Posts

1 Hal yang Tak Boleh Terlupakan Saat Kamu Berbuat Baik

Oleh Meili Ainun

Kita tidak asing dengan konsep “berbuat baik”. Budaya hingga agama mengajar agar sesama manusia saling berbuat kebaikan. Kita pun pasti setuju bahwa kebaikan adalah “bahasa universal” yang bisa diterima oleh semua manusia.

Namun, kebaikan seperti apa yang seharusnya kita lakukan sebagai orang Kristen? Apakah dengan memberi sebanyak mungkin? Atau, apakah dengan merelakan diri untuk selalu berkorban? Untuk menemukan jawaban spesifiknya, aku mengajakmu untuk menilik kembali suatu kisah dari Alkitab yang tentu tak asing kita dengar.

Yohanes 13:1-20 mencatat kisah tentang Yesus yang membasuh kaki para murid-Nya. Pada masa itu, membasuh kaki adalah kebiasaan umum di wilayah tempat Yesus tinggal. Orang-orang berjalan kaki dengan memakai kasut yang bentuknya tidak seperti sepatu modern sehingga debu dan kotoran bisa dengan mudah menempel di kaki. Agar debu dan kotoran itu tidak terbawa masuk, maka setiap orang harus membasuh kakinya dulu. Tuan rumah pun menyediakan wadah yang bisa terbuat dari emas, perak, besi, ataupun tanah liat berisi air di muka rumah.

Seseorang tidak membasuh kakinya sendiri. Umumnya seorang budak atau pelayan dari tuan rumah yang melakukannya. Namun, Injil Yohanes menyajikan cerita yang berbeda. “Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu” (Yohanes 13:4-5).

Momen pembasuhan kaki ini terjadi saat Yesus dan para murid sedang melakukan perjamuan Paskah, tetapi pada saat itu tidak ada pelayan di ruangan itu, dan tak ada pula satu pun di antara para murid yang berinisiatif melakukannya. Ada banyak alasasan di balik tindakan para murid itu, tetapi kita dapat melihat sikap Yesus yang luar biasa. Renungan Reforming Heart menuliskan analisis mendetail tentang sikap Yesus ini: “Kasihlah yang menggerakkan Kristus untuk menebus murid-murid-Nya. Kasih bukanlah konsep abstrak yang bisa dipisahkan dengan relasi. Kasih berarti yang mengasihi menginginkan pihak lain untuk menjadi satu di dalam relasi dengan yang mengasihi… sedangkan kasih yang palsu menginginkan kebaikan orang lain, tetapi tidak terlalu menginginkan berada di dalam relasi dengan orang lain.”

Kasih Yesus kepada murid-murid-Nya mewujud melalui tindakan kerendahan hati-Nya. Yesus yang adalah Raja, merendahkan diri-Nya dengan menjadi sosok pelayan yang membasuh kaki para murid. Kebaikan Yesus tak akan ada artinya apabila Dia tidak melakukannya dengan rendah hati. Sehingga, jelaslah bagi kita bahwa prinsip utama dari kebaikan yang kita lakukan adalah: kita melakukannya dengan rendah hati… bukan agar kita dibalas dengan kebaikan yang sama, tetapi kita ingin agar melalui kebaikan itu orang melihat kasih Bapa terpancar melalui kita.

Namun pertanyaannya, bagaimanakah kita bisa melatih diri untuk rendah hati dalam setiap perbuatan baik yang kita lakukan?

1. Latihlah diri untuk tidak bersungut-sungut

Dalam bahasa Indonesia, bersungut-sungut dapat diartikan sebagai mengomel atau menggerutu. Namun, dalam bahasa Yunani kata yang digunakan adalah “gonggusomos” yang artinya tidak sekadar menggerutu, tetapi menjurus pada tindakan memberontak.

Wow. Pengertian ini mungkin membuat kita terkejut. Bersungut-sungut agak berbeda dengan mengeluh yang kadang memang kita lakukan sebagai luapan perasaan. Bersungut-sungut itu sama dengan mengomel tetapi secara terus-menerus sembari tidak mengerjakan tanggung jawab dengan maksimal, sehingga ini dapat pula diasosiasikan sebagai sebuah pemberontakan. Bangsa Israel pun pernah bersungut-sungut dan memberontak terhadap tuntunan Allah dalam perjalanan mereka keluar dari Mesir.

Apa yang menyebabkan kita bersungut-sungut? Tentu tiap orang punya alasan masing-masing, tetapi secara umum mungkin karena kita merasa melakukan pelayanan itu sendirian, lalu merasa berat memikulnya. Lalu, bisa jadi juga karena kita mengandalkan kekuatan sendiri dan merasa mampu melakukannya sendirian. Atau, secara tidak sadar kita memelihara kesombongan. Kita merasa pekerjaan yang kita lakukan terlalu rendah nilainya dan tidak memberi manfaat apa pun. Tetapi, hendaklah kita ingat bahwa Yesus yang adalah Tuhan dan Raja telah melakukan pekerjaan yang hina dengan membasuh kaki murid-murid-Nya.

2. Latihlah diri untuk tidak mengharapkan balasan

Naluri kita seringkali menganggap kebaikan sebagai tindakan timbal balik. Jika aku memberi kebaikan pada si A, maka dia seharusnya membalasku dengan kebaikan yang sama.

Namun, marilah kita mengingat kembali bahwa pada kita telah diberi pemberian terbesar yakni Kristus yang menebus dosa-dosa kita (Yohanes 3:16), sehingga saat kita melayani-Nya dengan memberikan kebaikan bagi orang lain, lakukanlah itu dengan tulus. Dia sudah memberikan segalanya dan yang Dia mau dari kita adalah kita hidup di dalam-Nya.

3. Latihlah diri untuk tidak hitung-hitungan

Perbuatan baik yang didasari kerendahan hati tidak bicara tentang seberapa banyak dan besar kita sudah melakukan kebaikan. Kadang kita merasa sudah berbuat banyak untuk melayani-Nya. Kita aktif di gereja bertahun-tahun, mengorbankan waktu dan uang, berdoa dan baca Alkitab tiap hari. Tapi, apakah balasan Tuhan atas semua kesetiaan kita? Lantas kita pun hitung-hitungan akan hal apa saja yang telah kita lakukan untuk-Nya dan membandingkannya dengan apa yang kita dapatkan.

Bagaimana kalau dibalik? Apa yang dapat kita lakukan jika Tuhan yang hitung-hitungan dengan kita?

Alangkah malunya karena kita akan mendapati begitu sedikit yang telah kita lakukan kepada Tuhan dan begitu banyak berkat yang tidak terhitung yang telah Tuhan berikan sepanjang hidup kita. Bahkan, nyawa-Nya yang telah menyelamatkan kita tidak dapat kita balas sampai kapan pun.

Efesus 6:5-8 mengingatkan kita untuk tulus dan segenap hati dalam melayani, rela menjalankan pelayanan seperti untuk Tuhan, serta senantiasa berbuat baik. Kalau kita telah berbuat baik, kita akan menerima balasannya dari Tuhan. Namun, jangan sampai kita salah pemahaman, mengartikannya dengan berbuat baik agar mendapatkan balasan setimpal dari-Nya. Bukan itu. Perbuatan baik haruslah lahir dari rasa syukur atas hidup kita yang dipelihara oleh Tuhan. Jikalau kita mendapat balasan dari Tuhan, bersyukurlah. Karena telah dan akan selalu ada hal yang dapat kita syukuri dari-Nya. Bersyukur pun merupakan salah satu wujud sikap rendah hati.

Sesungguhnya, bersikap rendah hati ketika melayani bukanlah tugas yang mudah. Ketika kita semakin melayani Tuhan, tantangan pun akan semakin banyak dan sulit.

Maka, inilah pertanyaan untuk kita renungkan bersama: Jika melayani Tuhan adalah untuk memuliakan-Nya dan menjadi berkat bagi sesama, maukah kita merendahkan diri seperti seorang hamba ketika melayani?

Catatan Kecil Anak Seorang Dokter

Oleh Fedora Aletheia Putri Leuwol, Bekasi

Ketika pandemi mengamuk hebat, para dokterlah yang berada di garda terdepan menyelamatkan dan merawat orang-orang yang terinfeksi COVID-19. Salah satunya, papaku sendiri. Bersama para dokter lainnya, papa bekerja begitu keras melayani setiap pasien yang meminta pertolongannya.

Naiknya kasus Covid, berarti bertambah pula jam kerja papa. Dalam keluarga kami, papa adalah orang yang terkenal paling gaptek. Dia biasanya malas memegang HP. Tapi, selama pandemi ini papa jadi memegang HP seharian penuh—dari subuh sampai larut malam, hari kerja atau hari libur. Banyak rumah sakit kewalahan menampung pasien. Mereka yang gejalanya tidak terlalu berat diminta untuk dirawat di rumah saja, alias isoman. Nah, mereka-mereka yang isoman inilah yang paling membutuhkan jasa dokter secara daring, atau istilah bekennya: telemedicine. Papa menulis berlembar-lembar surat resep, hingga mencarikan rumah sakit bagi mereka yang gejalanya memburuk.

Sebagian dari pasien-pasien papa adalah jemaat gereja kami, tetangga di perumahan, teman-teman di kantor mamaku, dan masih banyak lagi. Itu belum termasuk orang-orang yang memberikan nomor WA papaku kepada kenalan mereka yang sakit. Saking banyaknya, papa pernah bilang kalau dia nyaris kewalahan untuk membalas chat dan mengangkat telepon. Untuk sekadar makan atau duduk tenang pun jadi susah.

Karena tuntutan pekerjaannya pula, tiap hari papa pergi ke luar rumah, bertaruh nyawa. Tahun lalu, kami sekeluarga pernah terpapar COVID-19 karena papa tertular dari seseorang yang ia periksa di tempat kerjanya. Beruntung, meski memiliki komorbid, papa bisa sehat kembali. Namun, peristiwa itu membuatku trauma, khawatir papa akan terpapar lagi, dan menulari kami semua.

Aku takut kelelahan kerja akan membuat imun tubuhnya melemah. Itu sebabnya aku selalu memintanya istirahat saja kalau di rumah, tidak usah mengurusi pasien.

“Nggak usah buka WA dululah, untuk sementara,” gertakku.

Papa berkeras, “Tidak bisa begitu, Kak. Kamu bayangin kalau keluargamu yang sakit, kamu WA dokter terus dokternya nyuekin kamu? Gak bisa!”

Usul lain yang pernah kulontarkan, “Coba Papa larang pasien Papa sembarangan kasih nomor Papa. Papa tuh udah sibuk banget!”

Tapi, lagi-lagi ia menolak, “Gak bisalah, Kakak, mana bisa kayak gitu! Orang kok gak boleh minta tolong? Lagi pula, ini memang tugas papa. Pekerjaan papa kan memang menolong orang.”

Kira-kira selalu begitu responnya.

Aku terdiam. Ucapan papa itu membuatku berpikir: betapa besar perjuangan papa, para dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lain di masa pandemi ini. Hatiku meradang setiap kali mengingat perjuangan papa. Selain berjuang menyelamatkan orang lain, papa juga menafkahi kami sekeluarga dari pekerjaannya sebagai dokter. Tapi, kalau begini caranya, aku tidak ingin papaku menjadi dokter. Rasanya ingin marah ke seluruh dunia, kenapa harus ada pandemi ini? Mengapa pandemi ini tidak selesai-selesai? Mengapa orang-orang harus selalu mencari papaku untuk meminta tolong? Mengapa begitu banyak orang yang tidak patuh prokes, dan lebih percaya kepada hoax yang mengatakan COVID-19 itu konspirasi?

Sampai suatu ketika, ada satu momen yang membuatku tersadar.

Waktu itu sudah cukup malam. Kami memesan makanan secara daring, dan betapa terkejutnya kami ketika si Bapak driver yang mengantarkan pesanan datang bersama istrinya. Aku tahu itu istrinya karena Bapak itu meminta maaf, katanya: “Maaf ya, Mbak, agak lama, tadi sekalian lewat jemput istri dulu pulang kerja.” Melihat itu aku pun menyadari sesuatu yang tak pernah terpikir olehku.

Selama ini aku selalu mengomel dan mengeluh mengapa papa harus menjadi pahlawan di pandemi ini. Namun, melihat si Bapak malam itu, aku sadar bahwa pejuang dalam pandemi ini bukan hanya dokter atau tenaga kesehatan, tapi juga para pengemudi ojol, kurir, pedagang pasar, petugas minimarket, sopir kendaraan umum, polisi, dan masih banyak lagi.

Ketika pandemi menggila, mereka tetap harus keluar rumah, harus bekerja, demi menafkahi keluarga. Bapak ini bahkan harus keluar rumah bersama istrinya, yang mungkin berarti mereka meninggalkan anak-anak mereka di rumah. Bagaimana perasaan anak-anak mereka? Mereka mungkin juga takut orang tua mereka terpapar virus ini. Tapi mereka tidak punya pilihan karena orang tua mereka harus bekerja.

Aku tercenung, memandangi motor si Bapak menderu semakin jauh, membonceng istrinya pulang ke rumah.

Pahlawan di masa pandemi adalah mereka-mereka yang setia melakukan tanggung jawabnya. Coba bayangkan jika tidak ada driver ojol. Keluargaku pasti kesulitan untuk membeli makanan. Berkat pelayanan para driver, aku dan keluargaku tidak harus keluar dari dekapan aman keempat dinding rumah kami, terlindung dari virus yang mengamuk di luar.

Perlahan pikiranku melayang ke ratusan, bahkan mungkin jutaan orang lain yang malam ini berada di luar rumah, bertarung melawan pandemi, demi melayani kita semua dan menafkahi keluarga mereka. Banyak di antara mereka mungkin memiliki keluarga yang mengkhawatirkan mereka seperti aku kepada papaku.

Dalam situasi seperti sekarang ini, rasanya wajar jika kekhawatiran itu muncul dalam hati. Kita mengkhawatirkan kesehatan kita dan anggota keluarga kita. Kurasa itu tidak apa-apa. Yang jadi masalah adalah, apakah kemudian rasa khawatir itu membuat kita mengabaikan segala tugas kita dalam melayani sesama? Apakah kemudian kemampuan dan karunia yang kita terima dari Tuhan harus kita “nonaktifkan” sementara waktu sambil menunggu keadaan pulih dan membaik?

Sebait firman Tuhan terbesit dalam pikiranku: “Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah” (1 Petrus 4:10). Kita diminta untuk melayani sesama dengan segala karunia yang sudah Tuhan berikan kepada kita, dan sesuai dengan kemampuan serta keterampilan yang kita miliki. Tidak hanya dalam situasi yang baik-baik saja tetapi juga dalam keadaan paling buruk sekalipun.

Hal ini menyadarkanku bahwa life must go on. Semengerikan apa pun keadaan di luar sana, banyak orang yang harus tetap keluar untuk berjuang menghidupi keluarga mereka. Dan menurutku, mereka semua pahlawan dan pejuang tangguh. Kita pun, yang beruntung bisa tetap tinggal di rumah, bisa mendukung mereka dengan doa, tetap menggunakan layanan mereka, memberi tips, atau sesimpel memberikan senyuman ramah. Hanya Tuhanlah kekuatan dan pengharapan kita.

Setiap malam, kami sekeluarga berdoa bersama menopang papa. Papa berpesan agar aku selalu ingat bahwa Allah-lah perisai kita, seperti yang terungkap dalam Mazmur 33:20: “Jiwa kita menanti-nantikan TUHAN. Dialah penolong kita dan perisai kita!”

Ya, Allah-lah perisai bagi para pejuang pandemi ini: papaku dan mereka semua yang sedang berjibaku di luar sana. Kiranya Tuhan melindungi dan menjaga mereka semua. Terima kasih karena sudah berjuang!

Dari aku, putri seorang dokter

Baca Juga:

Tuhan, Runtuhkanlah Tembokku Agar Aku Bisa Memandang-Mu

Berawal dari trauma di masa lalu, aku melindungi diriku dengan membangun ‘tembok’ yang kuharap bisa melindungiku dari terluka. Tapi, tembok ini malah membuatku semakin terasing dan terisolasi.

Ketika Perbuatan Baik Malah Disalahartikan

Oleh Agnes Lee
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When My Good Deeds Backfired

Sudah lama aku tidak bertemu dengan temanku, jadi ketika ada waktu luang kuajaklah dia untuk pergi makan bersama. Usia temanku jauh lebih tua dariku dan dia tinggal sendirian. Acara makan bersama yang kupikir akan menyenangkan berubah menjadi aneh ketika maksud baikku malah jadi bumerang.

Kami makan di pujasera. Dari banyak restoran di sana, kami memilih satu restoran yang sama. Kulihat dia cuma memesan sayur-sayuran. Dalam hati kuberpikir, “Makanan cuma segitu mana cukup buat dia?”

Ketika akhirnya kami duduk, aku mengambil dua sendok nasi dari piringku dan meletakkannya di piringnya. Kupikir dia akan berterima kasih tapi dia malah mengeluh, “Kamu tahu gak sih tadi aku nggak pesan nasi itu karena aku memang nggak mau makan nasi? Kok malah kamu kasih aku nasi? Tadi pagi aku udah sarapan banyak dan masih kenyang. Kamu harusnya tanya dulu. Kamu itu selalu melukai orang. Kamu terlalu naif.”

Gara-gara kejadian itu, temanku lalu mengomel. Dia merinci perbuatan-perbuatan baikku yang ternyata tidak bermanfaat buatnya, seperti membelikannya rak sepatu dan beberapa biskuit.

Aku terkejut dengan tanggapannya. Aku merasa sangat bersalah. Aku memberikan uang yang kudapat dari kerja keras untuk membelikannya hadiah, berpikir kalau temanku itu akan menyukai pemberianku, tapi nyatanya dia malah tidak menghargai niat baikku.

Aku ingin membela diri, tapi kuputuskan menahan ucapanku karena temanku itu sudah tua dan aku ingin menghormatinya. Tanpa bicara, kuambil lagi dua sendok nasi dari piringnya ke piringku. Kami pun makan bersama dalam keheningan. Aku tidak tahu harus bicara apa karena hatiku rasanya campur aduk. Maksud baikku disalahartikan dan aku menyesali tindakanku. Sampai akhirnya pulang pun kami tidak banyak bicara.

Sampai di rumah, kata-kata temanku itu berputar terus di otakku. Sungguhkah aku tidak peka dan menjengkelkan? Apakah aku terlalu naif dalam pikiran dan tindakanku? Apakah aku jadi pemaksa ketika aku mencoba jadi orang baik?

Aku ingat sebuah nasihat yang mengatakan agar aku bisa menetapkan garis batas antara kita dengan orang yang tidak menghargai kebaikan kita. Menjaga jarak itu dibutuhkan supaya kita tidak disalahpahami lagi. Meskipun itu kedengarannya bijak, kurasa melakukan nasihat itu hanya akan membuat kita menjauh dari rekonsiliasi dan malah membuat kita berfokus pada luka-luka saja. Jika aku akhirnya menjaga jarak, sungguhkan aku bisa menunjukkan kasih Tuhan pada temanku itu? (1 Koritnus 13:2).

Seiring aku merenung dan berdoa, aku mulai menyadari pandangan berbeda dari situasiku. Aku sadar bahwa di balik tindakan baikku atau caraku merespons temanku, aku bersadarkan pada pengertianku sendiri tanpa mencari tahu hikmat-Nya.

Temanku ialah seorang wanita tua yang tinggal sendirian. Aku ingin agar dia tahu kalau dia punya teman yang peduli padanya dan dia tidak sendirian. Tapi, dalam proses untuk mewujudkan itu, aku tidak benar-benar mengerti apa yang jadi kebutuhannya. Aku hanya berasumsi seolah aku tahu apa yang dia butuhkan dariku—dan mungkin tindakanku berlebihan sehingga bukannya membuatnya bersyukur, malah merasa tersinggung.

Setelah hatiku lebih tenang, aku pergi ke rumahnya untuk meminta maaf. Puji Tuhan, dia memaafkanku lalu menertawakanku. Katanya aku terlalu menganggap serius persoalan tempo hari. Ketika obrolan kami jadi lebih ringan, dia pun mulai terbuka tentang apa yang sungguh jadi kebutuhan dan keinginannya.

Lewat pengalaman ini, aku belajar apa artinya berbuat baik dengan hati yang murni dan iman yang tulus ikhlas (1 Timotius 1:5). Seperti yang ditulis di Kolose 3:12, aku seharusnya menunjukkan kebaikan dan belas kasih dengan cara menanyakan apa yang sungguh jadi kebutuhannya. Aku seharusnya lebih lemah lembut dan rendah hati dengan mendengarkan lebih dulu apa yang dia butuhkan, alih-alih memaksakan asumsiku yang akhirnya meletakkan dia pada posisi sulit untuk menolak. Konflik ini menolongku mengetahui apa yang dia sukai dan tidak sukai, dan mengikat kami dalam ikatan persahabatan yang lebih erat.

Tindakanku untuk berbuat baik hampir saja mengandaskan persahabatan kami. Kupikir aku sedang menolong temanku, tapi dia malah melihat hal sebaliknya. Tanpa respons temanku yang blak-blakan di pujasera, aku mungkin tidak akan menyadari betapa pentingnya melakukan kebaikan bagi orang dengan cara yang sungguh membangun mereka. Niatan kita mungkin baik, tapi jika kita tidak mencari pengertian akan apa yang sesungguhnya orang itu butuhkan, tindakan kita malah seolah menunjukkan kita sedang melayani diri sendiri.

Carilah Tuhan dengan hati dan tangan yang terbuka, agar kita diberi-Nya kesempatan untuk melayani mereka yang ada di sekitar kita. Aku berdoa agar aku juga kamu dapat peka pada pimpinan-Nya agar kita pun memiliki hati dan pikiran Kristus dalam segala aksi yang kita lakukan.

Tindakan kita sendiri bisa saja gagal, tetapi dengan Kristus yang bekerja di dalam kita, setiap tindakan kita disempurnakan-Nya agar menjadi persembahan yang harum bagi-Nya.

Baca Juga:

3 Tipe Teman yang Kita Semua Butuhkan

Tidak semua pertemanan berjalan hangat dan langgeng, tapi Alkitab mengajar kita untuk tetap saling berelasi dan tidak hidup secara terasing.

Berjalan dalam Kerendahan Hati Kristus

Hari ke-8 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 2:5-8

2:5 Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,

2:6 yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,

2:7 melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.

2:8 Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.

Aku tidak akan pernah melupakan pengalaman ketika aku pindah di tahun pertama kuliahku. Gejolak emosiku memuncak saat aku menghadiri kebaktian khusus bersama rektor. Beliau adalah seorang guru dan teolog yang dihormati. Orang tuaku antusias untuk mendengar khotbahnya dan bahkan menyalaminya. Bagi mereka, beliau adalah seorang “raksasa iman”.

Di akhir pidatonya, beliau melakukan tindakan yang luar biasa untuk seseorang dengan status terhormat sepertinya. Beliau meminta semua mahasiswa tahun pertama untuk maju menghadap mimbar dan berlutut menerima berkat. Sang rektor, dalam usianya yang melampaui 70 tahun, mengenakan setelan resmi, turut berlutut hingga hampir terjatuh. Beliau kemudian menengadahkan tangannya ke atas para mahasiswa dan berdoa untuk kami.

Rasanya mengejutkan untuk melihat pemimpin senior dan dihormati ini berkenan memosisikan dirinya dalam postur yang tidak nyaman demi para mahasiswa muda. Sikap berlututnya menggambarkan kerendahan hatinya.

Dalam suratnya kepada gereja Filipi, Paulus menasihati para pengikut Kristus untuk selalu rendah hati dan “berpikir seperti Yesus Kristus” (Filipi 2:5). Kebanyakan dari kita akrab dengan gambaran Yesus sebagai seorang pelayan yang rendah hati—halus, lembut, baik hati. Tapi penting juga untuk tidak melupakan betapa kerendahan hati ini sangat berlawanan dengan dunia ini yang begitu menghargai prestasi, status sosial, dan kekayaan.

Paulus memberitahu para jemaat Filipi bahwa meskipun Yesus dalam naturnya adalah Tuhan, Dia tidak menganggap kesetaraan dengan Bapa sebagai sesuatu yang harus dipertahankan. Malahan, Yesus “membuat dirinya menjadi bukan siapa-siapa”—bukannya menggunakan hak istimewanya yang Ilahi untuk keuntungan-Nya sendiri, Yesus menanggalkan semuanya untuk menjadi sama seperti manusia (ayat 7). Dia juga “mengambil rupa seorang hamba” (ayat 7), bukan rupa sebagai raja, yang seharusnya bisa dipilih-Nya.

Yesus memilih untuk dilahirkan sebagai seorang manusia, menerima semua keterbatasan tubuh manusia yang terikat dengan tempat dan waktu dan dibalut dalam kulit yang tidak sempurna. Sampai akhirnya, Yesus “merendahkan diri-Nya sendiri dengan menundukkan diri kepada kematian—bahkan kematian di atas kayu salib!”. Ia menyerahkan diri kepada rancangan indah Allah meskipun itu membuat Ia sengsara dan terhina (ayat 8).

Ketika Paulus mendorong orang-orang Kristen untuk “memiliki pola pikir yang sama” seperti Yesus (ayat 5), hal itu bisa terasa susah dan tidak nyaman bagi kita. Tapi, itu juga memerdekakan kita. Ketika kita bersedia memiliki kerendahan hati, kita bisa keluar dari jerat perlombaan mengejar kekuasaan, kejayaan, dan kekayaan yang dunia agung-agungkan. Kita bisa mengaku bahwa kita memang terbatas, tapi ada Satu yang tidak terbatas. Kita dapat menundukkan diri kepada rencana Tuhan, meskipun itu tidak masuk akal bagi dunia sekitar kita. Pemahaman inilah yang mengubah cara kita berhubungan dengan anggota lain dalam keluarga Tuhan—gereja. Hidup dengan kerendahan hati memungkinkan kita untuk menjadi “sepemikiran, memiliki kasih yang sama, dan menjadi satu dalam roh dan satu dalam pikiran” (ayat 2).

Jadi, bagaimana cara kita mengikuti kerendahan hati Yesus dalam keseharian kita? Mungkin kita tidak dipanggil untuk memanggul salib dengan cara disiksa sampai berdarah-darah, tetapi kita bisa mencari cara untuk memakai hak istimewa kita untuk memberkati orang lain, bukan untuk keuntungan kita sendiri. Alih-alih mengejar posisi yang tinggi, kita bisa mulai melayani dari posisi bawah. Alih-alih berusaha tampil sempurna, kita bisa menerima dan menghargai keterbatasan kita. Dan, kita pun bisa dengan rendah hati menerima apa yang Tuhan telah berikan kepada kita sebagai bagian dari rancangan indah-Nya.— Karen Pimpo, Amerika Serikat.

Handlettering oleh Gerardine Eunike

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Bagaimana kamu dapat meniru kerendahan hati Kristus dalam keseharianmu?

2. Bagaimana kamu dapat “memiliki pola pikir yang sama seperti Kristus” dalam hubunganmu dengan sesama?

3. Adakah seseorang yang dapat kamu layani dengan rendah hati hari ini?

4. Hal-hal apa yang sulit kamu lepaskan? Bagaimana teladan Kristus dapat mendorongmu untuk melakukannya?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Karen Pimpo, Amerika Serikat | Karen menyukai musik, bertemu orang-orang, dan makan camilan sebanyak mungkin. Karen juga suka mencari dan menemukan kebenaran di dalam Alkitab.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Belajar dari Kisah Naaman: Menerima Saran Sebagai Cara untuk Memperbaiki Diri

Oleh Olyvia Hulda, Sidoarjo

“Baik, terima kasih. Saranmu akan aku perhatikan.”

“Terima kasih atas masukannya. Kami akan berusaha melakukan yang terbaik.”

Pernahkah kamu mendengar dua ungkapan tersebut? Aku sering mendengarnya ketika seseorang memberikan saran terhadap suatu program tertentu, ataupun ketika sedang mengikuti pertemuan dan rapat. Biasanya perkataan tersebut merupakan “standar” jawaban ketika kritik, saran, ataupun masukan disampaikan. Namun, apakah ucapan “terima kasih atas saranmu dan kami akan memperbaikinya” hanyalah formalitas belaka? Ataukah seseorang benar-benar serius melakukan saran tersebut?

Aku pernah mengalami situasi seperti itu. Saat aku menjadi seorang pemimpin, aku pernah meminta saran dari rekan sekerjaku. Setelah saran-saran kuterima, aku pun mengucapkan kalimat-kalimat di atas sebagai formalitas belaka, yang berarti: kritik dan saran dari orang lain tidak akan sepenuhnya aku lakukan. Aku mengucapkan kalimat “terima kasih atas masukannya dan aku akan berusaha memperbaikinya” hanya supaya orang itu senang dan hubungan kami tetap baik. Tapi, sesungguhnya aku tidak pernah mendengarkan saran mereka dengan serius. Bagiku, aku telah memiliki prinsip, nilai, dan perencanaanku sendiri, sehingga saran dari orang lain tidak ada yang cocok. Aku mengabaikan kritik dan masukan dari orang lain tanpa bersedia berdiskusi dengan mereka. Dan, tanpa kusadari, di sinilah aku sedang terjebak dalam dosa kesombongan.

Lambat laun, ketidakseriusanku terhadap saran mereka pun terlihat. Sewaktu kami (aku beserta organisasi yang kupimpin) merencanakan sebuah acara perayaan ulang tahun sekaligus ibadah kebangunan rohani di komunitas pemudaku, seorang senior (sekaligus panitia acara) menegurku dengan nada yang kurang enak. Dia mengetikkan pesannya lewat chat dan memaksaku untuk segera mengganti konsep acara perayaan di dalam gereja menjadi kegiatan sosial di luar gereja. Saran darinya adalah akan lebih baik apabila acara perayaan ulang tahun gereja kali ini diisi dengan kegiatan sosial karena tahun-tahun sebelumnya acara hanya berpusat pada perayaan dalam gedung. Dia lalu memintaku untuk mengeksekusi saran itu dalam waktu dua minggu saja. Sebagai seorang pemimpin yang sudah punya perencanaan matang, aku tidak terima dengan saran itu. Mengapa aku harus menggantinya?

Tapi, saran itu kemudian membuatku bergumul: apakah aku tetap memegang prinsip dan perencanaanku, atau aku mau mengikuti saran dari kakak seniorku? Sebelum aku bertemu dengannya untuk membahas acara tersebut, aku berdoa agar Tuhan memberikanku jalan terbaik untuk melakasanakan acara ini. Dan, aku ingin agar semuanya untuk kemuliaan Tuhan saja.

Sewaku berdoa, Roh Kudus mengingatkanku akan kisah Naaman yang mau menerima saran yang diberikan oleh pelayannya (2 Raja-raja 5:1-27). Naaman adalah seorang panglima raja Aram. Dia terkena kusta dan hendak pergi ke Israel untuk mencari kesembuhan atas saran dari pelayan isterinya. Setelah dia tiba di Israel dan diarahkan untuk menemui Elisa, dia sempat kecewa. Naaman pikir Elisa akan menyembuhkannya dengan cara-cara yang spektakuler: Elisa menyentuh kulitnya lalu sembuh. Tapi, Elisa malah menyuruh Naaman mandi ke Sungai Yordan dan ini membuat hati Naaman panas. Tetapi, pegawai-pegawai Naaman datang dan memberikan saran kepada Naaman, “Seandainya nabi itu menyuruh perkara yang sukar kepadamu, bukankah bapak akan melakukannya? Apalagi sekarang, ia hanya berkata kepadamu: Mandilah dan engkau akan menjadi tahir” (ayat 13). Naaman mengikuti saran itu dan sembuhlah ia.

Dari kisah ini, aku cukup kagum melihat Naaman, seorang panglima dari Aram yang mau menerima masukan dari isteri—yang telah dibisikkan pelayannya—untuk mencari kesembuhan di Israel, yang notabenenya adalah negara musuhnya sendiri (2 Raja-raja 6:8-23).

Naaman tak hanya mendengarkan saran dari pelayan itu, tetapi juga bersedia melakukannya. Bahkan ada tantangan yang dihadapinya dalam melaksanakan saran tersebut. Bila kuperinci, beberapa tantangan Naaman dalam melakukan saran dari pelayan Israel itu adalah sebagai berikut:

1. Naaman harus rela disembuhkan oleh nabi lain di luar negerinya, bahkan negeri musuhnya. Tak hanya itu, ia pun juga berurusan dengan Allah di Israel, Allah yang berbeda dengan yang ia sembah seperti di negeri asalnya. Hal tersebut terlihat pada ayat 15, di mana Naaman menunjukkan kekagumannya akan kedahsyatan kuasa Allah Israel, “Sekarang aku tahu, bahwa di seluruh bumi tidak ada Allah kecuali di Israel”.

2. Naaman sempat dicurigai hendak mencari gara-gara oleh raja Israel (ayat 7).

3. Naaman ingin menemui nabi Elisa, tetapi Elisa malah menyuruh suruhannya untuk menemui Naaman, dan hanya memberikan perintah “Mandi tujuh kali di Sungai Yordan” tanpa basa-basi (ayat 9-11).

4. Naaman mendapatkan cara penyembuhan yang tidak seperti yang ia harapkan dari Elisa (ayat 12). Naaman berharap ia disembuhkan dengan cara Elisa menggerakkan tangannya ke kulitnya. Tapi, ternyata Elisa malah cuma menyuruhnya mandi.

5. Bagi Naaman, ada banyak sungai lain yang lebih baik daripada sungai Yordan, dan untuk apa pula ia jauh-jauh ke Israel hanya untuk mandi di sungai Yordan. “Bukankah Abama dan Parpar, sungai-sungai Damsyik, lebih baik dari segala sungai di Israel? Bukankah aku dapat mandi di sana dan menjadi tahir?” (ayat 12).

Ada banyak tantangan yang dihadapi Naaman ketika ia ingin serius menjalankan saran yang diberikan pelayannya tersebut. Namun, di tengah tantangan yang dihadapi, Naaman tetap fokus dan serius melakukan saran tersebut meskipun ia sempat hampir menyerah. Naaman tak sekadar menerima saran dan masukan sebagai formalitas hubungan saja, tetapi ia sungguh-sungguh melakukan saran yang diterimanya.

Melalui kisah Naaman, ketika memberi diriku untuk menerima saran, aku belajar untuk menerima dan melakukannya dengan sungguh-sungguh dan serius, khususnya dalam organisasi yang kupimpin. Memang tidak semua saran harus kuikuti, tetapi aku perlu menyaringnya dan tidak menganggap remeh saran-saran tersebut. Aku memerlukan pertolongan untuk memajukan organisasi yang kupimpin. Dan tentunya, saran dan kritikan dari senior, penatua atau gembala, maupun orang-orang yang mengasihiku adalah salah satu bentuk pertolongannya.

Sesungguhnya, menerima saran dan melakukannya dengan serius itu sangat sulit untuk dilakukan. Namun, bersyukur karena Roh Kudus memampukanku untuk melakukannya. Ketika kami berkumpul membahas konsep acara ulang tahun komunitas pemuda gerejaku, aku dapat menerima saran dari seniorku dan bersama-sama kami mempersiapkan acara tersebut. Memang ada banyak tantangan yang dihadapi: tempat yang dipilih, pembicara, penyesuaian hari dan jam kegiatan, transportasi, konsep acara, bantuan yang akan diberikan, dan sebagainya. Namun, puji Tuhan, Tuhan memampukan kami untuk melakukannya. Bahkan, acara tersebut berjalan dengan lancar dan mendapat respons yang luar biasa, di luar dugaan kami.

Aku berharap kita semua dapat menganggap kritik dan saran sebagai sarana penolong bagi diri kita sendiri untuk bertumbuh lebih baik, juga untuk kemajuan organisasi yang kita terlibat di dalamnya. Biarlah kritik dan saran yang kita terima tidak hanya kita anggap sebagai formalitas belaka, tetapi jadi satu kesempatan buat kita belajar. Kritik dan saran tidak bukanlah halangan, itu bisa mendorong kita untuk lebih maju dan bertumbuh.

Baca Juga:

Aku Mengalami Bipolar Mood Disorder, Namun Aku Bersyukur

Aku positif mengalami bipolar mood disorder dan aku membutuhkan pengobatan dan penanganan khusus. Awalnya semua ini terasa mengerikan buatku, tapi melalui pertolongan Allah sajalah aku dapat berproses menuju pulih.

Kasih yang Rendah Hati

Rabu, 13 Juni 2018

Kasih yang Rendah Hati

Baca: Filipi 2:1-11

2:1 Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan,

2:2 karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan,

2:3 dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri;

2:4 dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.

2:5 Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,

2:6 yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,

2:7 melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.

2:8 Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.

2:9 Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama,

2:10 supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi,

2:11 dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa!

Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. —Matius 23:11

Kasih yang Rendah Hati

Ketika Benjamin Franklin masih muda, ia pernah membuat daftar berisi dua belas kebajikan yang ingin dicapainya sepanjang perjalanan hidupnya. Ia menunjukkan daftar itu kepada seorang teman yang kemudian menyarankan kepadanya untuk menambahkan “kerendahan hati” dalam daftarnya. Franklin senang dengan saran itu. Ia lalu menambahkan sejumlah panduan untuk membantunya dalam mencapai setiap kebajikan yang diharapkannya itu. Dalam tulisan Franklin, Yesus disebutnya sebagai salah satu pribadi rendah hati yang ingin diteladaninya.

Yesus menunjukkan kepada kita teladan yang terbesar tentang kerendahan hati. Kita membaca dalam firman Tuhan, “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Flp. 2:5-7).

Yesus menunjukkan kerendahan hati yang teragung. Meski hidup kekal bersama Bapa, Dia memilih untuk menanggung hukuman salib karena kasih agar melalui kematian-Nya, Dia dapat membawa setiap orang yang menerima-Nya masuk dalam hadirat-Nya yang penuh sukacita.

Kita meneladan kerendahan hati Yesus ketika kita melayani Bapa Surgawi dengan cara melayani sesama. Kebaikan hati Yesus memampukan kita melihat sekilas keindahan yang menakjubkan dari suatu sikap yang bersedia mengesampingkan kepentingan diri demi memenuhi kebutuhan orang lain. Memang tidak mudah untuk bersikap rendah hati di tengah dunia kita yang serba egois. Namun, ketika kita bersandar sepenuhnya pada kasih Yesus, Juruselamat kita, Dia akan memberikan segala sesuatu yang kita butuhkan untuk mengikuti-Nya. —James Banks

Juruselamat yang Agung, aku adalah hamba-Mu. Tolonglah aku untuk hidup dalam kasih-Mu dan menjadi berkat bagi orang lain hari ini.

Kita dapat melayani karena kita terlebih dahulu dikasihi.

Bacaan Alkitab Setahun: Ezra 6-8; Yohanes 21

Pelayanan di Balik Layar

Oleh Queenza Tivani, Jakarta

“Hebat banget sih pemimpin pujian itu, ingin rasanya aku menjadi seperti dia.”

Itulah kalimat yang terlintas di benakku tatkala aku melihat seorang pemimpin pujian, pemain musik, penari, ataupun anggota paduan suara yang bisa tampil dengan memukau di depan jemaat. Suara mereka yang merdu mampu mengajak jemaat untuk memuji Tuhan. Mereka juga tampil dengan lincah dan tampak sangat percaya diri. Setiap tindakan mereka di atas mimbar itu seolah menjadi sebuah kesaksian yang begitu hidup bagi para jemaat yang hadir di kebaktian.

Aku kagum dengan pelayanan yang mereka lakukan. Tapi, tanpa kusadari kekagumanku ini membuatku jadi membandingkan pelayanan yang mereka lakukan dengan pelayananku.

Sewaktu kuliah dulu, selama hampir dua tahun aku melayani di persekutuan kampus. Tapi, pelayananku bukanlah seperti mereka yang kukagumi. Pelayanan yang kulakukan adalah menjadi operator multi-media, menempelkan poster ajakan kebaktian tiap Senin pagi di kampus, menyediakan air minum bagi pembicara, juga menata Alkitab yang nantinya akan dibagikan di awal kebaktian. Pelayananku adalah pelayanan yang dilakukan di balik layar, tidak terlihat oleh orang banyak.

Di dalam hatiku, ada rasa tidak puas terhadap pelayanan yang kulakukan. Tidak seperti para pelayan di depan mimbar yang sering diberikan tepuk tangan ataupun ucapan terima kasih secara langsung, pelayanan yang kulakukan ini sepi dari apresiasi. Tak ada tepuk tangan ataupun ucapan terima kasih yang kuterima dari para jemaat. Jadi, aku pun merasa minder karena kupikir pelayananku ini bukanlah pelayanan yang berarti.

“Ketika kebaktian berjalan lancar setiap minggunya, adakah siapa yang bertanya siapa yang menyiapkannya? Atau, adakah yang bertanya siapa yang membawa peralatan kebaktian dan Alkitab dari gudang ke depan pintu masuk?” tanyaku dalam hati.

Aku mendapati bahwa dalam pelayanan yang kulakukan itu aku lebih sering mendapatkan tudingan daripada apresiasi. Ketika layar LCD mendadak mati atau slide pujian terlambat berganti, respons yang muncul seringkali adalah tudingan: “Siapa sih yang jadi operatornya?” Seolah mereka hendak berkata: “Bisa gak sih kamu kerjakan tugasmu lebih baik lagi?” Tapi, ketika segalanya berjalan lancar, hampir tidak ada apresiasi ataupun sekadar ucapan terima kasih yang diberikan kepadaku.

Pemahaman bahwa pelayananku ini kurang berarti dibandingkan para pelayan mimbar ini membawaku kepada rasa iri hati dan rendah diri. Akhirnya, aku kehilangan gairah dalam melayani. Pelayanan hanya menjadi sekadar rutinitas mingguan yang kulakukan. Lama-lama pelayananku jadi terasa hambar. Saat teduh pun kulakukan ala kadarnya, hanya sekadar aktivitas supaya ketika ditanya oleh kakak pembimbing rohaniku aku bisa menjawab: “Aku sudah saat teduh kok.”

Hingga suatu ketika, aku mendengar khotbah di kampus dan sebuah ayat dari Kolose 3:23 menjadi poin pembahasannya.

“Apa saja yang kamu kerjakan untuk tuanmu, lakukanlah dengan sepenuh hati. Karena kamu sebenarnya sedang melayani Tuhan – bukan manusia” (Terjemahan Sederhana Indonesia).

Sebenarnya ayat ini sudah sangat sering kudengar. Aku bahkan sudah hafal. Namun, kali ini, ayat ini membuat air mataku mengalir. Aku tertegur dan mendapati bahwa betapa aku hanya ingin mencari pujian manusia. Alih-alih mempersembahkan seluruh pelayananku untuk Tuhan, aku malah berfokus pada apresiasi dari manusia. Ketika aku tidak dipuji oleh teman-teman dan pembimbingku atas pelayanan yang kulakukan, aku menjadi sedih dan juga kecewa.

“Lakukanlah dengan sepenuh hati, karena kamu sedang melayani Tuhan, bukan manusia”. Sejak khotbah itu kudengar, kalimat ini terus kuucapkan dalam hatiku setiap kali aku mengerjakan pelayananku yang di balik layar. Seiring berjalannya waktu, akhirnya aku dapat menerima dan menyadari bahwa pelayanan yang kulakukan seharusnya adalah bentuk ungkapan syukurku kepada Tuhan. Yang harus aku ketahui adalah pelayanan ini adalah milik Tuhan, aku hanyalah pekerja-Nya. Sudah seharusnya yang mendapatkan pujian dan kemuliaan dari pelayananku adalah Tuhan itu sendiri.

Orang yang melayani di belakang layar mungkin tidaklah sepopuler orang-orang yang mendapatkan kesempatan untuk melayani di depan mimbar. Namun, kehadiran orang-orang di balik layar ini bukan berarti bahwa mereka itu tidak penting. Di dalam sebuah kebaktian, penyedia minuman untuk pembicara, orang yang mengangkat mimbar, orang yang membersihkan ruangan kebaktian, juga operator sound-system dan multimedia, mereka juga memerankan tanggung jawab yang penting. Tanpa mereka yang memerhatikan detail-detail terkecil, mungkin kebaktian tidak akan berjalan dengan lancar.

Ketika ruangan kebaktian kotor, mungkin jemaat yang akan beribadah menjadi kurang nyaman. Ketika bunyi mic dan pengeras suara tidak pas, mungkin jemaat menjadi kurang khusyuk. Ketika tidak ada air minum yang tersedia bagi pengkhotbah, mungkin pengkhotbah itu akan mengalami suara serak. Pada akhirnya, aku mendapati bahwa orang-orang yang tidak tampil di depan layar pun memiliki peranan yang penting, peran yang saling bersinergi untuk menciptakan pelayanan yang berkenan pada Tuhan.

Aku belajar bahwa pelayanan, apapun tugas dan tanggung jawabnya, itu adalah kesempatan berharga dari Tuhan dan sudah seharusnya untuk kemuliaan Tuhan saja. Siapapun itu, entah itu pelayan mimbar atau pelayan di balik layar, kita harus memberikan apapun yang terbaik yang bisa kita berikan. Lakukanlah semuanya itu untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.

Sebagai seorang yang dulu melayani di balik layar, aku juga belajar untuk terus bersikap rendah hati dan tidak mencari pujian. Setiap orang yang melayani dengan sikap rendah hati akan selalu menghargai pelayanan sebagai sebuah privilege atau kesempatan istimewa dari Tuhan, dan tentu dia tidak akan mencuri kemuliaan Tuhan melalui pelayanan yang dikerjakannya.

Melalui tulisan ini, aku pun hendak menyuarakan kekagumanku kepada setiap pelayan Tuhan yang melayani dengan rendah hati. Tulisan ini sama sekali tidak ingin menyudutkan orang-orang yang melayani di depan mimbar, justru aku merasa kagum karena melalui pelayanan inilah jemaat turut dibantu untuk menikmati hadirat Tuhan.

Setiap orang diberikan Tuhan talentanya masing-masing. Tetapi, hendaklah kita melakukan semuanya dengan sikap rendah hati dan tidak mencari pujian untuk diri sendiri. Baik pelayanan yang kelihatan maupun tidak kelihatan, biarlah yang ditampilkan dari setiap pelayanan kita adalah kemuliaan Kristus, seperti yang tertulis dalam Yohanes 3:30: “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.”

Baca Juga:

Saat Tuhan Mengajarku untuk Mengasihi Keluarga yang Berbeda Iman Dariku

Kasih. Kita sering mendengar kata ini. Mudah diucapkan, tapi sulit dipraktikkan. Inilah kisahku ketika Tuhan mengajarku untuk mengasihi keluarga besar ayahku yang berbeda iman dari kami.

Masalah dari Kecongkakan

Kamis, 8 Februari 2018

Masalah dari Kecongkakan

Baca: Amsal 16:16-22

16:16 Memperoleh hikmat sungguh jauh melebihi memperoleh emas, dan mendapat pengertian jauh lebih berharga dari pada mendapat perak.

16:17 Menjauhi kejahatan itulah jalan orang jujur; siapa menjaga jalannya, memelihara nyawanya.

16:18 Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan.

16:19 Lebih baik merendahkan diri dengan orang yang rendah hati dari pada membagi rampasan dengan orang congkak.

16:20 Siapa memperhatikan firman akan mendapat kebaikan, dan berbahagialah orang yang percaya kepada TUHAN.

16:21 Orang yang bijak hati disebut berpengertian, dan berbicara manis lebih dapat meyakinkan.

16:22 Akal budi adalah sumber kehidupan bagi yang mempunyainya, tetapi siksaan bagi orang bodoh ialah kebodohannya.

Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan. —Amsal 16:18

Masalah dari Kecongkakan

Orang yang berhasil meraih ketenaran atau reputasi yang luar biasa di masa hidupnya sering disebut sebagai “tokoh legendaris di zamannya”. Seorang teman yang pernah menjadi pemain bisbol profesional berkata bahwa ia bertemu banyak orang di dunia olahraga yang hanya menjadi “tokoh legendaris di pikirannya sendiri”. Kesombongan memang dapat menyimpangkan cara kita memandang diri kita sendiri, sedangkan kerendahan hati akan membuat kita memandang diri sendiri secara realistis.

Penulis kitab Amsal mengatakan, “Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan” (16:18). Jika kita memandang diri sendiri melalui cermin yang mementingkan diri, kita akan melihat gambar diri yang menyimpang. Meninggikan diri sendiri akan membuat kita terjatuh dan hancur.

Penawar dari racun kesombongan adalah kerendahan hati sejati yang diberikan Allah. “Lebih baik merendahkan diri dengan orang yang rendah hati dari pada membagi rampasan dengan orang congkak” (ay.19).

Yesus mengatakan kepada murid-murid-Nya, “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mat. 20:26-28).

Memang tidak salah apabila kita menerima penghargaan atas prestasi dan kesuksesan kita. Tantangannya bagi kita adalah bagaimana kita tetap berfokus pada Pribadi yang memanggil kita untuk mengikut-Nya dengan berkata, “karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan” (Mat. 11:29). —David C. McCasland

Tuhan Yesus, berilah kami kerendahan hati-Mu dalam interaksi kami dengan sesama hari ini. Kiranya kami memuliakan-Mu dalam segala perbuatan dan perkataan kami.

Kerendahan hati yang sejati berasal dari Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: Imamat 4-5; Matius 24:29-51

Menang Berargumen

Sabtu, 27 Januari 2018

Menang Berargumen

Baca: Pengkotbah 4:17–5:6

4:17 Jagalah langkahmu, kalau engkau berjalan ke rumah Allah! Menghampiri untuk mendengar adalah lebih baik dari pada mempersembahkan korban yang dilakukan oleh orang-orang bodoh, karena mereka tidak tahu, bahwa mereka berbuat jahat.

5:1 Janganlah terburu-buru dengan mulutmu, dan janganlah hatimu lekas-lekas mengeluarkan perkataan di hadapan Allah, karena Allah ada di sorga dan engkau di bumi; oleh sebab itu, biarlah perkataanmu sedikit.

5:2 Karena sebagaimana mimpi disebabkan oleh banyak kesibukan, demikian pula percakapan bodoh disebabkan oleh banyak perkataan.

5:3 Kalau engkau bernazar kepada Allah, janganlah menunda-nunda menepatinya, karena Ia tidak senang kepada orang-orang bodoh. Tepatilah nazarmu.

5:4 Lebih baik engkau tidak bernazar dari pada bernazar tetapi tidak menepatinya.

5:5 Janganlah mulutmu membawa engkau ke dalam dosa, dan janganlah berkata di hadapan utusan Allah bahwa engkau khilaf. Apakah perlu Allah menjadi murka atas ucapan-ucapanmu dan merusakkan pekerjaan tanganmu?

5:6 Karena sebagaimana mimpi banyak, demikian juga perkataan sia-sia banyak. Tetapi takutlah akan Allah.

Janganlah terburu-buru dengan mulutmu, dan janganlah hatimu lekas-lekas mengeluarkan perkataan di hadapan Allah. —Pengkhotbah 5:1

Menang Berargumen

Suatu hari dalam kelas filsafat di sebuah universitas, seorang mahasiswa memberikan komentar yang lumayan kasar terhadap pandangan-pandangan dosennya. Mahasiswa-mahasiswa lain di kelas itu terkejut ketika sang dosen hanya mengucapkan terima kasih dan melanjutkan dengan membahas komentar berikutnya. Ketika ditanya mengapa ia tidak menanggapi mahasiswa yang agresif itu, dosen itu berkata, “Saya sedang melatih diri untuk tidak perlu menang berargumen.”

Pengajar itu mengasihi dan menghormati Allah, dan ia ingin menunjukkan sikap rendah hati di hadapan orang lain sebagai wujud dari kasihnya kepada Allah. Kata-katanya mengingatkan saya pada seorang pengajar lain dari zaman lampau—sang penulis kitab Pengkhotbah. Meskipun tidak sedang membahas cara menghadapi orang yang marah, ia mengatakan bahwa ketika hendak beribadah kepada Tuhan, kita harus menjaga langkah kita dan “menghampiri untuk mendengar” daripada terburu-buru dengan mulut kita dan hati kita terlalu cepat mengeluarkan perkataan. Dengan demikian, kita mengakui bahwa Allah adalah Tuhan dan kita adalah manusia ciptaan-Nya (Pkh. 4:17–5:1).

Bagaimana cara Anda menghampiri Allah? Jika Anda merasa bahwa sikap Anda masih perlu dibenahi, cobalah meluangkan waktu untuk memikirkan tentang keagungan dan kebesaran Tuhan. Saat kita merenungkan hikmat, kuasa, dan kehadiran-Nya yang tidak pernah berakhir, kita akan dibuat kagum oleh kasih-Nya yang melimpah ruah bagi kita. Dengan sikap rendah hati di hadapan Allah seperti itu, keinginan untuk menang berargumen pun sirna. —Amy Boucher Pye

Ya Tuhan Allah, aku ingin menghormati-Mu dan sekarang aku bersujud di hadapan-Mu dalam keheningan. Ajarilah aku berdoa dan mendengarkan-Mu.

Kita menghormati Allah dengan menjaga ucapan kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Keluaran 16–18; Matius 18:1-20

Desain gambar oleh WarungSaTeKaMu & Claudia Rachel

Artikel Terkait:

Bebas dari Kebiasaan Buruk