku tidak lagi memandang masalah-masalahku sebagai sesuatu yang teramat besar. Masalahku hanyalah hal kecil jika dibandingkan dengan Tuhanku yang Mahabesar. Alih-alih khawatir akan masalah, aku sadar inilah waktunya untukku bersyukur dan memuji Tuhan.

“Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristu Yesus bagi kamu” (1 Tesalonika 5:18).

Baca Juga:

3 Hal yang Harus Orang Kristen Lakukan di Media Sosial

Bagaimana kita menjaga karakter Kristen dan kesaksian kita di dalam dunia maya, terutama saat kita merasa tidak setuju? Inilah tiga hal yang bisa membantu kita.

Setelah Divonis Sakit, Aku Belajar Merawat Tubuhku

Oleh Raganata Bramantyo, Jakarta

Sejak kuliah dulu, aku bukanlah seorang yang peduli dengan kesehatan. Aku selalu tidur larut malam, makan tidak teratur, dan tidak pernah berolahraga. Kupikir banyak tertawa dan makan buah sudah cukup untuk membuat tubuh sehat, lagipula Alkitab pun berkata kalau hati yang gembira adalah obat.

Hingga suatu ketika aku merasa ada yang tidak beres dengan tubuhku. Waktu itu tahun 2015 di mana aku pergi magang selama sebulan di Jakarta. Di tempat magang itu, aku menjadi perokok pasif karena rekan seruanganku adalah perokok semua. Sebenarnya aku bisa saja mengajukan keberatan dan pindah ke ruangan lain. Tapi, karena aku orangnya tidak enakan, aku berusaha bertahan di ruangan itu. Saat magang hampir usai, aku jatuh sakit. Kupikir sakit itu hanyalah flu dan radang tenggorokan biasa. Tapi, seminggu, dua minggu, hingga sebulan, sakit itu tidak kunjung sembuh. Aku mencoba berobat ke dokter umum, tetapi hasilnya tidak baik. Radang di tenggorokanku tetap saja kambuh.

Barulah saat aku pergi ke dokter spesialis THT (Telinga, Hidung, dan Tenggorokan), aku mengetahui kalau aku mengidap Nasofaringitis, sebuah penyakit yang menyerang rongga tenggorokan. Penyakit ini terjadi karena kombinasi banyak faktor, salah duanya adalah menjadi perokok pasif dan gaya hidup yang tidak sehat. Kata dokter, obat hanyalah faktor pendukung. Yang paling utama kalau aku mau sembuh adalah aku harus mengubah pola hidup. Baiklah, aku bertekad mengubah pola hidupku jadi lebih sehat. Aku mulai berolahraga, menghindari begadang, dan mengatur pola konsumsiku. Tapi, segera setelah gejala-gejala sakit itu hilang, aku pun abai dengan komitmenku. Aku kembali pada pola kehidupan yang tidak sehat.

Memasuki tahun 2018, tubuhku kembali menunjukkan sinyal tidak baik. Kali ini perutku selalu kembung, seperti sebuah balon gas yang tidak bisa keluar angin. Sangat tidak nyaman. Aku coba membeli obat-obat yang umum dijual di apotek, tapi tidak membantu. Akhirnya, aku pun kembali ke dokter. Sekarang aku didiagnosis mengalami penyakit yang bernama Gerd (Gastroesophageal Reflux Disease), sebuah kondisi di mana asam lambung telah naik hingga ke kerongkongan. Efek penyakit ini bisa berbahaya. Sembari mengonsumsi obat-obatan yang sudah diberikan dokter, aku perlu segera memperbaiki gaya kehidupan.

Sampai di titik ini aku merasa ditegur hebat. Melalui dua penyakit, Tuhan seolah mengingatkanku bahwa merawat tubuh asal-asalan itu bukanlah sesuatu yang berkenan kepada-Nya. Tubuh ini laksana sebuah rumah; dia harus disayang, dirawat, dan diperlakukan dengan bijak. Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus berkata:

Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah,–dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” (1 Korintus 6:19-20).

Kali ini ayat yang sejatinya sudah sering kudengar ini menyentakku. Dalam ayat itu, Paulus menekankan bahwa tubuh ini adalah pemberian dari Allah. Pengorbanan yang Kristus lakukan di kayu salib sejatinya tidak hanya membeli lunas tubuh rohani kita dari dosa, melainkan juga tubuh jasmani kita. Ketika seorang Kristen ingin kehidupan imannya bertumbuh, maka antara sisi jasmani dan rohaninya seharusnya tidak berat sebelah. Ketika seseorang ingin sehat secara rohani, maka dia pun harus mengupayakan kesehatan secara jasmaninya. Melalui tubuh yang Tuhan karuniakan kepada kita, Tuhan ingin supaya kita memuliakan-Nya. Namun, bagaimana caranya kita memuliakan Tuhan kalau kita sendiri asal-asalan merawat tubuh yang sudah Dia berikan buat kita?

Aku sadar, bahwa dalam kehidupan berimanku kepada Kristus, selain aku perlu merawat tubuh rohaniku, aku pun perlu bertanggung jawab atas tubuh jasmaniku. Allah telah menciptakanku baik, segambar dan serupa dengan-Nya, masakan aku tidak merawatnya sebaik mungkin?

Aku berdoa kiranya dalam hari-hari ini aku dapat melalui proses pengobatan dengan baik dan konsisten menjalani gaya hidup yang sehat, supaya melalui tubuh yang fana ini, Tuhan boleh dimuliakan.

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Di Saat Aku Berdukacita, Tuhan Menghiburku

Ketika Tuhan memanggil pulang kedua orangtuaku, aku kecewa dan sedih pada Tuhan hingga aku ingin menjauhi-Nya. Namun, terlepas bagaimana perasaanku saat itu, Tuhan adalah baik, dan Dia tak pernah sekalipun meninggalkanku.

Bagaimana Seharusnya Kita Merespons Sakit Penyakit?

Oleh Julia Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How Should We Respond to Illness?

Sebagai seorang pekerja medis, tugasku adalah menyediakan dukungan bagi mereka yang menderita kekurangan fisik, gangguan mental, ataupun keduanya. Dalam pekerjaanku, aku telah bertemu dengan banyak pasien dan anggota keluarganya yang menghadapi berbagai keadaan sulit karena penyakit yang diderita. Inilah beberapa contohnya:

Seorang pemuda tidak bisa bekerja karena dia menderita kerusakan saraf yang tidak bisa dipulihkan meski diobati bertahun-tahun. Di masa muda yang seharusnya menjadi masa-masa produktif dalam hidupnya, dia hanya bisa berada di rumah saja karena setiap harinya dia merasakan sakit. Sedangkan, keluarganya bergumul untuk membayar utang dari biaya pengobatannya yang jumlahnya sangat besar. Selain itu, keluarganya juga harus merawatnya, memenuhi kebutuhan fisik dan emosinya setiap hari.

Seorang wanita paruh baya mengalami kelainan psikis. Dia sering mengamuk kepada anak-anaknya, emosinya sangat labil saat berada di rumah, dan suka berkhayal tentang suaminya yang suka melakukan kekerasan. Di masa-masa awal perawatan, dia mampu merespons dengan baik. Tapi, lama-lama responsnya memburuk. Dia menolak untuk dirawat lebih lanjut. Akibatnya, konflik antara dia dan keluarganya pun terjadi setiap hari.

Seorang pria yang mengidap Skizofrenia (gangguan mental kronis) mengalami penurunan dalam kemampuan kognitifnya. Dia dititipkan di sebuah panti hampir sepanjang hidupnya karena keluarganya tak mampu merawatnya di rumah. Selama bertahun-tahun, orangtuanya berhenti mengunjunginya, dan sekarang mereka tidak dapat lagi dihubungi. Namun, meski tinggal di sebuah panti tanpa keluarga, pria ini tetap ceria dan suka menolong.

Seorang wanita lanjut usia duduk di kursi roda dan ketakutan apabila keluar rumah setelah jatuh beberapa kali dan mengalami patah tulang. Dia tinggal di rumah sendirian bersama seorang pembantu; meski dia memiliki anak, cucu, dan cicit, mereka jarang datang mengunjunginya. Saat kesepian, dia akan menelepon teman-teman dan relawan untuk mengajaknya berbincang. Atau, dia juga menonton televisi untuk menghabiskan waktu.

Empat kisah singkat yang kutuliskan di atas membuatku berpikir: bagaimana respons tokoh-tokoh dalam Alkitab terhadap sakit-penyakit? Salah satu tokoh Alkitab yang hidupnya mengalami penderitaan parah adalah Ayub. Tubuhnya dipenuhi luka-luka menyakitkan, juga dia mengalami penderitaan lainnya. Ketika Ayub berseru dalam kesukarannya, teman-temannya malah memberikan dia nasihat buruk yang mengakibatkan Ayub hampir menyalahkan Allah atas kemalangannya. Namun, akhirnya Ayub sadar bahwa yang memberikan segala sesuatu dalam hidupnya adalah Allah. Ayub memilih untuk terus memuji dan menyembah Allah. Dan, pada akhirnya, Allah memberkati Ayub dengan keluarga dan kekayaan yang lebih besar daripada yang dia miliki sebelumnya.

Di dalam Perjanjian Baru, kita juga mendapati ada orang-orang yang mengalami kekurangan fisik dan mental, seperti orang buta, bisu, kusta, yang mengalami diskriminasi dari masyarakat pada masanya. Menariknya, topik tentang mengapa dan bagaimana mereka bisa mendapatkan penyakit-penyakit itu tidak pernah dibahas menjadi topik utama. Kemuliaan dan kedaulatan Allah, inilah yang paling utama. Mengenai orang yang buta sejak lahir, Yesus mengatakan bahwa ini terjadi karena “pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia” (Yohanes 9:3).

Hari ini, kita memiliki kesempatan istimewa untuk melihat ke belakang dan belajar memahami mengapa ada orang-orang yang mengalami sakit-penyakit dan bagaimana penderitaan mereka berakhir. Tapi, tentu akan jauh lebih sulit untuk menerima ataupun memahami jika kita sendiri yang mengalami sakit-penyakit itu, atau ketika orang-orang terdekat kitalah yang mengalaminya. Banyak orang bergumul untuk memahami makna di balik penyakit yang mereka derita, khawatir akan berapa lama lagi mereka harus bertahan menanggung sakit-penyakit ini, dan bertanya-tanya bagaimana hidup mereka akan berakhir.

Setelah bergumul dengan banyak kesusahan yang dialami oleh para pasienku dan keluarganya, aku belajar bahwa yang terpenting sebenarnya adalah bagaimana orang merespons penyakitnya dan mencoba memahami makna di baliknya. Respons mereka bisa membuat situasi jadi memburuk atau membaik.

Sebagai orang Kristen, kita bisa merespons sakit-penyakit dengan berpaling kepada Allah dan berharap kepada-Nya. Kita mungkin tidak disembuhkan secara instan—mungkin juga tidak disembuhkan sama sekali—tapi, sama seperti Ayub, kita bisa terus bersandar dan percaya kepada-Nya. Dan, karena Dia adalah Allah yang penuh kasih, Dia akan memberikan kita kekuatan untuk menanggung penderitaan, dan berjalan bersama kita dalam setiap langkah kita.

Satu hal yang paling penting dari kisah Ayub bukanlah pada bagian ketika dia akhirnya disembuhkan dan dipulihkan, tapi ketika Ayub dapat terus memuji Allah di tengah penderitaannya—inilah kesaksian terbesar Ayub, bagaimana dia beriman teguh di tengah kesakitan dan dukacitanya. Ketika kita terus percaya pada Allah, kita memuliakan nama-Nya.

Baca Juga:

Di Balik Kesulitan Finansial yang Kualami, Tuhan Memeliharaku dengan Cara-Nya yang Tak Terduga

Aku bergumul dengan permasalahan finansial yang kualami belakangan ini. Seringkali aku bingung dan khawatir dengan hari-hari yang kulalui. Namun, Tuhan tidak meninggalkanku sendirian.

Dilemaku Ketika Aku Divonis Menderita Penyakit Kista

Oleh Noviani Yunita Sari, Malang

Setahun lalu, sebuah penyakit kista coklat bernama endometriosis yang dikhawatirkan oleh banyak perempuan muncul di rahimku. Dokter menganjurkanku untuk operasi dan berkat kasih karunia Tuhan, operasi tersebut berjalan lancar.

Akan tetapi, satu tahun berselang sejak operasi itu, sebuah kabar mengejutkan kembali datang. Pada tanggal 16 September 2017, kista itu muncul kembali dan ternyata sudah melengket pada saluran kemih dan juga ususku sehingga dokter tidak menganjurkan pengobatan dengan tindakan operasi lagi. Satu-satunya jalan yang dianjurkan oleh dokter spesialis kandungan adalah dengan menikah, karena apabila nanti aku hamil dan melahirkan anak, kista itu akan luruh bersamaan dengan keluarnya bayi dari rahim. Tidak hanya satu dokter, melainkan ada empat dokter spesialis yang menganjurkanku demikian.

Kondisi ini membuatku terjebak dalam dilema. Di satu sisi, meski aku sudah memiliki kekasih, aku belum siap untuk menikah. Usiaku baru 22 tahun dan aku masih ingin melanjutkan studiku di salah satu sekolah teologia di Malang dan menjadi pelayan Tuhan. Lalu, peraturan kampusku juga tidak mengizinkan mahasiswanya menikah selama masa studi. Tapi, di sisi lainnya, beberapa kerabat, keluarga, dan bahkan dosenku mendesak aku untuk menuruti anjuran dokter tersebut dengan alasan demi kesehatanku.

Desakan untuk menikah membuatku merasa frustrasi dan bertanya-tanya: “Apakah aku harus menikah dan meninggalkan studi yang sedang kutempuh? Jika tidak, mengapa Tuhan mengizinkan penyakit ini ada dalam diriku?”

Aku belum siap, demikian juga dengan kekasihku karena dia merasa belum mapan secara ekonomi. Jikalau pun kami sampai menikah, kurasa pernikahan ini hanyalah sebuah pernikahan yang terpaksa. Namun, keluargaku tetap merasa bahwa ini adalah jalan yang terbaik sehingga mereka pun mendiskusikan rencana pernikahan ini dengan keluarga kekasihku. Bahkan, ketika mengetahui perihal penyakitku, pihak kampus pun berjanji memberikan dispensasi khusus buatku untuk tetap bisa melanjutkan studi walau sudah menikah.

Akhirnya, dalam kondisiku yang frustrasi, aku sempat terpikir untuk menuruti saja desakan keluargaku. Namun, pada suatu pagi saat aku merenungkan firman Tuhan, ada satu ayat yang sangat menegur dan mengingatkanku. “Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan Tuhanlah yang terlaksana” (Amsal 19:21).

Akan tetapi, aku bersyukur karena di tengah kondisi dilematis dan sebelum rencana pernikahan itu benar-benar dilaksanakan, ayahku memberiku nasihat. “Untuk mengambil keputusan, tanya Tuhan! Mintalah hikmat dari Tuhan untuk mengambil keputusan itu. Dan, tetaplah percaya bahwa setiap rencana Tuhan itu indah. Dia tidak akan membuat rancangan kecelakaan untuk anak-anak-Nya. Jika kamu telah berdoa sungguh-sungguh dan tetap harus mengambil jalan untuk menikah, yakinlah bahwa itu pun ada dalam kendali Tuhan.”

Perkataan ayahku membuat hatiku yang semula penuh kekhawatiran menjadi lebih tenang. Aku belajar untuk percaya bahwa Tuhan memegang kendali atas segala sesuatu dalam kehidupanku sehingga aku tidak perlu lagi merasa takut ataupun khawatir. Sejak saat itu, selama satu minggu berdoa dengan sungguh-sungguh, juga berpuasa supaya aku dapat mengambil keputusan yang terbaik.

Satu minggu berlalu dan aku kembali kembali ke rumah sakit untuk memeriksa kondisi penyakitku. Saat itu aku hanya bisa pasrah pada Tuhan. Apapun hasil pemeriksaan hari ini, aku mau menerimanya dengan lapang dada dan tetap percaya bahwa inilah yang terbaik yang Tuhan izinkan terjadi kepadaku.

Namun, saat aku masuk ke ruangan USG, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Dokter yang memeriksaku berkata dengan terkejut, “Loh? Ini kok?” Jantungku berdegup kencang. Ada apa lagi denganku, aku bertanya pada dokter. Dengan tatapan heran, dokter itu menjawab, “Ini…ini hilang. Kistanya hilang! Rahimmu bersih dan semuanya baik-baik saja!” Perkataan dokter ini membuat air mataku menetes dan aku hanya bisa berucap, “Tuhan, terima kasih! Engkau sungguh luar biasa!”

Singkat cerita, setelah melakukan rangkaian pemeriksaan lainnya, penyakit kista yang bercokol di dalam rahimku dinyatakan telah hilang sepenuhnya. Dari peristiwa ini, aku sadar bahwa jalan Tuhan tidak dapat diselami oleh pikiran manusia. Empat dokter spesialis kandungan telah mengatakan bahwa jalan kesembuhanku hanya dengan menikah dan melahirkan anak. Namun, Tuhan memiliki rencana lain. Dia memberikanku kesembuhan.

Aku percaya bahwa jalan pikiran Allah seringkali tidak bisa kita pahami. Ketika Allah memberikanku mukjizat kesembuhan, aku percaya Dia melakukannya seturut hikmat dan kebaikan-Nya. Akan tetapi, apabila kala itu Allah tidak memberikanku kesembuhan, aku tetap percaya bahwa Allah tetap berlaku baik untukku dan Dia akan menyertaiku untuk mengatasi pergumulan yang kuhadapi.

Melalui pengalaman ini, aku belajar untuk senantiasa mengandalkan Allah dalam setiap keputusan yang kuambil dan tetap percaya bahwa Allah merancangkan masa depan yang baik untukku.

Apakah yang menjadi pergumulanmu hari ini? Janganlah takut dan khawatir. Mari kita datang kepada Tuhan dan menyerahkan segalanya hanya kepada-Nya supaya keputusan apapun yang kita ambil boleh menjadi sesuatu yang berkenan kepada-Nya.

Tuhan Mengubah Kesedihanku Menjadi Sukacita

Oleh Callie Opper, Amerika Serikat
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When God Turned My Sorrow to Joy

Dalam kehidupan setiap orang, aku percaya ada sebuah masa di mana kita akan menyadari betapa kecilnya kita jika dibandingkan dengan Tuhan, dan juga betapa kecilnya kita jika dibandingkan dengan masalah-masalah yang bisa saja mengalahkan kita. Masa-masa seperti ini pernah terjadi di hidupku saat aku berusia 14 tahun.

Waktu itu keluargaku menerima kabar buruk bahwa ibuku divonis menderita leukimia atau kanker darah. Berselang sebulan setelahnya, giliran ayahku yang divonis menderita kanker kelenjar getah bening. Sebagai seorang remaja berusia 14 tahun, aku tidak tahu harus merespons kabar buruk ini seperti apa, yang jelas kabar ini telah mengguncang duniaku. Dunia yang sebelumnya tampak sempurna bagiku, sekarang telah runtuh, dan satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah berpura-pura menjadi kuat, padahal hatiku terasa hancur. Aku harus kuat supaya aku bisa melalui semuanya ini, dan juga supaya Tuhan berkenan menyembuhkan kedua orangtuaku.

Sebagai seorang anak yang tumbuh besar di lingkungan Kristen, sudah berkali-kali aku mendengar bahwa ketika hidup menjadi sulit, kita harus mempercayai Tuhan. Ketika tragedi terjadi, kita harus kuat karena Tuhan ada di sisi kita. Tetapi, ketika badai hidup menerpa hidupku, tidak serta merta aku mempercayai rencana Tuhan. Malah, aku sempat berpikir jika Tuhan mungkin saja menyerah kepadaku karena keraguanku. Aku telah menerima Kristus saat berusia 9 tahun dan mengucapkan doa-doa yang aku pahami artinya. Akan tetapi, aku tidak mengerti bagaimana sesungguhnya mengikut Yesus.

Karena kesedihan ini, sekalipun di sekelilingku ada banyak orang yang mengasihiku, aku mendapati diriku merasa kesepian. Aku membiarkan perasaan ini berakar dan membuatku jadi tidak percaya diri; aku mulai meragukan apakah Tuhan memang benar-benar hadir di dalam hidupku karena Dia tidak menyembuhkan ibuku. Dan karena aku merindukan perhatian dari orang lain, aku membiarkan dunia menentukan siapa diriku. Di dalam hati, aku melarikan diri dari seorang Pribadi yang berjanji tidak pernah meninggalkanku; aku menutup hati dan pikiranku dari Tuhan.

Setelah lebih dari setahun sejak ibuku divonis kanker, beliau pun meninggal dunia. Aku harus berusaha untuk menjalani kehidupan yang baru—sebuah kehidupan tanpa kehadiran sosok Ibu. Di luar, aku berusaha menunjukkan bahwa aku percaya sepenuhnya kepada Tuhan, tetapi jauh di dalam diriku, aku merasa bingung dan kehilangan. Aku terus bertanya mengapa, dan menjadi semakin pahit ketika aku melihat ayahku jatuh cinta dengan orang lain dan kami pindah meninggalkan rumah yang telah kutempati sejak aku masih kecil.

Namun, di tengah-tengah masa kelam itu, sesungguhnya Tuhan tidak pernah meninggalkanku. Tuhan terus mengejarku dan perlahan menghancurkan benteng kepahitan yang mengelilingi hatiku.

Beberapa lama berselang setelah kematian ibuku, aku mendaftarkan diriku dalam sebuah program mission trip ke Tiongkok. Sebenarnya, alasanku mengikuti mission trip ini sangat egois—aku ingin melarikan diri dari segala tragedi yang menyelubungi diriku dan keluargaku.

Namun, rencanaku yang semula berubah dengan cepat; Tuhan punya rencana untuk menunjukkan betapa egoisnya diriku dan Dia ingin memulihkanku. Suatu ketika, di atas gunung di Tiongkok, Dia menggunakan tempat yang terpencil untuk menyadarkanku akan betapa beratnya sakit yang kurasakan, pemberontakanku terhadap-Nya, dan Dia juga menyatakan kondisi hatiku yang sesungguhnya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku mendapati diriku begitu lemah di hadapan-Nya. Dia menegurku melalui sebuah ayat: “Dalam segala penderitaan kami aku sangat terhibur dan sukacitaku melimpah-limpah” (2 Korintus 7:4). Ketika motivasiku pergi ke Tiongkok adalah untuk melarikan diri, Tuhan malah membawaku ke sebuah tempat yang tenang untuk duduk di hadirat-Nya dan mengalami perubahan hidup.

Aku tidak tahu seperti apakah sukacita yang sejati itu, tetapi saat itu aku tahu bahwa aku membutuhkannya. Aku memohon pada Tuhan supaya Dia memberiku sukacita, supaya aku percaya akan rencana-Nya, jalan-Nya, dan cerita yang Dia tuliskan untukku sepenuh hatiku.

Selama beberapa tahun berikutnya, Tuhan membentuk hatiku untuk mengungkapkan emosi yang tidak ingin kuhadapi, kesedihan yang belum terselesaikan, dan kebohongan yang kupercaya tentang Tuhan dan diriku sendiri.

Tuhan menunjukkanku bahwa sukacita bukanlah kebahagiaan yang bersifat sementara, melainkan sebuah kepuasan yang mendalam akan rencana Tuhan, yang kita tahu adalah untuk kebaikan kita dan tujuan-Nya. Sukacita bukan berarti bahwa aku akan selalu bangun dengan senyuman setiap harinya; sukacita bukan berarti bahwa aku akan selalu riang gembira di tengah badai kehidupan. Sukacita adalah sebuah keputusan untuk melihat tujuan Allah ketika segala sesuatunya runtuh. Sukacita adalah pilihan setiap hari, sekalipun ada hal-hal yang membuat air mata menetes.

Tuhan mengajariku bahwa menjadi seorang yang lemah adalah jauh lebih baik daripada berpura-pura kuat. Kelemahan kita menunjukkan bahwa sesungguhnya kita butuh bergantung pada Tuhan. Tuhan mengajariku bahwa it’s okay to be not okay—tidak masalah untuk jujur apabila kita memang tidak sedang baik-baik saja. Tuhan menyambut setiap keraguan kita dan mengundang kita untuk bersama-sama bergumul dengan-Nya di saat kita tidak mengerti apa yang Dia sedang kerjakan.

Hal yang indah yang kupelajari tentang Tuhan adalah Dia tidak pernah menyerah terhadap kita. Dia tidak pernah berhenti mengejar kita tak peduli sebagaimanapun usaha kita untuk melarikan diri. Dia akan pergi ke tempat terdalam dan tergelap di hati kita untuk membuktikan bahwa Dia adalah Tuhan yang baik.

Aku telah menyaksikan bahwa Tuhan telah mengubah hal yang buruk menjadi baik. Dia telah menghapuskan kepahitan yang kupegang selama bertahun-tahun dengan cara memberikan orang-orang yang mau menolongku. Dia menggunakan kematian ibuku sebagai cara untuk menunjukkan realita bahwa hidup ini begitu singkat. Dia mengajariku bahwa aku harus menghargai orang lain dan menghargai setiap detik. Dia telah menunjukkanku betapa pentingnya untuk mencintai dan menjalani hidup dengan baik karena hubungan dengan orang lain begitu berharga.

Tuhan telah begitu setia dalam perjalanan hidupku. Dia telah menunjukkan banyak hal kepadaku melalui kematian ibuku. Dia memberiku sukacita yang utuh dan mengajariku untuk menerima kelemahanku, dan memandang hanya kepada-Nya saja. Dia mengajariku untuk menerima dukacita. Dia telah menunjukkan kepadaku bahwa bersembunyi dan melarikan diri dari badai yang Dia izinkan terjadi adalah sebuah perbuatan yang sia-sia.

Aku percaya bahwa Tuhan memiliki cerita yang unik untuk setiap orang. Dia memberikan yang terbaik untuk hidup kita dan mengubah rasa sakit yang kita alami menjadi sebuah kebaikan yang jauh lebih indah daripada yang dapat kita bayangkan. Hidup adalah sebuah pemberian, dan kisah hidup kita, tak peduli seperti apapun kisahnya adalah gambaran dari Injil. Cerita hidup kita adalah tentang Dia dan kemuliaan-Nya.

“Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku. ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku” (Habakuk 3:17-19).

Baca Juga:

Nyaris Mati Karena Bunuh Diri, Namun Tuhan Memberiku Kesempatan Kedua

Obat-obatan dan pecahan kaca, air mata dan darah, ketakutan dan putus asa. Itulah gambaran dari malam yang paling kelam dalam hidupku di mana aku memutuskan bunuh diri. Namun, usahaku itu gagal dan Tuhan menyadarkanku akan betapa salahnya cara pikirku.