Posts

Dari Pilunya Kehilangan, Kita Belajar Ketenangan

Oleh Raganata Bramantyo

“Ril… mamah pulang dulu ke Indonesia, ya.”

Sepenggal kalimat yang membuka caption panjang ini mendapat respons yang luar biasa banyak di Instagram milik Atalia, istri dari gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Seminggu ke belakang, keluarga pak gubernur jadi sorotan publik lantaran Eril, putra mereka hanyut dan hilang di sungai Aare di Swiss. Seminggu lebih pencarian belum membuahkan hasil. Pihak keluarga pun akhirnya menyatakan bahwa Eril telah meninggal dunia kendati jenazahnya belum ditemukan.

Pencarian Eril menjadi dramatis bukan hanya karena dia adalah anak dari seorang tokoh terkenal, tetapi ada perasaan sepenanggungan yang juga dirasakan oleh banyak orang—termasuk kita—jika kita bicara mengenai kehilangan. Saat kita kehilangan sesuatu atau seseorang yang kita kasihi, dunia kita berubah. Kehilangan di sini tak hanya tentang kematian. Apa pun yang direnggut daripada kita, tanpa kita berdaya untuk mencegahnya, akan menyisakan pilu di hati.

Narasi kehilangan

Belum lama ini, aku pun mengalami kehilangan yang pilu. Saking pilunya buatku, aku mendatangi konselor yang juga psikolog dan mendapatkan pertolongan profesional darinya. Kisah kehilangan ini pernah kutuliskan di sini. Selama 20 tahun aku mendoakan papaku untuk menjadi seorang ayah yang karib denganku, dan doa itu terjawab di tahun ini. Namun, kebersamaan yang sungguh erat itu tidak berlangsung lama, hanya 29 hari sebelum akhirnya ayahku berpulang. Kehilangan ini mengguncangku. Tak pernah aku menyiapkan diri akan kehilangan sosok ayah yang secara usia belum masuk kategori lansia. Apalagi dengan diagnosis sakit yang menurut logikaku tak masuk akal. Namun, inilah realitasnya, kehilangan adalah bagian dari hidup yang mau tak mau, suka tak suka, harus aku dan kamu hadapi. Yang kelak membedakan fatalitas kehilangan ini hanyalah waktu dan bagaimana alur ceritanya. Namun pada dasarnya, semua kehilangan memberi duka mendalam.

Jika aku yang adalah seorang anak kehilangan ayah yang usianya jauh di atasku saja merasa begitu berat, tak terbayangkan apabila kehilangan yang terjadi adalah sebaliknya. Seorang ayah yang harus kehilangan anak, yang secara usia jauh lebih muda. Seperti apa yang dituliskan oleh Ridwan Kamil: anak yang kehilangan orang tua disebut yatim. Istri atau suami yang kehilangan pasangan disebut janda atau duda, tapi tak ada istilah yang bisa diberikan kepada orang tua yang kehilangan anaknya. Dukanya begitu dalam.

Seiring usia kita yang menanjak, kehilangan dan dukacita pasti akan kita alami, meski kita tak tahu kapan dan bagaimana itu akan terjadi. Kehilangan yang pilu juga pernah dialami oleh seorang Kristen yang hidup pada abad 19 yang bernama Horatio Spafford. Ia adalah seorang pengacara kenamaan sekaligus wirausahawan di Amerika Serikat. Pada tahun 1871, kebakaran hebat di Chicago menghancurkan bisnisnya. Tragedi ini memaksa Horatio untuk memikirkan strategi baru bagaimana melanjutkan usahanya. Dua tahun pasca kebakaran, istri dan anak-anaknya pergi berlayar ke Eropa, namun Spafford tidak ikut karena masih harus mengurusi pekerjaannya. Jika sudah selesai, barulah dia menyusul.

Namun, nahas tak pernah disangka. Tanggal 22 November 1873, kapal uap Ville du Havre yang ditumpangi oleh istri dan empat anaknya tenggelam. Sebanyak 226 orang tewas, termasuk di dalamnya anak-anak Spafford. Sang istri berhasil selamat. Saat dia tiba di Wales, barulah dia mengirimkan telegram dengan pesan “Saved alone” kepada Spafford.

Mendapati berita duka, Spafford menyusul berlayar ke Wales untuk berjumpa sang istri. Dalam pelayarannya, saat kapal yang dia tumpangi melewati titik karam kapal du Havre, Spafford menuliskan sebuah himne yang sampai hari ini masih kita nikmati melodi dan liriknya.

It is well with my soul… yang dalam beberapa versi kidung pujian diterjemahkan sebagai “tenanglah jiwaku,” “s’lamatlah jiwaku,” atau “nyamanlah jiwaku.”

Apa yang ditulis Spafford bukanlah sebuah ilusi. Bagaimana bisa jiwa yang hancur merasa tenang dan nyaman di tengah dukacita hebat? Spafford memberi jawaban pada lirik-liriknya. “Ketika hidupku sentosa teduh ataupun sengsara penuh, di dalam kasih-Mu ku tinggal teguh, nyamanlah, nyamanlah jiwaku…” (NP 221).

Ketenangan dan kekuatan itu datang bukan dari kekuatan kita sendiri, tetapi dari tinggal tetap dalam kasih yang teguh, yang tak pernah berubah, yaitu kasih Allah. Kematian dan kehilangan selalu membangkitkan reaksi emosional yang kuat. Dalam kisah Lazarus yang mati karena sakit, Alkitab mencatat Yesus sangat terharu (Yohanes 11:33). Kata terharu oleh para penafsir dapat diterjemahkan pula dengan lebih rinci, “kemarahan besar lalu meluap dari dalam hati-Nya.”

Yesus terharu, bahkan marah, tetapi terhadap apa? Sangat mungkin Dia marah terhadap dosa dan akibat yang ditimbulkannya. Allah tidak menciptakan dunia yang dipenuhi penyakit, penderitaan, dan kematian. Namun, dosa masuk ke dalam dunia dan mencemari rencana Allah yang indah. Hidup kita yang telah jatuh ke dalam dosa membuat maut, dukacita, dan segala penderitaan menjadi tak terelakkan. Namun, Allah tidak tinggal diam. Dia hadir bersama kita (Yohanes 1:14), mengerti apa yang jadi dukacita dan ketakutan kita (Yohanes 11:1-44). Namun lebih daripada itu, Kristus mengalahkan dosa dan kematian dengan mati menggantikan kita dan bangkit dari maut (1 Korintus 15:56-57).

Apa pun yang hari ini menjadi kehilangan dan dukacita kita, aku berdoa kiranya kasih Allah melingkupimu dan memampukanmu untuk menjalani hidup dan berbuah bagi-Nya.