Posts

Cara Mengatasi Jenuh Bersaat Teduh

Sesuatu yang dilakukan berulang-ulang seringkali membuat kita merasa bosan. Mungkin begitu juga dengan saat teduh yang kita lakukan. Di awal tahun kita begitu bersemangat, tetapi seiring waktu berlalu, lama kelamaan kita pun menjadi jenuh.

Tapi, kejenuhan itu bukanlah sesuatu tanpa solusi. Ada cara untuk mengentaskan kejenuhan, untuk membangun saat teduh yang erat dan hangat bersama Tuhan. Yuk kita cari tahu caranya dengan menyimak video rekaman Instagram Live WarungSaTeKaMu bersama Kak Alex Nanlohy.

Lihat video series lainnya:
Bagaimana Caranya Agar Saat Teduh Bisa Konsisten?
Puasa Orang Kristen

Disiplin Rohani: Butuh Perjuangan!

Oleh Abyasat Tandirura, Toraja

Tahun 2018 beserta suka dan duka kehidupan yang mengiringinya sudah berhasil kulalui. Aku bersyukur sekaligus lega dapat menginjakkan kaki di tahun 2019 yang telah memasuki bulan ketiga ini. Dari berbagai peristiwa yang telah kualami, ada satu pesan penting yang dapat kupetik, bahwa kita senantiasa membutuhkan Tuhan.

Kita adalah ranting dan Tuhanlah pokok anggurnya (Yohanes 15). Agar kita dapat bertumbuh, kita perlu melekat terus kepada-Nya dan cara agar kita dapat terus melekat adalah dengan tekun dan setia membangun hubungan yang dekat dengan Tuhan.

Namun, kuakui, sulit untuk tetap konsisten menjalaninya.

Sejak aku menerima Kristus sebagai Juruselamat, aku belajar untuk selalu membina relasi yang erat bersama Tuhan dengan rutin bersaat teduh. Tetapi, kadangkala aku merasa malas, menunda-nunda, bahkan sibuk dengan hal-hal lain. Membaca Alkitab dan berdoa hanya kulakukan di ibadah hari Minggu. Pernah aku merasa malu pada diriku sendiri, ketika aku terlibat dalam pelayanan di gereja tetapi tidak bergerak dalam hubungan yang akrab dengan Tuhan setiap hari. Hingga aku berpikir, apalah artinya sibuk bekerja, aktif melayani Tuhan di gereja, suka menolong orang lain, tapi aku sendiri tidak memiliki hubungan yang erat dengan-Nya.

Berangkat dari kegelisahan itu, aku pun belajar untuk memperbaiki hubungan pribadiku dengan Tuhan. Dan, puji Tuhan, sekarang aku bisa kembali menikmati keindahan-Nya. Aku yang dulu merasa seperti domba yang hilang telah dituntun Sang Gembala yang baik dan menjadi lebih dekat pada-Nya.

Jika kamu pernah mengalami hal yang sama sepertiku, ada tiga hal yang bisa kamu lakukan ketika melakukan disiplin rohani saat teduh terasa susah buatmu.

1. Kita dapat berkaca pada teladan tokoh Alkitab

Aku teringat pada tokoh Alkitab seperti Daniel yang selalu memprioritaskan relasinya dengan Tuhan. Dalam Daniel 6:11, tertulis bahwa Daniel tiga kali sehari ia berlutut, berdoa serta memuji Tuhan. Hal ini menarik mengingat Daniel pada kala itu telah diangkat sebagai salah satu dari tiga pejabat tinggi yang membawahi pemerintahan Raja Darius (Daniel 6:1-4). Dengan jabatan seperti itu, kita dapat mengetahui bahwa Daniel mungkin punya banyak aktivitas. Namun, ia tidak mengabaikan relasi dengan Tuhan.

Tuhan Yesus juga memberi kita teladan yang baik mengenai relasi pribadi-Nya dengan Bapa. Injil Markus 1:35 mencatat demikian, “Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana.” Yesus memilih waktu pagi hari sebab ketika hari telah terang, Dia harus melayani banyak orang. Teladan doa Yesus juga ditunjukkan-Nya ketika Dia berada di Taman Getsemani. Yesus berdoa mengungkapkan ketakutan hati-Nya namun menyerahkan segala-Nya kepada Bapa agar kehendak Bapalah yang terjadi (Lukas 22:41-44).

Dari dua teladan ini aku tersadar bahwa tekun menjalin relasi dengan Tuhan membuat kita semakin mengenal-Nya, peka mendengar suara-Nya, dan kita pun dapat mengetahui apa yang jadi kehendak-Nya buat kita.

2. Kita dapat mengatur waktu yang tepat buat kita

Menjalankan disiplin rohani di masa kini kupikir adalah hal yang sulit. Kesibukan kita mungkin menggoda kita untuk mengabaikan relasi dengan Tuhan. Untuk mengatasinya, aku belajar untuk menyediakan waktu khusus untuk datang kepada Tuhan. Buatku sendiri, waktu yang paling tepat adalah pagi hari.

Aku bangun lebih awal dan bersaat teduh di tempat yang tenang. Namun, jika semisal aku terlambat bangun, itu tidak berarti aku tidak akan bersaat teduh sepanjang hari. Aku mencari waktu lain yang sekiranya tepat untukku dapat benar-benar menikmati dan mengalami momen perjumpaanku dengan Tuhan.

Yang terpenting sesungguhnya bukanlah soal kapan waktunya, melainkan bagaimana sikap hati kita. Jika kita sungguh ingin mengenal Tuhan, tentu kita akan menyisihkan waktu terbaik kita, bukan memberikan waktu sisa kita untuk-Nya.

3. Kita dapat menggunakan penuntun saat teduh

Untuk menolongku memahami firman Tuhan dengan lebih jelas, aku menggunakan buku renungan yang menuntunku bersaat teduh. Tapi, perlu diingat, bahwa buku renungan ini hanyalah penuntun, bukan materi utama yang harus dibaca. Yang terutama tetap adalah Alkitab, yang adalah firman Tuhan.

Ketika kita memiliki motivasi yang kuat untuk merenungkan firman-Nya dan kasih setia-Nya bagi kita, hasrat kita untuk terus berjumpa dengan Allah secara pribadi akan terus bertumbuh. Tugas kita adalah memberi diri untuk dipimpin oleh Roh Kudus dalam proses perjuangan kita berdisiplin rohani.

“Mendekatlah kepada Allah, dan Ia akan mendekat kepadamu” (Yakobus 4:8a). Kiranya kita senantiasa diingatkan untuk selalu konsisten memprioritaskan relasi kita dengan Tuhan dan bersungguh-sungguh menerapkan disiplin rohani di sepanjang hidup kita.

Di dunia ini, tidak ada yang melebihi sukacita hidup, selain memiliki dan menikmati hubungan yang akrab dengan Sang Pencipta dan meyakini bahwa surga—rumah abadi—adalah tujuan akhir dari perjalanan hidup kita di dunia yang fana ini. Roh kudus menolong kita, terpujilah nama-Nya.

Baca Juga:

Sebuah Doa yang Mengubahkan Hatiku

Jika mengingat kembali doa-doaku dulu, rasanya berdoa itu sudah ada templatenya. Tanpa perlu pikir panjang, aku bisa berdoa dengan singkat. Hingga suatu ketika, aku jatuh ke dalam situasi yang membuatku tak bisa berdoa. Tapi, justru di dalam keadaan inilah aku diajar untuk bagaimana seharusnya berdoa.

Saat Kehilangan Menjadi Momen yang Membawaku Kembali pada Tuhan

Oleh Vina Agustina Gultom, Taiwan

Aku adalah mahasiswi program pascasarjana di salah satu perguruan tinggi di Taiwan. Tahun ini adalah semester terakhirku sebelum nantinya aku meraih gelar master. Setelah berjibaku dengan proses penelitianku, sekarang aku telah menyelesaikan analisis dan sedikit lagi tesisku dapat selesai.

Proses pengerjaan tesis ini berjalan lancar. Hingga suatu ketika, pada hari Jumat 9 November 2018 pukul 00:48, hal yang tidak kuinginkan terjadi. Di laptopku, aku membuka dua dokumen yang berbeda. Satu adalah tesisku, dan satunya lagi adalah catatan tambahan. Saat itu aku bersiap untuk tidur, jadi aku save dokumen tersebut dengan mengklik Ctrl + S seperti biasa. Aku yakin bahwa proses penyimpanan dokumen itu tidak bermasalah. Aku lalu tidur dengan tenang karena aku merasa pencapaianku hari itu sudah maksimal.

Namun, ketenangan yang semalam kurasakan berubah menjadi kekhawatiran. Sekitar pukul 12:50, aku berniat melanjutkan kembali penulisan tesisku. Ketika aku mengklik dokumen yang semalam telah kusimpan, betapa kagetnya aku mendapati bahwa semua tulisan yang sudah kutulis hilang. Aku cermati detail dokumen tesisku, dari yang semula sebesar 3.328 KB ternyata sekarang menjadi 0 KB. Kucoba membuka satu dokumen lainnya yang berisi catatan tambahan, ternyata dokumen ini tidak bermasalah.

Aku gelisah. Aku coba berbagai cara supaya dokumen tesisku bisa dipulihkan. Aku menghubungi beberapa temanku yang kuanggap ahli, tapi mereka tidak bisa menolongku. Kata salah satu temanku, drive di laptopku eror, jadi saat aku mengklik save, dokumen tesisku tidak tersimpan dan hilang. Malangnya, momen eror itu terjadi saat aku mengklik “save” pada dokumen tesisku, bukan pada dokumen catatan tambahan.

Aku coba mengendalikan diri untuk tetap tenang. Kucoba usaha lain. Aku menghubungi salah satu staf dari layanan penyimpanan dokumen Dropbox yang biasa kugunakan. Setelah dicek pada database mereka, cadangan dokumen tesisku tidak ditemukan. Aku menangis dan berteriak pada Tuhan. “Kenapa semua ini terjadi ya Bapa? Ampuni aku kalau aku bersalah kepada-Mu.”

Setelah beberapa waktu bergumul untuk menenangkan diri, aku merasa lebih tenang. Hati kecilku berbisik, “Kamu masih punya cadangan tesismu yang tanggal 7 November, Vin. Bersyukurlah.” Aku sadar bahwa dokumen tesisku yang aku simpan tanggal 9 November tidak akan pernah kembali. Tiada jalan lain selain aku mengulang kembali penulisan tesisku. Prosesnya berat. Aku harus mengingat-ingat lagi tesis sebanyak 10 lembar dan menuliskannya dalam bahasa Inggris.

Dari kehilangan, aku mendapatkan

Di tengah stres yang kurasakan, seorang sahabatku yang bernama Okta datang menghiburku. Dia lalu meminjamiku sebuah buku yang berjudul “Go and Do”. Salah satu bagian buku itu mengatakan bahwa iman haruslah dihidupi secara nyata. Aku merasa Tuhan seolah menyentilku dengan pernyataan itu. Aku lalu teringat ayat dari Yakobus 2:17 yang berbunyi: “Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.”

Bagian lain dari buku ini juga menegurku, bahwa di dunia yang membutuhkan garam dan terang ini, aku perlu memiliki waktu untuk berdiam diri bersama Allah. Aku lalu menyadari bahwa belakangan ini aku sudah tidak pernah lagi memiliki waktu untuk berdiam dan berlutut kepada Tuhan. Aku hanya saat teduh sekadarnya, padahal biasanya aku selalu menikmati satu pujian dalam setiap saat teduhku. Ini semua terjadi karena selama ini tesisku berjalan baik. Semuanya berjalan sesuai keinginanku. Aku ingin menyelesaikan tesisku dengan cepat. Namun, tanpa kusadari aku pun jadi mengabaikan relasiku dengan Tuhan. Saat teduh yang seharusnya menjadi momen intimku dengan-Nya, menjadi sekadar rutinitas biasa yang kulakukan.

Ketika obsesiku untuk menyelesaikan tesisku lebih besar dibandingkan keberserahanku kepada Tuhan, di sanalah aku membiarkan watak lamaku yang “liar” dan berdosa untuk mengendalikan diriku. Ada kekhawatiran dan ketakutan yang kemudian meliputi diriku. Namun, syukur kepada Tuhan, karena anugerah-Nya memampukanku untuk bertumbuh di tengah peristiwa buruk yang kualami.

Aku berkomitmen untuk membangun dan mendapatkan kembali relasi yang erat dengan Tuhan. Aku tidak hanya membaca firman Tuhan sambil lalu, tapi aku merenungkannya, menyanyikan satu buah pujian sebagai respons syukurku kepada-Nya, dan membagikan berkat yang kudapat hari itu kepada teman-temanku.

Aku mengucapkan terima kasih kepada semua yang telah setia mendoakanku. Aku yakin aku bisa mengalami pemulihan ini juga semua karena dukungan doa. Kiranya seperti apa yang tertulis dalam renungan saat teduh Santapan Rohani di tanggal 12 November 2018, “Ketika Allah menuntut, Dia juga yang memampukan”, aku dapat mengimaninya dalam proses penyelesaian tesisku dan hidupku ke depannya.

Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh,” Galatia 5:25.

Baca Juga:

Momen Natal yang Membuatku Mengenang Perjumpaan Pertamaku dengan Kristus

Aku tidak terlahir di keluarga Kristen. Ketika aku memutuskan untuk percaya pada Tuhan Yesus, kedua orang tuaku sempat menolakku. Namun, kisah itu tidak berhenti di situ, Tuhan terus melanjutkan karya-Nya.

Belajar dari Kisah Aldi, Yang Kita Butuhkan Bukan Hanya Makanan Jasmani Saja

Oleh Sukma Sari, Jakarta

Baru-baru ini, ada kisah penyelamatan dramatis terhadap remaja Indonesia bernama Aldi Novel Adilang. Aldi adalah seorang nelayan dari suku Wori yang berusia 19 tahun. Sehari-harinya Aldi bekerja sebagai penjaga rompong (sebuah rakit untuk menangkap ikan) yang letaknya sejauh 125 kilometer dari daratan. Nahas, pada tanggal 14 Juli 2018, angin berembus kencang dan memutus tali yang mengikat rompongnya. Aldi lalu hanyut ke Samudera Pasifik bersama rompongnya. Empat puluh sembilan hari setelahnya, yaitu pada tanggal 31 Agustus 2018, barulah Aldi ditemukan di perairan sekitar Guam, teritori Amerika Serikat di Pasifik. Aldi diselamatkan oleh kapal pengangkut batu bara dan dibawa ke Jepang. Setelah segala proses pengurusan dokumen selesai, Aldi lalu dapat pulang kembali ke Sulawesi Utara dan bertemu dengan keluarganya.

Saat diwawancarai oleh media, Aldi mengakui bahwa tujuh minggu terombang-ambing di laut hampir membuatnya putus asa. Untuk bertahan hidup, Aldi menghemat perbekalan yang tersedia di rompongnya. Saat semuanya habis hanya dalam seminggu pertama, Aldi mencari cara lain. Aldi memancing ikan, menadah hujan, dan meminum air laut dari perasan bajunya. Bukan cuma berjibaku dengan lapar dan haus, Aldi pun harus mempertahankan dirinya dari cuaca samudera yang ekstrem dan serangan ikan-ikan buas. Hingga di suatu hari, Aldi merasa hidupnya telah berada di titik nadir. Fisiknya lemas, psikisnya tidak berdaya. Daratan tak kunjung digapai, dan harapan untuk bertemu kembali dengan kedua orang tuanya seperti mustahil. Aldi ingin bunuh diri saja.

Namun, sesuatu dari dalam diri Aldi menahannya untuk melakukan itu.

“Saat itu (mau bunuh diri), saya kembali masuk ke rumah rakit. Saya membaca Alkitab,” kata Aldi dalam cuplikan wawancaranya kepada media.

Aldi lalu membaca Matius 6, yang isinya adalah Doa Bapa Kami. Setelah itu, dia terus melanjutkan pembacaan Alkitabnya, juga menyanyikan lagu-lagu rohani. Di tengah kondisi di mana harapan seolah padam, Alkitab menjadi satu-satunya pengingat Aldi bahwa sesungguhnya harapan itu tidak pernah hilang. Aldi lalu percaya dengan kekuatan Tuhan hingga akhirnya pada tanggal 31 Agustus 2018, sebuah kapal pengangkut batu bara melintas. Kapal sudah berjalan sejauh satu mil melewati Aldi. Tapi, karena awak kapal itu mendengar teriakan Aldi, kapal pun berbalik arah dan melepaskan tali untuk menolongnya. Pada tanggal 6 September 2018, kapal tersebut tiba di Jepang. Perwakilan dari Kedutaan Besar Indonesia membantu pengurusan dokumen Aldi, dan pada tanggal 8 September 2018 Aldi bisa pulang ke Indonesia menggunakan pesawat dari Jepang.

Kisah Aldi yang terombang-ambing di tengah laut tanpa makanan dan minuman mengingatkanku akan kondisi yang pernah aku lalui ketika aku tidak memiliki relasi yang baik dengan Tuhan. Di luar aku hidup, tetapi aku merasa di dalam diriku perlahan-lahan aku mati. Aku masih tetap beraktivitas seperti biasa, mengerjakan pekerjaanku di rumah maupun di kantor. Tapi, aku tahu bahwa ketika aku mengerjakannya, aku merasa seperti mayat hidup.

Aku tidak asing dengan kalimat “Doa adalah nafas hidup orang percaya”, dan kupikir kalimat itu benar adanya. Tanpa doa, tubuh rohaniku pun mati. Apabila tubuh manusia akan mengalami komplikasi saat kekurangan asupan makan dan minum, maka sebagai orang percaya yang kekurangan asupan makanan rohani berupa doa dan firman Tuhan, sudah tentu juga tubuh rohaniku akan mengalami komplikasi. Aku jadi seorang yang berjalan sendiri tanpa tuntunan Tuhan, dan relasiku dengan sesamaku pun jadi terdampak. Aku berprasangka buruk dengan orang lain, sering melawan ibuku, bahkan timbul rasa mengasihani diri yang tidak ada habisnya.

Ketika Tuhan Yesus dicobai Iblis di padang gurun, Dia berkata: “Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah” (Matius 4:4). Makanan jasmani memang penting, tetapi bagi orang percaya, makanan rohani pun sama pentingnya. Makanan rohani itu tidak lain dan tidak bukan kita dapatkan dari Alkitab, yang adalah firman Tuhan yang hidup. Tuhan tidak meninggalkan kita sendirian tanpa petunjuk untuk menjalani kehidupan kita di dunia. Dia memberikan kita firman-Nya, yang di dalamnya kita bisa mengetahui apa yang menjadi kehendak-Nya. Tidak ada cara lain untuk kita bisa mengetahui kehendak Tuhan selain daripada membaca dan menyelidiki firman-Nya.

Firman Tuhan yang terwujud dalam Alkitab bukanlah sekadar untaian kata yang ditulis rapi, tetapi itu sangat bermanfaat untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, dan mendidik orang dalam kebenaran (2 Timotius 3:16). Pemazmur bahkan berkata, “[Taurat Tuhan] lebih indah dari pada emas, bahkan dari pada banyak emas tua; dan lebih manis dari pada madu, bahkan dari pada madu tetesan dari sarang lebah” (Mazmur 19:11).

Sahabat, marilah kita setia membaca dan menyelidiki firman Tuhan, sebab firman-Nyalah roti kehidupan yang memberikan nutrisi buat jiwa kita.

Baca Juga:

Melalui Pelayanan di Gereja, Tuhan Mengubahkanku

Aku bersyukur atas kesempatan melayani di gereja yang Tuhan berikan. Tapi, lama-lama pelayanan itu terasa seperti sebuah beban berat buatku, hingga aku pun jadi kecewa dengan rekan-rekan pelayananku lainnya.

3 Langkah yang Kulakukan untuk Lebih Efektif dalam Membaca Alkitab

Oleh Agnes Lee, Singapura
Foto oleh Ian Tan
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Knowing The Bible Is Not Enough

Meskipun aku sudah menjadi orang Kristen selama bertahun-tahun, aku tidak selalu membaca Alkitabku. Selama beberapa waktu yang lama, aku mendengar firman Tuhan hanya di gereja saat hari Minggu. Bahkan, aku seperti orang yang disebutkan dalam Yakobus 1:24—hidupku tidak berubah. Aku masih hidup menurut kedaginganku. Aku tampak Kristen di luar, tetapi di dalam hatiku, aku tidak tertuju kepada Tuhan. Aku memanjakan diriku dalam kehidupan dosaku tanpa memiliki hati yang mau bertobat.

Hingga suatu ketika aku mengalami masa-masa gelap dalam hidupku beberapa tahun lalu. Satu-satunya hal yang menguatkanku selama masa itu adalah firman Tuhan, dan aku sadar betapa aku membutuhkan firman Tuhan dalam hidupku. Sejak saat itu, aku belajar beberapa hal tentang Alkitab, juga tentang bagaimana membacanya secara efektif. Mungkin hal-hal di bawah ini bisa membantumu.

1. Aku meluangkan waktuku

Meluangkan waktu teduh untuk membaca Alkitab itu sangat penting buatku, karena aku ingin supaya aku bisa fokus menikmati firman Tuhan tanpa gangguan. Kebiasaan ini dimulai saat aku sedang melalui masa-masa kelam. Firman Tuhanlah yang memberiku kekuatan untuk melewati masa-masa itu, dan aku sadar betapa aku butuh firman-Nya dan betapa itu menyegarkanku. Seperti Yesus yang menarik diri sejenak ke tempat sepi dan berdoa (Lukas 5:16), aku mencoba meluangkan waktu di tengah kesibukanku, supaya aku bisa berdua saja dengan Bapa Surgawi. Setiap hari, firman Tuhan memberiku kekuatan yang aku butuhkan.

2. Mintalah pertolongan Tuhan

Juga, aku tidak berani menganggap remeh firman Tuhan. Kita semua tahu bahwa Alkitab adalah tulisan-tulisan yang diilhamkan oleh Allah dan baik untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, dan mendidik orang dalam kebenaran (2 Timotius 3:16-17), tapi kadang aku tidak memiliki hikmat yang kubutuhkan untuk mengerti dan mempraktikkan apa yang aku baca. Maka, dengan rendah hati aku mencari pertolongan Roh Kudus. Allah kita adalah Allah yang murah hati dan selalu siap memberikan kita hikmat setiap kali kita memintanya (Yakobus 1:5).

Sebagai contoh, ketika aku menemukan ayat dari Efesus 1:14, aku sulit untuk mengerti apa maksud dari ayat ini. Ayat ini berkata, “Dan Roh Kudus itu adalah jaminan bagian kita sampai kita memperoleh seluruhnya, yaitu penebusan yang menjadikan kita milik Allah, untuk memuji kemuliaan-Nya.” Tapi, ada bagian lain di Alkitab yang memberitahu kita bahwa bukan setiap orang yang berseru “Tuhan, Tuhan” akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga (Matius 7:21). Jadi, bagaimana bisa Roh Kudus menjamin keselamatanku?

Aku menceritakan kebingunganku ini kepada kakak pembimbing rohani yang kupercaya, yang Tuhan pakai untuk menjawab pertanyaanku. Kakak pembimbingku itu menjelaskan bahwa Roh Kudus menolong kita untuk mengerti dan berjalan di jalan Tuhan ketika kita mengerjakan keselamatan kita. Roh Kudus menjamin keselamatan kita ketika kita tidak mengeraskan hati kita dan membiarkan Dia bekerja di dalam hati kita.

3. Izinkan Tuhan untuk menyadarkanku akan dosa-dosaku

Saat aku membaca firman Tuhan, aku mengingatkan diriku untuk mengundang Tuhan menyelidiki hatiku. Ketika aku meletakkan hatiku di hadapan Tuhan, Dia menolongku melihat bagaimana kebenaran-Nya yang menakjubkan itu bisa diterapkan dalam kehidupanku. Ada waktu-waktu ketika Roh Kudus menunjukkan kepadaku bagaimana caranya aku bertobat dari caraku yang keliru.

Beberapa tahun yang lalu, aku mengatakan sesuatu yang membuat temanku kecewa. Saat renungan pagi, aku menemukan ayat dari Matius 5:18, “Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang.” Ayat ini membuatku merefleksikan kembali apa yang sudah kulakukan, bahwa kata-kata yang kuucapkan bisa mencemariku. Aku sadar kalau apa yang telah kukatakan kepada temanku itu tidak memuliakan Tuhan, dan itu menunjukkan betapa egoisnya hatiku, dan betapa aku tidak peka terhadap temanku. Aku perlu meminta maaf kepadanya dan merekatkan hatiku kembali pada Tuhan.

Firman Tuhan itu seperti pedang bermata dua buatku, menilai pikiran dan sikap hatiku (Ibrani 4:12). Ketika aku membaca Alkitab dengan rendah hati, aku mengizinkan firman-Nya untuk menyadarkanku akan dosa-dosaku. Melalui inilah Tuhan sedang membentukku menjadi seorang yang unik, yang Dia rancangkan untukku. Meskipun aku tidak bisa menjadi benar-benar sempurna sampai hari aku bertemu muka dengan muka dengan Tuhan, aku tahu bahwa sekarang Tuhan sedang berproses untuk membentuk kita seturut gambar-Nya, seperti apa yang tertulis dalam 2 Korintus 3:18, “Dan kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung. Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar.”

Sekadar mengetahui Alkitab saja tidaklah cukup. Meskipun aku sudah mendengar banyak khotbah di hari Minggu, aku tidak mengizinkan firman yang kudengar itu mengubah Aku lebih banyak berjerih lelah; lebih sering di dalam penjara; didera di luar batas; kerap kali dalam bahaya maut.hidupku. Hanya ketika aku membaca Alkitab dengan rendah hati dan penyesalan diri, firman Tuhan akan menuntunku kembali kepada Tuhan. Tuhan selalu siap mengampuni kita jika kita mengakui dosa-dosa kita (1 Yohanes 1:9). Dengan mengetahui hal ini, kita mengakui bahwa firman Tuhan itu seperti sebuah karunia, dan pembacaan Alkitab yang efektif akan secara konsisten mengarahkan kita kembali kepada Tuhan.

Marilah kita menjadi pelaku firman dan bukan sekadar pendengar (Yakobus 1:22). Kiranya kita menjadi orang-orang yang berkenan di hati Tuhan, yang mengerjakan keselamatan kita karena sesungguhnya kita hanyalah pendatang di dunia ini. Kelak, kita akan hidup sebagai murid Kristus yang sejati.

Baca Juga:

Bukan Cuma Soal Nilai, Inilah yang Kupelajari dari Proses Skripsiku yang Panjang

Aku adalah seorang yang terobsesi ingin memiliki nilai sempurna. Aku pun melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, hingga suatu ketika sebuah masalah datang dan bermula dari situlah cara pandangku berubah.

Memprioritaskan Tuhan di Tengah Waktu Dunia yang Terbatas

Oleh Mary Anita, Surabaya

Hari Minggu yang lalu diawali dengan kabar memilukan. Teroris menyerang tiga gereja di Surabaya, kota tempat tinggalku dengan meledakkan bom. Kaget dan tak menyangka. Kabar ini seperti mimpi buruk di siang bolong.

Pagi itu aku belum sempat ke gereja, dan kupikir aku tetap bisa ke gereja di sore hari. Tapi, demi alasan keamanan, pihak kepolisian meminta semua gereja di Surabaya meniadakan ibadah. Beberapa gereja kemudian menyiarkan khotbah dalam bentuk online, dan kami dihimbau untuk berkumpul di tempat yang aman dan saling menguatkan satu sama lain. Pengalaman ini baru pertama kali terjadi dalam hidupku.

Dengan hati pedih, aku berpikir, “Ya Tuhan, untuk beribadah ke gereja di hari Minggu mencari Tuhan, perlukah umat-Mu sampai harus melewati kesulitan seperti ini? Bagaimana jika hari ini adalah hari terakhirku untuk bersekutu mencari-Mu?” Teror ini membuatku takut. Namun, saat itu Roh Kudus menyadarkanku bahwa daripada larut dalam ketakutan, aku dapat menggunakan momen ini untuk mengoreksi diriku sendiri. Peristiwa teror ini seakan menampar wajahku. Sebagai orang Kristen yang katanya sudah lahir baru, aku mendapati kalau terkadang diriku masih suka sekenanya saja dengan Tuhan.

Aku memang rutin hadir di gereja, rajin saat teduh, juga ikut pendalaman Alkitab. Tapi, nyatanya, aktivitas yang tampaknya rohani itu bukanlah jaminan kalau aku sungguh-sungguh mencari Tuhan. Ada saat di mana semangatku berkobar-kobar mencari Tuhan dan aku rajin bersaat teduh, tapi sering pula sikapku asal-asalan.

Ketika distraksi demi distraksi menghampiriku, aku dengan mudah melengserkan Tuhan dari prioritasku. Ketika aku pulang ke rumah larut malam setelah bekerja, aku hanya sekadar berdoa sebelum tidur. Kalaupun bersaat teduh, seringkali aku melakukannya hanya di waktu sisaku. Hasilnya aku lebih banyak mengantuk daripada mengerti firman Tuhan. Tapi, kalau soal hiburan seperti nonton televisi dan bermain media sosial, aku bisa berjam-jam lupa waktu. Di gereja pun, pikiranku melayang-layang, lebih sering berpikir tentang kekhawatiran masalah hidup daripada Tuhan sendiri.

Efesus 5:15-16 mengatakan demikian:
“Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat.”

Aku sadar. Aku perlu bertobat dan memperbaiki sikap hatiku, memprioritaskan Tuhan dalam waktu keseharianku. Tuhan masih memberiku kesempatan untuk setiap saat mencari wajah-Nya, sehingga bukanlah keputusan yang bijaksana apabila aku mengabaikan-Nya di tengah-tengah waktu yang Dia karuniakan kepadaku.

Kehidupan bisa berakhir kapan saja. Pun kita tidak tahu sampai kapan kita bisa dengan leluasa datang beribadah dan bersekutu bersama orang percaya untuk menyembah Tuhan. Hanya Tuhanlah yang kekal dan setia selama-lamanya. Hari itu, aku berkomitmen dan memulai perjuangan untuk memiliki hati yang selalu lapar dan haus akan firman-Nya. Aku membutuhkan Roh Kudus supaya hidupku dapat dipersembahkan sepenuhnya untuk kemuliaan-Nya. Tak ada waktu yang sia-sia jika kita investasikan itu untuk bersekutu dengan-Nya.

“Carilah TUHAN selama Ia berkenan ditemui; berserulah kepada-Nya selama Ia dekat!” (Yesaya 55:6).

Baca Juga:

Ketika Aku Menemukan Berhala dalam Diriku

Kupikir tidak ada salahnya mengejar ambisi-ambisi pribadi. Toh, Tuhan juga dimuliakan di dalamnya. Tuhan pasti bangga jika anak-Nya menjadi yang terbaik. Tapi, akhirnya aku sadar bahwa di sinilah aku sedang menjadikan hasrat hatiku sebagai berhala buatku sendiri.

Bagaimana Caranya Agar Saat Teduh Bisa Konsisten?

Dalam kehidupan rohani kita, ada masa-masa di mana kita mengalami jatuh bangun dalam relasi dengan Tuhan. Kadang kita bisa begitu bersemangat melakukan saat teduh, kadang pula merasa kosong atau pun malas. Hingga kemudian kita bertanya-tanya, apa sih pentingnya saat teduh itu? Lalu, jika itu penting, bagaimana caranya supaya bisa melakukannya dengan konsisten?

Yuk cari tahu jawabannya dari video rekaman Instagram Live WarungSaTeKaMu bersama Kak Alex Nanlohy.

Lihat video series lainnya:
Cara Mengatasi Jenuh Bersaat Teduh
Puasa Orang Kristen

Ketika Aku Bertobat dari Menghakimi Orang Lain

Oleh Sharon Audry, Bandung

Beberapa pekan lalu aku bertemu dengan seorang teman. Kami tidak terlalu dekat layaknya sahabat, tapi kami juga tidak terlalu jauh.

Kami asyik mengobrol dan ada banyak hal yang kami bicarakan hingga akhirnya obrolan kami menyinggung soal pelayanan. Dari obrolan itu, aku tahu bahwa dia bukan seorang anggota tetap di suatu gereja, suka pindah-pindah. Dia juga berkata bahwa dia tidak melakukan pelayanan apa-apa di gereja.

“Ooo, dia orang Kristen KTP. Bagaimana mungkin seseorang bisa bertumbuh apabila pindah-pindah gereja? Dan, bagaimana mungkin seorang Kristen tidak pelayanan? Sudah pasti hidupnya tidak benar!” kataku dalam hati

Beberapa minggu kemudian, aku terlibat di sebuah acara bersama dengan temanku itu. Kebetulan acara itu mengharuskan kami menginap selama tiga hari dua malam, dan ternyata aku sekamar dengannya.

Singkat cerita, ketika bangun pagi, hal pertama yang kulakukan adalah pergi ke kamar mandi. Namun, betapa kagetnya aku saat aku selesai dari kamar mandi, aku melihat kalau orang yang kuanggap sebagai Kristen KTP itu sedang bersaat teduh. Dia bahkan mengingatkanku supaya tidak lupa bersaat teduh.

Aku merasa malu. Aku hanya melihat orang dari luarnya saja, aku menghakiminya sejak dalam pikiranku. Aku selalu merasa kalau akulah yang paling rohani di antara yang lain, tapi bahkan untuk bersaat teduh saja aku tidak pernah. Aku jadi teringat firman Tuhan dalam Lukas 6:42 yang berkata demikian:

“Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Saudara, biarlah aku mengeluarkan selumbar yang ada di dalam matamu, padahal balok yang di dalam matamu tidak engkau lihat? Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.”

Jujur, selama ini aku merasa kalau aku adalah orang Kristen yang saleh karena aku ikut terlibat aktif dalam pelayanan di gereja. Orang-orang pun mengapresiasi pelayananku. Namun, ada satu hal yang sebenarnya aku tutupi. Kehidupan pribadiku itu benar-benar jauh dari Tuhan. Aku merasa hidupku sangat kacau. Meski aku tahu kalau aku sudah jauh dari Tuhan ,tapi aku tetap bersikukuh dan menganggap kalau hidupku bisa berjalan sendiri tanpa Tuhan. Di balik pelayanan yang kulakukan itu terselip kesombongan supaya orang lain melihatku sebagai orang Kristen yang saleh.

Sekilas mungkin aku terlihat sebagai orang Kristen yang saleh. Sering hadir di gereja dan pelayanan di sana-sini. Tapi, jauh di dalam hatiku tidak ada damai sejahtera. Aku sudah tidak tahu lagi kapan terakhir kali aku bersaat teduh. Bahkan berdoa pun sudah tidak pernah, contoh kecilnya adalah doa makan. Aku tidak tahu lagi kapan terakhir kali aku berdoa mengucap syukur kepada Tuhan karena sudah memberkatiku sehingga aku bisa makan.

Sejak kejadian itu, aku jadi malu dengan diriku sendiri. Bagaimana mungkin aku bisa berkata “kamu bukan orang Kristen yang sejati!” sementara hidupku sendiri jauh dari Tuhan. Aku merasa menjadi orang yang paling munafik sedunia ketika mengatakannya.

Aku berusaha mengembalikan hubunganku yang sempat retak dengan Allah. Aku mulai bersaat teduh dan belajar untuk melakukan setiap aktivitas rohaniku dengan sungguh-sungguh, bukan lagi supaya dilihat orang.

Saat aku berkomitmen mengubah diriku, Tuhan memulihkanku. Aku merasa hidupku jadi jauh lebih bahagia ketika berjalan bersama Yesus. Aku percaya bahwa tidak ada kata terlambat untuk mengalami pemulihan Tuhan. Yang perlu kita lakukan adalah menyadari kesalahan kita, memohon ampun pada Tuhan, dan berkomitmen untuk memperbaiki diri.

Sekarang, aku tidak lagi cepat menilai orang berdasarkan apa yang kulihat atau kudengar saja. Aku hanyalah manusia biasa, yang hanya melihat apa yang dilihat mata, sedangkan Tuhan mampu melihat sampai kedalaman hati manusia. Aku akan berusaha mengintrospeksi diriku sendiri terlebih dulu.

Baca Juga:

Karena Imanku pada Yesus, Aku Ditolak oleh Teman-temanku

Ibuku dan nenekku mendidikku untuk mengimani iman bukan Kristen yang mereka anut. Hingga suatu ketika, aku memutuskan untuk percaya kepada Yesus dan kemudian teman-temanku pun menolakku.

Teguran Allah yang Membuatku Kembali Pada-Nya

Oleh Raganata Bramantyo, Jakarta

“Kasihanilah aku ya Allah, menurut kasih setia-Mu. Hapuskan pelanggaranku seturut rahmat-Mu yang besar.”

Ketika lirik lagu yang diambil dari Mazmur 51 itu dinyanyikan, tanpa kusadari air mataku menetes. Hari itu adalah hari Rabu Abu tahun 2015, hari di mana aku menyadari akan betapa berdosanya aku dan betapa dulu aku berusaha menjauh dari Allah.

Beberapa bulan sebelumnya, karena tergiur akan pekerjaan yang menghasilkan cukup banyak uang, tanpa kusadari aku mulai menanggalkan kehidupan rohaniku. Jika dahulu aku selalu memulai hari dengan bersaat teduh, sekarang aku malah hampir tidak pernah melakukannya. Ke gereja, ikut persekutuan, bahkan memiliki waktu khusus untuk berdoa pun tidak karena aku terlalu sibuk mengurusi pekerjaan yang kulakukan di samping kuliah. Iman Kristen praktis hanya sekadar sebuah status di KTP, tanpa aku memiliki kerinduan untuk menghidupinya.

Suatu ketika, aku ditugaskan untuk melakukan perjalanan dinas ke tiga kota sekaligus. Di minggu pertama bulan Oktober, aku ditugaskan ke Bandar Lampung selama lima hari. Kemudian, seminggu setelahnya aku ditugaskan ke Bogor, dan di minggu ketiga aku kembali ditugaskan ke Madiun. Dari tiga perjalanan dinas tersebut aku mendapat tanggung jawab membawa uang tunai sejumlah 12 juta rupiah, jumlah yang sangat banyak untukku yang saat itu masih berstatus mahasiswa.

Jauh sebelum aku mengiyakan perjalanan dinas ini, sebenarnya aku telah lebih dulu mengiyakan untuk menjadi bendahara di acara retreat persekutuan di kampusku. Tapi, karena kesibukan pekerjaan yang kupikir lebih menggiurkan ini, aku pun mengingkari tanggung jawabku di retret itu.

Sebuah insiden pun terjadi. Di perjalanan dinasku yang ketiga, tepatnya di kota Madiun, tak sengaja aku kelupaan dan meninggalkan uang itu di sebuah sekolah. Dalam perjalanan pulang ke Yogyakarta, aku baru sadar kalau uang itu tertinggal saat kami telah tiba di Solo. Panik bukan main kurasakan saat itu. Badanku lemas. Aku tak tahu bagaimana jadinya jika uang itu raib.

Dalam kondisi panik itu, temanku mencoba menenangkanku. Dia memintaku untuk pulang saja dulu, beristirahat, dan mencoba mengingat kembali bagaimana detail peristiwanya. Tapi, sulit sekali untuk berpikir jernih. Saat itu jam delapan malam, dan aku hanya bisa menangis karena dilanda kepanikan yang luar biasa. Seingatku, setelah melakukan presentasi singkat di sebuah sekolah, sepertinya uang itu tertinggal di dalam map yang kuletakkan di ruang guru. Jadi, kucobalah menelepon seorang guru di sekolah tersebut. Namun, jawaban yang kudapat tidak memuaskan. Katanya dia tidak melihat ada map yang tertinggal. Dan, katanya lagi, di hari Sabtu-Minggu sekolah itu tutup. Meski ada seorang yang menjaga sekolah, tapi orang itu mengalami gangguan pendengaran, sehingga dia tidak dapat mendengar suara bel apabila ada orang yang datang.

Aku hampir putus asa, tapi belum mau menyerah. Sampai di sini, aku coba untuk mengendalikan kepanikanku. Aku memejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam. Di titik di mana kehilangan arah inilah akhirnya aku kembali datang kepada Tuhan. Aku berdoa, “Tuhan, ampuni aku, dan tunjukkanlah jalan buatku,” pintaku lirih.

Saat itulah aku sadar, bahwa selama ini aku telah kehilangan fokus. Aku tahu bahwa bukanlah suatu kesalahan untuk bekerja sembari kuliah dan mendapatkan uang lebih. Tapi, ketika pengejaranku akan uang mulai membuatku abai dari apa yang seharusnya menjadi yang utama dalam hidupku—kuliah dan berelasi dengan Allah—di sinilah Tuhan mengingatkanku untuk memperbaiki diriku.

Setelah berdoa dan memohon ampun, aku pun memutuskan untuk meminta maaf kepada teman-teman panitia retret terlebih dulu karena aku telah mengabaikan tanggung jawab yang sebelumnya sudah kusepakati lebih dulu. Jadi, dalam kondisi hujan, aku segera memacu sepeda motorku ke tempat retret dilaksanakan. Di sana aku menangis, menceritakan apa yang baru saja kualami, dan meminta maaf sebesar-besarnya kepada mereka. Dan, setelah itu, aku juga memutuskan untuk kembali ke Madiun. Ditemukan atau tidaknya uang itu, aku harus berusaha mencarinya terlebih dulu.

Singkat cerita, setelah enam jam mengendarai motor sendirian dari Yogyakarta ke Madiun, aku pun tiba di depan sekolah yang kuduga uangku tertinggal di sana. Lima belas menit berlalu, aku memukul-mukul gembok pagar sambil berteriak permisi. Tapi, tak ada respons sama sekali. Mulai pudarlah harapanku. Namun, tiba-tiba sesosok kakek tua yang katanya memiliki ganguan pendengaran itu muncul tak sengaja melintas di balik pagar dan melihatku. Dia pun menghampiriku dan kepadanya kujelaskan singkat bahwa kemarin sepertinya aku ketinggalan sesuatu di sana.

Tepat di ruangan guru, aku menemukan sebuah map bening teronggok di samping kursi. Di dalam map itu terlihat jelas lembaran uang seratus ribuan. Segera kuraih map itu dan kupeluk erat. Kepanikanku luntur. Aku merasakan kelegaan yang luar biasa. Sesuatu yang kukira hilang itu akhirnya kutemukan kembali. Singkat cerita, aku pun kembali ke Yogyakarta dan amat bersyukur karena uang yang hilang itu akhirnya ditemukan.

Satu hal yang kupelajari dari insiden nyaris kehilangan uang ini adalah Allah adalah Allah yang baik. Allah itu baik bukan karena Dia mengizinkanku menemukan kembali uang yang hampir hilang karena kecerobohanku. Tapi, Dia baik karena Dia tetap menyertaiku sepanjang perjalanan hidupku, bahkan saat aku berpaling menjauh dari-Nya. Sekalipun saat itu uang itu raib, mungkin aku akan stres luar biasa, tapi aku tetap percaya bahwa Dia akan tetap menyertaiku sebagaimana janji-Nya yang berkata: “Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau” (Ibrani 13:5).

Hari itu aku sadar, bahwa relasi dengan Allah bukanlah sebuah relasi yang bisa dibangun dengan ala kadarnya. Dalam teori komunikasi, relasi dapat terjalin apabila terdapat komunikasi dua arah yang menciptakan pemahaman bersama. Aku tak akan pernah memahami apa kehendak Allah apabila aku tidak mau meluangkan waktuku untuk mendengarkan suara-Nya. Relasi membutuhkan pengorbanan. Allah telah lebih dulu melakukan pengorbanan itu, melalui kematian dan kebangkitan Yesus, aku pun memiliki akses untuk berbicara langsung kepada Allah. Hanya, seringkali aku tidak memanfaatkan akses ini. Kesibukan dan keasyikan dunia sering membuatku memilih menjauh dari Allah.

Aku perlu bijak. Aku perlu hikmat dari-Nya dalam setiap aktivitas yang kulakukan. Selepas peristiwa itu, aku kembali mengatur jadwalku, membagi waktuku dengan efektif antara kuliah, bekerja, dan melayani. Aku memang tidak sampai keluar dari pekerjaanku, karena memang aku membutuhkan uang. Tapi, aku memangkas sedikit waktu kerjaku. Uang memang kubutuhkan, tapi uang bukanlah sesuatu yang utama. Tatkala aku menyerahkan segalanya pada Allah, maka Dialah yang akan memenuhi semua kebutuhanku.

Berkaca dari peristiwa nyaris kehilangan yang kualami, aku pun jadi teringat akan kisah Daud. Ketika Daud jatuh ke dalam dosa karena mengambil Batsyeba, Nabi Natan menegurnya. Respons Daud saat itu adalah mengakui dosanya, menyesal, dan bertobat. Jika kita membaca secara lengkap Mazmur 51, di sana kita mendapati ungkapan penyesalan Daud. Daud sadar betul bahwa Dia telah berdosa di hadapan Allah, oleh karenanya dia memohon pengampunan daripada Allah, seturut kasih setia dan rahmat Allah yang besar.

Menariknya, Allah tidak memalingkan wajah-Nya dari Daud. Allah mendengar seruan Daud dan Daud pun memperbaiki kehidupannya. Hingga akhirnya, Alkitab pun mencatat Daud sebagai seseorang yang berkenan di hati Allah (Kisah Para Rasul 13:22).

Mungkin dosa yang kulakukan dengan mengabaikan relasi dengan Allah itu terlihat sepele. Tapi, yang namanya dosa tetaplah dosa. Syukur kepada Allah, karena Allah mengasihi setiap orang yang berkenan kepada-Nya dan tidak pernah meninggalkan mereka seorang diri.

“Barangsiapa Kukasihi ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!” (Wahyu 3:19).

Baca Juga:

Puji Tuhan, Papa Kembali Mengikut Tuhan

Karena kekecewaannya kepada pemimpin gerejanya, Papa jadi menjauhi gereja dan Tuhan. Bahkan, sikap Papa kepada keluarga pun berubah menjadi buruk. Selama dua tahun aku dan keluargaku bergumul dengan Papa dan selalu berdoa agar dia dapat kembali pada Tuhan.