Posts

Ruang Operasi: Terlihat Menegangkan, Namun Penuh Penyertaan Tuhan

Oleh Febe Valencia

Tahun baru seharusnya dirayakan, makan enak bersama keluarga sepulang ibadah akhir tahun. Seharusnya bersukacita, menuliskan semua hal yang ingin dicapai. Seharusnya aku fokus mendaftar magang. Namun, berakhir di sinilah aku, di ruang inap rumah sakit untuk merawat kakek yang biasa aku panggil Opung Doli. Aku satu-satunya cucu yang tinggal bersama opung di rumah. Sedari kecil aku dirawat dan dibesarkan olehnya dan Opung Boru (nenek). Saat aku sudah dewasa, otomatis akulah yang diandalkan di rumah karena usia mereka yang tak lagi muda.

Sabtu pagi, Opung Doli terpeleset karena lantai licin sehabis hujan. Aku pun bimbang. Sehari sebelum insiden ini, hubunganku dengannya tidak baik. Beliau gelisah, aku dimarahi dan jadi sedikit kecewa. Kuberikan pertolongan pertama lalu berjuang membawanya ke rumah sakit karena opung tidak bisa berjalan, sementara opung boru di rumah saja karena dia memiliki riwayat penyakit jantung.

Di rumah sakit, kupikir pemeriksaan dan hasilnya tidak akan rumit. Tapi, foto rontgen berkata lain. Bonggol paha kirinya retak dan harus dioperasi. Rumah sakit pertama yang kami kunjungi ini tidak bisa melanjutkan tindakan karena keterbatasan alat, ditambah lagi kami pun menggunakan jalur BPJS. Ada dua rumah sakit lain yang direkomendasikan. Saat itu aku takut karena semuanya kuusahakan sendiri. Rumah sakit rekomendasi pertama tidak bisa memberi jadwal operasi yang pasti karena harus menunggu antrean. Aku pun makinlah takut.

Namun, Tuhan begitu setia. Pertolongan-Nya mewujud lewat orang-orang yang tidak kami sangka. Setelah opsi-opsi yang kami coba, opung akhirnya bisa dirawat dengan baik di rumah sakit yang pelayanannya baik pula. Kurasa ini sudah cukup, namun penyertaan Tuhan terus kurasakan tiap hari. Tanpa disangka, jadwal operasi bisa lebih cepat dengan harapan pemulihannya juga bisa lebih cepat dan beliau bisa beraktivitas seperti semula.

Kurasakan Tuhan baik saat aku menemani opung. Mungkin tidak tepat waktunya sakit ketika akhir tahun, tapi justru ini waktu ketika aku liburan semester yang cukup panjang. Sembari menunggu opung, aku juga menjadi pendengar yang baik buat seorang ibu yang sedang menunggu anaknya dioperasi. Ada tumor pada mata dan bibir dalam tubuh sang anak yang baru berusia enam tahun. Ayahnya sudah meninggal. Tangisan anak itu terdengar di ruang bedah sentral. Mendengar itu, ibunya pun meneteskan air mata. Dia sudah menjanjikan anaknya liburan, namun ternyata operasi.

Setelah operasi opung, Tuhan menggunakan momen sakit ini untuk menghancurkan namun membentuk kembali hati kami. Opung dipindahkan ke ICU selama satu malam untuk observasi lebih lanjut. Pasca operasi semuanya normal. Beliau sempat sadar, bisa bicara, terjadi pendarahan. Semua ini wajar. Opung tidak rela ditinggal di ICU sendirian, sehingga malam itu aku pun susah tidur. Jantungku berdebar kencang. Memang sulit rasanya perlahan melepaskan kendali yang selalu kupegang. Tapi, lagi dan lagi, Tuhan baik. Siang harinya opung bisa kembali ke kamar perawatan biasa karena hasil observasinya baik.

Hubunganku dengan opung yang awalnya sempat tegang mulai membaik. Kami saling mengampuni, semua kesalahpahaman diluruskan. Kami juga meminta ampun pada Tuhan, Sang Juruselamat yang sering kami ragukan kesetiaan-Nya karena banyaknya tuntutan yang kami pinta. Aku yakin dan percaya, lewat kejadian ini Tuhan ingin berbicara kepadaku, kepada opung, keluargaku, bahkan buat kamu yang sedang membaca kesaksian ini. Berkat itu bisa sesederhana kita dapat berjalan kaki setiap hari, namun sering lupa kita syukuri, bukan?

Mengurus segala sesuatunya sendiri, aku belajar menjadi pribadi yang mandiri. Aku belajar banyak sabar. Kulihat di kiri-kananku, bagaimana orang-orang sedemikian sabarnya mengurus anaknya, suami atau istrinya, atau orang tuanya.

Menutup tulisan ini ada dua kutipan yang kurasa baik untuk kita renungkan bersama:

“Jika kamu mencoba menyelamatkan hidupmu, kamu akan kehilangannya. Tetapi jika kamu menyerahkan hidupmu karena Aku, kamu akan diselamatkan.” (Lukas 9:24 AMD).

“Dihancurkan supaya jadi utuh, kerajaan Allah berawal di dalam diri Anda. Ketika Anda sampai di akhir ke-aku-an Anda, di mana Anda menyadari bahwa Anda tidak punya apa pun yang bisa Anda berikan.” – Buku The End of Me, Kyle Idleman.

Tuhan Yesus memberkati.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Si Remaja yang Mencari Tuhan: Film “Are You There God? It’s Me, Margaret”

Oleh Cynthia Sentosa, Surabaya

Are you there God? It’s me, Margaret adalah film Amerika yang dirilis pada 28 April 2023 di bawah rumah produksi Lionsgate Films. Sebenarnya ini adalah film dengan genre komedi-drama, tetapi di dalamnya ada pesan rohani yang dapat kita petik.

Film ini mengisahkan tentang Margaret yang berusia 12 tahun. Dia adalah anak yang ceria dan hidupnya menyenangkan sampai suatu ketika dia harus menghadapi situasi yang mengubah alur hidupnya. Dia ikut orang tuanya pindah ke tempat baru, meninggalkan teman-teman lamanya. Namun, teman-teman barunya membuatnya insecure dan kondisi diperparah dengan perbedaan agama dalam keluarganya. Ibu Margaret dan keluarga besarnya adalah penganut Kristen yang taat, sedangkan ayahnya seorang Yahudi.

Suatu ketika, Pak Benedict, guru Margaret, memberikan tugas penelitian selama setahun buat kelasnya. Benedict mendapati kalau Margaret tidak menyukai hari raya keagamaan. Margaret pun menjelaskan bahwa ayah dan ibunya tidak merayakan hari raya tersebut dan menyerahkan kepada Margaret untuk menentukan identitas keagamaannya sendiri seiring bertambahnya usia.

Menariknya, di tengah situasi yang menurutnya tidak nyaman dan di tengah pertanyaannya terhadap pertemanan, keluarga, dan agama, setiap malam dalam kamarnya Margaret berdoa kepada Tuhan. Ia menyampaikan keluh kesahnya. Awalnya ia tekun berdoa, namun setelah ia mendapati kondisi di sekitarnya tidak sesuai yang ia harapkan dan malah semakin tidak baik, ia mulai meragukan kehadiran Tuhan. Ia merasa doa-doa yang selama ini ia sampaikan tidak didengar dan dijawab oleh Tuhan. Namun, meskipun sempat merasa kecewa dengan Tuhan, ending film ini menunjukkan ternyata Margaret tidak meninggalkan Tuhan. Ketika ia mulai menemukan teman yang tulus dan orang tuanya yang tidak menuntutnya harus memilih mengikuti kepercayaan Kristen atau Yahudi, ia kembali datang kepada Tuhan dalam doa dan mengucapkan terima kasih kepada-Nya.

Film ini memiliki premis yang sederhana, namun di sisi lain isu yang diangkat cukup kompleks. Sepanjang film mungkin kita akan tersenyum melihat sikap Margareth yang lugu, namun pergumulan yang dialami oleh Margareth bukan pergumulan yang sederhana bagi anak-anak seusianya yang bergumul mencari identitas keimanannya.

Di dunia nyata, mungkin ada banyak Margaret yang hidup dalam keluarga berbeda iman. Atau, mungkin keluarganya Kristen, tetapi tetap saja tumbuh keraguan. Kita yang telah melewati fase anak-anak mungkin juga pernah meragukan iman kita, terutama ketika kita sedang mengalami pergumulan yang sepertinya tidak pernah selesai. Kita mungkin pernah merasa Tuhan seakan-akan diam dan tidak peduli dengan masalah kita. Kita mungkin juga bertanya-tanya mengapa Tuhan tidak menjawab doa kita padahal kita sudah datang dan mengandalkan Tuhan.

Keraguan dan pertanyaan bukanlah hal asing dalam perjalanan kekristenan. Tidak hanya kita yang merasakan hal seperti itu. Ayub, seorang yang dicatat Alkitab sebagai sosok paling saleh pun pernah mengalami perasaan yang sama seperti kita. Ayub memiliki hubungan yang dekat dengan Tuhan, tetapi dia juga mengalami keadaan yang tidak menyenangkan. Seluruh kekayaannya ludes dalam sekejap, anak-anaknya mati, dan tubuhnya pun didera penyakit mengerikan. Dalam kondisinya itu Ayub pun bertanya-tanya, namun pada akhirnya Ayub tetap percaya kepada Tuhan (Ayub 42:1-6). 

Ayub telah merasakan kasih setia Tuhan karena ia membangun relasi akrab dengan-Nya. “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.” (ayat 5). Ayat ini menyiratkan betapa Ayub memiliki pengalaman personal yang autentik dengan Allah, sehingga sekalipun ia merasa sedih dan kecewa dengan keadaannya tapi ia tidak putus asa dan tetap percaya kepada Tuhan. Ayub sungguh mengenal dan merasakan kasih Allah. Apa yang Ayub teladankan bukanlah tindakan yang usang untuk kita lakukan di zaman ini. Formulanya tetap sama: relasi yang erat dengan Tuhan bukan berarti kita tidak akan mengalami keadaan yang tidak menyenangkan. Karena kasih Allah yang begitu besar, kita mampu tetap percaya bahwa Ia mengasihi dan tidak meninggalkan kita.

Film Are you there God? It’s me, Margaret mengingatkanku kepada masa-masa ketika aku seusia Margaret. Ketika usiaku 12-14 tahun aku juga pernah mempertanyakan identitas diriku. Aku merasa insecure dengan teman-temanku, dan juga mempertanyakan imanku seperti mengapa aku harus percaya kepada Kristus. Aku pernah tidak ingin mendengarkan firman Tuhan lagi karena aku merasa ada hal-hal lain yang lebih menyenangkan. Namun, aku bersyukur Tuhan menjawab pertanyaan-pertanyaanku sekalipun perasaan dan pemikiran itu terus menerus hadir. Tuhan menjawabnya melalui keluargaku, hamba Tuhan, terkadang melalui orang-orang yang sebenarnya tidak terlalu dekat denganku, dan terutama melalui firman Tuhan yang (ketika itu mau tidak mau) aku baca dan dengar setiap Minggu. Ketika aku memutuskan untuk mau hidup taat dan dekat dengan Tuhan, aku mendapati bahwa Tuhan selama ini tidak jauh dariku sekalipun aku tidak segera menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku. Ketika aku dekat dengan Tuhan, aku merasakan sukacita dan damai sejahtera. Meskipun hingga kini aku masih mengalami pergumulan, aku tetap percaya kepada Tuhan yang tidak pernah meninggalkanku.

Teman-teman, marilah kita terus bangun hubungan yang dekat dengan Tuhan dan rasakan kasih Tuhan yang Ia berikan kepada kita semua. Tuhan tidak meninggalkan kita meskipun seringkali kita mengecewakan-Nya, mari kita juga tetap percaya kepada Tuhan sekalipun masalah kehidupan seakan-akan tidak hilang. Percayalah kasih Tuhan jauh lebih besar melampaui setiap masalah dalam hidup kita.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Untuk diriku yang berusia 25 tahun,

Apa pun status hubungan dan keadaan kita saat ini, kepuasan sejati hanya dapat kita temukan di dalam Yesus, Sang Pengasih dan Penghibur kita 😇

Artspace ini diterjemahkan dari @ymi_today.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Merangkak Perlahan-lahan, Berjalan Tertatih-tatih

Oleh Elvira Sihotang, Jakarta

Bagiku, Januari tahun ini adalah Desember kedua, atau November kedua, atau Oktober kedua. Aku tidak merayakan malam tahun baru seperti di tahun sebelumnya. Tahun ini aku hanya mengingat bahwa aku berbaring di tempat tidurku jam 12,mendengar gemuruh dan melihat warna-warni meriah kembang api di tengah langit, menerka-nerka apa yang ada di Januari.

Hingga tulisan ini diketik, aku berjalan hanya berbekal moto ‘berjalan pelan-pelan’ sambil sesekali tersedu mengelola rintangan-rintangan.

Desember lalu, aku terdiagnosa mengalami suatu kondisi medis tertentu. Lalu di Januari ini, di tengah-tengah masa pendidikanku, aku mengalami kesulitan-kesulitan di tugas akhirku. Puncaknya kemarin, aku disarankan untuk memetakan kembali bab awalku hingga proses analisa data. Rasa letih yang tertumpuk-tumpuk untuk memahami materi tugas akhir selama sebulan ini rasanya tidak terbayar, porak-poranda dan aku merasa bodoh.

Sebanyak apapun kutipan tentang menjadi kuat dan bersabar nyatanya tidak berhasil membuat air mataku tertahan. Sesering-seringnya aku mendengar ayat dan khotbah tentang bertahan di masa sulit nyatanya tetap membuatku bertanya apakah aku akan berakhir dengan menyedihkan. Hingga kadang dalam tangisku, aku merasa gagal menjadi seorang anak Tuhan. Dalam tangisku, aku merasa sering lalai mempercayai bahwa Tuhan mendampingiku.

Judul tulisan ini aku dapatkan ketika aku menaiki ojek motor untuk menempuh perjalanan yang aku lupa, entah ke gereja, entah ke tempat bekerjaku. Di perjalanan itu pun, pengemudi motor beberapa kali hampir menabrak motor di depannya. Namun entah apa yang terjadi, reaksiku datar, tidak ketakutan dan mengelus dada seperti biasanya. Kupandang datar motor di depan motor kami dan tersenyum tipis sendiri; rupanya aku masih diberi kesempatan hidup, pikirku saat itu.

Perjalanan itu memutar ulang semua kejadian perjalanan yang pernah aku tempuh, termasuk dalam seminggu terakhir ini. Mungkin sudah berulang kali aku menemukan diriku berada di belakang supir yang hampir menabrak kendaraan di depannya, menyenggol pengemudi sampingnya, atau mungkin hampir terhalang truk saat membelok ke tikungan. Dalam beberapa kesempatan aku berpikir bahwa saat itu terjadi, aku merasa memilki kemungkinan besar untuk tertabrak atau tersenggol, tapi ternyata sampai tulisan ini aku ketik, aku terselamatkan oleh hal-hal itu semua; satu hal yang sungguh aku syukuri di tengah semua kejadian di bulan Januari ini. Dalam kesempatan kesekian kalinya di atas  motor dengan segala kebrutalannya, aku merasa bahwa kesempatan untuk hidup inilah yang harusnya membuat aku terdorong untuk berjalan, tidak peduli seberapa pelan langkah kaki ini bergantian maju.

Kujalani hari-hari dengan rutinitas seperti biasa, tapi itulah yang mungkin Tuhan inginkan, berjalan sebisanya sambil berharap kepada Tuhan. Kupandang bangunan tempat pendidikanku dengan lekat walau datar. Mungkin inilah yang Tuhan inginkan. Bersyukur untuk kesempatan yang ada di tengah kesulitan lain yang ada. 

Setiap hari, di akhir-akhir hari ini, aku selalu merasa ada yang mengancam nyawa dan jiwaku. Mulai dari perjalanan dengan ojek online yang selalu brutal sampai pada tangisan berulang-ulang saat merawat diriku dan mengerjakan tugas. Kadang aku berpikir, saat aku di tengah motor itu, Tuhan akan mengambil nyawaku. Ia pasti sudah lelah melihatku hanya menangis dan bertanya sendu tentang rencana-Nya. Tapi nyatanya kejadian brutal berulang kali itu tak membuatku mati, menghembuskan nafas terakhir, atau hilang mendadak. Aku masih dengan sadar membuka mata di pagi hari, melihat jam di HP, menyibak korden dari jendela, dan bersiap-siap untuk mandi. Pernah aku tanyakan kenapa Tuhan tak selesai denganku, tapi rasanya tak kutemukan suara dalam tiap pertanyaan itu.

Sampailah aku di momen bahwa mungkin Tuhan tak akan menjawab pertanyaanku. Ketika aku membuka mata di pagi hari aku tersadarkan bahwa Tuhan masih memberiku nafas dan lambat laun menyadari bahwa izin-Nya atas hidupku tidak mungkin salah. Bahwa Tuhan mengetahui pasti kapan aku akan pergi dan sampai kapan aku masih dapat beraktivitas di dunia ini. Sampailah aku tersadar bahwa nafasku di pagi hari adalah jawaban Tuhan untuk diriku yang selalu bertanya apakah aku masih kuat menjalani ini semua.

Kutangisi kesadaran itu dengan memahami bahwa langkah kakiku mungkin akan berat atau bahkan enggan bergerak di momen-momen tertentu, namun dalam segala rintangan itu, kutemui jawaban bahwa bukan kakiku yang menjadi andalanku, atau motivasi yang kubuat, atau otakku untuk semua rencana yang kubuat. Kutemui jawaban bahwa harapan pada Tuhanlah yang memampukan kakiku berjalan atau otakku bekerja mencari cara. Bahwa Tuhan akan memberikan kesanggupan yang cukup saat aku berjalan atau hikmat yang cukup saat aku berpikir. Dalam kelemahanku, aku belajar mendongak sungguh-sungguh pada Tuhan. Jika hari ini aku diberikan kesempatan hidup, maka Tuhan mengizinkan itu terjadi dan padaku ada tanggung jawab untuk menjalaninya sepenuh hati, dengan harapan yang kuat akan pertolongan Tuhan.

Pada teman-teman yang mungkin mengalami hal yang sama, aku berdoa semoga kita semua terus mau berjalan walaupun tertatih-tatih, bahkan merangkak, jika perlu, dengan perlahan-lahan. Karena jika kita melihat rintangan yang tak mudah dan kita belum menyelesaikan rintangan, namun olehnya kita masih diberi kesempatan hidup, apakah yang perlu kita pikirkan selain rasa syukur bahwa Tuhan melihat kita masih mampu untuk menghadapinya?

Semoga di ujung segala rintangan, kita temukan cahaya dan kasih Tuhan memeluk kita lembut, menepuk pundak kita untuk menyelamati kita, bahwa kita tidak menyerah untuk segala pergumulan yang pernah kita temui.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Saat Mengabdi, Ingatlah Selalu Kebaikan Tuhan

Oleh Cynthia Sentosa, Surabaya

Akhir dan awal tahun identik dengan dua hal: kaleidoskop dan resolusi. Jika resolusi bicara soal komitmen masa depan, kaleidoskop bicara masa lalu. Aku sendiri termasuk orang yang suka membuat keduanya, bagaimana denganmu?

Tahun ini aku merencanakan beberapa komitmen seperti target skripsi, liburan, menulis, dan rencana lainnya. Tetapi, aku kemudian menyadari bahwa di antara komitmen-komitmen yang aku buat ternyata aku melewatkan sebuah komitmen penting, yaitu menjadi abdi Allah. Komitmen ini muncul pertama kali di tahun 2019. Kala itu aku ingin menjadi abdi Allah yang taat dan setia. Namun, semakin bertambah tahun ternyata mempertahankan komitmen ini tidak semudah mengucapkannya. Berulang kali aku lupa bahwa menjadi abdi Allah berarti seluruh hidupku adalah untuk Allah, bukan untuk kenikmatan dunia.

Kamu mungkin bingung, dari sekian banyaknya komitmen yang bisa dijabarkan dengan sederhana, mengapa aku memilih komit untuk menjadi abdi Allah? Aku mengajakmu untuk melihat kembali pada Ibrani 11. Dalam satu pasal itu, Paulus menceritakan tokoh-tokoh di masa Perjanjian Lama yang melaluinya kita dituntun untuk melihat penyertaan Tuhan kepada para abdi-Nya. Meskipun para tokoh itu mengalami banyak pencobaan, mereka tidak menyerah. Inilah yang hendak disampaikan oleh penulis kitab Ibrani agar para pembacanya tetap berkomitmen menjadi abdi Allah. Tidak hanya penulis kitab Ibrani, beberapa pemazmur termasuk Daud juga menyampaikan yang sama. Ketika mereka mengingat kasih setia Allah yang tetap di tengah ketidaksetiaan Israel, hati mereka pun penuh ucapan syukur.

Abdi bisa dipahami juga sebagai hamba. Dalam Perjanjian Lama, kata Ibraninya adalah eyed’, merujuk pada budak, hamba, atau pelayan. Artinya, seseorang bekerja untuk keperluan orang lain, untuk melaksanakan kehendak orang lain. Pada masa kuno, menjadi hamba berarti hidup mati dimiliki oleh tuannya. Tugas hamba hanyalah satu: melaksanakan apa mau tuannya. Ketika Kristus datang ke dunia, Dia datang bukan untuk dilayani, melainkan melayani kita agar kita semua beroleh penebusan (Markus 10:45). Panggilan untuk menjadi hamba telah diteladankan oleh Allah sendiri dan ini bukanlah panggilan atau status yang hanya diberikan kepada orang-orang tertentu. Kita semua dipanggil-Nya untuk menjadi hamba yang bekerja bagi kerajaan-Nya (2 Timotius 4:1-5). Salah satu peristiwa dalam Alkitab yang menunjukkan bagaimana respons seorang hamba adalah ketika Maria didatangi Roh Kudus. Maria lalu menjawab, “Aku ini hamba Tuhan. Jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Lukas 1:38).

Menjadi abdi atau hamba Tuhan, berarti menyerahkan diri sepenuhnya untuk tunduk pada kehendak Allah. Bukan agar kita hidup sengsara, tetapi agar kita hidup dalam jalan dan ketetapan-Nya (Matius 11:29-30).  Kuakui tidak selalu mudah untuk melakukan ini. Salah satu yang kulakukan untuk setia mengabdi adalah dengan membuat kaleidoskop. Kuingat dan kusadari kembali kehadiran Tuhan dalam perjalanan hidupku. Tak hanya di tahun ini, tapi juga di tahun-tahun sebelumnya. Semua ingatan akan kebaikan-Nya itulah yang menolongku semakin semangat untuk hidup dalam komitmen karena aku telah melihat bagaimana kasih Tuhan terus menyertaiku menghadapi tantangan sehingga aku bisa ada sampai hari ini semua karena anugerah Tuhan.

Teman-teman, kita yang telah percaya kepada Kristus telah dipilih-Nya menjadi abdi Allah yang melayani Dia dan sesama kita, juga hidup bagi Dia. Abdi Allah adalah panggilan istimewa yang diberikan bagi kita, jangan sampai kita sia-siakan kepercayaan yang Tuhan sudah berikan kepada kita. Akan ada momen ketika kita tergoda untuk melupakan status kita sebagai abdi Allah, tetapi ketika momen itu terjadi mari kita kembali mengingat masa ketika kita pertama kali berkomitmen—apa yang memotivasi kita menjadi abdi Allah? Karena kita telah merasakan kasih Allah bukan?

Ada cara sederhana untuk memelihara komitmen. Cobalah buka galeri hp kita untuk membuat kaleidoskop. Kita juga bisa membuka notes kita untuk mengecek kembali komitmen-komitmen yang sudah kita buat. Aku rindu setelah kita sama-sama membuat kaleidoskop dan resolusi, kita akan menemukan sebuah kesimpulan bahwa kasih setia Tuhan selalu ada bersama kita dan kiranya setiap kita dapat mengatakan: Aku ini abdi Allah? Ya, aku abdi Allah dan aku tidak menyesal dengan keputusanku! Aku akan berkomitmen untuk menjadi abdi Allah seumur hidupku. Kiranya Tuhan menolongku.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Kami Mengarahkan Hati Kami Kepada Tuhan

Oleh Aris Budhiyanto

Itulah jawaban umat dalam liturgi pengutusan saat pendeta berkata, “Arahkanlah hatimu kepada Tuhan.”

Meskipun sudah bertahun-tahun aku mendengar dan mengucapkan kalimat tersebut, aku tidak sepenuhnya memahami makna dari mengarahkan hati kepada Tuhan. Namun, aku bersyukur Tuhan memberiku kesempatan untuk belajar mengarahkan hatiku kepada-Nya, khususnya selama setahun terakhir.

Tahun 2023 merupakan tahun yang kujalani dengan penuh pergumulan terkait dengan pasangan hidup dan kuliahku. Aku berharap mendapatkan pasangan yang takut akan Tuhan dan aku juga bisa menyelesaikan kuliahku. Namun, kenyataan berkata lain. Semuanya itu tidak terjadi hingga tahun 2023 berakhir. Teman yang kudoakan untuk menjadi pasangan hidup memutuskan untuk tetap menjadi teman; dan publikasi artikel, yang menjadi tiket kelulusan studiku, sampai saat ini belum nampak titik terangnya.

Dalam menjalani hari-hari itu, aku bertanya kepada Tuhan: apa yang salah dengan doa dan harapanku? Teman yang kudoakan bukanlah orang yang tidak baik, melainkan anak Tuhan yang sungguh-sungguh mau mencari Tuhan. Terkait studiku, aku setiap hari bekerja keras untuk bisa menyelesaikannya. Bukankah ketika studiku berjalan lancar dan aku lulus dengan hasil yang memuaskan, hal itu juga menjadi kemuliaan bagi Tuhan? Menghadapi kenyataan yang tidak sesuai dengan ekspektasiku membuatku kehilangan sukacita dan damai sejahtera, bahkan hingga kesulitan tidur. Terkadang rasa iri hati dan kecewa timbul di hatiku saat melihat teman-temanku berhasil menyelesaikan studi mereka, atau saat melihat teman-teman yang lain membagikan postingan mereka dengan keluarga kecil mereka.

Dalam menghadapi saat-saat itu, doa adalah satu-satunya senjata melawan perasaan itu sekaligus tempat perlindunganku. Aku belajar untuk berdoa dengan benar dengan membaca buku-buku dan mendengarkan podcast, bahkan aku bergabung dalam persekutuan doa di gereja. Mendoakan orang lain membuatku tidak lagi memfokuskan diri pada masalahku, melainkan aku belajar untuk memuliakan Tuhan, mengakui dosa-dosaku dan melihat bagaimana cara Tuhan bekerja menjawab doa-doa yang kami panjatkan. Aku mulai memeriksa hatiku kembali. Apakah benar semua yang kudoakan itu untuk kemuliaan Tuhan, atau aku justru berusaha menjamin kenyamanan hidupku dan memvalidasi kebahagiaanku dengan keluarga dan studi atau karir yang sukses? Melalui khotbah di gereja dan artikel yang aku baca, aku menyadari bahwa menginginkan hal baik bisa membawa ke dalam dosa saat hal itu menjadi berhala dan aku lebih menginginkannya daripada mencari kehendak Tuhan. Jujur kuakui, itulah yang terjadi pada diriku sehingga aku merasa gelisah dan khawatir ketika tidak mendapatkan hal yang aku inginkan.

Seorang teman berkata bahwa Yesus adalah jawaban dari segala doa dan pergumulan kita. Ketika kita memandang Yesus dan percaya pada-Nya maka Dia akan memberikan damai sejahtera kepada kita. Aku setuju dengan pendapatnya. Tuhan ingin agar kita memiliki relasi dengan-Nya. Bukankah sungguh luar biasa ketika Tuhan yang begitu mulia mengizinkan kita, yang bukan siapa-siapa, meminta kepada-Nya dalam Matius 7:7-8.  Namun perlu diingat juga bahwa Dia akan memberikan kepada kita apa yang baik seturut kehendak-Nya, bukan keinginan kita. Hal itu telah dibuktikan dengan pengorbanan Yesus di kayu salib untuk menyelamatkan kita dari dosa. Tanpa kita minta, Tuhan telah menganugerahkan keselamatan yang sebenarnya tidak layak kita dapatkan.

Bagiku mengarahkan hati kepada Tuhan adalah memandang pengorbanan Yesus di kayu salib. Kematian-Nya memberikanku keselamatan dan hidup yang kekal bersama Tuhan, bukan hanya nanti di surga tetapi juga saat ini, di dunia (Yoh 17:3), sehingga aku tidak perlu lagi mencari keselamatan, kenyamanan atau validasi dari sumber yang lain. Memang hal itu tidak berarti masalahku akan selesai dengan sendirinya, tetapi aku tidak perlu takut, cemas dan khawatir karena aku berjalan bersama Tuhan, dan hanya Dia yang dapat memberikan sukacita, kedamaian dan kebahagiaan yang sejati.

Aku ingin membagikan lirik lagu Turn Your Eyes Upon Jesus yang juga sangat memberkatiku:

Turn your eyes upon Jesus,

Look full in His wonderful face,

And the things of earth will grow strangely dim,

In the light of His glory and grace.

Ketika kita memandang pada Yesus dan melihat wajah-Nya yang mulia, segala hal duniawi akan meredup, tersamarkan oleh sinar-Nya yang teramat mulia.

Tuhan Yesus memberkati.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Selalu Indah Pada Waktu-Nya

Oleh Claudia Tanubrata, Bandung

Menjelang akhir tahun 2023, aku kembali memasuki ruang rawat inap untuk operasi lateral meniscus tear, lateral collateral ligament injury, chondromallacia, knee joint synovial fliud, dan minor osteoporosis. Mungkin istilah-istilah medis ini terasa asing buatmu, tapi inilah kenyataan yang harus kuhadapi di awal usia 30-an karena kecelakaan dan faktor-faktor lainnya yang juga berkaitan dengan kecelakaan itu.

Aku masuk gedung khusus rawat inap yang diperuntukkan bagi pasien-pasien pra dan pasca bedah. Di gedung itu pula terdapat ruang HND (High Nursing Dependency), yaitu ruangan peralihan dari ICU sebelum memasuki kamar biasa), stroke unit, ruang isolasi, dan ruang lain sejenis.

Dari masuk sampai menjelang operasi, aku menjumpai beragam pasien dari berbagai latar belakang, usia (dari bayi hingga lanjut usia), suku, agama, ras, pendidikan, dan penyakitnya. Sambil mempersiapkan banyak syarat medis yang harus dipenuhi dari dokter penyakit dalam yang mengontrolku selama sekian tahun belakangan, aku melihat satu hal menarik yaitu tentang waktu yang sangat berarti bagi pasien dan para medis, bahkan satu detik pun! Sedikit bisa jadi momen penentu bagi pasien yang mendadak kritis dan harus segera ditangani atau pasien pasca bedah. Terlambat sedikit saja bisa mengakibatkan nyawa melayang.

Keesokan harinya, aku memasuki ruang operasi ortopedi seperti yang telah dijadwalkan. Operasi berlangsung selama empat jam lamanya sebelum akhirnya aku dibawa ke ruang pemulihan lalu dibawa ke ruang HND karena aku mengalami masa kritis. Tekanan darah dan saturasiku menurun drastis.

Di ruang HND itulah aku berada pada suatu kondisi untuk merenung seutuhnya. Ruangan itu berisi lima pasien dengan lima perawat yang mengontrolnya secara intensif. Dalam waktu sebentar saja, empat pasien yang bersama denganku mendadak kritis dan meninggal dalam waktu yang berdekatan. Pasien pertama meninggal karena penyakit jantung. Meskipun pasca operasi keadaannya sudah stabil, namun Sang Khalik berkata lain. Bapak tersebut meninggalkan seorang istri dan dua anaknya yang masih SD. Pasien kedua berusia 19 tahun dengan diagnosa utama lupus SLE, TB paru, dan jantung. Saat dia meninggal, sang ayah menangis cukup kencang sambil berkata, “Dokter! Tolonglah anak saya agar hidup lagi… Saya akan membayar berapapun supaya anak saya kembali hidup!” Namun, kenyataan berkata lain. Pasien ketiga seorang pria yang sudah berumur. Bapak tersebut terkena stroke dan baru turun kamar dari ICU, namun keadaan seketika berubah. Serangan stroke kedua terjadi berselang beberapa hari. Pasien keempat yang meninggal adalah seorang anak usia tiga tahun yang terdiagnosa TB paru dan pneumothorax. Anak tersebut kritis karena kekurangan oksigen dan tidak dapat tertolong.

All Things in His Hand

Larut malam, aku teringat satu ayat begitu kuat dalam pikiranku. Ayat itu berkata:

Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir. (Pengkhotbah 3:11 TB).

Aku sendiri sebagai pasien yang satu ruangan tidak dapat memahami secara persis apa yang Tuhan lakukan apalagi bagi pasien yang berpulang maupun keluarga yang ditinggalkan. Dari sudut pandang manusia, waktu Tuhan sering kali tidak tampak sempurna, dan sulit untuk memahami bagaimana peristiwa-peristiwa buruk terjadi bisa dibuat “indah”.

Raja Salomo dalam kitab Pengkhotbah berkata, “Dia [Tuhan] menjadikan segala sesuatu indah pada waktunya.” (Pengkhotbah 3:11). Apa artinya ini, khususnya sehubungan dengan waktu Tuhan yang tepat?

1. “Dia telah membuat segalanya…”

Yohanes 1:3 mengatakan, “Melalui dia segala sesuatu dijadikan; tanpa dia tidak ada sesuatu pun yang telah jadi.” Allah telah menciptakan segala sesuatu dan ada di dalam segala sesuatu (Kolose 3:11). Dia berada di balik apa yang terjadi dan apa yang akan terjadi.

2. “…indah pada waktunya.”

Terjemahan yang lebih akurat dari kata yang diterjemahkan di sini sebagai “indah” adalah “pantas.” Segala sesuatu yang terjadi, terjadi pada saat yang seharusnya terjadi sesuai rencana Tuhan. Hal ini tidak serta merta membantu untuk memahami alasannya, namun hal ini memungkinkan kita untuk memercayai Dia dan menemukan tujuan utama kita dalam hal tersebut.

3. “Dia juga telah memberikan keabadian dalam hati manusia.”

Manusia, yang diciptakan menurut gambar Allah, dibangun dengan perasaan batin akan kekekalan. Kita tahu bahwa tidak ada sesuatu pun yang final, bahwa segala sesuatu yang terjadi penting dalam arti kosmis. Hewan tidak berpikir seperti ini.

4. “Namun tak seorang pun dapat memahami apa yang telah Tuhan lakukan dari awal hingga akhir.”

Mengetahui bahwa Tuhan memegang kendali, bahwa segala sesuatu terjadi pada waktunya, dan bahwa kita diciptakan untuk kekekalan, tindakan kita memiliki makna kekal, tidak mengubah fakta bahwa kita tidak selalu memahami apa yang sebenarnya Tuhan lakukan dan mengapa. Kadang-kadang Dia menyatakan diri-Nya, namun seringkali Dia puas meninggalkan kita dengan fakta ini: Dia melakukan segala sesuatu demi kemuliaan-Nya dan demi kebaikan kita (Yesaya 48:9; Roma 8:28).

“Waktu Tuhan yang tepat” adalah salah satu aspek kedaulatan ilahi. Dalam waktu Tuhan yang tepat, Dia bertindak pada saat yang optimal untuk mencapai apa yang ingin Dia capai dalam kerajaan-Nya. Dalam kemahatahuan-Nya, Tuhan melihat segala sesuatu yang terjadi di dunia pada saat tertentu—yang mencakup triliunan detail yang hanya dapat dipahami sepenuhnya oleh Roh Tuhan.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Doa [yang bisa kamu ucapin] waktu kamu lagi cuci piring

Mengubah dunia sering kita identikkan dengan melakukan hal-hal besar, dramatis, dan spektakuler. Semisal, membangun satu yayasan untuk mengentaskan kemiskinan dan kelaparan. Atau, dalam hal yang tampak lebih rohani, kita berpikir tentang lebih mendekat pada Tuhan lewat ritual-ritual tradisional seperti berpuasa, baca Alkitab, atau menenangkan diri.

Kita sangat mudah terfokus pada hal-hal yang kita anggap bisa memberi dampak terbesar pada dunia.

Namun, meskipun ini penting, hidup kita biasanya tidak selalu terdiri dari momen-momen yang spektakuler, atau bahkan yang terasa sangat rohani.

Kita lebih sering melakukan tindakan-tindakan kecil yang mungkin tidak kita hargai dan kita anggap biasa saja. Mencuci piring buat teman sekosanmu, lagi. Menyiapkan sarapan buat adikmu, atau anggota keluarga lainnya, lagi. Buang sampah, lagi.

Kita mungkin berberat hati menyelesaikan tugas-tugas ini, merasa tidak dihargai, dan berharap ada cara yang lebih asyik untuk menghabiskan waktu.

Namun, Juruselamat kita, yang mengambil rupa seorang hamba, menunjukkan kita bahwa pekerjaan yang sesungguhnya ada dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana kita menunjukkan kasih dan kerendahan hati melalui pelayanan yang tampak biasa dapat dipakai-Nya mengubah dunia. Bagaimana kita merespons ketika kita merasa terlalu banyak bekerja dan diremehkan adalah bagian dari pelayanan bagi-Nya.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Menjadi Bijaksana di Usia Muda

Oleh Hendra Winarjo, Surabaya

Kawula muda, pernahkah kamu diremehkan oleh orang lain—khususnya mereka yang lebih senior dari kamu—karena kamu masih muda? Kalau kamu pernah mengalaminya berarti kita sama, karena aku juga pernah mengalami bagaimana rasanya diremehkan saat aku memberikan nasihat kepada orang lain yang lebih senior dariku terkait keputusannya yang bertentangan dengan kehendak Tuhan.

Pengalamanku itu terjadi sekitar empat tahun yang lalu, saat itu aku menegur seorang senior karena keputusan dan tindakannya berselingkuh dengan orang lain yang bukan pasangannya, padahal dia sudah menikah. Empat tahun lalu aku belum menikah dan masih studi dan antara usiaku dengan senior itu terpaut cukup jauh. Nasihatku itu pun tidak diindahkannya. Bahkan, dia menyerangku dengan kata-kata yang tidak mengenakkan, “kamu masih kecil, belum menikah, gak mungkin ngerti.”

Pengalaman ini sungguh menggelisahkanku. Seolah-olah masa muda berarti kebodohan, atau bahkan kebebalan. Di sisi lain, pengetahuan dan kebijaksanaan seolah-olah hanya milik orang tua. Namun, aku tidak menampik fakta bahwa ada anak muda yang mengisi waktu mudanya yang penuh energik dan gairah dengan hal-hal yang sia-sia, seperti kecanduan bermain game, shopping, dan kecanduan yang lain. Walau begitu, bukankah hal serupa dapat juga dilakukan oleh mereka yang dianggap senior atau tua? Lagipula, Alkitab jelas mengajarkan bahwa siapa pun punya peluang yang sama untuk melakukan dosa, bahkan dikatakan “Semua orang telah berbuat berdosa.” (Roma 3:23).

Kalau begitu, mungkinkah seorang muda memiliki kebijaksanaan? Atau, seperti pertanyaan retoris pemazmur di Mazmur 119:9, “Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai firman-Mu.” Ya, benar bahwa Allah dan firman-Nya adalah sumber kebijaksanaan atau hikmat manusia. Kita memperoleh kebijaksanaan bukan melalui pengalaman kita seperti yang banyak diajarkan oleh banyak orang, karena ada orang yang sudah mengalami atau punya banyak pengalaman pun tetap bisa jatuh lagi di kesalahan yang sama, karena dia tidak merenungkan pengalamannya itu di bawah terang firman Tuhan. Padahal, di Amsal 2:6 mengajarkan, “Karena Tuhanlah yang memberikan hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian.” Lalu, di Mazmur 19:7 dituliskan, “Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa; peraturan TUHAN itu teguh, memberikan hikmat kepada orang yang tak berpengalaman.” Jadi, tanpa berelasi secara pribadi dengan Tuhan dan juga mengenal-Nya lewat Alkitab, kebijaksanaan hanyalah utopia bagi siapa pun, bahkan orang yang sudah tua sekalipun.

Amsal 1:7 juga mengajarkan kepada kita bahwa “Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.” Jadi, pengetahuan atau kebijaksanaan kita peroleh saat kita takut akan Tuhan, bukan karena kita merenungkan pengalaman kita sendiri. Takut akan Tuhan di sini bukan takut dalam pengertian negatif menjauhi karena menyeramkan, melainkan respek akan Tuhan. Takut akan Tuhan adalah sebuah cara hidup anak-anak Tuhan di mana kita tahu bahwa kehendak dan perintah Tuhanlah yang harus kita utamakan dan lakukan, bukan keinginan kita. Kita tahu bahwa mengingini milik orang lain adalah salah (Keluaran 20:17), sekalipun hati kita sungguh mendambakannya.

Takut akan Tuhan berarti kita berani untuk tampil berbeda atau bahkan beroposisi dengan dosa dan kejahatan di dunia ini. Kita berani untuk mengatakan “ya” pada kebenaran, dan “tidak” pada dosa, meski kita dijauhi atau bahkan dimusuhi oleh orang-orang terdekat kita yang menghidupi dosa tersebut. Namun, bagi sesama orang percaya, kebijaksanaan yang kita hidupi dalam hidup sehari-hari tentu akan menjadi teladan bagi mereka. Itulah yang dipesankan oleh rasul Paulus kepada anak imannya yang bernama Timotius, “Jangan seorang pun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.” (1 Timotius 4:12).

Kemudaan bukanlah masalah bagi kebijaksanaan, tapi dosa dan kesewenang-wenangan (atau bahasa Surabaya sak karepe dewe”) akan Tuhan itulah yang menjadikan manusia bodoh dan bebal. Oleh karena itu, aku mengajak kawula muda yang juga mengembara bersama di dunia ini untuk mengejar hikmat dari Tuhan dan melakukannya dalam hidup kita sehari-hari. Di satu sisi, kita bukan bagian dari dunia (not of the world), tapi di sisi lain kita berada di dunia (in the world). Aku berharap kebijaksanaan yang kita tunjukkan lewat perbuatan kasih dan keadilan terhadap sesama bukan hanya menjadi teladan bagi sesama orang percaya, tetapi juga menjadi terang bagi dunia ini, walau tak jarang dunia juga menolak kebijaksanaan yang kita tunjukkan dalam aksi nyata.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥