Posts

Keterbatasan Bukan Halangan Untuk Menerima Panggilan-Nya

Oleh Jlo (Jessica Lowell), Tangerang

Apa yang kalian pikirkan mengenai keterbatasan?

Banyak orang memiliki pemikiran bahwa keterbatasan adalah orang yang cacat atau tidak lengkap tubuhnya (istilah bahasa Inggrisnya disable). Sedangkan dalam KBBI, keterbatasan berarti keadaan terbatas. Pemikiran awal di atas tidak ada salahnya, namun keterbatasan itu tidak hanya cacat fisik. Ada orang yang memiliki anggota tubuh lengkap, tapi ternyata memiliki keterbatasan dalam hal lain. Salah satunya seperti aku.

Aku memiliki anggota tubuh lengkap, tetapi memiliki keterbatasan yang tidak banyak orang tahu, yaitu disleksia. Disleksia adalah gangguan saraf di bagian batang otak.yang berfungsi memproses bahasa. Waktu kecil, aku mengalami kelambatan bicara yang disebut speak delay, dan ketika mulai menginjak sekolah dasar, bicaraku masih belum jelas, sehingga aku di-bully oleh orang-orang sekitarku.

Aku tidak akan menceritakan mengenai bullying. Aku akan menceritakan bagaimana aku yakin dan percaya bahwa keterbatasanku bukan halangan untuk menerima panggilan Tuhan.

Aku dilahirkan dalam keluarga Kristen. Tiap minggu, aku diajak untuk sekolah minggu. Ketika kelas 6 SD, aku mengikuti retret dan memberi diri untuk mengikut Yesus.

Kemudian memasuki fase remaja, aku belum menemukan hal yang membuatku tertarik. Aku sering ditanya, apa cita-citaku kelak, dan aku selalu menjawab mau menjadi hamba Tuhan. Aku mau membuktikan bahwa keterbatasanku (disleksia) bukan halangan bagi kita untuk melayani Tuhan. Aku pun mengambil pelayanan di sekolah Minggu dengan menjadi asisten guru. Salah satu alasan aku melayani di sekolah Minggu karena aku menyukai anak-anak.

Aku tahu, disleksia yang kualami tentu akan mempengaruhi tiap kegiatanku, di mana pun itu. Misalnya semasa kuliah, ketika ada kerja kelompok dan aku ditanya teman-teman, aku sulit mengutarakan pendapat (kata-kata), sehingga aku memilih diam saja. Begitupun dalam pelayanan yang k ambil, walaupun hanya terkadang. Karena saat ini aku hanya membantu dan lebih banyak bertugas dalam bidang multimedia. Namun tetap saja, aku harus melakukan komunikasi dan koordinasi dengan teman sepelayananku. Dan aku memilih untuk tidak menyerah dalam melayani, walaupun disleksia mempengaruhi pelayananku.

Kita tahu bahwa dalam Alkitab, banyak sekali tokoh yang memiliki keterbatasan, namun dipakai oleh Tuhan. Salah satunya Musa yang tidak fasih berbicara. Tuhan memilih Musa untuk melakukan suatu pekerjaan besar, yaitu membebaskan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir, tetapi Musa menolak panggilan Tuhan berkali-kali. Salah satu alasannya menolak karena mempermasalahkan kemampuan bicaranya yang buruk.

“Lalu kata Musa kepada TUHAN: ”Ah, Tuhan, aku ini tidak pandai bicara, dahulu pun tidak dan sejak Engkau berfirman kepada hamba-Mu pun tidak, sebab aku berat mulut dan berat lidah” (Keluaran 4:10).

Tuhan sabar menghadapi Musa dan penolakannya. Dia pun berjanji menyertai lidah Musa dan mengajarinya apa yang harus dikatakan (Keluaran 4:12), hingga akhirnya Musa menerima panggilan tersebut. Dan Tuhan memegang janji-Nya. Dia senantiasa menyertai Musa dalam segala hal dan pergumulannya, hingga akhirnya bangsa Israel bebas dari Mesir.

Hal ini mengingatkanku pada kitab 2 Korintus 12 ayat 9 :

Tetapi jawab Tuhan kepadaku: ”Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.

Dalam kelemahankulah kuasa Tuhan menjadi sempurna

Tuhan tentu bisa menghapus kelemahan kita, karena tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Tapi justru dalam kelemahanlah, Tuhan mau kita bergantung pada kuasa-Nya.

Bisa dibilang, kesediaan aku melayani Tuhan mirip dengan satu nabi di Alkitab yang bernama Yesaya. Saat Nabi Yesaya ditanya oleh Tuhan, ”Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?” Yesaya menjawab, ”Ini aku, utuslah aku!” (Yesaya 6:8).

Setiap kali aku ikut KKR dan retret, aku ditantang oleh pembicara, siapa yang mau menjadi hamba Tuhan sepenuh waktu untuk menjadi pengajar. Hatiku selalu gemetar, tapi aku memilih melangkah maju sebab aku rindu dapat melayani Tuhan pada bidang itu.

Tuhan bisa memakai siapa saja yang dia mau untuk menjadi pelayan-Nya, baik laki laki atau perempuan, baik tua atau muda. Tuhan juga tidak melihat masa lalu. Ia pun tidak melihat dari ketidaksempurnaan, karena kita semua adalah manusia yang tidak sempurna. Tetapi, yang Tuhan lihat adalah hati yang mau melayani Dia dengan sungguh-sungguh.

Aku mau mengajak kita semua untuk tidak berkecil hati dan tidak takut menerima panggilan Tuhan. Kita pasti memiliki kelemahan yang berbeda-beda, entah terlihat atau tidak. Tapi ingatlah, dalam kelemahanlah kuasa Tuhan menjadi sempurna.

Jika kita Dia pilih untuk menjadi pelayan-Nya, Dia pasti akan memampukan kita dan menyertai kita untuk melakukan pekerjaan baik.

“Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya” (Efesus 2:10).

Sebagai penutup, aku mau memberikan satu ayat Alkitab yang bisa menjadi penguat bagi kita semua dalam melayani.

“Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kananKu yang membawa kemenangan” (Yesaya 41:10).

20 Tahun Menanti Jawaban Doa

Oleh Raganata Bramantyo

Saat aku masih berusia 9 tahunan, guru-guru sekolah Minggu di gerejaku selalu menasihatiku begini, “Doain papah terus ya, jangan nyerah.”

Di usiaku yang masih kecil dengan pikiran yang belum terbuka, aku menganggap sumber permasalahan dan keributan dalam keluargaku adalah sosok papaku. Setiap hari dia kerjanya marah-marah, memukuli mamaku, mengumpat kasar, berjudi, juga selingkuh dengan wanita lain. Saking seringnya aku melihat keburukan, aku hampir tak bisa melihat sisi baiknya, padahal ada momen-momen ketika papaku bersikap begitu manis dan baik.

Nasihat untuk mendoakan papa tak pernah kubantah. Setiap hari, sejak ingatanku mulai tumbuh aku selalu berdoa untuknya. Tapi, aku sendiri tak terlalu paham detail doanya. Perubahan seperti apa yang aku dambakan pada papa? Aku cuma ingin papaku seperti papa-papa lainnya, sosok papa yang tak cuma memberi nafkah keluarga, tapi juga memberi curahan kasih sayang dan bersikap lemah lembut.

Tahun demi tahun, aku beranjak menjadi remaja hingga dewasa dan mapan bekerja, tetapi perubahan yang kudambakan itu malah semakin jauh terwujud. Di tahun 2014 papaku akhirnya menikahi wanita lain dan merahasiakannya dariku, juga dari mamaku yang relasi dengannya sudah amat renggang tapi tak pernah secara resmi bercerai.

Memberi apa yang tak dimiliki

Kekalutan keluarga itu mendorongku untuk pergi menjauh. Selepas SMA, aku pergi merantau ke kota lain, tetapi di antara jarak jauh yang membentang itu Tuhan perlahan menumbuhkan benih-benih rekonsiliasi.

Aku masih tetap berdoa untuk papaku, memohon hal yang sama agar dia berubah, hingga suatu ketika aku mendapat kesempatan untuk pergi ke sebuah pulau kecil di Sumatra, tempat kelahiran papaku. Di sana, aku mengobrol dengan banyak kerabat dan mendapati cerita akan kelamnya masa lalu papaku. Cerita-cerita itu menohokku. Jika papaku sejak lahir berjibaku dengan kerasnya hidup, tak mengenal kasih Tuhan, dan tak pernah menerima kasih sayang berupa kata-kata manis dan sentuhan lembut, bagaimana dia dapat memberikannya buatku? Toh kita tak mungkin memberikan sesuatu yang tak kita punya.

Sejak saat itu, tumbuhlah sebuah pemahaman baru dalam hatiku akan papaku. Aku mengubah isi doaku. Bukan lagi meminta agar Tuhan mengubah papaku, tetapi aku memohon agar Tuhan mengubah hatiku untuk bisa memahami dan menerima perangai serta pribadi papaku. Doa itu kulanjutkan dengan tindakan meminta maaf. Melalui pesan SMS, aku tanya apa kabarnya dan kumintakan maaf. Pesan itu tak dijawab hangat. Mungkin dia gengsi. Tetapi, setahun dan dua tahun setelahnya, relasi antara ayah dan anak yang semula amat dingin dan kaku perlahan berubah. Setelah aku lulus dan kerja, aku sering pulang. Dalam setiap pulangku, papaku berkenan menjemputku dan setiap pertemuan jadi terasa akrab meskipun aku sendiri tak banyak tahu tentang kehidupan papaku sebenarnya, tentang di mana rumah barunya, siapa gerangan istri keduanya, bagaimana usaha dia, dan sebagainya. Yang kutahu dari cerita yang disampaikannya dengan singkat dan tertutup adalah dia mencoba membangun kehidupannya dengan iman dan lingkungan yang baru, bukan lagi iman Kristen. Aku mencoba menghormati keputusannya dengan tidak banyak melakukan interogasi.

Keakraban di ujung nafas

Meskipun aku merasa sudah cukup dekat dengan papaku, tetapi hatiku tetap merasa tidak puas. Dalam doaku kutambah lagi permohonan agar aku bisa mengenalnya lebih erat dan membawa papaku kembali pada Kristus.

Pada akhir Maret 2022, jantungku serasa berhenti ketika aku mendapat kabar bahwa papaku mengalami kecelakaan. Dia jatuh ke sungai saat berjalan kaki. Bonggol sendi antara paha dan panggulnya patah, namun di awal-awal kejadian dia menolak untuk dioperasi. Setelah dibiarkan tanpa pengobatan medis selama enam hari, kondisi fisik papaku semakin menurun hingga dia pun nyaris kehilangan kesadaran dan masuk ICU.

Mendapati kabar tragedi ini aku segera pulang menuju kota kelahiranku tengah malam. Saat paginya aku tiba di rumah sakit, betapa kaget aku melihat sosok wanita lain yang menjadi ibu tiriku. Mengetahui kalau aku pulang dan menunggui di rumah sakit, mama kandungku menentangku. Pikirnya, biarlah papaku dan keluarga barunya yang mengurusi semuanya, jangan aku.

“Mah, aku paham maksud hati mama bahwa mama tidak ingin aku direpotkan… tapi, aku mau merawat papaku. Bagiku gak ada istilah mantan anak dan bapak,” kutenangkan mamaku dengan argumen itu. Lalu tambahku, “Lagian, mama juga pasti pengen kan kalau papa bisa kenal Tuhan Yesus lagi? Kalau iya, siapa dong yang bisa kenalin Yesus ke papa kalau bukan aku, anaknya?”

Tiga hari pasca dirawat di ICU, papaku berhasil melewati masa kritisnya. Jam satu dini hari, bersama seorang suster kudorong ranjangnya menuju bangsal perawatan biasa. Lega hatiku, karena maut tak jadi menjemput. Hari-hari setelahnya operasi dilakukan dan keadaan papaku pun semakin baik. Selama dua belas hari di RS, aku benar-benar mengalami keakraban antara ayah dan anak yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Aku menyanyi bersamanya, mendoakannya, menyuapinya, bercanda, hingga membersihkan kotorannya.

Di malam kesekian, saat kesadaran papaku sedang prima, kutanya begini: “Pah, papa percaya gak kalau Tuhan Yesus menuntun dan memberkati langkah kita?”

“Iya, nak, papa percaya semua ini karena Tuhan baik,” jawabnya sambil memegang pundakku.

“Papa mau gak kembali lagi beriman sama Tuhan Yesus?”

Tak kuduga, jawaban papaku penuh semangat. “Iya! Papa mau beriman serius sama Yesus.”

Malam itu, kutuntun papaku dalam doa untuk mendeklarasikan iman percayanya. Papaku pun bernazar bahwa setelah sembuh dia akan menanggalkan cara hidupnya yang lama dan hidup serius bagi Tuhan.

Sukacitaku membuncah. Di hari ke-12, papaku akhirnya diperbolehkan pulang dan aku pun kembali ke kota perantauanku. Namun, sukacita itu tak berlangsung lama. Tak sampai 12 jam, papaku kembali masuk rumah sakit dengan kendala sulit buang air dan sesak nafas. Awalnya kupikir tidak ada yang serius, tetapi kenyataan berkata lain. Aku kembali pulang dan menemaninya di rumah sakit, sementara keadaannya semakin memburuk.

Hari ke-13 dan seterusnya, terjadi pendarahan hebat yang sungguh menyiksa papaku. Dalam sehari, puluhan kali darah segar mengalir dari anusnya. Dokter mendiagnosis ini sebagai kanker pada usus, namun betapa leganya kami setelah dilakukan endoskopi ternyata tak ditemukan adanya kanker.

“Ini mah disentri aja karena ususnya lecet,” ucapan dokter ini melegakanku.

Antibiotik diberikan dan selang tiga hari tak ada lagi pendarahan. Tapi… di hari ke 27 perawatan papaku di RS, pendarahan yang sempat terhenti itu terjadi lagi, malah lebih masif. Darah encer dan segar tak bisa berhenti mengalir. Sambil terisak, aku berlari ke ruangan suster dan meminta pertolongan segera. Dokter jaga melarikan papaku ke ICU dan sebelum ranjangnya dipindah, dia merintih kesakitan.

“Saya gak kuat lagi, gak kuat lagi…” ucapan ini menggetarkan hatiku. Papaku berulang kali menegaskan bahwa penyakit yang tak jelas ini begitu berat untuk ditanggungnya. Maka, meskipun aku sangat ingin melanjutkan kisah kasihku bersamanya, aku belajar untuk menerima kemungkinan melepasnya.

“Pah, jika memang sakit ini terlalu berat untuk dilalui dan papa mau berpulang, aku menerima keputusan ini. Di dalam Kristus, papa telah diampuni dan beroleh keselamatan sejati,” kubisikkan ucapan ini di telinga papaku sesaat sebelum dia koma.

Dua puluh empat jam kemudian menjadi pertarungan antara hidup dan mati. Setelah papaku dimasukkan ke ICU, kesadarannya hilang total. Di dalam tenggorokannya tertanam ventilator. Di lehernya tertusuk jarum infus. Kedua tangannya diikat. Yang bisa kulihat hanyalah denyut jantungnya pada monitor. Operasi pun dilakukan. Hasilnya sudah bisa ditebak: papaku tak mampu diselamatkan. Pada ususnya terjadi autoimun yang mengakibatkan seluruh dinding usus hancur, tak lagi bisa diselamatkan. Jikalaupun ada mukjizat untuk hidup, akan sangat sulit bagi papaku hidup tanpa usus besar.

Aku, jam tiga pagi, sendirian di ruangan ICU menerima kabar itu dengan kaki bergetar. Air mataku berderai. “Tuhan, mengapa secepat ini Engkau panggil papaku? Tidakkah aku diberikan kesempatan untuk mengasihinya lebih lagi di usianya yang enam dekade pun belum?”

Isakanku tak berjawab. Ia memantul di antara dinding-dinding rumah sakit yang dingin. Jelang sore hari, akhirnya nafas papaku pun terhenti sepenuhnya, dengan aku terduduk sayu di sampingnya, memegangi tangannya sembari mulutku tak henti-hentinya menyanyikan ratusan kidung pujian.

Sedih dan hancur hatiku. Aku bingung memaknai cara kerja Tuhan, tetapi ketika kantung air mataku mulai mengering, kurasakan ketenangan di jiwaku. Betapa 29 hari di rumah sakit ini Tuhan menjawab penantian doaku selama 20 tahun. Aku ingin keakraban, diberinya lebih dari sekadar akrab. Diberi-Nya rahmat yang tak berkesudahan, yang mengikat aku dan papaku dengan ikatan kasih yang tak terputuskan—kasih dari Kristus, Sang Ilahi yang telah mati bagi setiap orang berdosa. Sepanjang hari-hari ke belakang, terkhusus selama masa perawatan papaku, Tuhan telah menunjukkan jejak kasih-Nya, sekalipun itu tak menjawab keinginanku tetapi selalu mencukupi kebutuhanku.

Jika akhirnya papaku berpulang dalam keadaan telah memegang teguh imannya pada Kristus, bukankah itu sebuah kemenangan? Jika aku sebagai anak bisa mendapat kesempatan untuk senantiasa hadir di sisinya sampai ujung nafasnya, bukankah itu sebuah momen yang terlampau mahal? Jika segala kebutuhan finansial yang jumlahnya luar biasa besar ini bisa tercukupi dengan uluran tangan dari banyak sekali orang, bukankah itu bukti bahwa aku tidak sendirian?

Di hadapan peti jenazah papaku, kumenangis keras. Bukan sebagai tangisan kecewa, tetapi tangisan syukur betapa Tuhan menjawab doaku dan memulihkan papaku dengan pemulihan yang sejati.

Meskipun jawaban doa itu tidak terwujud pada tempat yang kudambakan, tetapi atas kasih setia dan rahmat-Nya, diberikan-Nya sesuatu yang jauh lebih baik dari harapanku. Jika aku sebagai manusia mendambakan perubah sikap, Tuhan Sang Ilahi dalam kedaulatan-Nya tak hanya mengubahkan sikap papaku menjadi lembut, tetapi juga meneguhkan jiwa dan rohnya untuk beroleh keselamatan kekal, tinggal damai bahagia dalam rumah Bapa Surgawi, pada sebuah tempat dan keadaan yang penuh damai sejahtera di mana tak akan ada lagi kesakitan, ratap, dan kertak gigi (Wahyu 21:4).

Hari ini, papaku telah menang atas segala sakit dan deritanya.

Cara Tuhan mengubah pandanganku adalah salah satu cara-Nya juga mengasihiku.

Terpujilah Tuhan, kini dan sepanjang segala masa.

“Tetapi yang terutama: kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa” (1 Petrus 4:8).

Tuli di Usia Muda, Namun Kasih Tuhan Tak Pernah Absen Kudengar

Oleh Jireh
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 纵然失去听力,我却听见上帝的恩典和爱

Ketika usiaku memasuki 24 tahun, kemampuan pendengaranku semakin berkurang. Kusampaikan keluhan ini ke keluargaku. Ketika seseorang bicara, aku cuma bisa mendengar dua atau tiga kata saja dalam satu kalimat. Diagnosis dokter bilang aku mengalami gangguan pendengaran sensorineural. Otakku kesulitan meraih sinyal suara sehingga aku tidak bisa mendengar orang berbicara.

Dokter menyarankanku memakai alat bantu dengar, meskipun mereka tahu kalau kelak aku akan mengalami tuli total karena belum ada obat atas penyakit ini.

Selama sebulan aku sangat sedih dan takut. Aku berpikir: Aku masih muda. Masih banyak yang aku mau lakukan dan belum terlaksana. Dan sekarang aku malah tuli? Bagaimana hidupku selanjutnya? Bagaimana pekerjaanku? Bagaimana aku bisa berkomunikasi? Aku bekerja sebagai sales. Tidak bisa mendengar dan berkomunikasi mustahil untuk bidang pekerjaan ini, dan aku harus mengubah taktik penjualanku menjadi online.

Kehilangan pendengaran ini juga semakin menambah rasa insecure yang kupunya sejak kecil. Aku sangat introver dan minder. Orang tuaku sering bertengkar dan membuatku berpikir dalam diri “Buat apa aku lahir?” Ketika orang tuaku akhirnya bercerai, aku dipaksa untuk meninggalkan lingkungan masa kecilku, yang akhirnya mempengaruhi hidupku secara keseluruhan.

Namun, tahun ketika aku kehilangan pendengaranku adalah tahun ketika aku juga percaya Yesus. Aku pernah baca Alkitab sebelumnya, tapi barulah saat kubaca Amsal aku mengetahui dan percaya Allah. Lalu, aku mulai pergi ke gereja.

Setiap kali aku merasa tak berdaya, firman Tuhan bergema di telingaku, memberikan penghiburan dan menopang rohku yang lemah:

“Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku” (Mazmur 23:4).

“Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!” (Mazmur 42:6).

Belas kasih dan kekuatan dari Allah besertaku dan menguatkanku sampai hari ini. Aku percaya Dia akan terus memelihara, menolong, dan menjagaku sampai aku berjumpa dengan-Nya. Harapan inilah yang mencukupkanku dan memberiku jaminan bahwa segala sesuatu terjadi seturut kehendak dan rencana Allah.

Dari kehilangan aku meraih

Aku menyerahkan sakitku kepada Tuhan. Kupercaya Tuhan Mahakuasa. Dia bekerja dalam segala sesuatu dan Dia tahu lebih banyak daripada yang kutahu akan apa yang harus terjadi dalam hidupku.

Pencapaian terbesar yang kuraih dari kehilangan pendengaranku adalah aku perlahan belajar untuk menikmati damai dan keheningan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Aku mulai menjauhkanku dari kebiasaan lamaku yang selalu sibuk dan rusuh mengerjakan satu hal ke hal lainnya.

Pertemananku juga mulai menyusut. Ada teman-temanku yang tak lagi mengobrol denganku karena mereka tak bisa sabar untuk berkomunikasi denganku dengan cara yang baru.

Dari semua ini, aku belajar bagaimana rasanya menjadi temannya Tuhan, berjalan erat bersama-Nya. Kulepaskan alat bantu dengarku, kututup pintu dan mataku, kubuka Alkitabku dan merenungkan sabda-Nya. Aku pun berdoa dan selalu mendekat pada-Nya setiap waktu.

Namun, ada pula kawan baru yang Tuhan berikan. Aku bertemu dengan teman-teman tuli dan semakin mengerti luka hati yang mereka alami. Mereka sering dipandang sebelah mata, ditolak, disalah mengerti, serta dihinggapi perasaan tak berdaya.

Dengan perspektif yang baru, kekurangan fisikku menjadi berkat yang indah. Meskipun raga manusia semakin lemah seiring waktu, roh selalu dibaharui hari demi hari (2 Korintus 4:16).

Aku tak lagi mengasihani diriku sendiri dan tak perlu lagi menyembunyikan kekurangan fisikku. Sekarang aku akan menyapa duluan orang yang kutemui. Meskipun pendengaranku telah hilang, aku semakin membuka diriku dan lebih siap untuk menghadapi dan menerima kehidupanku.

Mukjizat pemulihan

Jika bukan karena Yesus, kasih Bapa, dan sabda-Nya yang menghidupkan, kondisi fisikku hanya akan membuatku jatuh makin dalam ke jurang mengasihani diri. Aku akan lebih takut dan depresi. Namun, syukur kepada Allah yang menjauhkanku dari segala hal buruk tersebut, dan sungguhlah seala kemuliaan hanya bagi Dia.

Lima tahun setelah diagnosis itu, aku tiba-tiba meraih 90% pendengaranku hanya dalam dua minggu. Sensor-sensor di otakku mengalami perbaikan, meskipun tidak bisa sempurna. Tetapi, jika dibandingkan dengan periode sebelumnya, ada perbaikan signifikan dalam pendengaranku–dari tak bisa mendengar sama sekali hingga bisa mendengar beberapa suara.

Bagiku, Tuhan memberiku mukjizat untukku pulih. Aku tak melakukan pengobatan atau terapi karena dokter bilang tak ada cara untuk sembuh. Bahkan seorang ahli yang kukenal pun bilang kalau kasusku sulit dijelaskan. Namun seperti yang Alkitab katakan, “Dan karena kepercayaan dalam Nama Yesus, maka Nama itu telah menguatkan orang yang kamu lihat dan kamu kenal ini; dan kepercayaan itu telah memberi kesembuhan kepada orang ini di depan kamu semua” (Kisah Para Rasul 3:16).

Segala kemuliaan bagi Allah.

Tuhan Buka Jalan, di Saat Tiada Jalan

Oleh Angel Latuheru, Ambon

Penderitaan menyadarkan manusia bahwa dirinya rapuh, oleh karena itu kita membutuhkan kehadiran sosok Ilahi. Ada suatu momen penderitaan yang mengubah caraku memaknai imanku. Kejadian ini berlangsung pada tahun 2019.

Di awal tahun itu, aku sedang menyelesaikan studi S-2 di universitas swasta di Jawa Tengah. Kampus mewajibkanku melunasi pembayaran uang kuliah paling lambat tanggal 7 Januari 2019. Namun, tak disangka-sangka, cobaan datang tanpa pemberitahuan lebih dulu. Tepat di tanggal 1 Januari 2019, ibuku dilarikan ke rumah sakit di tengah kondisi finansial keluarga yang sedang kacau balau. Untuk memenuhi kebutuhan bulanan saja sudah sulit, sekarang ditambah harus masuk rumah sakit.

Ibuku didiagnosis menderita pneumonia yang mengakibatkan batuk dan sesak napas. Setelah serangkaian pemeriksaan, paru-paru beliau harus segera ditangani menggunakan metode Thoracentesis, yakni penyedotan cairan yang menumpuk di dalam rongga pleura paru-paru.

Beberapa orang anggota keluarga mulai meneleponku. Mereka mengabari kondisi kesehatan ibu, sesekali juga menekankan bahwa biaya rumah sakit terlalu besar, sehingga aku harus mengambil cuti kuliah. Aku tahu betul bahwa tabungan orang tuaku telah terkuras habis. Semenjak ayah pensiun, uang tabungan banyak terkuras untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan membiayai pendidikan anak-anak. Kalau saja orang tuaku memiliki tabungan saat itu, tentunya aku lebih memilih uang tersebut dipakai untuk kebutuhan berobat ibu dibandingkan kebutuhan kuliahku. Jika kuliah terhenti masih boleh dilanjutkan, tetapi kondisi kesehatan yang memburuk dapat berakhir kehilangan nyawa. “Pasrah” ialah satu-satunya kata yang terlintas dibenak saat itu.

“Jika Tuhan sudah menempatkanku di garis start, maka Tuhan pasti akan menyertai hingga titik finish,” gumamku di dalam hati.

Aku mengimani apa yang Paulus tuliskan dalam 1 Korintus 15:58: “Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia”. Semua jerih lelah tidak akan luput dari pandangan Tuhan. Mungkin perjalanan hidup mempertemukanku dengan awan hitam, bahkan badai, tetapi aku beriman pada waktu-Nya badai akan berlalu dan awan hitam akan digantikan pelangi di langit yang cerah.

Hari-hari terasa sulit dijalani ketika mengetahui kondisi ibu yang sakit dan aku harus memahami bahwa kuliahku akan terhenti pada semester akhir. Padahal jika aku mengambil cuti kuliah, maka kedepannya orang tuaku harus mengeluarkan biaya kuliah yang lebih besar agar aku dapat menyelesaikan studi S-2.

Dalam kondisi yang sedang merenung di kamar kos berukuran 3×3, tiba-tiba saja aku menerima telepon dari ibuku, yang kuberi nama kontak sebagai “Ibu Negara”. Beliau berkata:

“Nona, kuliahnya bagaimana? Kapan harus bayar uang kuliah?”

“Sudah harus dibayar Ma, terakhir tanggal 7, tapi nanti kakak ambil cuti kuliah aja. Kan mama lagi sakit pasti butuh biaya yang banyak.”

Mendengar jawabanku, beliau terdiam sejenak dan berkata:

“Nona tidak boleh berhenti kuliah. Pokoknya mama akan usahakan untuk mengirim uang kuliah sebelum tanggal 7.”

Ketika beliau berkata seperti itu, terdengar suara lantang di sebelahnya berkata; “Dari mana mau dapat uang buat bayar kuliah, mau nyuri? Buat berobat aja ini kita ngga punya uang. Jangan maksain keadaan!”

Mendengar kalimat tersebut ibuku hanya terdiam. Setelah pembicaraan berakhir, tangisku tidak bisa lagi dibendung. Aku tidak dapat menyangka, ibuku tetap mengkhawatirkan pendidikan anaknya dibandingkan kondisi kesehatannya sendiri. Ibuku melakukan hal yang bertolak belakang dengan banyak orang saat itu. Ketika mayoritas anggota keluarga menghantarku ke tepian untuk mengorbankan pendidikanku, ibuku dalam sakit yang dideritanya tetap mempercayai bahwa Tuhan akan membantu tepat pada waktu-Nya dan aku tetap harus melanjutkan studiku.

Saat itu pelarianku hanyalah doa, dengan percaya bahwa “God’s plan is always the best plan”. Terpatri benar di dalam ingatan saat itu, firman yang kubaca sebelum berdoa ialah Yesaya 55: 6-13, di kemudian hari ayat ini sering aku pakai ketika melakukan pelayanan. “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN.” (Yesaya 55:8) Dari ayat inilah keyakinan, kepercayaan, dan pengharapan itu kembali datang. Aku mulai mengerti bahwa seberat apapun penderitaan hidup yang sedang dialami, aku harus tetap setia untuk mempercayakan hidup ini kepada Tuhan.

Tanggal 5 Januari 2019, pukul 08.00 WIB aku berencana untuk pergi ke kampus menanyakan persyaratan untuk mengurus cuti kuliah. Aku bergegas pagi-pagi karena pada hari Sabtu kantor administrasi kampus hanya buka hingga pukul 12.00 WIB. Saat hendak berangkat sekitar jam 07.30 WIB yang artinya waktu Indonesia timur menunjukkan pukul 09.30 ibu meneleponku untuk memberitahukan bahwa beliau akan segera menjalani prosedur medis dan uang kuliahku sudah ditransfer. Ternyata seorang saudara dekat membantu secara diam-diam. Tanpa pikir panjang “orang baik” tersebut bersedia membantu menanggung biaya rumah sakit dan biaya kuliahku. Beliau membantu tanpa membicarakan kepada seorangpun tentang apa yang telah beliau lakukan.

Tiba-tiba saja dalam kesulitan yang sedang keluargaku hadapi, dan saat aku berpikir tidak ada lagi kemungkinan untuk mengikuti semester akhir, Tuhan menunjukkan kuasa tepat pada waktu-Nya. Iman ibuku menyelamatkannya dan masa depanku. Iman ibuku menyadarkan aku bahwa seberat apapun cobaan hidup yang dihadapi, pengharapan kepada Tuhan tidak boleh sirna.

Hampir tidak ada sepatah katapun yang dapat keluar dari mulutku, karena rasa syukur atas kebaikan Tuhan. Sedari saat itu hingga tahun 2022 ini, aku dan keluarga selalu mengingat bahwa kami pernah melalui awal tahun yang berat bersama Tuhan. Awal tahun yang memberi kami kekuatan iman untuk menghadapi penderitaan lainnya di kemudian hari.

Ada Pelangi di Balik Sakit Langka yang Kualami

Oleh Monica Horezki, Jakarta

Namaku Monica Horezki Vivacioingriani. Kesan apakah yang kamu dapat ketika mendengar namaku?

Beberapa orang menganggap namaku panjang dan unik. Nama itu diberikan oleh orangtuaku dengan maksud yang baik. Kata ‘Horezki’ merupakan gabungan dari dua kata baik: hoki dan rezeki.

Namun, meskipun ada makna rezeki dalam namaku, nyatanya kehidupan tak selalu penuh rezeki. Pada usia 20 tahun, aku divonis mengidap penyakit yang namanya cukup langka didengar di Indonesia. Penyakit ini disebut Dandy Walker Syndrome yang mengakibatkan aku kehilangan keseimbangan tubuh karena otak kecilku tidak bertumbuh secara sempurna. Sindrom ini ditemukan oleh seorang dokter saraf bernama Walter Dandy di Amerika Serikat pada tahun 1914.

Kehilangan keseimbangan tubuh menyulitkanku dalam banyak hal. Misalnya, jika aku memegang segelas susu, pasti akan banyak yang tumpah. Sama halnya dengan saat aku berjalan atau menulis dengan tangan. Aku pernah dicegat di bandara karena cara jalanku yang sempoyongan dan gampang menabrak. Petugas bandara mengira aku sedang mabuk. Tulisan tanganku juga sering dikritik karena berantakan dan jelek seperti cakar T-Rex.

Aku sempat berkecil hati.

Hadirnya penyakit ini menimbulkan tantangan. Ada orang-orang yang kemudian menganggapku sebagai beban ketika mereka tahu kalau secara medis, sindrom dandy walker tidak bisa diobati dan hanya bisa dikurangi dengan terapi rutin seperti duduk di atas bola yoga yang setiap hari aku lakukan.

Kini, aku sedang kuliah di semester 5. Cerita tentang diri dan kondisiku tidak serta merta diterima oleh semua temanku. Yah, mau bagaimana lagi? Aku harus ditemani Mami kemanapun aku pergi, termasuk untuk nongkrong. Aku juga dianggap menjadi “anak emas” dosen karena diberi izin untuk menggunakan laptop ketika ujian. Mungkin teman-temanku mengira aku berbuat curang dengan membuka internet di laptop untuk mencari jawaban.Padahal, tanpa sepengetahuan mereka, aku harus memohon izin ke dosen untuk diperbolehkan mengikuti perkuliahan.

Terkadang hal-hal ini membuatku sedih dan frustasi. Aku merasa kalau dunia tidak adil dan tidak ada lagi pengharapan untukku. Sudah tak terhitung jumlah orang yang menganggap rendah dan yang skeptis terhadap masa depanku—bahkan ada pula yang menghakimi orang tuaku. Sebagai orang yang memiliki hobi menulis, aku pun mencurahkan perasaanku ke dalam tulisan.

Aku terus mengetik dan menuangkan isi hatiku selama bertahun-tahun hingga suatu saat, secercah pikiran muncul di benakku: bagaimana aku bisa menjadi berkat bagi orang lain melalui hidupku?

Ingin rasanya aku membagikan cerita dan pergumulanku bersama Tuhan sebagai pengidap sindrom ini dengan menerbitkan buku. Namun, keraguan dan rasa takut kerap kali datang menghampiri: Apakah aku mampu? Apakah tulisanku layak? Apakah ceritaku bisa menyentuh hati banyak orang dan menjadi berkat?

Pertanyaan-pertanyaan ini sempat mengurungkan niatku untuk mencoba menerbitkannya. Perasaan takut mendapat penolakan juga membuat diriku galau untuk akhirnya melangkah. Tetapi, perintah Tuhan untuk bersaksi mendorongku datang kepada-Nya dan meminta keberanian.

Puji Tuhan, berkat pertolongan Tuhan dan dukungan dari kedua orang tua yang menguatkanku, ada satu penerbit yang menerima tulisanku dan bersedia menerbitkannya.

Hari itu, dengan penuh semangat kudatang ke kantor penerbit itu untuk berdiskusi. Aku memberikan judul “Menjalani Apa yang Tidak Dijalani” untuk bukuku. Aku sadar, di tengah dunia yang telah jatuh ke dalam dosa, tidak semua orang dapat merasakan dan menyaksikan kasih, kebaikan, dan pertolongan Tuhan dalam hidupnya. Aku, yang melalui sakitku diizinkan menjadi saksi atas kebaikan Tuhan merasa perlu untuk membagikan kembali kisah kasih itu kepada orang lain.

Hadirnya penyakit langka dalam hidupku mungkin dapat menjadi badai yang menenggelamkanku, tapi tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Badai yang kualami mampu ditenangkan-Nya hingga aku pun melihat pelangi kasih-Nya.

Banyak orang skeptis akan masa depanku dan menghakimi orang tuaku karena keadaanku. Dari situ aku melihat bahwa mencintai orang yang ‘spesial’ tidaklah mudah, tetapi Tuhan mengaruniakan kepercayaan pada kedua orang tuaku untuk tetap mencintaiku sepenuh hati. Tanpa kehadiran orang tuaku yang tangguh, kurasa aku hanya akan hidup menjadi pribadi yang sia-sia, yang tak akan mampu bersaksi di sini di hadapan sahabat-sahabat seimanku.

Aku selalu ingin jadi pribadi yang mengasihi dan dikasihi Tuhan, menghasilkan karya yang bermakna dan menjadi berkat bagi banyak orang sesuatu apa yang firman Tuhan perintahkan agar kita terus bersaksi sampai hari Tuhan datang.

Hanya Tuhan yang mampu mengubah ratapan menjadi tarian. Kiranya apa yang kusaksikan dapat menjadi inspirasi bagi banyak orang yang menghadapi jalan hidup berliku dan penuh tantangan.

Kuucapkan terima kasih kepada kamu yang telah membaca kesaksianku, dan sekali lagi ingin kuberkata bahwa hanya Tuhan sajalah yang tetap setia dan mendukung kita walau dunia menolak kita.

Tuhan Yesus memberkati.

Menghadapi Penderitaan Tidak dengan Tawar Hati

Oleh Alvin Nursalim

Menjalani kehidupan pasti akan menghadapi penderitaan. Dalam profesiku sebagai dokter, rasa sakit, tangis, dan kesedihan adalah kawan yang menjadi keseharianku.

Pastinya teman-teman setuju bahwa rumah sakit bukanlah tempat berlibur. Di sini setiap pasien datang berobat dan berharap sembuh. Aku ingat ketika aku masih menempuh studi kedokteran dulu, biasanya aku akan sampai di rumah sakit sekitar jam 05:30 pagi. Aku dan rekan-rekan tim medis lainnya datang lebih pagi karena jumlah pasien yang menjadi tanggung jawab residen (dokter yang sedang mengambil program pendidikan spesialis) memang cukup banyak jumlahnya.

Para pasien bahkan datang lebih subuh dari kami. Mereka datang lebih awal untuk mengambil nomor pendaftaran. Rumah sakit tempat kami melayani adalah rumah sakit rujukan. Alhasil, pasien datang dari berbagai daerah dan pelosok negeri. Ada pasien-pasien yang masih anak kecil, masih tertidur di kursi roda mereka dan turut mengantre sedari subuh. Pecah tangis seringkali memenuhi ruangan karena kesakitan yang dialami oleh mereka.

Keadaan tersebut tidak berubah. Rumah sakit tetap penuh, malah mungkin lebih penuh karena pandemi Covid-19. Aku terpanggil untuk melayani pasien-pasien yang terinfeksi virus ini. Dewasa, anak kecil, wanita hamil, semua tidak luput dari virus. Rasa khawatir dan tangis dari pihak keluarga tidak asing bagi telingaku.

Menyaksikan penderitaan yang begitu nyata setiap hari seringkali membuatku termenung. Aku bertanya, “Bapa, mengapa ada penderitaan di dunia ini? Mengapa ada kemiskinan yang membuat banyak orang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan makan hariannya? Mengapa ada penyakit yang memberikan rasa sakit pada banyak orang?”

Pernahkah teman-teman juga bertanya-tanya seperti itu? Mencari tahu mengapa Tuhan tidak menciptakan dunia di mana semua orang seang, berkecukupan, dan tiada penderitaan?

Apakah Tuhan memahami penderitaan manusia?

Pertanyaan itu membawaku untuk menggali lebih dalam tentang penderitaan manusia. Ketika mengalami penderitaan, kita sebagai manusia sering bertanya apakah Tuhan memahami penderitaan kita. Tetapi, kita lupa bahwa diri-Nyalah sejatinya yang paling memahami penderitaan.

Yesus mengakhiri pelayanan-Nya di bumi dengan dihina, dihukum, dan dipaku di kayu salib. Dia mengalami tak cuma penderitaan fisik, juga penderitaan mental di tangan tentara Romawi dan orang-orang yang mencaci-Nya. Dia ditinggalkan oleh teman-teman terdekat-Nya di saat Dia paling membutuhkannya. Penderitaan Yesus telah ternubuatkan dalam tulisan Yesaya, “Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan” (Yesaya 53:3).

Jika kita bergumul dan berdoa pada-Nya, kita sejatinya sedang menyampaikan pergumulan manusia kepada Tuhan yang sangat dekat dan memahami penderitaan. Dia bukan Tuhan yang jauh dan tidak dapat berempati atas penderitaan manusia. Kita datang kepada Tuhan yang benar-benar tahu dan peduli, Dia adalah Tuhan yang juga merasakan bagaimana berada di titik nadir.

Selanjutnya, Yesaya 53:4 menulis, “Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya dan kesengsaraan kita yang dipikul-Nya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah.”

Penderitaan Yesus melampaui apa yang dapat kita bayangkan. Di kayu salib, semua kejahatan dunia diarahkan pada satu Sosok yang bersih dan murni, yaitu Sang Anak Allah. Yesus melakukannya agar kita beroleh kehidupan, sehingga kejahatan tidak membinasakan manusia.

Mengapa Tuhan dengan segala kuasa-Nya tidak menghilangkan saja penderitaan?

Pertanyaan tersebut memiliki jawaban: suatu hari kejahatan akan disingkirkan selama-lamanya. Suatu hari tidak akan ada lagi dukacita atau rasa sakit. Tuhan akan menghapus setiap air mata (Wahyu 21:4). Tetapi, hari tersebut belumlah tiba.

Jika kita merenungkan posisi kita: siapakah kita manusia berdosa sehingga kita bertanya dan menghakimi Tuhan? Kita adalah ciptaan-Nya dan diciptakan untuk memuliakan-Nya. Justru, seharusnya kita bertanya, apakah hak kita sebagai manusia berdosa untuk menuntut kepada Tuhan yang sudah menebus dosa kita? Namun, terlepas dari segala dosa kita, Tuhan selalu menawarkan diri-Nya sendiri. Dia tidak cuma memberi kita berkat atau janji, tetapi Dia memberi diri-Nya sendiri. Dia merindukan kita datang kepada-Nya, berbicara dengan-Nya, dan membawa penderitaan kita kepada-Nya. Dalam penderitaan kita, Dia tidak meninggalkan kita sendirian. Jika kita berpaling kepada-Nya, ada kekuatan yang tidak pernah kita duga; ada kenyamanan dan pengharapan untuk hari ini dan esok.

Aku ingin mengakhiri tulisan ini dengan sebuah doa yang kuterjemahkan dari kumpulan doa puritan, The Valley of Vision. Doa ini begitu indah dan berisikan permohonan manusia agar bisa terus memuji keagungan Tuhan dan berserah kepada-Nya, terlepas dari keadaan yang tampaknya tidak sesuai harapan.

Tuhan, tinggi dan suci, lemah lembut dan rendah hati,

Engkau telah membawaku ke lembah penglihatan
Di mana aku tinggal di kedalaman tapi melihat-Mu di ketinggian,
dikelilingi gunung dosa aku melihat kemuliaan-Mu.

Biarkan aku belajar dengan paradoks
bahwa jalan turun adalah jalan ke atas,
bahwa menjadi rendah berarti tinggi,
bahwa patah hati adalah hati yang disembuhkan,
bahwa roh yang menyesal adalah roh yang bersukacita,
bahwa jiwa yang bertobat adalah jiwa yang menang,
bahwa tidak memiliki apa-apa berarti memiliki semua,
bahwa memikul salib adalah memakai mahkota,
bahwa memberi berarti menerima,
bahwa lembah adalah tempat penglihatan.

Tuhan, di siang hari bintang bisa dilihat dari sumur terdalam,
dan semakin dalam sumur, semakin terang bintang-bintang-Mu bersinar;

Biarkan aku menemukan cahaya-Mu dalam kegelapanku,
hidup-Mu dalam kematianku,
kegembiraan-Mu dalam kesedihanku,
anugerah-Mu dalam dosaku,
kekayaan-Mu dalam kemiskinanku,
kemuliaan-Mu di lembahku.

Tuhan Yesus memberkati kita semua.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Di Tengah Keadaan yang Tak Mudah, Pilihlah untuk Taat

Taat, mudah diucapkan sulit dipraktikkan. Apalagi jika ketaatan itu seolah membuat hidup kita malah menjadi susah. Tetapi, Alkitab memberitahu kita bahwa selalu ada berkat dalam ketaatan kita kepada-Nya.

Belajar Setia dari Aren

Oleh Olive Bendon, Jakarta

Masa kanak-kanak adalah masa–masa yang menyenangkan. Saat–saat keseharian lebih banyak dihabiskan dengan bermain tanpa beban. Sayangnya, itu tak berlaku bagi Aren yang hingga umur 9 tahun, tak bisa bebas berlarian dan bermain seperti teman–temannya. Baginya, tak ada cerita pulang ke rumah dengan baju basah oleh keringat. Tak pernah pula ia menerima omelan karena pulang terlambat sebab keasikan bermain di luar rumah.

Gangguan jantung bawaan—di dunia medis lebih dikenal sebagai Tetralogy of Fallot (TOF)—membatasi aktivitas Aren sedari bayi. “Aren punya letak jantung miring, bocor di dua tempat. Dia ketahuan memiliki kelainan jantung waktu umur lima bulan. Umur empat tahun, dia punya badan biru. Kukunya juga bulat–bulat”, tutur Mama Imelda, ibunya.

Masalah pada jantungnya membuat Aren cepat lelah. Bergerak sedikit saja, nafasnya susah payah. Agar geraknya tak banyak, setelah masuk sekolah; Mama Imelda menggendong Aren pergi dan pulang sekolah. Setiap hari. Dan itu terus berlangsung selama Aren belum menjalani operasi jantung. Naik turun tangga di rumah sakit dan kemanapun, Mama Imelda tak membiarkan Aren untuk berjalan lama–lama.

Ada masa di mana Aren merasa dunianya hampir runtuh. Namun, keterbatasan tak mengekang senyum dan semangat Aren untuk berkegiatan walau kadang dirinya lebih banyak berdiam ketika sesaknya datang. Pengalaman mengajarkan Aren mencari tahu dan menemukan caranya sendiri untuk mengatasi sesaknya. Dengan muka penuh senyum, Aren berbagi tip ketika sesaknya datang. ”Kalau susah napas, aku lipat kaki rapat ke dada sampai aku tidur sudah”.

Karena keterbatasan fasilitas kedokteran di Sumba, Aren berobat ke Denpasar sebelum dirujuk untuk berobat dan menjalani operasi di RS Jantung Harapan Kita, Jakarta. Aku bertemu dengan Aren ketika menjadi volunteer di sebuah rumah singgah, tempat Aren dan ibunya tinggal selama menjalani pengobatan di Jakarta. Waktu itu Aren sudah selesai operasi jantung dan sudah dalam tahap pemulihan. Badannya yang dulu kurus dan menonjolkan tulang–tulangnya, kini mulai berisi. Ia pun sudah terbiasa naik turun tangga tanpa merasa lelah. Tak lagi digendong ibunya.

Pertemuan dengan Aren membuatku belajar 3 (tiga) hal paling dasar untuk menjalani keseharian sebagai anak Tuhan yang tahu bersyukur walau hidup sering mendadak serupa bermain roller-coaster.

1. Sabar dan tidak bersungut-sungut

Sabar dalam penderitaan, itu pilihan Aren. Menurut Mama Imelda, “ketika rasa sakit, Aren tak pernah menangis. Mengeluh sebentar, itu saja.” Tentu saja tidak mudah untuk anak seusia Aren belajar sabar jika tak didampingi oleh sosok yang kuat. Bukan sekadar sosok yang mengingatkan tapi lebih lagi yang bisa memberinya teladan dalam menjalani hari–harinya sehingga Aren yakin dan percaya, Tuhan pasti tolong! Dan sosok ibu, memegang peranan penting di kehidupan Aren.

2. Melibatkan Tuhan dalam hidupnya

“Tiap hari aku berdoa, bangun aku berdoa, mau tidur aku berdoa, mau bikin apa – apa harus berdoa, kakak. Mama ajar aku begitu, harus mengucap syukur,” Aren menimpali obrolan kami dengan riang. Ucapannya membuat mata yang sedari tadi panas, tak kuasa lagi untuk membendung aliran air yang turun satu–satu dan merengkuh tubuhnya. Ya Tuhan, anak ini luar biasa!

3. Setia walau hari–hari yang dilalui terasa berat

“Aku tidak rasa sakit, kakak. Cuma pegal saja waktu dokter bilang dadaku dibuka. Tempat tidurnya juga dingin.”

Mama Imelda membenarkan pernyataan Aren, selama ini anaknya tak sedikitpun menangis. “Saya sudah khawatir waktu kami naik bus dari Bali ke Jakarta. Saya terus berdoa, Tuhan jangan sampai anak ini tiba – tiba kesakitan. Puji Tuhan, kami sampai di sini, Aren baik–baik saja.”

* * *

Perjalanan panjang yang dilalui Aren dan Mama Imelda hingga mendapatkan jadwal operasi, bukanlah perkara yang mudah. Bisa saja di tengah perjalanan, ibunya menyerah atau anaknya putus asa. Lebih lagi mereka hanya bisa melakukan perjalanan darat karena Aren punya ketakutan jika terbang, pesawatnya jatuh. Kalau itu terjadi, dia tak bisa melanjutkan berobat. Tapi Aren belajar setia menunggu waktu-Nya Tuhan.

Kadang, Tuhan izinkan masalah muncul di kehidupan kita untuk mendorong kita lebih dekat lagi kepada-Nya. Hanya saja, kita suka kurang peka. TOF tak sedikitpun menyurutkan semangat Aren untuk mewujudkan cita–citanya menjadi anak Tuhan yang setia. Betapa senangnya Aren dan Mama Imelda ketika dokter memberikan izin boleh pulang ke Sumba dan melakukan kontrol di Denpasar saja. Awal Desember 2019, Aren yang bercita–cita menjadi pendeta; pulang ke Sumba. Ia sudah tak sabar untuk merayakan Natal bersama teman–teman Sekolah Minggu dan keluarganya di kampung yang tak ditemuinya selama hampir setahun.

Apa masalahmu saat ini? Tuhan tidak pernah memberikan ujian melebihi dari yang dapat kita tanggung. Yakin dan percaya, Tuhan pasti selalu menyertai.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

3 Pelajaran Penting dalam Bekerja di Tahun yang Baru

Tahun 2020 kemarin spesial buatku. Aku mendapat pekerjaan pertamaku setelah melalui berbagai lika-liku. Dari situlah aku belajar bahwa bekerja itu tidak cuma soal mencari uang, tapi juga bagaimana kita melakukan kehendak-Nya.

Teologi Kemakmuran, Kemiskinan, dan Kekristenan

Oleh Jessica Tanoesoedibjo

“Alkitab menyatakan bahwa orang kaya tidak bisa masuk sorga!” Seru pembicara retret tersebut. Dan ketika ia berkata demikian, matanya menatapku dengan tajam.

Aku tidak akan lupa perkataan tersebut. Pada saat itu, aku sedang duduk di bangku SMP, dan menghadiri retret yang diselenggarakan sekolahku. Aku ingat, jantungku berdebar kencang, dan di benakku, aku berpikir, “Tuhan, apa yang harus aku lakukan?”

Dalam kehidupanku, harus kuakui bahwa aku telah diberi privilese berkat materil yang berkelimpahan. Namun, ini bukan suatu hal yang dapat kusangkal begitu saja. Aku tidak dapat memilih di keluarga mana aku dilahirkan, ataupun kondisi perekonomian kita. Banyak orang berkata bahwa kita “diberkati untuk menjadi berkat,” tetapi di sisi lain banyak juga yang menkritisasi kekayaan.

Memperoleh Hidup Berkelimpahan

Lahir di keluarga Kristen, aku sangat bersyukur bahwa Tuhan telah memberkatiku dengan kedua orang tua yang begitu menekuni imannya, dan juga mengajarkan anak-anaknya untuk demikian. Namun, lahir sebagai anak seorang pengusaha yang cukup ternama di tanah air, juga berarti ada berbagai macam ekspektasi yang orang miliki terhadap diriku. Motivasi untuk menjadi orang yang sukses, seperti yang dicontohkan oleh sang ayah, ditanamkan padaku sejak kecil.

Di gereja pun aku sering dengar ayat ini dikutip: “Tuhan akan mengangkat engkau menjadi kepala dan bukan menjadi ekor, engkau akan tetap naik dan bukan turun,” (Ulangan 28:13). Yesus sendiri berkata bahwa Ia datang, “supaya [kita] mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan,” (Yohanes 10:10).

Namun, bagaimana dengan orang Kristen yang tidak hidup dalam kelimpahan materil? Apakah Tuhan tidak mengasihi mereka? Bukankah hal tersebut, kepercayaan bahwa Tuhan akan selalu memberkati anak-anaknya dengan kekayaan, adalah Injil Kemakmuran—suatu distorsi Injil yang sesungguhnya?

Berbahagialah Yang Miskin

Karena di sisi lain, firman Tuhan juga berkata, “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena mereka yang empunya Kerajaan Sorga” (Matius 5:3). Yesus juga mengajarkan, “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin…kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku.” (Matius 19:21).

Inilah yang membuatku berpikir dan bergumul. Aku pun menganggap bahwa kekayaan yang aku miliki adalah suatu hal yang keji yang perlu kusangkal. Ada masa di mana aku membenci segala pemberian Tuhan dalam hidupku, karena menurutku semua kepemilikan materil ini adalah fana.

Bukankah Alkitab sangat jelas, bahwa kita tidak bisa mengabdi kepada dua tuan: Tuhan dan uang (Lukas 16:13)? Untuk ikut Kristus, kita harus tanggalkan segalanya. Tapi, apakah artinya semua orang Kristen diharuskan menjadi miskin? Apakah untuk menjadi orang Kristen yang sesungguhnya kita harus menjual segala kepemilikan kita dan memberikannya kepada gereja, orang miskin, atau misi gereja? Apakah Alkitab mengajarkan teologi kemiskinan?

Kemiskinan Manusia dan Kekayaan Injil

Tidak. Keduanya bukanlah gambaran yang akurat tentang Kekristenan. Karena Kekristenan bukan tentang kemakmuran ataupun kemiskinan. Tuhan tidak pernah menjanjikan kita untuk menjadi makmur dan kaya di setiap saat. Dan Ia juga bukan Tuhan yang kejam, yang senang dan mengharapkan kemiskinan dan kesukaran bagi anak-anak-Nya.

Tapi sesungguhnya, Injil mengajarkan kita bahwa Yesuslah Raja yang empunya segalanya, yang amat sangat kaya, namun menanggalkan segala kejayaan dan rela menjadi miskin, untuk melayani kita. Yesus mengosongkan diri-Nya agar Ia dapat melimpahkan kita dengan kasih dan kebenaran-Nya (Filipi 2).

Tuhan tidak pernah menuntut kita untuk kaya ataupun miskin. Jika kekayaan atau kemiskinan menjadi pusat identitas kita, kita telah memposisikan uang sebagai tuan dalam kehidupan kita. Kesetiaan pada Tuhan dan firman-Nya tidak diukur dari kekayaan atau kemiskinan kita dalam ukuran dunia. Karena sesungguhnya, kesetiaan pada Tuhan adalah pengertian bahwa sebenarnya kita adalah “miskin di hadapan Allah,” namun, dalam Kristus telah “mempunyai [hidup] dalam segala kelimpahan.”

Dengan pengertian ini, kita tidak akan mendemonisasi kekayaan, ataupun mendamba-dambakan kemiskinan (atau sebaliknya). Tapi, kita dapat, dalam masa berkelimpahan, mensyukuri segala pemberian Tuhan sebagai suatu kepercayaan, yang patut kita kembangkan. Kekayaan bukan bertujuan untuk kita dapat senang-senang dan memenuhi segala macam keinginan kita di dunia, melainkan, adalah sebuah tanggung jawab yang besar. Karena “kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut,” (Lukas 12:48).

Dalam 2 Korintus 8:1-15, Paulus menulis kepada orang-orang yang hidup berkelimpahan untuk bertumbuh dalam kemurahan hati. Paulus berkata bahwa ia tidak bertujuan untuk membebani mereka, melainkan, setelah mengingatkan mereka tentang kasih karunia Kristus yang telah mereka terima, ia mengajak jemaat Korintus untuk terlibat dalam “pelayanan kasih,” (ayat 6) dengan meringankan beban saudara-saudara yang hidup dalam kekurangan.

Demikian pula, orang-orang yang dalam masa kekurangan, dapat juga mensyukuri kesempatan yang Tuhan berikan untuk bergantung sepenuhnya pada-Nya. Namun ini bukan berarti bahwa orang yang sedang dalam masa kekurangan dapat lepas dari tuntutan untuk bertumbuh dalam kemurahan hati. Karena Paulus pun bersaksi tentang bagaimana jemaat di Makedonia, tetap bersukacita dan kaya dalam kemurahan, walaupun mereka sendiri sangat miskin (ayat 2).

Bagi Paulus, kemurahan hati tidak terhitung dari jumlah yang diberikan. Kaya atau miskin, mereka telah menikmati kasih karunia Kristus yang sangat mahal, dan, mengetahui ini, mereka telah memberikan diri mereka, pertama kepada Tuhan, kemudian kepada orang lain (ayat 5). Karena sesungguhnya, yang Tuhan minta dari setiap anak-Nya adalah hal yang sama: agar kita, dalam segala sesuatu, dapat menyangkal diri kita, memikul salib, dan mengikuti-Nya.

“Alkitab menyatakan bahwa orang kaya tidak bisa masuk sorga!” Ya, memang ini benar. Karena Alkitab menyatakan bahwa tidak ada satu orangpun yang dapat masuk Kerajaan Sorga. Tidak ada yang layak. Namun, karena kasih karunia Allah dalam Kristus Yesus, kita sekarang adalah anak-anak-Nya. Di Rumah Bapa banyak tempat tinggal, dan Yesus sedang menyediakan tempat bagi kita di sana.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Penghiburan di Kala Duka Mendera

Sekalipun sulit untuk melenyapkan rasa sedih dan kehilangan, aku yakin bahwa Tuhan benar-benar mengerti dan peduli dengan duka yang kualami. Ia selalu punya cara terbaik untuk menghibur dan menguatkan kita.

Keluargaku di Bawah Bayang-bayang Maut

Oleh Monica Koesoemo, Bekasi

Jumat, 4 September 2020. Pagi itu aku bangun dalam keadaan badan kurang enak. Sekujur badan terasa sedikit linu dan lelah. Hingga Rabu, kulewatkan hari-hari dengan kondisi yang tidak kunjung fit. Ditambah kemudian aku mulai tidak bisa mencium atau merasakan apa-apa. Belum lagi kondisiku membaik, putriku mulai merasakan gejala yang sama. Khawatir dengan perkembangan yang semakin memburuk, kami memutuskan menjalani swab test . Sabtu, 12 September, dunia kami terasa runtuh. Tiga dari empat anggota keluargaku sama-sama menerima hasil tes di Sabtu malam itu. Kami positif terinfeksi Covid-19. Tak lama, anak lelakiku juga menjalani swab test. Hasilnya, ia juga positif terinfeksi virus yang telah merenggut banyak jiwa itu.

Dalam suasana hati yang kalut, secercah keberuntungan menghampiri: kami memperoleh kemudahan berupa kamar perawatan yang bisa dipakai berempat. Dengan menjalani perawatan bersama-sama, kami berharap bisa saling menyemangati sehingga bisa pulih lebih cepat. Namun, jujur, kondisiku di saat menulis kisah ini masih tak menentu. Reaksi pertama ketika mengetahui kami sekeluarga terkena Covid-19, aku marah dan syok.

Aku marah, karena merasa selama ini sudah sangat disiplin menjaga diri. Tidak pernah ke luar rumah yang tidak perlu sejak bulan Maret, menghindari ajakan teman untuk kumpul-kumpul, bekerja dari rumah, hanya ke luar untuk membeli kebutuhan pokok, tidak pergi ke mal, dan tidak bersosialisasi. Tapi, ternyata masih kena juga! Apalagi ditambah hasil CT scan paru-paru suami dan anak lelakiku menunjukkan adanya pneumonia. Meskipun secara klinis mereka baik-baik saja, namun ketidaktahuan kami tentang perjalanan penyakit ini membuatku didera kekhawatiran yang parah.

Aku gamang dan kehilangan optimisme. Padahal sehari-hari aku melayani di gereja, aktif memimpin jemaat, sesekali berkhotbah membawakan firman, dan pekerjaanku sehari-hari pun tidak pernah lepas dari firman Tuhan. Tapi mengapa saat aku dan keluarga mendapat cobaan berat ini, aku merasa semua firman yang pernah kubaca lenyap dari ingatan? Mengapa imanku mendadak rapuh? Mengapa aku merasa Tuhan tidak ada untuk menolongku?

Semua pesan firman Tuhan, tulisan-tulisan tentang kekuatan, pengharapan, sukacita, seolah tak ada kekuatannya. Hanya sekadar tulisan tak bermakna. Aku stres berat. Menit demi menit terasa berjalan lambat. Jantungku deg-degan setiap saat. Tangan dan kakiku dingin, berkeringat. Tensiku naik hingga 175 dan tidak turun-turun.

Di tengah kegalauan itu, aku teringat pada sebuah lagu yang menguatkan aku di saat anak perempuanku harus menjalani operasi usus buntu, sekitar enam tahun lalu. Lagu itu bertutur tentang Allah sebagai suara harapan, sauh bagi jiwa, yang sanggup menunjukkan jalan di saat tidak ada jalan. Allah yang adalah Raja Damai, yang menenangkan jiwa di tengah penderitaan. Segera kucari lagu itu di YouTube, dan kudengarkan sambil ikut menyanyikannya, sambil menangis dan mengangkat tangan, menyembah Tuhan. Kulakukan terus sambil berurai air mata. Di saat itu aku benar-benar merasa Tuhan ada di dekatku, memelukku, menenangkanku. Perlahan, kasih-Nya yang lembut itu menyusup masuk dalam hatiku, melingkupiku dengan damai sejahtera.

Setelah bisa tenang kembali, aku merasa Roh Kudus mulai berbicara dengan lembut dalam hatiku. Semua firman yang menguatkan kembali bermunculan dalam hatiku, meneguhkanku. Ya, aku tidak boleh takut! Aku harus percaya Tuhan memelihara hidup kami. Memang kami tidak tahu apa yang akan terjadi di depan, tetapi Tuhan menghendaki kita berserah saja pada-Nya, tidak memusingkan pikiran dengan hal-hal di luar kendali kami. Kami toh sudah berdoa, sudah memohon kesembuhan. Walaupun kami belum menerimanya saat ini, tapi kami harus percaya dengan iman bahwa kami sudah menerimanya (Markus 11:24).

Esok paginya, dalam sesi mezbah keluarga bersama-sama dari kamar isolasi, suamiku bersaksi bahwa tadi malam ia sulit tidur. Bukan apa-apa, tapi karena seakan suara Tuhan terus bergema di dalam hatinya, mengatakan kepadanya agar tidak takut. Tuhan juga terus memperdengarkan lagu-lagu pujian di dalam hatinya, sehingga sepanjang malam hatinya dipenuhi nyanyian sorgawi yang menguatkan:

“Engkau ada bersama-Ku di setiap musim hidupku. Tak pernah Kaubiarkan ku sendiri. Kekuatan di jiwaku adalah bersama-Mu. Tak pernah kuragukan kasih-Mu. Bersama-Mu Bapa, kulewati semua. Perkenanan-Mu yang teguhkan hatiku. Engkau yang bertindak, memberi pertolongan. Anugerah-Mu besar melimpah bagiku.” Suamiku juga menyampaikan pesan Tuhan untuk kami, “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari” (Matius 6:34.)

Momen ini menjadi luar biasa, karena setelah itu aku mengikuti persekutuan doa kelompok kecil dengan teman-teman kantor melalui video call, salah seorang di antara mereka meneguhkan pesan Tuhan tadi dengan memberikan ayat yang persis sama! Padahal, aku belum sempat bercerita apa-apa dengannya. Hal itu membuatku semakin yakin, bahwa Allah kita adalah Allah yang hidup, yang benar-benar ada bagi kita di setiap musim dalam hidup kita. Dia sanggup menjangkau hatiku yang galau lewat pesan yang sama yang Dia sampaikan kepada dua orang yang berbeda. Itu bukti bahwa Dia benar-benar memperhatikan keadaanku. Dia tahu aku sedang perlu dihibur dan dikuatkan.

Entah kapan kami sekeluarga bisa ke luar dari tempat ini. Mungkin masih lama. Mungkin juga sebentar lagi. Ke depan, mungkin akan ada hari-hari di mana aku akan merasakan ketakutan dan kekhawatiran lagi. Tapi aku tidak boleh menyerah. Aku harus kuat, tabah, sabar, dan berani! Aku harus mengimani bahwa di saat yang paling gelap sekalipun, Tuhan Yesus itu tetap dekat. Ia dekat dengan orang-orang yang patah hati, dan menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya (Mazmur 34:18).

Kiranya Tuhan menguatkan kami, dan menguatkan teman-teman semua di luar sana yang saat ini masih harus berjuang menjalani hidup di tengah pandemi yang melanda. Tuhan menyertai kita semua. Tetap semangat!


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Berdoa dan Bekerja, Manakah yang Lebih Penting?

Kisah Marta dan Maria bukanlah tentang dua sikap yang bertentangan, tentang mana yang lebih penting: bekerja atau berdoa. Apa sejatinya makna kisah mereka buat kita?