Posts

Mau Glowing Kok Nunggu Putus Dulu? Itu Keputusan yang Bisa Kamu Lakukan Sekarang

Oleh Tabita Davinia Utomo

“Kenapa, ya, mantanku jadi lebih glowing setelah putus?”

“Kok, mantanku kelihatan lebih bahagia sama pacar yang sekarang, ya?”

Hayo, siapa yang pernah bertanya demikian ketika melihat mantan yang terlihat lebih shinning, shimmering, dan splendid justru setelah relasi bersamanya usai?

Mungkin pikiran seperti ini sering muncul ketika kita melihat (atau bahkan mengalami sendiri) usainya relasi yang membawa dampak berupa upgrading diri, baik dari salah satu maupun kedua pihak. Karena itu, tidak jarang ada yang berpikir seperti ini:

“Duh, nyesel, deh, udah sia-siain dia…”

“Jadi pengen balikan aja, nih…”

“Kenapa, ya, mantan selalu lebih kelihatan menarik daripada pas masih jadi pacar?”

Tidak heran kalau pada akhirnya usainya relasi seolah-olah menjadi “ajang” pembaruan diri. Yang dulunya belum pernah belajar make up, sekarang jadi terlatih pakai make up. Yang sebelumnya tidak pernah pakai skincare, sekarang sudah tahu kegunaan serum dan spot gel saat jerawat menyerang. Yang awalnya sebodo amat dengan kesehatan mental, sekarang jadi semangat mempelajari—bahkan membagikan—isu di media sosial. Wah, ternyata kata “putus” bisa menjadi awal baru yang positif, ya?

Sebaliknya, ada juga yang justru menyalahkan pasangan ketika mereka tidak lagi menjalin relasi seperti dulu. Bukannya meng-upgrade diri, mereka memilih menarik diri dari semua pergaulan yang dimiliki, enggan untuk merawat diri, merasa tidak dikasihi, dan (ada juga) yang ingin mengakhiri hidup. Ironisnya lagi, label “lebay” bisa tersemat bagi orang-orang yang sedang bergumul seperti ini.

Pertanyaannya adalah… benarkah bahwa hanya dari usainya relasi maka kita baru bisa berusaha menjadi glowing (baca: meng-upgrade diri)?

Ini jawaban dari pengalamanku—yang masih tetap terus aku gumulkan hingga detik ini.

Penerimaan kasih Tuhan bagi diri sendiri adalah awal dari upgrading diri

Kalau melihat perbandingan foto-fotoku dari enam tahun yang lalu dan saat ini, mungkin orang-orang akan mengatakan bahwa aku tidak banyak berubah. Paling-paling yang tampak hanya kemampuan make up yang meningkat dan pemilihan pakaian yang lebih diperhatikan. Padahal kalau mau jujur, enam tahun lalu, aku sama sekali tidak tahu bagaimana harus memperhatikan diri sendiri. Terjebak dalam sebuah relasi yang menguras pikiran, tenaga, dan emosi membuatku “hidup segan, mati pun tak tahu caranya”. Aku justru beranggapan make up hanya menutupi kecantikan batin. Aku juga tidak tahu bahwa ada yang namanya skincare yang bermanfaat untuk mengurangi jerawat dan merawat wajah. Apalagi karena sejak kecil, mamaku mengajarkan, “Yang terpenting itu cantik hatinyaaa.” Well, kecantikan batin itu memang harus ditumbuhkan, tetapi (jujurlah, hai pencari cinta) apa yang dilihat pertama kali adalah penampilan, kan?

Namun, ketika relasi itu usai, perlahan-lahan aku menyadari bahwa ternyata selama berelasi itu, aku menolak untuk membiarkan kasih Tuhan yang berlimpah bekerja di hidupku saking tidak masuk akalnya untuk diterima. Secara teori, aku tahu bahwa Tuhan mengasihiku (Yohanes 3:16). Aku juga tersentuh setiap kali ada orang yang menceritakan bagaimana Tuhan mengubahkan hidupnya—dan tidak jarang menangis kalau teringat pada kasih Tuhan yang sempurna mau melayakkanku yang berdosa ini untuk melayani-Nya. Masalahnya adalah… aku tidak mau kalau harus kehilangan “orang yang mengasihiku”. Walaupun tahu Tuhan mengasihiku luar dan dalam, tetapi rasanya aku hanya bisa menemukan kasih tersebut dari mantanku kala itu. Bagaimana mungkin aku bisa menyadari dengan utuh kebenaran bahwa Tuhan mengasihiku dengan sempurna, kalau orang lain seolah-olah menunjukkan hal yang sebaliknya? Bagaimana kasih Tuhan itu menjadi nyata kalau aku merasa terus-menerus dituntut dan tidak pernah diafirmasi?

Ternyata, hanya “tahu” tidak akan menjamin diriku mampu menerima hal-hal yang tidak masuk akal seperti kasih Tuhan tadi. Hanya karena anugerah Tuhanlah aku bisa menerima kasih-Nya dan menghidupinya melalui iman kepada-Nya. Ketika membuka hati terhadap kasih Tuhan, afirmasi sesederhana, “Tulisanmu memberkatiku, Tabi. Thank you, ya,” sudah cukup untuk membuatku tetap beriman bahwa aku dikasihi dan dilayakkan-Nya untuk membagikan kabar baik.

Berdamai dengan diri sendiri sebagai proses upgrading diri

Aku teringat pada pengalaman seorang teman yang juga bergumul hebat setelah putus. Dia merasa tidak mudah untuk memaafkan dirinya sendiri karena dia merasa hanya mantannya yang sanggup menerimanya apa adanya. Akibatnya, saat dia mau putus, mantannya langsung bereaksi, “Kamu nggak akan bisa menemukan yang lebih baik dari aku.” Butuh waktu berbulan-bulan baginya untuk bisa memaafkan diri sendiri dan mantannya. Belakangan aku baru tahu, kalau temanku yang selalu terlihat ceria itu menyimpan kemarahan terhadap relasinya yang telah usai, yaitu karena “diagnosis” sang mantan tentang dirinya yang memiliki bipolar karena mood swing yang tidak jelas. Yang membuatku tidak habis pikir adalah selama ini temanku tidak menunjukkan gejala-gejala tersebut, walaupun setelah putus dia memang lebih kelihatan bahagia dan menikmati hidup, sih.

“Waktu itu aku takut banget kalau aku emang punya bipolar, Tab,” katanya. “Mana ada orang yang mau sama orang bipolar?”

Syukur pada Tuhan, “diagnosis” sang mantan dipatahkan oleh kondisinya yang makin membaik pasca putus. Ditambah lagi, setelah melalui proses konseling, temanku belajar bahwa masa lalunya bukanlah alasan untuk tidak memperbaiki diri, melainkan justru jadi batu loncatan dalam pengenalannya terhadap Tuhan dan diri sendiri. Plus, dia juga tidak lagi menyalahkan mantan yang memanipulasinya, tetapi memaafkannya di dalam ketidaktahuannya terhadap kondisi yang sebenarnya.

Berkaca dari pengalaman temanku itu, aku belajar untuk menerima kondisiku yang sangat rapuh setelah putus, dan memperbaikinya setahap demi setahap. Perlahan-lahan, aku menyadari bahwa aku juga ada andil dari berakhirnya relasi kami, sehingga kesadaran itu membantuku agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Aku jadi teringat pada Paulus yang menulis Filipi 3:4-14, yang salah satu pernyataan tegasnya tertuang di ayat ini:

“Aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.”

Move on tidak hanya berbicara bahwa kita tidak boleh menutup diri dari cinta yang mengetuk hati, tetapi juga bagaimana kita harus meng-upgrade diri menjadi anak-anak Tuhan yang berjuang memenuhi panggilan hidup di dalam Kristus.

Menemukan support system yang tepat untuk menjadi teman seperjalanan dalam upgrading diri

Aku bersyukur karena selama pra dan pasca putus, Tuhan mengirimkan teman-teman seperjalanan dalam proses pemulihan diri. Ada konselor yang menolongku menyadari bahwa minimnya afirmasi yang aku terima membuatku mencari pemenuhannya dari orang lain. Ada juga teman-teman yang bersedia mendengarkan dengan sabar ketika aku mengeluh berulang kali tentang relasi yang sudah usai itu. Tidak sedikit pula kata-kata penguatan yang aku terima dari post maupun story yang ada di Instagram, seakan-akan Tuhan ingin berkata agar aku tidak putus asa dalam proses pemulihan ini. Bahkan ada juga kakak KTB yang mengajariku self make-up dan berbagi tips pemilihan skincare sebagai salah satu bentuk upgrading diri.

Benarlah yang dikatakan oleh penulis Amsal dan Ibrani ini:

“Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.” – Amsal 17:17

“Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik.” – Ibrani 10:24

Makin bertambahnya usia, aku belajar bahwa support system tidak harus dalam jumlah orang yang banyak. Tidak semua orang bisa cocok dengan kita, kan? Namun, bukan berarti cukup satu-dua orang saja, karena kehilangan salah satu (atau semuanya) akan sangat berdampak buruk bagi kita. Mungkin kita bergumul dengan trust issue, sehingga untuk bisa percaya pada orang lain membutuhkan effort yang luar biasa. Tidak apa-apa, Tuhan memahami, kok. Ketika kita meminta support system kepada-Nya, Dia sanggup memberikannya dengan cara-Nya yang melampaui akal pikiran kita. Yang kita perlukan hanyalah percaya kepada-Nya dan membuka hati terhadap kehadiran orang-orang yang mengasihi kita.

Aku jadi ingat dengan analogi kentang dan sayur-sayuran lainnya yang direbus di dalam panci. Sebelum dimasak, semuanya masih mentah dan keras, sehingga diperlukan sebuah proses untuk membuatnya menjadi matang, empuk, dan bisa dimakan (misalnya saja dengan direbus). Proses perebusan itu akan membuat kentang dan sayur-sayuran saling bertabrakan. Namun, proses itulah yang membuat mereka bisa menjadi sop sayur yang bisa disantap. Sama halnya dengan analogi ini, ada kalanya kita akan saling “bertabrakan” dengan orang lain, dan pastinya hal ini tidak mudah. Ada luka yang tertoreh, kekecewaan yang tersimpan, bahkan kemarahan untuk sebuah fakta pahit yang terungkap. Namun, kalau Tuhan memang mengizinkannya terjadi, kita perlu belajar percaya bahwa proses itu membentuk kita agar menjadi teachable dan memberkati orang lain. Memang tidak mudah, tetapi semoga perkataan Ibu Lidya Siah ini bisa kita hidupi di tengah-tengah komunitas yang Tuhan percayakan:

“Jadilah komunitas yang memulihkan, ya.”

 

“Just take care what God has given to you.”

Poin terakhir ini berasal dari pasanganku, yang waktu itu masih baru dalam masa pendekatan. Jujur saja, aku belajar banyak darinya bagaimana harus memperhatikan penampilan dan merawat diri sendiri. Dari sekian banyak orang yang aku kenal, dia termasuk yang cukup concern dan berani memberikan masukan dengan terus-terang padaku. Mulai dari masker yang lusuh (dan sudah tergantikan dengan masker medis), hingga membangun kebiasaan hidup sehat seperti berolahraga. Dia bukan hanya asal bicara, tetapi juga do the talk.

“Nggak ada kata terlambat untuk self-love dan self-care. Jadi jangan kebanyakan mikirin orang lain terus, ya. Pikirin diri lo juga.”

Ungkapan pasanganku itu bukanlah tanpa alasan, karena sejak pertama kali bertemu, dia sudah memiliki kesan bahwa aku memikirkan lebih banyak hal lain daripada diriku sendiri. Ketika mendengarnya, aku bingung. Bukannya sebagai orang percaya, kita harus mementingkan orang lain di atas diri sendiri? Kalau tidak, nanti jadi egois, dong?

“Hukum yang Terutama” ini bisa menjadi pengingat bagaimana kasih kepada Allah dan sesama ternyata berhubungan dengan kasih kepada diri sendiri:

”Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” – Matius 22:37-40

Seperti poin pertama, kita tidak akan sanggup mengasihi siapa pun kalau tidak pernah mengalami kasih Tuhan secara nyata. Sebagai manusia, kasih kita cenderung dipenuhi oleh tuntutan dan ekspektasi. Ketika keduanya tidak terpenuhi, kita rentan kecewa. Itulah sebabnya, hanya kasih Tuhan yang mampu menjadi bahan bakar bagi kita untuk mengasihi-Nya, diri sendiri, dan sesama. Kita tidak akan bisa mengasihi sesama kalau kita tidak pernah men-treat diri sendiri dengan baik, kan?

“Lalu, seperti apa self-care yang bisa aku lakukan?”

Buatku pribadi, self-care tidak harus mahal dan membuat kita terpaksa melakukannya. Self-care bisa jadi adalah istirahat setelah kerja lembur berhari-hari. Bisa juga self-care merupakan perawatan wajah dan kulit dengan skincare supaya nutrisinya juga terjaga. Self-care juga bisa berupa cluttering barang-barang yang tidak digunakan lagi (menyimpan barang tanpa menggunakannya bisa menimbulkan stres tersendiri). Apa pun bentuknya, ketika kita melakukannya dengan sukacita, self-care menjadi ungkapan syukur kita kepada Tuhan atas keunikan diri kita.

Glowing yang jadi perpanjangan kasih Tuhan

Di tengah gelapnya dunia akibat dosa, Tuhan memanggil kita untuk menjadi “bintang-bintang” yang menunjukkan kehadiran-Nya bagi dunia, termasuk buat orang-orang di sekitar kita. Seperti itu juga yang Yesus katakan di dalam Matius 5:14-16:

“Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.”

“Lalu, bagaimana caranya untuk menjadi glowing seperti yang Tuhan mau?”

Salah satu doaku adalah, “Tuhan, selama aku masih hidup, tolong agar aku bisa menjadi berkat—baik dari tulisan maupun kehadiranku—setidaknya untuk satu orang saja.”

Dan itu yang aku (coba) hidupi.

Meskipun sebagai content creator, angka engagement menentukan strategi pembuatan konten, aku belajar untuk tidak mementingkan jumlah likes dan share dari post-ku. Selama ada satu orang yang terberkati dengan tulisanku, itu cukup, karena artinya Tuhan masih memercayakan tugas padaku untuk menghadirkan diri-Nya.

Begitu juga melalui pertolongan yang ditawarkan. Walaupun tidak selalu diterima, setidaknya ketika kita mau menolong orang lain, Tuhan bisa memakainya untuk menyapa yang bersangkutan agar tidak merasa sendirian. Yang perlu diingat adalah kita perlu tetap berintegritas, konsisten berbuat baik, dan menyadari bahwa kita bukan superhero yang bisa menyelamatkan semua orang. Cukup Tuhan Yesus saja yang jadi Juru selamat, jangan ambil alih peran-Nya.

 

***

Masa lalu kita memang tidak bisa diubah, tetapi kita bertanggung jawab pada apa yang sedang dan akan kita hadapi nanti. Begitu juga dengan upgrading diri, yang tidaklah harus disebabkan oleh usainya relasi atau masalah-masalah berat lainnya. Upgrading diri bisa kita mulai kapan saja, tetapi tentunya membutuhkan ketekunan agar ada hasil yang bisa kita nikmati di kemudian hari. Namun, jangan takut: Tuhan beserta dengan kita dan berkenan memulihkan hati yang hancur, sehingga setiap kepingannya yang dipulihkan menceritakan kasih-Nya yang mengubahkan hidup kita.

Kiranya melalui upgrading diri, kita dapat menikmati kehadiran Tuhan yang selalu bersama kita, mensyukuri perubahan yang diizinkan-Nya terjadi, dan membagikan kabar baik-Nya bagi orang lain melalui hidup kita.

Selamat menjadi glowing bersama Tuhan!

Ketika Identitas Diriku Kuletakkan pada Ucapan Orang Lain

Oleh Veronica*, Depok

“Hey, kok lo goblok banget sih!” teriak Meredith*. Ucapan itu dilontarkannya sebagai tanggapan atas ceritaku kemarin malam kalau aku mendapat nilai tertinggi se-tim-ku untuk tes kecerdasan yang diadakan kantorku.

Teriakan itu menohokku. Aku, lulus dari perguruan tinggi ternama, bekerja di perusahaan impian, bahkan menjadi salah satu kandidat terbaik di sana. Seketika aku merasa tidak berharga. Rasanya prestasi di sana sini yang telah kuraih tak artinya di hadapan Meredith.

Meredith adalah salah satu anggota keluargaku. Sejak orang tuaku pergi ke luar kota setelah aku lahir, dialah yang mengasuhku hingga saat ini. Lahir sebagai anak tentara pejuang kemerdekaan dan menikah dengan seorang tentara pula, membentuknya menjadi wanita yang keras dan kuat. Hal itu pula yang menjadi pedomannya saat membesarkanku, sampai kadang dia lupa bahwa aku butuh kelemahlembutan. Caranya mendidikku adalah dengan menuntutku untuk selalu jadi yang terbaik. Pernah saat itu ketika SMP aku meraih peringkat 28 ketika semester 1, dan melesat menjadi peringkat 2 di semester 2. Kalian tahu apa katanya? “Kok gak ranking 1?”.

Ketidakpuasannya atas prestasiku tidak terjadi hanya sekali, melainkan terus berulang. Lama-lama aku jadi marah. Ketika SMA, aku berjuang habis-habisan untuk bisa kuliah di luar kota atau bahkan di luar negeri, agar bisa jauh darinya. Namun, perjuanganku kandas.

Aku berkuliah tidak jauh dari rumah, dan setiap hari aku masih bertemu dengannya—dia, yang tidak pernah memberi apresiasi atas setiap prestasiku secara langsung. Meski teman-teman dan keluarga besarku beberapa kali mengapresiasi keberhasilanku, namun dia tetap bergeming. Uniknya, perkataan orang-orang lain rasanya tidak berpengaruh buatku, hanya apresiasi dari Meredithlah yang kutunggu.

Kembali ke ceritaku tentang pagi tadi, perasaan tidak berharga dalam diriku pun mencuat. Aku duduk diam termenung. Dalam perenunganku itu, aku mendapati bahwa meskipun orang-orang lain mengapresiasiku dengan baik, aku meletakkan identitasku pada ucapan Meredith. Aku terjebak dalam pikiran bahwa semua yang kulakukan akan cukup, ketika dia sudah bilang itu cukup. Aku akan merasa bahwa aku berharga adalah ketika dia memberikan apresiasinya kepadaku. Mungkin sikap ini muncul sebagai sebuah upaya ‘pembuktian’ kalau aku orang yang hebat, yang mampu memenuhi semua tuntutannya.

Aku sendiri kurang tahu persis apa yang menyebabkan Meredith bersikap begitu, tetapi aku bisa memahami mungkin dia ingin agar aku selalu jadi yang terbaik. Tetapi, menjadi yang terbaik tidak selalu melulu mendapatkan posisi pertama, bukan?

Setelah aku menyadari hal itu, aku teringat akan dua hal berikut.

Pertama, aku teringat ketika Tuhan menciptakan manusia di hari ke-6 dan mengatakan bahwa ciptaan-Nya “sungguh amat baik”. Saat aku memejamkan mata dan mengulang kalimat itu dalam hati, mataku mulai berkaca-kaca. Aku, yang diciptakan oleh Tuhan, disebut oleh Ia sendiri bahwa aku “sungguh amat baik”. Aku mengulanginya dalam hatiku, “aku, sungguh amat baik”. Kalimat itu kemudian membuatku menyadari bahwa aku, bahkan tanpa prestasi-prestasi lahiriahku, sudah sungguh amat baik bagi Penciptaku. Ia, yang menenunku dalam rahim ibu-ku, mengenal hingga kedalaman hatiku, mengasihiku, menyatakan bahwa aku sudah sungguh amat baik. Artinya, meski aku belum melakukan apa-apa, aku berharga. Dan itu, sudah cukup.

Pemahaman bahwa Allah menciptakanku dengan amat baik ini bukan berarti aku berdiam diri dan menolak berkarya, tetapi dari pemahaman inilah aku bisa berkarya bukan untuk mengejar gengsi atau pengakuan dari orang lain, melainkan sebagai ekspresi syukur dan bakti pada Allah yang telah menciptakanku baik adanya.

Yang kedua, dosa membuatku dan semua manusia seharusnya layak menerima hukuman berupa kebinasaan. Namun, ada Pribadi yang memberi diri menggantikan untuk mati karena dosa yang bukan milik-Nya. Ada Pribadi, yang mau berkorban untukku, bahkan ketika aku sedang gagal. Ada Pribadi, yang tetap mengasihiku, ketika aku nyatanya sangat jauh dari berprestasi. Ada Pribadi, yang karena kasih-Nya sungguh besar, tidak hanya lagi menyatakan dengan perkataan, namun dengan nyawa-Nya sendiri yang dikorbankan.

Kira-kira, apakah mungkin Allah mengorbankan diri-Nya untuk sesuatu yang tidak berharga? Aku rasa tidak. Artinya, aku berharga. Dalam kegagalan pun, aku dipandang-Nya berharga. Dan itu, sudah cukup.

Kedua hal itu mengingatkanku, bahwa ketika aku belum berbuat apa-apa, hingga ketika aku berbuat kesalahan yang berujung maut, aku berharga. Dengan atau tanpa prestasi, aku berharga. Dengan atau tanpa pengakuan orang lain, aku berharga.

Perenunganku diakhiri dengan senyum kecil menandai kesadaranku bahwa aku berharga. Namun kemudian, aku berbisik kecil dalam doa kepada Tuhan, berkata

“Ya Tuhan, terimakasih sudah menolongku menyadari bahwa aku berharga, dengan atau tanpa prestasi, dengan atau tanpa pengakuan. Tapi Tuhan, sejujurnya, aku masih berharap suatu hari nanti, ada perkataan yang diucapkan olehnya “aku bangga sama kamu”. Boleh kah, Tuhan?

Tapi kiranya bukan kehendakku yang jadi, melainkan kehendak-Mu.”

Amin.

*bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Gak Adil! Memangnya Aku Penjaga Adikku?

Menjadi anak tengah, merasa diabaikan oleh orang tua, membuatku sempat sakit hati dengan keluargaku. Namun, dari pengalaman ini aku mendapat pemahaman tentang apa itu keadilan.

Salah Kaprah Tentang Kasih

Oleh Minerva Siboro, Tangerang

Aku pernah jatuh cinta dan begitu mengasihi seseorang. Dia seolah-olah menjadi matahari, pusat dan sumber benderang di tata surya. Lalu, aku memosisikan diriku seperti planet bumi. Tak terlalu jauh, juga tak terlalu dekat. Jika posisi bumi tidak presisi dari matahari, maka pasti kehidupan tak akan ada. Bumi bisa terlampau panas atau dingin. Jika posisi bumi terlalu jauh dari matahari, maka takkan ada kehidupan yang mampu bertahan, kupikir seperti planet Uranus. Sejauh pengamatan para ilmuwan dan bukti-bukti sains, di sana hanya ada es dan bebatuan yang dilapisi lagi oleh es.

Namun…ada suatu masa dalam hidupku ketika aku tidak lagi menjadi seperti bumi yang punya jarak presisi, yang dapat melihat dan merasakan matahari. Aku berubah menjadi seperti planet Uranus yang jauh. Semuanya tandus dan dingin. Lalu, kupaksakan diriku untuk menjadi planet Merkurius. Tapi, jaraknya terlalu dekat. Tak ada apa pun yang bisa hidup karena tiada air dan udara yang terlampau panas.

Kisah di atas adalah analogi keadaanku saat aku tidak menjadikan Tuhan sebagai sumber utama kehidupanku. Relasi yang dimulai dengan hangat dan karib dilanda dengan kekecewaan yang mendalam. Lalu muncullah trust-issue—seolah-olah kekecewaan itu akan terus menghantuiku selamanya, sehingga rasanya aku tak perlu lagi untuk mengasihi orang lain. Aku lantas mengagungkan diriku sendiri dengan menyatakan kalau di dunia ini tidak ada ketulusan selain ketulusan milik diriku sendiriku. Kemudian aku pun menutup diri untuk orang lain, dan membiarkan hatiku yang hancur tidak diobati.

Momen-momen kelam itu mengingatkanku akan perkataan dari St. Agustinus. Kala itu, Agustinus menggambarkan kesedihan karena kematian temannya, Nebridius (buku Confessions IV, halaman 10). Katanya, ‘inilah akibat memberikan hati kita kepada sesuatu atau seseorang selain Allah. Semua manusia akan mati. Jangan biarkan kebahagiaan Anda bergantung pada sesuatu yang dapat hilang dari Anda. Jika cinta itu suatu berkat—bukan penderitaan—ia harus ditujukan kepada satu-satunya Kekasih yang tidak akan pernah mati’ (dikutip dalam buku C.S Lewis, The Four Loves).

Mungkin dari situlah muncul kutipan terkenal, Don’t let your happiness depends on something you may lose. Tapi, jika kita ‘tidak perlu mengasihi’ orang lain dan hanya mengasihi Dia saja, apakah kita tidak akan merasakan sakit hati lagi? Tidak. Bukan itu yang Kristus harapkan pada kita. Mengasihi Allah bukan berarti abai dalam mengasihi sesama. Ketika kita mengasihi, itu berarti kita siap menanggung akibatnya. Kasihilah sesuatu atau seseorang, ada kemungkinan kita akan terluka atau sakit hati. Sengaja atau tidak sengaja, bisa saja seseorang melukai kita. Namun, CS. Lewis mengatakan dalam bukunya, ‘satu-satunya tempat di luar Sorga di mana kita dapat benar-benar merasa aman dari semua bahaya dan gangguan ‘kasih’ adalah neraka.’

Tuhan Yesus sendiri berkata dalam Matius 5:43-33, “Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu”. Kita akan lebih mendekat dan menempel pada Allah (Abide in Him) bukan dengan berusaha menghindari setiap penderitaan yang akan terjadi akibat dari mengasihi, melainkan dengan cara menerima semua penderitaan akibat kasih, lalu menyerahkan penderitaan itu kepada Dia dan melepaskan semua kecintaan diri yang berlebih. Sebab, “Jika hati kita harus hancur, dan jika Dia telah menentukannya harus demikian, jadilah demikian” (C.s Lewis, The Four Loves).

Tuhan memang tidak pernah mengatakan dalam Alkitab secara spesifik kepada kita bagaimana cara membagikan kasih kita. Entah itu 50 untuk Tuhan, lalu 50 untuk yang lainnya. Atau mungkin 80 untuk Tuhan, lalu 20 untuk manusia dan yang lainnya. Tetapi, yang Tuhan tekankan adalah agar kita menghindari segala jenis kasih yang dapat membawa kita jauh dari pada-Nya.

Jadi, aku belajar bahwa untuk menjadi kuat ketika mengasihi orang lain, bertopanglah lebih dulu pada Kasih yang tidak akan pernah roboh. “Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama” (Matius 22:37-38). Aku juga belajar untuk tetap mengasihi meski aku akan menanggung dampak dari mengasihi, seperti yang dikatakan Tuhan Yesus “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (Matius 22:39)”.

Selamat mengasihi!


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Minggu Palma: Menantikan Pemulihan Dunia dalam Doa

Kita mengingat Minggu Palma sebagai momen ketika Yesus masuk ke Yerusalem, tapi momen ini punya makna lain, yakni bayang-bayang akan penggenakan kedatangan Yesus yang kedua dan berdirinya kerajaan Allah di bumi seperti di surga.

Teguran: Tidak Semanis Pujian, Tapi Kita Butuhkan

Oleh Olyvia Hulda S, Sidoarjo

Ditegur, kita semua pernah mengalaminya. Ketika ditegur, kita mungkin merasa kaget, malu, sedih, menyesal, atau bahkan marah. Bila tegurannya disampaikan dengan sopan dan pengertian, mungkin kita merasa dikasihi. Namun, bila teguran yang dilayangkan ditambah dengan intonasi tinggi dan kata-kata pedas, bukan tidak mungkin akan muncul rasa tersinggung dan sakit hati yang berkepanjangan.

Terlepas dari bagaimana cara teguran itu disampaikan, kita tentu sepakat bahwa teguran sejatinya punya maksud baik. Seseorang biasanya ditegur jika dia melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai atau norma yang disepakati. Sehingga, tujuan dari teguran adalah agar seseorang kembali bertindak benar, tidak melenceng dari nilai dan norma yang ada.

Namun, meskipun teguran punya tujuan yang baik, banyak dari kita tidak suka bila ditegur. Jika boleh memilih, mungkin kita lebih suka dipuji. Ketika pujian memberikan apresiasi atas diri atau prestasi kita, teguran mengganggu naluri ke-aku-an kita.

Alkitab memberi kita dua contoh yang menarik mengenai teguran. Pertama, kisah tentang Raja Uzia. Dalam 2 Tawarikh 26:16-21, dikisahkan Raja Uzia telah berubah menjadi tinggi hati dan tidak setia. Suatu ketika, dia masuk ke bait Allah untuk membakar ukupan di atas mezbah. Tugas tersebut seharusnya hanya dilakukan oleh imam, sehingga atas perbuatannya, Uzia pun mendapatkan teguran keras dari Imam Azarya. “Hai, Uzia, engkau tidak berhak membakar ukupan kepada TUHAN, hanyalah imam-imam keturunan Harun yang telah dikuduskan yang berhak membakar ukupan! Keluarlah dari tempat kudus ini, karena engkau telah berubah setia! Engkau tidak akan memperoleh kehormatan dari TUHAN Allah karena hal ini” (ayat 18). Apa yang terjadi selanjutnya? Teguran itu tidak diindahkan. Uzia malah menjadi marah dan diluapkannya amarah itu kepada para imam. Allah lantas menimpakan tulah kepada Uzia berupa sakit kusta sampai kepada hari kematiannya.

Kisah kedua mari kita lihat dari Daud. Dalam 2 Samuel 12, dikisahkan Allah mengutus Natan datang kepada Daud sebagai respons atas perbuatan keji Daud mengambil Batsyeba, istri dari Uria. Natan lalu menceritakan sebuah perumpamaan kepada Daud tentang seorang kaya yang mengambil kepunyaan dari seorang miskin. Mendengar perumpamaan itu, Daud menjadi marah dan mengatakan seharusnya orang kaya yang berbuat semena-mena itu dihukum mati. Daud tidak sadar kalau perumpamaan itu bukan sekadar cerita, itu adalah teguran terselubung baginya. Ketika Daud tidak menyadari kalau sosok orang kaya di perumpamaan itu adalah gambaran dirinya, Natan merespons Daud dengan keras, “Engkaulah orang itu!….Mengapa engkau menghina TUHAN dengan melakukan apa yang jahat di mata-Nya?” (ayat 7 dan 9).

Berbeda dengan Uzia yang merespons teguran dengan amarah yang meletup-letup, teguran keras dari Natan seketika menghantam hati Daud hingga melalui mulutnya dia mengakui, “Aku sudah berdosa kepada TUHAN” (ayat 12). Natan menjawab, “TUHAN telah menjauhkan dosamu itu: engkau tidak akan mati. Walaupun demikian karena engkau dengan perbuatan ini telah sangat menista TUHAN, pastilah anak yang lahir bagimu itu akan mati” (ayat 13-14). Daud berbalik dari dosanya dan mendapatkan pengampunan Allah meskipun konsekuensi dari dosa tersebut tetap harus ditanggungnya.

Dari dua kisah tentang dua raja Israel yang memerintah pada masa Perjanjian Lama, kita melihat bahwa teguran yang Allah sampaikan melalui perantaraan imam dan nabi bernada keras. Tetapi, Uzia dan Daud menunjukkan respons hati yang berbeda. Respons hati inilah yang menentukan kelanjutan kisah mereka: Daud memperoleh pengampunan dan berbalik pada Allah, hingga dia pun tercatat sebagai seorang yang berkenan di hati Allah (Kisah Para Rasul 13:22) , sedangkan Uzia mendapatkan tulah hingga pada hari meninggalnya.

Teguran seringkali datang pada kita secara tidak terduga dan pada keadaan yang tidak kita harapkan. Tetapi, hal ini tentulah wajar karena sebagai manusia biasa, kita tidak pernah luput dari perbuatan salah. Yang paling penting ketika sebuah teguran datang kepada kita ialah kita belajar seperti Daud, dengan rendah hati menerima teguran tersebut, mengintrospeksi diri, dan memperbaiki perbuatan kita di masa mendatang. Dibutuhkan kerendahan hati untuk menerima setiap teguran yang ada. Ketika teguran yang disampaikan seolah tidak selaras dengan realita yang sebenarnya, alih-alih segera emosi kita dapat berdiskusi dan mencoba memahami maksud dari si penegur, bukan hanya fokus pada nada atau kata-kata teguran yang disampaikan. Dengan kita memahami maksud utama dari suatu teguran, itu dapat menolong kita mengurangi prasangka negatif terhadap orang yang memberi teguran itu serta menghindari kita dari kemungkinan merasa sakit hati. Dan, satu hal yang terpenting lainnya ialah jika kita merasa teguran yang disampaikan terlalu berat untuk kita cerna, adalah baik untuk bersikap tenang sejenak sebelum kita merespons.

Ada sebuah ayat yang mendorongku untuk tidak berpikir negatif terhadap mereka yang pernah menegurku, yakni Mazmur 141:5, “Biarlah orang benar memalu dan menghukum aku, itulah kasih”.

Aku percaya bahwa teguran-teguran yang disampaikan padaku memiliki maksud yang baik, terlepas dari kemasannya yang baik maupun tidak. Teguran itu mengingatkanku agar aku tidak merasa nyaman dengan pelanggaran dan kesalahan, serta bertobat dan kembali ke jalan yang benar.

Teguran-teguran dari orang-orang di sekeliling kita bisa menjadi sarana dari Allah untuk membuat kita terhindar dari jalan yang jahat. Memang teguran tidak semanis pujian, tetapi pada momen-momen tertentu dalam hidup kita, kita sungguh membutuhkan teguran.

Adakah di antaramu yang masih kepahitan dengan mereka yang menegurmu? Aku berdoa agar Tuhan menyembuhkan lukamu, serta memberikan hikmat dan pemahaman untuk menyadari kesalahan yang diperbuat, dan kembali bertindak benar. Percayalah, mereka yang menegur kita, apapun ‘kemasannya’, mereka adalah orang yang mengasihi dan peduli dengan hidup kita.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Bukan Cuma Tentang Romantis, Inilah Sesungguhnya Kasih Itu

Coklat, sekuntum bunga, atau kata-kata manis, seringkali kita berikan sebagai ungkapan atas rasa cinta. Dan, cinta seringkali diidentikkan dengan perasan atau suasana romantis. Tapi, hari ini, yuk kita telusuri kembali apa sesungguhnya makna cinta atau kasih itu.

Menghadapi Konflik dengan Cara yang Sehat

Kolaborasi WarungSaTeKaMu dan Amy Domingo (@amy_domingo).

Bayangkan hidup tanpa adanya konflik, perbedaan pendapat, dan rasa sakit. Atau bayangkanlah jika salah satunya muncul, kita dapat menghapuskannya dan sepakat untuk tidak sepakat. Betapa bahagia dan menyenangkannya hidup kita!

Sayangnya, karena kita semua adalah makhluk berdosa dan hidup dalam dunia yang kelam, konflik pasti akan kita alami dalam kehidupan sehari-hari.

Meskipun konflik selalu membuat hati tidak nyaman, ia dapat membantu kita tumbuh dan menjadi dewasa seperti Kristus jika kita menghadapinya dengan cara yang sehat dan alkitabiah.

Jadi, bagaimana kita dapat merespon konflik tanpa menjelek-jelekkan, memusuhi, atau bersikap pasif-agresif?

Sesulit kedengarannya, kita seharusnya merespon dengan kasih, yang berarti tidak pemarah dan menyimpan kesalahan orang lain (1 Korintus 13:5). Firman Allah juga mengingatkan kita untuk menjadi ramah, murah hati, sabar terhadap satu sama lain dan saling mengampuni (Kolose 3:13).

Berikut beberapa hal yang dapat kamu lakukan dan hindari ketika konflik terjadi:

Terkadang lebih mudah untuk menghindar daripada menatap muka mereka yang pernah menyakiti kita. Akibatnya, kita menjauh dari kehidupan mereka dan emosi kita mudah tersulut secara pribadi.

Meskipun sebenarnya tak masalah mengambil waktu sejenak untuk memulihkan luka kita, berlarut-larut dalam kemarahan yang tak terselesaikan ataupun memilih untuk tidak mengampuni dapat merugikan kita. Akibatnya, kita mengikis hubungan yang sebenarnya bisa diperbaiki.

Kejadian apa pun yang menimpa kita, Firman Allah mengatakan pengampunan adalah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah.

Mungkin sulit (dan hampir tak adil) untuk mengampuni orang yang melukai kita, namun kita harus mengampuni seperti Kristus telah mengampuni kita terlebih dahulu (Efesus 4:32). Dan jika kita melukai seseorang, carilah mereka untuk meminta pengampunan (Matius 5:23-24).

Luka yang mereka tanamkan pada kita sangat dalam. Kemarahan dan kesedihan dalam diri kita meningkat tiap kali mengingat insiden tersebut. Dan sekarang mereka mencoba berbicara dengan kita? Beraninya! Acuhkan saja mereka, biar tahu rasa!

Stonewalling atau mengacuhkan dan menolak berkomunikasi dengan seseorang dapat memberikan kita ilusi sebagai pemegang kontrol. Namun, hal ini tidak meredakan kemarahan dalam hati kita, maupun membiarkan orang lain menjelaskan atau memberi kesempatan bagi mereka untuk minta maaf.

Jika berbicara dengan mereka dalam suasana panasnya konflik sangat sulit, kita dapat dengan sopan memberitahu mereka bahwa kita sedang tidak mood untuk membahas konflik ini sekarang. Namun pastikan pada mereka bahwa kamu akan meluangkan waktu untuk membicarakan hal ini ketika kamu siap. Bagaimana pun, Firman Allah berkata jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan amarah (Amsal 15:1). Jadi akan lebih bijak bagimu untuk membiarkan amarahmu reda terlebih dahulu sebelum berekonsialisasi.

Masalah lain biasanya datang ketika kita bersikukuh mempertahankan kehendak kita; kita tak bersedia mendengarkan pendapat orang lain.

Memaksakan kehendak kita dalam konflik merupakan hal yang sangat buruk. Kita melalaikan orang lain, seakan akan apa yang mereka katakan tak pantas untuk kita pertimbangkan.

Untuk menghindari perilaku seperti ini, kita dapat merefleksikan mengapa kita begitu kukuh untuk melakukan hal-hal sesuai dengan kehendak kita. Apakah itu ego kita? Roma 12:16 memerintahkan kita untuk sehati dan sepikir dalam hidup bersama dan jangan menganggap diri kita pandai. Kita dapat meminta Tuhan untuk menyingkirkan ego kita dan memberikan kita kerendahan hati yang dibutuhkan untuk menangani masalah dengan rahmat.

Kita mungkin tak sengaja bercanda melewati batas dan menyinggung seorang teman dekat atau teman kerja. Kita berharap mereka dapat menganggap hal tersebut sebagai candaan belaka, namun ternyata mereka mengonfrontasikan hal tersebut sebagai masalah dan kita menjadi defensif. “Itu hanya candaan, tidak perlulah marah karena hal itu,” gerutu kita.

Meskipun dalam hati kita tahu kita salah, kita membuat berbagai alasan untuk menyelamatkan harga diri kita dan malah menuduh mereka terlalu serius.

Memang tidak mengenakkan ditegur jika kita berbuat salah, namun Amsal 28:13 memberanikan kita untuk mengakui dosa kita untuk memperoleh belas kasihan. Misalnya, mencoba melihat dari perspektif mereka, merasakan apa yang mereka rasakan dan meminta maaf.

Kita tak dapat mempercayai apa yang baru saja mereka katakan pada kita. “Betapa tidak sopannya mereka menuduh kita melakukan hal-hal seperti itu!” pikir kita. Maka dari itu, kita mencaci-maki balik mereka, balik menggunakan kata-kata yang pedas, dengki nan jahat, memberikan mereka mencicipi pahitnya pembalasan.

Kedagingan kita mungkin merasa bahagia untuk beberapa waktu, namun kedengkian yang kita keluarkan dapat memicu argumen panas atau menjadi racun bagi relasi kita dengan mereka.

Amsal 18:21 mengatakan hidup dan mati dikuasai lidah, dan meski kadang mencaci maki sangat mudah dilakukan di tengah konflik, kita dapat berdoa meminta Tuhan menuntun lidah kita dan kita untuk berbicara dengan anggun (dan bukan dengki) saat kita marah.

Oh wow. Seseorang baru saja melakukan sesuatu yang sangat tidak adil dan tidak bisa dibenarkan terhadap kita, dan kita terguncang dalam syok, kemarahan dan pengkhianatan. Dan sekarang kita sangat ingin memberitahu yang lain mengenai apa yang terjadi.

Meskipun tidak baik untuk menumpuk perasaan kesal kita, dan mengomel membantu kita menjernihkan pikiran, mari kita lebih berhati-hati dengan perkataan yang keluar dari mulut kita agar kita tidak menyesali perkataan kita di kemudian hari.

Amsal 19:20 memberanikan kita untuk mendengarkan nasihat yang bijak (Amsal 19:20), maka mari bagikan situasi kita (ketika kita sudah tenang dan berefleksi atas situasinya) dengan sekelompok teman dekat yang kita percaya. Hal ini memungkinkan masalah kita untuk tak terdengar oleh orang-orang yang tidak mengetahui kita secara baik dan juga melindungi reputasi orang lain.

Sebuah perdebatan hebat telah mengungkit kesalahan masa lalu satu sama lain, demi menjadi pemenang. “Ingatkah kamu terakhir kali kamu lakukan ini dan itu?” teriakmu.

Melemparkan kesalahan satu sama lain, khususnya untuk melawan mereka, dapat membuat kita merasa superior—untuk sementara. Namun seringkali, kita berakhir menyesali perkataan kita. Saat itu, semuanya sudah terlalu terlambat dan kita tak dapat menariknya kembali.

Mari ingat bahwa kasih tidak menyimpan kesalahan orang lain (1 Korintus 13:5), dan kehancuran hanyalah seujung lidah, karena “lidah adalah api…. Ia mengambil tempat di anggota-anggota tubuh” (Yakobus 3:6). Daripada mencari-cari kesalahan masa lalu, kita dapat mencoba menutup mulut kita dan tidak menjadi hambar, berkata dengan rahmat (Kolose 4:6).

“Hai Anon, tak bisa kupercaya kamu mengatakan…..,” dalam momen kemarahan, kita mengetik dan mengunggah pesan kemarahan dalam sosial media untuk mempermalukan orang yang telah menyakiti kita. Dan sekarang, kita menunggu balasan-balasan penuh simpati datang kepada kita.

Ah, pembalasan dendam yang indah! Kedagingan kita mungkin merasa senang selama beberapa waktu atas mengungkapkan kejahatan seseorang yang telah menyakiti kita, namun siapa yang tahu kalau hal ini akan berakibat pada relasi yang tak dapat diperbaiki!

Seperti yang 1 Korintus 13:5 ingatkan kita, kasih tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan sendiri (1 Korintus 13:5). Jadi, daripada secara terbuka mempermalukan orang yang telah menyakiti kita, mengapa tidak melakukannya dengan menuliskannya di buku harian, atau bahkan menuliskan surat mengenai apa yang kalian pikirkan terhadap mereka (yang dapat kita sobek setelahnya) jika hal ini dapat melepaskan amarah kita?

Perkataan tak berperasaan mereka telah melukai kita, tapi daripada berkata jujur dengan mereka, kita memutuskan untuk bersikap pasif agresif. “Kamu harusnnya tahu bagaimana perasaanku,” ketika ditanya bagaimana perasaan kita.

Kita berpikir mereka seharusnya tahu bagaimana perasaan kita. Bagaimana pun, merekalah yang mengejek kita! Tapi kebanyakan orang tidak dapat membaca pikiran kita. Dan mengirimkan pesan penuh teka-teki atau bermain mind games berpotensi untuk membawa lebih banyak kesalahpahaman bahkan menimbulkan kebencian atas satu sama lain.

Amsal 24:26 mengatakan perkataan yang tepat adalah tanda persahabatan. Maka dari itu, akan lebih baik jika kita memberitahu mereka secara jujur (namun bijaksana) mengenai bagaimana mereka melukai kita, daripada berharap mungkin mereka dapat membaca pikiran kita dan mengetahui apa yang mengganggu kita.

Tentu saja, memang lebih mudah untuk membaca mengenai bagaimana menyelesaikan masalah daripada benar-benar menyelesaikannya.

Namun, untungnya kita tidak perlu bergantung pada kekuatan kita sendiri. Tuhan akan memberikan kita hikmat (Yakobus 1:5) untuk menangani situasi ini, dan jika kita terluka, mintalah pada-Nya untuk memulihkan kita. Kita juga dapat meminta Tuhan untuk mengingatkan kita bahwa konflik bukan selalu situasi “aku melawan mereka”, namun dapat menjadi kesempatan bagi kita untuk menyelesaikan masalah bersama, dan menghasilkan relasi yang lebih kuat.

Jadi, di lain kali kamu menemukan dirimu menghadapi suatu masalah untuk diselesaikan, janganlah bereaksi dengan meledak-ledak, namun pertimbangkan bagaimana merespons situasi ini dengan cara Tuhan!

Berdamai dengan Diri Sendiri

Pernahkah kamu menolak dirimu sendiri?

Mungkin ketika nilai-nilaimu tak memenuhi keinginan orang tuamu? Karena teman-temanmu mengejek dan menertawakanmu? Atau, karena kondisi keluargamu tak sebaik keluarga orang lain? Dunia ini mengajari kita untuk selalu merasa tidak puas. Ibarat secarik kertas putih, kita dinodai oleh pandangan-pandangan buruk yang berkembang di sekeliling kita. Tanpa kita sadari, kita pun menolak diri kita.

Apa sih tandanya kalau kamu sedang menolak dirimu sendiri?

1. Kamu berjuang keras untuk membuktikan dirimu

Ada kutipan yang bilang: what doesn’t kill you, makes you stronger. Komentar-komentar buruk mungkin menjadi motivasi penggerakmu. Kata-kata itu melukaimu, tapi mendorongmu bangkit. Selembar kertas putih menyembunyikan wujudnya, mengenakan sehelai masker untuk menunjukkan senyum getirnya. Penolakan dari orang lain kamu jadikan pecut bagi dirimu sendiri, dan kamu paksa dirimu untuk selalu jadi orang yang lebih baik.

2.Takut melihat ke belakang

Menutup lembaran lama, sama sekali tak ingin menengoknya lagi. Ketika kenangan itu datang, ada narasi yang berbisik di hati: Kok aku bodoh banget sih? Kok aku jelek? Kok aku memalukan? Kamu melabeli dirimu dengan banyak hal negatif.

3. Tak bisa menilai diri dengan objektif

Semakin banyak informasi buruk diterima, semakin sulit kamu menilai dirimu dengan objektif. Kamu menganggap kamulah yang paling bodoh, paling jelek, paling suram di dunia ini

Namun, seiring kamu kelak mengalami proses pemulihan dari Tuhan, Dia membukakan pandanganmu untuk melihat betapa kamu telah menolak dirimu sendiri. Di hadapan tuntutan tinggi yang diterapkan oleh orang tua, sekolah, dan lingkunganmu, kamu mungkin tak mampu mencapainya. Akibatnya, kamu menolak dirimu, membandingkan dengan orang lain, dan merasa buruk. Perasaan-perasaan ini menekanmu sampai Tuhan akhirnya memberimu kelegaan.

4. Ketahuilah nilai dirimu yang sejati di hadapan Tuhan

1 Korintus 6:20 berkata, “Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” Kita adalah ciptaan-Nya yang berharga. Tuhan mengerti dan menguatkan kita. Ingatlah siapa kita di dalam-Nya.

5. Serahkanlah segala kepedihanmu kepada Tuhan

Kuatkanlah hatimu, berdamailah dengan dirimu sendiri, dan serahkanlah segala luka masa lalumu pada Tuhan yang akan menolongmu keluar dari kegelapan.

Luka Karena Patah Hati Adalah Sebuah Perjalanan yang Mendewasakanku

Oleh Senja*, Medan

Setelah lahir baru aku merasa mudah untuk mengampuni orang lain. Selalu kukatakan pada diriku sendiri bahwa pengampunan yang Tuhan berikan memampukanku untuk mengampuni orang lain. Namun, sepertinya itu hanya teori yang memenuhi kepalaku saja, tidak hatiku.

Tahun 2018 bagiku adalah tahun ketika Tuhan menjawab doa dan penantianku akan teman hidup. Aku sangat berharap bisa menikah di tahun itu. Aku mempunyai pacar yang menurutku sangat ideal dan sepadan denganku. Kami aktif melayani di gereja. Kedua keluarga kami pun cukup terbuka atas hubungan kami. Ketika aku berkunjung ke rumahnya, orang tuanya menyambutku dengan hangat. Begitu juga ketika dia berkunjung ke rumahku, orang tuaku menanggapinya dengan senang. Bagi seorang wanita berusia 28 tahun, usia ini sudah tepat untuk menikah.

Namun, dalam perjalanannya, rencanaku tidak berjalan seperti yang kuharapkan. Benar kata firman Tuhan yang berkata bahwa rancangan Tuhan seringkali berbeda dengan rencana kita (Yesaya 58:8). Aku diputuskan oleh pacarku dengan alasan supaya aku dapat mencari yang lebih baik darinya, itu saja alasannya. Bagiku yang mendambakan pernikahan di usiaku yang sudah cukup matang itu, kabar ini mengguncangkan hati dan perasaanku. Keluarga kami sudah saling kenal, kami satu pelayanan, semua orang di gereja atau lingkungan tempat tinggal kami sudah mengetahui hubungan kami. Aku pun begitu bangga padanya.

Tuhan seolah menghancurkan segala mimpi dan harapanku seketika itu juga. Butuh waktu bagiku untuk dapat pulih dan mengampuninya. Aku merasa Tuhan sedang mengujiku, apakah benar pengampunan yang kualami dalam Kristus memampukanku untuk mengampuni dia yang telah menyakitiku?

Jujur bagiku, di awal cukup sulit. Aku memutuskan untuk rehat sejenak dari aktivitas pelayanan di pemuda waktu itu supaya aku tidak bertemu dengannya. Butuh kekuatan bagiku untuk berdiri tegak menghadapi setiap pertanyaan yang datang padaku dari orang-orang di sekitarku.

Aku pernah menangis sepanjang malam mengingat semua kisah itu dan berdoa hanya agar aku bisa tidur malam itu. Aku pernah melalui masa-masa sulit sekali untuk tidur, aku selalu terkenang bagaimana perjalanan yang telah dilalui dan harapan yang sirna.

Namun, syukur kepada Allah yang adalah sumber dari segala sesuatu yang telah mengampuniku ketika aku sangat berdosa. Dia mati bagiku sehingga aku memperoleh pengampunan dari-Nya.

Matius 6:12, “dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami.”

Ayat itu terngiang dalam benakku ketika aku mengikuti retret. Dalam sesi Alone with God (AWG), kami diminta untuk benar-benar berdoa atas siapa yang belum dapat kami ampuni. Seketika itu air mataku menetes dan aku merasa seperti dikuliti, bahwa setelah beberapa waktu pun ternyata aku masih belum pulih. Aku marah pada diriku sendiri, namun pertolongan Tuhan menguatkanku untuk dapat mengampuni.

Dalam salah satu buku yang kubaca, Prayer, Timothy Keller mengutip perkataan Calvin:

“Jika kita mempertahankan rasa benci di dalam hati, jika kita merencanakan balas dendam dan memikirkan waktu yang tepat untuk menyakiti, dan bahkan jika kita tidak berusaha mengingat kebaikan para musuh kita, beserta setiap jasa baik yang dilakukannya, serta menghargai mereka atas itu, maka lewat doa ini kita meminta dengan sangat kepada Allah supaya tidak mengampuni dosa-dosa kita sendiri.”

Sekeras itulah Calvin berbicara, melalui tulisan ini dan menegurku bagaimana aku seharusnya menghargai pengampunan dari Tuhan untuk aku dapat mengampuni sesamaku. Bukankah aku pun tak layak diampuni, namun Tuhan mengampuniku. Apakah aku lebih besar dari Penciptaku? Tentu tidak. Maka jejak Allah yang lebih dahulu mengampuniku mengajarkanku mengampuni sesamaku.

Saat ini relasi kami cukup baik sebagai sahabat di dalam Tuhan dan teman sepelayanan. Aku tidak menghindari pertemuan dengannya dan hubungan kami berjalan sealami mungkin. Saat ini bagiku luka karena patah hati adalah sebuah perjalanan yang mendewasakanku dan mengajarkanku bagaimana semestinya harus mengampuni.

Mari saling mengampunilah di dalam Tuhan, sebab Tuhan lebih dahulu mengampuni kita.

Kolose 3:13, “Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian.”

*Bukan nama sebenarnya.

Baca Juga:

Dalam Penyesalan Sekalipun, Anugerah-Nya Memulihkan Kita

Mungkin pengalaman menyesal yang kualami tidak seberat apa yang raja Daud alami. Namun aku belajar bahwa penyesalan pun ternyata bisa dibawa kepada Tuhan dan hanya dalam anugerah Allah saja kita bisa diselamatkan dan terbebas dari belenggu rasa bersalah.