Posts

Sebuah Retret Keluarga di Rumah Sakit

Oleh Putri L.

Namaku Putri. Aku mahasiswi di salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia. Aku ingin membagikan sedikit pengalamanku menghadapi terjangan badai yang selama ini sangat kutakutkan. Sebelumnya, ibuku juga sempat menuliskan kisah ini dari sudut pandangnya di sini. Semoga bisa bermanfaat bagi siapa pun yang membaca tulisanku.

Semua berawal dari kemarahanku pada pacarku. Kita semua tahu bahwa kumpul-kumpul di masa pandemi itu salah. Aku marah padanya karena pacarku itu malah main futsal di gelanggang olahraga yang tempatnya tertutup. Nggak pakai masker, lagi! Aku marah sekali padanya dan melarangnya datang menemuiku selama dua minggu penuh.

Alasanku marah adalah selain khawatir ia bisa tertular, aku juga sangat mengkhawatirkan kesehatan ayahku. Ayahku seorang dokter, dan aku selalu khawatir jika dirinya terkena virus corona ini. Ayahku memiliki komorbid diabetes sekaligus hipertensi, jadi pikirku, bila ayahku terkena corona, itu akan sangat berat baginya dan aku bisa kehilangan dia. Itu yang paling kutakutkan.

Sepuluh hari berlalu tanpa ada hal yang aneh. Menjelang hari pacarku akan datang mengunjungiku lagi, mendadak aku merasa tidak enak badan. Mataku panas. Dengan cemas aku mengukur suhu badanku. Mataku membelalak melihat angka yang tertera di sana. Tiga puluh tujuh koma lima derajat. Dengan perasaan takut, aku menenggak pil pereda demam, sambil berharap demamnya cepat turun. Dan, ya, memang turun.

Aku lega sekali. Namun kelegaanku tidak berlangsung lama. Keesokan harinya, tubuhku kembali demam, kali ini suhu badanku mencapai angka 38. Aku nyaris tidak bisa mengikuti perkuliahan daring hari itu. Hari berikutnya lebih menakutkan. Selain demam, aku mulai tidak bisa mencium bau apa pun. Aku ingat sekali, hari itu ibuku memasak semur kesukaanku. Tapi, aku tidak bisa mencicipi sama sekali.

Aku ketakutan. Tambahan lagi, ibuku mengalami hal yang sama sejak tiga hari sebelumnya. Apakah kami kena corona? Rasanya mustahil! Selama pandemi ini aku hanya bertemu dengan pacarku. Tidak pernah bertemu dengan yang lain. Ibu dan adikku juga tidak. Hanya ayahku yang pergi keluar, itu pun hanya untuk bekerja. Beliau selalu mengenakan face shield dan masker, sering cuci tangan, memakai hand-sanitizer, pokoknya protokol kesehatan selalu beliau jalankan. Jadi, apa yang membuat kami terkena corona? Harusnya tidak ada!

Hari berikutnya demamku hilang, tapi aku tetap kehilangan kemampuan mencium dan merasa. Akhirnya orangtuaku memutuskan untuk swab test keesokan harinya. Aku mencoba untuk santai, walau tak bisa dipungkiri aku tetap ketakutan. Kami menjalani swab di sebuah rumah sakit di Jakarta Selatan. Rasanya sedikit sakit dan geli, air mataku sampai keluar. Setelah itu kami pulang dan menunggu hasilnya di rumah.

Malamnya adalah malam terburuk. Kami menerima hasil dan hasilnya adalah aku dan kedua orangtuaku positif terkena Covid-19. Kami semua bagaikan tersambar petir mendengarnya. Rasanya ingin menjerit dan menangis. Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan? Bagaimana dengan ayahku, apa aku akan kehilangan dia? Bagaimana dengan ibuku? Adikku, yang tidak ikut di swab test itu? Apakah dia sehat, atau tidak?

Ibuku terus-terusan menangis dan dalam kekalutannya sempat menyalahkan ayahku karena ternyata beliau sempat memeriksa temannya yang belakangan positif Covid-19. Ayahku marah. Adikku ketakutan. Sesaat kami tidak tahu harus berbuat apa. Keesokan harinya, kami ‘menyerahkan diri’ untuk dirawat di rumah sakit. Di sana, adikku langsung ikut masuk ke rumah sakit karena ia juga sudah demam, meski belum di-swab test. Namun ternyata hal itu tidak percuma, karena dua hari kemudian, adikku juga dinyatakan positif Covid-19.

Awalnya, aku juga marah. Aku sampai mogok membuka Instagram, karena aku benci melihat Instagram stories teman-temanku. Mereka tetap berkumpul bersama, nongkrong di mal, tapi sehat-sehat saja! Sementara aku yang selalu patuh tinggal di rumah, malah terkena Covid-19! Coba bayangkan: aku dan pacar selalu di rumah, tidak pernah nongkrong di luar. Kalaupun ingin makan di luar, kami hanya membelinya lalu menyantapnya di rumah. Ibuku apalagi. Sejak bulan Maret beliau selalu di rumah karena kantornya mewajibkan WFH (Work From Home). Ia sangat keras dan disiplin terhadap kebersihan, ayahku selalu dipaksa untuk langsung mandi olehnya begitu pulang kerja. Seluruh barang dengan sangat teliti selalu disemprot disinfektan oleh ibuku. Rumah setiap hari di pelnya dengan karbol. Ia juga tidak pernah berkumpul bersama teman-temannya. Adikku lebih parah lagi, ia bahkan tidak pernah keluar dari rumah sekali pun. Apa lagi yang kurang?

Tapi sekarang, saat kami berempat berada di ruang isolasi, kami mulai menyadari ada satu ‘protokol kesehatan’ yang sesungguhnya sering lalai kami lakukan. Di ruang isolasi yang mencekam itu, Tuhan mengingatkan kami. Aku merasa ditegur-Nya lewat mimpi. Ayahku diperdengarkan terus dengan lagu-lagu rohani yang terus bergema di hatinya ketika ia tidur. Ada hal terpenting dari sekian banyak protokol yang harus ditaati tapi justru tidak kami lakukan: berdoa mohon perlindungan!

Kenapa aku bilang berdoa merupakan salah satu bagian dari protokol kesehatan? Karena aku dan keluargaku sudah mengalaminya sendiri: semua itu percuma kalau kita tidak melibatkan Tuhan di dalamnya. Seperti kata Ayub: “Apakah kekuatanku?” (Ayub 6:11). “Tetapi pada Allahlah hikmat dan kekuatan, Dialah yang mempunyai pertimbangan dan pengertian” (Ayub 12:13). Kami sudah melakukan protokol kesehatan dengan benar dan disiplin, tapi tetap saja kena. Karena apa? Ya, karena akhir-akhir ini, kami memang sangat kurang membangun mezbah keluarga. Dalam kesibukan keluarga setiap pagi, sebelum Ayah pergi bekerja, kami tidak pernah melepasnya dalam doa secara khusus. Kami membiarkannya begitu saja, berjuang di luar menghadapi pandemi, tanpa meminta perlindungan dari Tuhan, karena kami begitu yakin kami telah melakukan protokol dengan tepat dan benar. Kami sekeluarga memakai kekuatan kami sendiri dengan merasa terlalu percaya diri. Kami lupa melibatkan Tuhan agar senantiasa menjaga kami.

Namun begitu, Tuhan tetap sayang pada kami. Dari awal semua telah diatur oleh-Nya. Pacarku, yang selama ini tidak pernah bandel, dibuat-Nya menjadi bandel agar kami tidak bertemu dan ia terhindar dari Covid-19. Dan, kami bersyukur memperoleh kemudahan mendapat ruangan di rumah sakit padahal banyak yang terpaksa berkeliling ke beberapa rumah sakit dulu baru berhasil mendapatkan ruangan. Keluarga, teman, dan pacarku juga senantiasa mendoakan dan mendukung dari rumah. Mereka selalu menyemangatiku ketika kami lagi-lagi mendapatkan hasil ‘positif’ di swab yang kedua. Keluarga besar, secara bergiliran, mengirimi kami makanan enak-enak setiap harinya, sampai terkadang rasanya terlalu banyak. Ketakutan yang selalu terbayang olehku, bahwa ayahku pasti kalah bila terkena penyakit ini juga tidak terbukti, karena sampai hari ini ayahku sehat-sehat saja dan dapat beraktivitas seperti biasa, meski memang karena komorbidnya, kondisi paru-paru beliau yang paling parah di antara kami berempat, dan proses penyembuhannya akan memakan waktu yang lebih lama. Tuhan Yesus begitu sayang pada keluarga kami, padahal kami sudah lama melupakan-Nya. Karena kasihnya, Dia mengizinkan peristiwa ini terjadi pada keluarga kami untuk mengingatkan bahwa Dia ada dan selalu menyertai kami.

Kata ayahku, ini retret keluarga kami. Dalam ruang isolasi rumah sakit ini, kami diingatkan lagi untuk membangun kembali mezbah keluarga yang sudah lama hilang dari keluarga kami. Kami diingatkan bahwa percuma saja kami mengandalkan kekuatan sendiri dan tidak melibatkan Tuhan dalam hidup kita. Terima kasih Tuhan Yesus, Engkau begitu baik kepada kami.

Untuk teman-teman yang kukasihi, aku meminta kalian untuk tidak lupa menyertakan Tuhan. Jangan lupa untuk tetap melakukan protokol kesehatan, tapi sebelum itu mulailah semua kegiatan kalian dengan berdoa. Buka dan tutup hari kalian dengan doa. Melakukan protokol kesehatan tanpa Tuhan sama saja bohong. “Sebab Tuhan, Dia sendiri akan berjalan di depanmu, Dia sendiri akan menyertai engkau, Dia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau; janganlah takut dan jangan patah hati” (Ulangan 31:8).

Jaga kesehatan kalian, karena terjangkit Covid-19 sangat tidak enak! Kiranya tulisanku ini bisa menjadi berkat. Tuhan Yesus memberkati, amin.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Tidak Sempurna, Tetapi Diberikan-Nya Tepat Buatku

Kasih bapakku tidak sempurna, tetapi kasih Allah Bapa menyempurnakannya. Kedua orangtuaku, juga orangtuamu mungkin banyak berlaku salah dan mengecewakan kita, tetapi percayakah kita kalau merekalah yang terbaik buat kita?

Melayani di IGD, Caraku Menikmati Berkat Tuhan

Oleh Still Ricardo Peea, Tangerang

Ketika himbauan bekerja dari rumah dikeluarkan, aku dan beberapa temanku memilih tetap tinggal di asrama kampus. Kami tidak pulang kampung dan menyiapkan diri untuk menjadi relawan di rumah sakit jika sewaktu-waktu tenaga kami dibutuhkan. Karena jurusan kuliahku adalah Keperawatan, dengan menjadi relawan aku bisa belajar dan mengaplikasikan ilmuku bagi masyarakat.

Aku sudah memikirkan dan mendoakan kesempatan menjadi relawan ini sejak Desember 2019 lalu, saat virus corona masih berepisentrum di Tiongkok. Keluargaku menghimbauku pulang saja karena ada tiket murah, tapi aku menolak. Meski aku sehat, aku tak mau jadi agen penularan, apalagi di rumahku ada kakek dan nenekku, juga tante dan pamanku yang punya riwayat sakit gula. Mereka beresiko terkena COVID-19.

Aku terus memikirkan dan mendoakan hal tersebut hingga di Februari, aku menjalankan praktik klinik untuk mata kuliah pengayaan di salah satu rumah sakit yang kini menjadi tempat rujukan bagi pasien COVID-19.

Pergumulan untuk tetap tinggal

Meski aku punya passion untuk melayani dan mengaplikasikan ilmuku, tapi di kala aku berdoa, aku melihat betapa pandemi ini mengerikan. Virus tak kasat mata ini telah merenggut ribuan nyawa, baik itu masyarakat umum dan juga tenaga kesehatan.

“Apakah Tuhan mau membawaku ke sini untuk mendidikku, atau supaya aku mati karena pandemi ini?” gumamku.

Tapi suara dalam hatiku segera menyentakku. “Hey, di mana kepercayaanmu? Tidakkah kau ingat kebaikan Tuhan selama ini?”

Pandanganku lalu tertuju kepada rerumputan. Aku ingat firman Tuhan di Yesaya 40:8 dan 1 Petrus 1:24-25 yang mengatakan betapa fananya manusia di hadapan Allah Sang Pencipta. Kita seperti rumput, ada hanya sebentar, lalu layu. Namun, meski hidup kita fana, di sinilah Tuhan berkarya. Melalui hidup kita, Tuhan ingin agar orang lain pun beroleh sentuhan kasih-Nya.

Di Minggu pagi setelah ibadah, kulihat langit cerah. Angkasa berwarna lebih biru dari biasanya. Tiupan angin menerpaku. Lagi-lagi aku merasa seperti dibisikkan, “Tuhan sungguh mempedulikanku. Tidakkah itu luar biasa? Allah Bapa sungguh mengasihimu.”

Sore harinya, saat kupandang langit senja, lagi-lagi aku teringat firman Tuhan yang berkata bahwa Allah sungguh mengasihi kita. “Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu” (Yesaya 31:3). Segala benda langit diciptakan-Nya, juga dipelihara-Nya. Jika benda-benda langit dan segala makhluk hidup dipelihara Tuhan, masakan kita sebagai manusia luput dari perhatian-Nya?

Dengan kekuatan dari Tuhan, aku diizinkan-Nya untuk membantu di bagian screening di Instalasi Gawat Darurat dan di bangsal. Aku membantu setiap pengunjung mengisi formulir pernyataan kesehatan yang menyatakan bahwa mereka tidak memiliki gelaja dari COVID-19. Apabila ada salah satu gejala dan faktor pendukung lain, seperti riwayat kontak dengan orang terduga COVID-19, maka orang tersebut harus mengecek kesehatannya di klinik umum dulu. Aku bertugas memastikan secara spesifik apa yang menjadi keluhan utama mereka.

Setiap orang yang berkunjung ke IGD juga harus dicek suhu tubuhnya. Meski pasien virus corona menjadi perhatian utama, tapi kami tetap harus juga memperhatikan pasien-pasien lain yang dalam kondisi kesehatannya gawat. Kami mengarahkan ke tempat di mana mereka bisa mendapatkan perawatan menyeluruh. Selain itu, kesempatan melayani ini juga menciptakan momen-momen diskusi dengan kakak-kakak seniorku, aku belajar banyak hal.

Meskipun awalnya aku sempat ragu dan takut, sekarang aku bisa bersukacita karena aku tahu apa yang kukerjakan adalah sebuah pelayanan bagi-Nya melalui menolong sesamaku. Hikmat dan pemahaman yang Tuhan anugerahkan memampukanku melihat pandemi ini dari sudut pandang yang berbeda: bukan ketakutan karena virus, tetapi semangat untuk meneruskan kasih-Nya pada orang lain.

Martin Luther dikenal karena dia tidak bisa diam saja ketika mendapati ada yang keliru dalam pengajaran dan praktik kehidupan bergereja. Dia juga tak bisa diam ketika melihat orang lain membutuhkan pertolongan. “Orang Kristen terpanggil untuk mendemonstrasikan belas kasih,” katanya. Juga Florence Nightingale yang memilih untuk menjadi relawan dan melayani dalam perang, tak memikirkan dirinya sebagai anak bangsawan melainkan mau melayani dengan resiko yang besar yaitu terbunuh dalam perang, dia menentang adanya diskriminasi dalam pemberian pelayanan kesehatan. Pemikiran, tindakan dan perkataan Luther dan Nightingale mencerminkan sosok teladan yang sempurna, Kristus sendiri. Alkitab mencatat selama pelayanan-Nya di dunia, Kristus tak hanya mengajar, Dia juga melayani dengan menyembuhkan banyak orang sakit, juga membasuh kaki murid-murid-Nya.

Menutup tulisanku, kupandangi mentari. Sinarnya di pagi hari memberikan kesan hangat dan nyaman, menandai hari yang baru telah tiba. Jika matahari yang dengan sinarnya memberikan banyak kebaikan bagi dunia, demikian juga kita yang diciptakan-Nya begitu istimewa. Dengan segala berkat yang kita terima, kita pun diutus-Nya untuk meneruskan berkat itu kepada orang-orang di sekitar kita.

Bapa kami yang di surga, terima kasih banyak.

Baca Juga:

3 Hal yang Bisa Kita Lakukan Kala Menghadapi Penderitaan

Dalam masa-masa sulit, sulit pula buat kita memikirkan hal-hal yang baik. Tapi, ada satu kebenaran: dalam segala masa, Tuhan selalu baik. Kepada-Nyalah kita dapat berharap dan berdiri teguh.

Divonis Tumor Payudara, Pertolongan Tuhan Nyata Bagiku

Oleh Lidia, Jakarta

Pernahkah kamu menerima berita yang begitu mengejutkan dan itu sontak membuatmu sedih dan terpukul? Mungkin itu bisa berupa berita kehilangan orang yang kamu sayangi secara tiba-tiba, atau ketika kamu divonis memiliki penyakit yang tidak kamu sadari hingga kamu harus dioperasi.

Juli 2010, usiaku saat itu 20 tahun dan aku layaknya mahasiswa pada umumnya: pergi ke kampus, belajar, ujian, jalan-jalan dengan teman, juga mengerjakan skripsi. Hingga suatu hari, saat aku mandi, aku menyadari ada benjolan di dalam payudaraku. Benjolannya agak keras, tapi ukurannya kecil. Aku memberanikan diri menceritakan ini ke mamaku dan kakak perempuanku. Mamaku segera menyarankanku untuk cek ke dokter. Dalam hatiku, aku bingung dan sedih, mengapa aku harus mengalami ini? Pola hidupku cukup sehat, hampir tiap hari aku selalu makan makanan yang dimasak mamaku. Pun aku tidak pernah melakukan hal-hal yang mengancam kesehatanku. Air mataku menetes saat aku mendoakan hal ini pada Tuhan.

Kucoba mencari di Google, dokter tumor mana yang terkenal. Tapi kemudian aku mendapat rekomendasi seorang dokter rekan papaku. Dokter ini menyarankanku untuk dioperasi. Aku coba cari pendapat dokter lain dan sarannya tetap sama. Mamaku lalu mencari-cari informasi pengobatan lainnya. Ada satu rumah sakit di Tiongkok yang menggabungkan metode pengobatan ala Timur dan Barat. Rumah sakit ini punya kantor perwakilan di Jakarta dan kami pun mendatanginya. Dokter di sana lalu memegang benjolanku dan mengatakan hal yang sama: harus dioperasi. Sudah tiga dokter menyatakan operasi. Sejujurnya aku sangat takut karena aku belum pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya.

Aku pernah mendengar rumor kurang baik tentang operasi di Indonesia. Orang yang memiliki rezeki lebih mungkin akan memilih ke luar negeri. Mamaku ingin membawaku ke Tiongkok, tapi dana kami terbatas. Belum lagi saat itu aku masih kuliah, pergi berobat ke luar negeri hanya akan menyusahkan papa mamaku.

Aku pun kalut dan sedih. Aku berdoa, belajar percaya dan memohon hikmat bahwa di mana pun aku harus menjalani operasi, tangan Tuhanlah yang menjadi hal utama dan tangan dokter adalah yang kedua. Aku memutuskan untuk dioperasi di Jakarta dan mencari-cari rumah sakit di mana aku bisa menggunakan fasilitas asuransi.

Puji Tuhan, operasi berjalan lancar dan hasilnya adalah jinak. Meski jumlahnya ada sekitar 5 tumor dan di hari kedua pasca operasi aku masih mengalami pendarahan, Tuhan menolongku melewatinya. Saat ini aku masih hidup untuk terus belajar menyelami kebaikan Tuhan dalam hidupku.

Mungkin ada teman-teman yang membaca kesaksian ini dan mengalami pergumulan yang sama, atau sedang bergumul dengan penyakit lain. Belajarlah untuk percaya dan lebih mengandalkan Tuhan dalam hal apapun, termasuk menghadapi operasi. Di mana pun kita menjalani operasi, baik di dalam atau luar negeri, aku percaya keputusan akhir tetap ada dalam tangan Tuhan. Doa dan kekuatan dari Tuhan jauh lebih menguatkan daripada mengandalkan dokter manusia yang paling hebat dan terkenal sekalipun. Jika kamu adalah seorang wanita, aku mendorongmu untuk menerapkan pola hidup sehat dan berinisiatiflah untuk melakukan pengecekan terhadap organ-organ vital tubuhmu. Mendeteksi penyakit sejak dini jauh lebih baik daripada mendapatinya sudah terlanjur akut.

Dan, dari pengalaman ini, aku belajar kalau hidup manusia sejatinya adalah sementara. “Sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap” (Yakobus 4:14).

Dalam susah ataupun senang, sehat ataupun sakit, aku harus terus mengandalkan Tuhan dan dalam perkenanan-Nya, aku ingin terus dipakai untuk memuliakan nama-Nya.

Baca Juga:

Belajar dari Perbedaan Suku: Kasih Mengalahkan Prasangka

Aku pernah menghindar dan beranggapan buruk terhadap suku tertentu. Hingga suatu ketika, Tuhan mempertemukanku dengan seorang teman dari suku tersebut, yang darinya aku belajar tentang menjadi Indonesia sesungguhnya.