Robby lahir dan besar di jakarta.
Bercita-cita menjadi seorang pilot namun akhirnya bekerja di dunia farmasi.
Ingin menjadi saluran berkat lewat karya-karya yang dihasilkan.
Suka main game sambil menulis dan 3D Lettering menjadi kesukaan nya sampai saat ini.

Posts

Menikmati Keindahan

Sabtu, 27 April 2019

Menikmati Keindahan

Baca: Pengkhotbah 3:9-13

3:9 Apakah untung pekerja dari yang dikerjakannya dengan berjerih payah?

3:10 Aku telah melihat pekerjaan yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk melelahkan dirinya.

3:11 Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.

3:12 Aku tahu bahwa untuk mereka tak ada yang lebih baik dari pada bersuka-suka dan menikmati kesenangan dalam hidup mereka.

3:13 Dan bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu juga adalah pemberian Allah.

Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya. —Pengkhotbah 3:11

Menikmati Keindahan

Lukisan yang dipajang di lorong sebuah rumah sakit di pusat kota itu langsung menarik perhatian saya. Sapuan warna-warna pastel dan sosok-sosok dari suku asli Amerika Navajo dalam lukisan itu begitu memikat hati hingga saya berhenti berjalan dan memperhatikannya. “Coba lihat,” kata saya kepada Dan, suami saya.

Saat itu suami saya berjalan terus, tetapi saya tidak. Di antara lukisan-lukisan lain di lorong itu, saya berhenti untuk menatap lukisan yang satu ini. “Indahnya,” bisik saya.

Banyak hal dalam kehidupan ini memang indah. Lukisan mahakarya. Pemandangan indah. Kerajinan tangan yang kreatif. Begitu pula senyum seorang anak. Sapaan hangat sahabat. Telur biru burung robin. Lekukan pada kulit kerang. Untuk meringankan beban dalam hidup ini, “[Allah] membuat segala sesuatu indah pada waktunya”(pkh. 3:11). Dalam keindahan seperti itu, para ahli Alkitab menjelaskan, kita melihat sekilas kesempurnaan ciptaan Allah—termasuk kemuliaan dari kekuasaan sempurna-Nya yang akan datang.

Karena kita hanya bisa membayangkan kesempurnaan itu, Allah memberi kita kesempatan mencicipinya terlebih dahulu melalui keindahan hidup. Dalam hal itulah, Allah “memberikan kekekalan dalam hati mereka” (ay.11). Terkadang hari-hari kita terlihat suram dan tak berarti. Namun, Allah bermurah hati menyediakan momen-momen indah untuk direnungkan.

Seniman dari lukisan yang saya kagumi itu, Gerard Curtis Delano, mengerti hal itu. “Allah [memberi] saya talenta untuk menciptakan keindahan,” katanya, “dan itulah yang Dia ingin saya lakukan.”

Melihat keindahan seperti itu, apa respons kita? Kita dapat bersyukur kepada Allah untuk kekekalan yang akan datang sambil menikmati kemuliaan yang sudah kita saksikan. —Patricia Raybon

WAWASAN

Kitab Pengkhotbah tidak memberikan petunjuk yang jelas mengenai waktu penulisannya, tetapi sang penulis yang menyebut dirinya “Pengkhotbah” secara umum diyakini adalah Salomo, “anak Daud, raja di Yerusalem” (Pengkhotbah 1:1). Namun, ada juga yang percaya bahwa penulis kitab ini adalah seorang penyunting dan penulis yang mencatat pelajaran-pelajaran dari kehidupan Salomo dalam sebuah tradisi hikmat. Apakah tujuan kitab ini? Michael Eaton dalam buku tafsiran kitab Pengkhotbah menyatakan, “Kitab ini membela kehidupan iman kepada Allah pemurah dengan menunjukkan betapa suramnya pilihan-pilihan di luar iman.” Ia menyimpulkan bahwa tujuan sang Pengkhotbah adalah “untuk membawa kita melihat bahwa Allah itu ada, Dia baik dan pemurah, dan hanya dengan cara pandang inilah hidup lebih dapat dimengerti dan memberikan kepuasan.”—Alyson Kieda

Bagaimana Anda menanggapi keindahan yang telah Allah tempatkan di dunia ini? Bagaimana keindahan dunia ini mencerminkan diri-Nya?

Bapa, tolonglah aku hari ini melihat dan menikmati keindahan yang Engkau hadirkan dalam hidupku sembari aku menantikan kekekalan yang mulia.

Bacaan Alkitab Setahun: 1 Raja-Raja 1–2; Lukas 19:28-48

Handlettering oleh Robby Kurniawan

Merayakan Kreativitas

Selasa, 16 April 2019

Merayakan Kreativitas

Baca: Kejadian 1:1-21

1:1 Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.

1:2 Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air.

1:3 Berfirmanlah Allah: “Jadilah terang.” Lalu terang itu jadi.

1:4 Allah melihat bahwa terang itu baik, lalu dipisahkan-Nyalah terang itu dari gelap.

1:5 Dan Allah menamai terang itu siang, dan gelap itu malam. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari pertama.

1:6 Berfirmanlah Allah: “Jadilah cakrawala di tengah segala air untuk memisahkan air dari air.”

1:7 Maka Allah menjadikan cakrawala dan Ia memisahkan air yang ada di bawah cakrawala itu dari air yang ada di atasnya. Dan jadilah demikian.

1:8 Lalu Allah menamai cakrawala itu langit. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari kedua.

1:9 Berfirmanlah Allah: “Hendaklah segala air yang di bawah langit berkumpul pada satu tempat, sehingga kelihatan yang kering.” Dan jadilah demikian.

1:10 Lalu Allah menamai yang kering itu darat, dan kumpulan air itu dinamai-Nya laut. Allah melihat bahwa semuanya itu baik.

1:11 Berfirmanlah Allah: “Hendaklah tanah menumbuhkan tunas-tunas muda, tumbuh-tumbuhan yang berbiji, segala jenis pohon buah-buahan yang menghasilkan buah yang berbiji, supaya ada tumbuh-tumbuhan di bumi.” Dan jadilah demikian.

1:12 Tanah itu menumbuhkan tunas-tunas muda, segala jenis tumbuh-tumbuhan yang berbiji dan segala jenis pohon-pohonan yang menghasilkan buah yang berbiji. Allah melihat bahwa semuanya itu baik.

1:13 Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari ketiga.

1:14 Berfirmanlah Allah: “Jadilah benda-benda penerang pada cakrawala untuk memisahkan siang dari malam. Biarlah benda-benda penerang itu menjadi tanda yang menunjukkan masa-masa yang tetap dan hari-hari dan tahun-tahun,

1:15 dan sebagai penerang pada cakrawala biarlah benda-benda itu menerangi bumi.” Dan jadilah demikian.

1:16 Maka Allah menjadikan kedua benda penerang yang besar itu, yakni yang lebih besar untuk menguasai siang dan yang lebih kecil untuk menguasai malam, dan menjadikan juga bintang-bintang.

1:17 Allah menaruh semuanya itu di cakrawala untuk menerangi bumi,

1:18 dan untuk menguasai siang dan malam, dan untuk memisahkan terang dari gelap. Allah melihat bahwa semuanya itu baik.

1:19 Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari keempat.

1:20 Berfirmanlah Allah: “Hendaklah dalam air berkeriapan makhluk yang hidup, dan hendaklah burung beterbangan di atas bumi melintasi cakrawala.”

1:21 Maka Allah menciptakan binatang-binatang laut yang besar dan segala jenis makhluk hidup yang bergerak, yang berkeriapan dalam air, dan segala jenis burung yang bersayap. Allah melihat bahwa semuanya itu baik.

Berfirmanlah Allah, “Hendaklah dalam air berkeriapan makhluk yang hidup.” —Kejadian 1:20

Merayakan Kreativitas

Seekor ubur-ubur langka berenang mengikuti arus di kedalaman 1.200 meter di lautan dekat Baja, California. Badannya mengeluarkan cahaya berkilauan berwarna biru, ungu, dan merah muda, kontras dengan latar belakang air yang hitam. Tentakel-tentakelnya yang elegan melambai dengan indahnya seiring dengan tiap denyutan bagian payungnya yang berbentuk lonceng. Saat menonton video National Geographic tentang ubur-ubur Halitrephes maasi, saya membayangkan bagaimana Allah memilih dengan khusus bentuk yang unik bagi makhluk licin kenyal yang indah ini. Allah juga merancang secara khusus ubur-ubur jenis lain yang menurut para ahli sampai Oktober 2017 telah mencapai 2.000 jenis banyaknya.

Meskipun kita menyadari Allah adalah Sang Pencipta Agung, pernahkah kita berhenti sejenak dari kesibukan kita untuk benar-benar memikirkan kebenaran luar biasa yang diungkapkan dalam Kejadian pasal pertama? Allah kita yang luar biasa menghadirkan terang dan kehidupan ke dalam keragaman dunia yang diciptakan-Nya dengan penuh kreativitas melalui kuasa firman-Nya. Dia merancang “binatang-binatang laut yang besar dan segala jenis makhluk hidup yang bergerak, yang berkeriapan dalam air” (Kej. 1:21). Bahkan sampai saat ini, para ilmuwan baru menemukan sebagian kecil saja dari banyaknya makhluk hidup menakjubkan yang diciptakan Tuhan sejak permulaan zaman.

Allah juga secara khusus membentuk setiap pribadi di dunia ini dan memberi makna dalam setiap hari hidup kita, bahkan sejak sebelum kita dilahirkan (Mzm. 139:13-16). Sembari merayakan kreativitas Allah, kita dapat bersukacita pula atas banyaknya cara yang dipakai-Nya untuk menolong kita berimajinasi dan berkreasi bersama Dia serta untuk kemuliaan-Nya. —Xochitl Dixon

WAWASAN

Kitab Kejadian menggambarkan karya penciptaan Allah: pertama langit, bumi, dan lautan; diikuti oleh segala bentuk kehidupan—burung, ikan, binatang darat, dan manusia (Kejadian 1:1-27). Para ilmuwan memperkirakan ada dua sampai lima puluh juta jenis hewan pada masa kini, dan hanya kurang dari dua juta yang sudah diberi nama. Jumlah ini sangat luar biasa dan menjadi bukti dari Allah kita yang kreatif dan penuh kuasa. —K.T. Sim

Karunia kreatif apa yang Allah berikan kepada Anda? Bagaimana Anda dapat memakainya untuk kemuliaan-Nya?

Allah Pencipta, terima kasih Kau mengajak kami menghargai kreativitas-Mu yang luar biasa dan menikmati segala yang telah Kau berikan kepada kami.

Bacaan Alkitab Setahun: 1 Samuel 30–31; Lukas 13:23-35

Handlettering oleh Robby Kurniawan

Sia-Siakah Kita Bersabar?

Hari ke-27 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Sia-Siakah Kita Bersabar?

Baca: Yakobus 5:7-11

5:7 Karena itu, saudara-saudara, bersabarlah sampai kepada kedatangan Tuhan! Sesungguhnya petani menantikan hasil yang berharga dari tanahnya dan ia sabar sampai telah turun hujan musim gugur dan hujan musim semi.

5:8 Kamu juga harus bersabar dan harus meneguhkan hatimu, karena kedatangan Tuhan sudah dekat!

5:9 Saudara-saudara, janganlah kamu bersungut-sungut dan saling mempersalahkan, supaya kamu jangan dihukum. Sesungguhnya Hakim telah berdiri di ambang pintu.

5:10 Saudara-saudara, turutilah teladan penderitaan dan kesabaran para nabi yang telah berbicara demi nama Tuhan.

5:11 Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun; kamu telah mendengar tentang ketekunan Ayub dan kamu telah tahu apa yang pada akhirnya disediakan Tuhan baginya, karena Tuhan maha penyayang dan penuh belas kasihan.

Sia-Siakah Kita Bersabar?

Aku merasa cukup sudah. Hatiku sangat berat memikirkan hal-hal yang menyakitkan ini. Untuk apa terus membawa rasa sakitku dalam doa jika tidak ada yang akan segera berubah?

Tuhan telah memintaku membawa rasa sakitku kepada-Nya daripada menekannya atau berusaha mengatasinya sendiri dengan cara yang tidak sehat. Saat aku melakukannya, kehadiran Tuhan yang memberi ketenangan terkadang bisa kurasakan begitu nyata. Adakalanya Tuhan juga menunjukkan cara pandang atau pemikiran baru terhadap situasi yang aku hadapi.

Namun malam itu, tidak ada yang terjadi. Aku merasa diliputi oleh kesia-siaan. Rasa sakit itu masih di sana. Aku masih merasa terluka.

Di tengah rasa putus asa dan frustrasi, Tuhan mengingatkanku pada Yakobus 5:7-8 yang berkata, “Karena itu, saudara-saudara, bersabarlah sampai kepada kedatangan Tuhan! Sesungguhnya petani menantikan hasil yang berharga dari tanahnya dan ia sabar sampai telah turun hujan musim gugur dan hujan musim semi. Kamu juga harus bersabar dan harus meneguhkan hatimu, karena kedatangan Tuhan sudah dekat!

Tuhan menunjukkan kepadaku bahwa ketika para petani menabur, hujan tidak langsung datang. Si petani harus menanti turunnya hujan untuk menyirami tanah itu. Hujan musim gugur dan hujan musim semi hanya akan datang pada waktu tertentu, tidak setiap saat.

Pada intinya, kesabaran adalah salah satu karakter yang dibentuk dalam proses menantikan Tuhan dan mempercayai waktu-Nya. Kita belajar untuk tidak menjadi gelisah karena hasil yang tidak segera terlihat.

Yakobus mengingatkan bahwa kita tidak perlu menanti dalam ketidakpastian. Titik akhirnya jelas adalah “kedatangan Tuhan” (ayat 7-8) yang “sudah dekat” (ayat 8). Ada dua pengertian yang aku dapatkan dari ayat ini. Pertama, dalam kedaulatan-Nya, Tuhan berkuasa untuk datang melakukan sesuatu dalam situasi yang sedang kita hadapi di dunia ini. Kedua, bila Tuhan memilih tidak melakukannya, sudah pasti, di akhir sejarah dunia ini Dia akan “menghapus segala air mata” dari mata kita (Wahyu 21:4a). Sebagai orang-orang Kristen, kita semua sangat menantikan waktunya “tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu” (Wahyu 21:4b).

Apa yang kita tabur sekarang dengan air mata itu ibarat benih-benih kecil, tidak ada artinya dibandingkan dengan panen sukacita yang melimpah—karena “hasil yang berharga” dari tanah yang ditabur (ayat 7) Tuhan akan membuat kita menuai hasilnya. Karena di dalam Kristus, Dia akan membawa kita menuai hasil. Di dalam Kristus, “penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami. Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal” (2 Korintus 4:17-18).

Bagian Alkitab ini mengakui bahwa menanti-nantikan Tuhan untuk menyembuhkan rasa sakit kita dapat membuat kita gelisah dan tidak bahagia. Namun, bagian ini juga mengingatkan kita: “Saudara-saudara, janganlah kamu bersungut-sungut dan saling mempersalahkan, supaya kamu jangan dihukum. Sesungguhnya Hakim telah berdiri di ambang pintu” (ayat 9).

Ketika diri kita merasa gelisah, takut, atau bergumul dengan cara lain saat menghadapi masalah yang sulit untuk waktu yang lama, kita bisa saja melampiaskan rasa sakit kita dan meluapkan rasa frustrasi kita kepada orang lain. Perasaan itu bisa keluar sebagai rasa iri atau cemburu kepada orang-orang yang menurut kita memiliki hidup lebih baik dari kita. Mungkin juga kita akan tergoda untuk menjadi tidak sabaran atau mudah tersinggung oleh orang lain saat kita berusaha mengatasi perasaan dalam batin kita.

Kita harus menjaga agar cara kita menghadapi situasi sulit tidak menyebabkan kita menaburkan pertikaian dalam hubungan-hubungan kita. Sikap yang “bersungut-sungut” dan menyalahkan saudara-saudara kita, tidaklah menyenangkan Tuhan.

Sebaliknya, kita harus bertekun dalam perjalanan kita sama seperti para nabi Perjanjian Lama. Yakobus mengajar kita, “Saudara-saudara, turutilah teladan penderitaan dan kesabaran para nabi yang telah berbicara demi nama Tuhan. Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun” (ayat 10-11a). Bisa bertekun melewati penderitaan adalah sebuah berkat, karena pada akhirnya ketekunan itu akan menghasilkan pengharapan yang tahan uji dalam kasih Tuhan kepada kita (Roma 5:3-5).

Terakhir, Yakobus juga memberitahu kita betapa pentingnya mengingat kehadiran Tuhan yang menyertai kita saat kita bertekun. Ia mengingatkan bagaimana Tuhan datang untuk Ayub, dan bahwa Tuhan itu ada di pihak kita: “Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun; kamu telah mendengar tentang ketekunan Ayub dan kamu telah tahu apa yang pada akhirnya disediakan Tuhan baginya, karena Tuhan maha penyayang dan penuh belas kasihan” (ayat 11).

Karena Tuhan itu penuh belas kasihan dan rahmat, kita dapat sepenuhnya percaya bahwa Dia berkuasa untuk campur tangan dalam kesulitan yang harus kita hadapi dengan cara yang akan membawa kita menuai sukacita.

Yang perlu kita lakukan adalah bertekun mempercayai hati-Nya untuk kita, dan menantikan Dia menolong kita. —Raphael Zhang, Singapura

Handlettering oleh Robby Kurniawan
Photo credit: Ian Tan

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Dalam bidang kehidupan mana saja kamu mengalami kesulitan? Apa yang telah menolongmu untuk lebih sabar menantikan Tuhan dalam bidang-bidang kehidupan tersebut?

2. Apakah cara kamu menantikan Tuhan memunculkan ketegangan atau gesekan dalam hubunganmu dengan orang lain? Jika ya, apa saja yang bisa kamu lakukan secara berbeda?

3. Dalam menghadapi penderitaan, apakah kamu percaya bahwa Tuhan itu ada di pihakmu dan Dia akan datang untuk menolong, sama seperti yang dilakukan-Nya untuk Ayub? Jika kamu ragu, apa yang menurutmu dapat menolongmu untuk memahami karakter Tuhan sebagaimana yang diajarkan Kitab Suci?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Raphael Zhang, Singapura | Raphael suka membaca dan menulis, dan dua aktivitas ini dia gunakan sebagai sarana untuk terhubung dengan firman Tuhan. Sejak Raphael dipulihkan oleh Tuhan dari kehancurannya, Raphael bersemangat untuk menolong orang lain agar dapat dipulihkan juga oleh Tuhan yang begitu mengasihi manusia. Raphael juga tergila-gila pada keju, tetapi cinta terbesarnya tetaplah Yesus.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Siapa yang Memegang Kendali?

Hari ke-25 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Siapa yang Memegang Kendali?

Baca: Yakobus 4:13-17

4:13 Jadi sekarang, hai kamu yang berkata: “Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung”,

4:14 sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.

4:15 Sebenarnya kamu harus berkata: “Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.”

4:16 Tetapi sekarang kamu memegahkan diri dalam congkakmu, dan semua kemegahan yang demikian adalah salah.

4:17 Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa.

Siapa yang Memegang Kendali?

Beberapa tahun lalu, aku merencanakan perjalanan besar ke Amerika Utara yang agenda utamanya menelusuri beberapa jalur pendakian terkenal di wilayah itu. Aku membeli semua perlengkapan yang dibutuhkan—sebuah ransel yang kokoh, sebuah tenda yang bagus, dan juga buku-buku panduan untuk setiap jalur pendakian yang akan kutempuh. Menjelang perjalanan itu, pikiranku dipenuhi bayangan indah tentang alam bebas yang akan aku jumpai. Pada saat kuliah, fokusku tertuju pada layar komputer, mencari-cari perlengkapan terbaru untuk berkemah di situs web Amazon, atau membaca pengalaman para pendaki lain saat menempuh jalur pendakian yang sama.

Namun, dua bulan sebelum berangkat, sebuah kecelakaan saat berolahraga membuat rencanaku porak-poranda. Jaringan pengikat sendi lututku robek, memupuskan semua harapanku untuk menaklukkan rimba pendakian Amerika Utara. Semua imajinasi dan rencana yang sudah aku persiapkan selama enam bulan terakhir menjadi sia-sia. Aku benar-benar kecewa. Waktu yang aku lewatkan di Amerika Utara diwarnai kegetiran karena apa yang seharusnya bisa terjadi selama aku di sana tidak bisa terwujud.

Yakobus berbicara terus terang tentang betapa rapuhnya rencana dan kehidupan manusia di dunia ini. Sebuah kenyataan yang bertentangan dengan naluri kita. Seperti contoh yang diberikan Yakobus, kita kerap begitu sibuk membuat rencana-rencana untuk hidup kita sehingga kita bisa lupa melakukan perbuatan baik yang seharusnya kita lakukan (ayat 17). Parahnya lagi, kita bisa merasa rencana kita begitu hebatnya, seolah-olah kita adalah pengendali kehidupan ini. Sebaliknya, Yakobus menggambarkan hidup ini sama seperti uap—sebentar saja kelihatan lalu lenyap (ayat 14).

Gambaran ini mengingatkan bahwa kita sebenarnya tidak punya kendali atas hidup kita sebanyak yang kita bayangkan. Kita boleh membuat banyak rencana dan menata hidup kita menurut ambisi dan asumsi kita tentang kesuksesan, tetapi tak satu manusia pun yang bisa menjamin semua itu akan terwujud. Rencana yang paling pasti pun rentan buyar karena hidup ini memang rapuh. Lebih jauh, Yakobus mengingatkan kita bahwa Tuhan sendirilah yang memegang kendali penuh atas hidup kita. Kehendak-Nya atas hidup kita, itulah yang paling menentukan, lebih dari rencana apa pun yang kita pikirkan.

Menganggap diri bisa memegang kendali hidup bisa menggembungkan ego kita, membuat kita merasa tidak lagi membutuhkan apa-apa di luar diri kita. Yakobus menyebutnya congkak. Orang yang congkak tidak lagi memperhatikan kehendak Tuhan, tetapi hidup menurut apa yang menyenangkan hatinya.

Jelas, menurut Yakobus, ini bertentangan dengan cara hidup seorang pengikut Kristus. Iman yang sejati menghormati kehendak Tuhan yang berdaulat. Artinya, pertama-tama kita harus mengakui bahwa keberadaan kita ini bergantung pada Tuhan dan masa depan kita terutama ditentukan oleh kehendak-Nya. Ayat 15 juga menunjukkan bahwa itu berarti menempatkan rencana-rencana kita di kursi penumpang, dan membiarkan Tuhan yang mengarahkan kehidupan kita untuk melakukan apa yang Dia mau.

Ini tidak berarti kita harus berhenti membuat rencana. Yakobus memanggil kita untuk membuat rencana dengan dipandu oleh firman Tuhan. Menengok ke belakang, aku sendiri menyadari betapa aku sangat sedikit melibatkan Tuhan dalam merencanakan perjalananku. Bukannya hidup tunduk pada firman-Nya, aku menempatkan kehendakku di atas kehendak-Nya. Pengalaman ini menunjukkan kepadaku bahwa meski sudah dipersiapkan sebaik mungkin, rencana-rencana kita itu bisa gagal. Sebab itu, kita harus berupaya sungguh-sungguh untuk menjadikan Tuhan sebagai pusat dari semua rencana yang kita buat. —Andrew Koay, Australia

Handlettering oleh Robby Kurniawan
Photo Credit: Blake Wisz

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Seberapa banyak kamu melibatkan Tuhan dalam rencana-rencanamu? Apakah kamu membuat rencana dengan mengingat hal-hal yang dikehendaki Tuhan?

2. Apa yang kita ketahui tentang panggilan Tuhan bagi para pengikut Kristus di dalam firman-Nya? Akankah kamu menjawab, “Ya Tuhan, aku bersedia”?

3. Jika tidak, apa yang menghalangimu untuk menjawab panggilan-Nya?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Andrew Koay, Australia | Andrew meluangkan empat tahun waktunya untuk belajar Ilmu Sosial Politik dan Sosiologi dan segera setelah lulus dia berharap bekerja di McDonald’s. Namun, dia tahu bahwa pekerjaan yang sejati adalah bekerja demi Injil.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus