Posts

Ketika Aku Kehilangan Orang yang Kukasihi

Penulis: Peerapat T
Artikel asli dalam Bahasa Thailand: ประกาศนียบัตรแห่งความสูญเสีย

Loss-of-a-Loved-One

Bagaimana caramu memelihara kenangan tentang orang terkasih yang sudah meninggal dunia? Ada orang yang memelihara kenangan itu dengan cara menceritakan kembali pengalaman-pengalamannya bersama almarhum dalam percakapan sehari-hari. Ada juga yang menyimpan benda-benda kenangan seperti foto-foto dari almarhum.

Aku melakukan cara yang kedua. Keluargaku punya kebiasaan memasang foto-foto anggota keluarga di dinding rumah kami. Dua foto kakek dan nenek buyutku misalnya, sudah terpasang di dinding bahkan sejak aku belum lahir. Sebab itu, meski aku belum pernah berjumpa dengan mereka, sosok mereka sangat akrab bagiku dan menjadi bagian dari masa kecilku.

Seiring dengan bertambahnya usiaku, ada makin banyak foto yang terpasang di dinding rumah kami. Beberapa foto mengingatkan aku pada kenangan yang memedihkan hati. Salah satunya adalah foto kakak laki-lakiku yang terluka parah akibat kecelakaan sepeda motor. Saat itu aku baru saja menjadi orang percaya. Aku dan teman-teman gerejaku berkumpul bersama untuk mendoakannya. Sayangnya kondisi kakakku tetap tidak membaik setelah dua kali bedah otak, dan beberapa saat kemudian ia menghembuskan napasnya yang terakhir.

Foto lainnya adalah foto nenekku yang mengidap diabetes. Namun, foto yang membawa kenangan paling kuat adalah foto ayahku. Suatu hari, beliau mengalami serangan jantung dan meninggal dalam hitungan menit. Kepergiannya yang sangat mendadak dan tidak terduga itu membekaskan rasa kehilangan yang sangat besar dalam hatiku.

Kenangan akan orang-orang yang terkasih ini membuatku merenungkan kembali mengapa kita harus menghadapi kematian. Kita mati karena itulah konsekuensi dari pemberontakan kita terhadap Allah—”karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Roma 3:23). Sebagian dari kita berusaha untuk tidak memikirkan tentang kematian sama sekali, atau hidup dengan cara tertentu seakan-akan maut tidak akan pernah menjemput kita. Namun semua itu tidak mengubah kenyataan bahwa kematian pasti akan datang menyapa, tidak mungkin dihindari. Iman kita kepada Tuhan pun tidak membuat kita luput dari kematian atau kehilangan orang-orang yang kita kasihi.

Namun, bagi setiap kita yang telah mengikut Kristus, ada hal yang berbeda. Kita memiliki pengharapan saat menghadapi maut karena anugerah keselamatan yang sangat berharga melalui kematian Yesus di kayu salib (Ibrani 9:27-28). Kita mendapatkan penghiburan dengan mengetahui bahwa Allah tidak meninggalkan anak-anak-Nya saat kita harus berhadapan dengan lembah kematian yang kelam; Dia sangat memahami rasa kehilangan kita.

Allah sungguh menghiburku melalui firman-Nya pada saat aku berduka dan merasa sangat kehilangan. Satu ayat Alkitab yang berbicara dengan kuat kepadaku dalam masa-masa penuh duka adalah Mazmur 56:9, ”Sengsaraku Engkaulah yang menghitung-hitung, air mataku Kautaruh ke dalam kirbat-Mu. Bukankah semuanya telah Kaudaftarkan?” Menyadari bahwa Allah tahu persis apa yang aku rasakan membuatku menangis haru dan menjadi sangat terhibur.

Saudara-saudara seiman yang datang mendoakan aku juga menjadi pengingat akan kasih dan kesetiaan Allah—bahwa sesuai janji-Nya, Dia telah dan tidak akan pernah meninggalkan anak-anak-Nya dalam masa-masa yang paling sulit sekalipun. Kehadiran mereka juga menjadi penyemangat sekaligus kesaksian bagi anggota keluargaku yang belum percaya. Dalam momen-momen yang kelam, kasih Allah bersinar sangat terang melalui tindakan kasih umat-Nya, menghibur dan memulihkan orang-orang yang sedang hancur hatinya.

Apakah dalam hari-hari ini kamu juga sedang merasa kehilangan? Jangan tawar hati. Ingatlah bahwa Allah selalu menyertai dan tidak pernah berhenti mengasihi anak-anak-Nya. Letakkanlah pengharapanmu di dalam Dia dan biarkan Dia memberimu penghiburan yang sejati.

Tidak Akan Tenggelam Lagi

Penulis: Fushen Ong
Ilustrator: Armitze Ghazali

Tidak-tenggelam

Setiap kali mendengar kata “tenggelam”, aku selalu teringat pelajaran yang diberikan oleh salah seorang dosen forensik ternama di Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “tenggelam” berarti:
1. Masuk terbenam ke dalam air.
2. Karam (tentang perahu, kapal).
3. Terbenam (tentang matahari).
4. Jatuh ke dalam kesengsaraan (kesusahan dan sebagainya).
5. Hilang; lenyap.
6. Asyik.

Sebagian besar definisi tersebut cenderung menunjukkan hal yang negatif, namun definisi yang diberikan dosen ilmu forensik itu lebih menyentak hati. Menurut beliau, “tenggelam” berarti mati akibat menghirup air. Satu kata yang jelas memberikan perbedaan bermakna dalam definisi ini adalah “mati”. Bila mengingat beberapa peristiwa seperti bencana tsunami atau kecelakaan transportasi yang menenggelamkan kapal maupun pesawat, hatiku selalu teriris, karena hampir tidak pernah ada yang selamat dari peristiwa tenggelam. Kenyataan tersebut makin meyakinkanku bahwa tenggelam sama halnya dengan mati.

Orang yang tenggelam tidak mampu menyelamatkan dirinya, tidak berdaya melawan kondisi di sekitarnya, karena pada dasarnya mereka telah mati.

Alkitab memberitahu kita bahwa setiap manusia sesungguhnya telah mati oleh dosa (Roma 3:23; 6:23). Sama seperti orang yang tenggelam, kita tidak berdaya melawan arus dunia di sekitar kita. Tidak ada lagi harapan bagi kita. Namun, syukur kepada Allah atas kasih-Nya yang begitu besar dan ajaib. Dia berkenan menyelamatkan kita. Dia menghidupkan kita kembali di dalam Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita (Efesus 2:5).

Meski demikian, tidak berarti setelah diselamatkan, hidup kita lantas bebas dari masalah. Di tengah dunia ini, tidak jarang kita berada dalam kondisi yang tidak dapat kita kendalikan. Tugas yang menumpuk, penyakit berbahaya, kehilangan anggota keluarga, patah hati, sakit hati, dan kesepian adalah beberapa hal dalam kehidupan sehari-hari yang sepertinya siap menenggelamkan kita.

Satu hal yang sangat penting untuk kita ingat, di dalam Kristus, kasih karunia Tuhan akan selalu tersedia bagi kita (2 Korintus 12:9). Mungkin kita merasa tidak berdaya, tetapi bukan berarti kita tidak punya pengharapan. Aku sendiri pernah berkali-kali berada dalam kondisi yang tidak menyenangkan. Aku berseru kepada Tuhan, namun situasi tak kunjung membaik, seolah-olah Tuhan menelantarkan aku. Akan tetapi, firman Tuhan selalu menghiburkan aku, “Sesungguhnya tangan Tuhan tidak kurang panjang untuk menyelamatkan, dan pendengaran-Nya tidak kurang tajam untuk mendengar” (Yesaya 59:1). Mungkin langkah kita goyah, dan adakalanya kita jatuh, tetapi kita tidak akan sampai tergeletak, karena Tuhan menopang tangan kita (Mazmur 37:24). Adakalanya arus dunia begitu kuat hendak menenggelamkan kita, namun jika kita berpegang pada Kristus, kita tidak akan tenggelam lagi.