Posts

Beriman di Padang yang Gersang

Oleh Charisto*

Membuat perencanaan dalam hidup ini adalah hal yang baik dan memampukan kita memahami pola-pola proses hidup untuk kita hadapi. Namun, itu bukan berarti semua perencanaan yang kita buat selalu berhasil dan apa yang kita sudah pandang baik, sesuai dengan kehendak Tuhan. Apa yang Tuhan rencanakan selalu lebih sempurna, tak terselami, dan tidak akan pernah mampu kita takarkan dengan pengertian kita sendiri.

Jika ditengok kebelakang, sejak kecil, mungkin saat di bangku SD, aku mulai suka membuat perencanaan, baik itu tertulis ataupun tersirat dalam pikiran. Perencanaan-perencanaan yang aku buat mulai dari hal sederhana seperti kegiatan harian yang aku lakukan dan perencanaan ketika dewasa nanti mau menjadi seperti apa. Waktu itu semua tampak mudah dan jelas untuk dilakukan. Namun, waktu juga berjalan begitu cepat. Setelah melewati up and down, aku dihadapkan dengan kenyataan yang harus kuterima sekarang yaitu apa yang aku rencanakan sejak kecil telah gagal.

Sejak dulu aku merencanakan bisa memiliki usaha multidimensi dan menjadi komikus agar bisa menjadi berkat bagi sesama, tetapi rencana yang kubuat kurang realistis. Secara kapasitas, kemampuan, dan dana pun belum memadai, ditambah lagi aku terlilit utang karena kesalahan perhitungan. Semua ini bertumpuk membuatku jatuh dalam depresi dan berat sekali untuk memulai hidup untuk ke depannya.

Dalam masa-masa kelamku itu, aku mengingat kisah Yusuf dalam Alkitab. Mungkin pun pernah mengalami seperti Yusuf, ketika impian jauh berbeda dengan kenyataan. Yusuf mendapat mimpi akan seperti apa dia kelak, tetapi kenyataan yang terjadi bukan seperti dalam mimpinya. Yusuf justru mengalami berbagai pencobaan yang tidak menunjukkan tanda-tanda seperti yang dia mimpikan. Walaupun pada akhirnya kita tahu mimpi Yusuf tergenapi, tetapi saat-saat menghadapi pencobaan Yusuf mungkin bergumul sedemikian rupa beratnya, hanya saja perasaan yang Yusuf alami tidak dapat kita ketahui karena tidak tercatat dalam Alkitab.

Berat rasanya menjalani konsekuensi dari kegagalan yang kita alami, tetapi mari kita pandang Tuhan dari kisah Yusuf. Meskipun Yusuf harus dibuang saudaranya, dijual sebagai budak, dipenjara, dikhianati, bahkan difitnah, imannya justru menjadi kuat dan teruji ketika dia berjalan dan terus memegang teguh Tuhan dalam setiap masa yang dia lewati (Kejadian 37). Masa-masa sulit yang Yusuf jalani dengan setia mengantarnya menjadi orang yang memiliki kuasa di Mesir. Namun, bukan di sini akhir ceritanya. Yusuf dengan posisinya sebagai orang kepercayaan Firaun bisa saja membalaskan dendam atas kejahatan saudara-saudaranya, tetapi dia tidak melakukannya. Yusuf justru memberikan pengampunan dan memuliakan Allah (Kejadian 50).

Bila kita masuk dalam situasi sulit seperti Yusuf, mungkin ada di antara kita yang imannya malah hancur karena terpuruk dalam keadaan. Atau mungkin juga ketika keadaan baik-baik saja malah iman kita tidak bertumbuh karena merasa nyaman. Aku mendapati bahwa pertumbuhan iman tidak bergantung pada perencanaan kita, pada kegagalan atau keberhasilan perencanaan kita, tetapi kepada siapa kita beriman… dan apakah kita tetap memelihara iman kita kepada Tuhan itulah yang terpenting.

Beriman kepada Tuhan juga tidak menjamin kondisi kita terpulihkan dalam sekejap atau tiba-tiba mengalami mukjizat. Bahkan waktu pun tidak bisa menjadi batasan untuk memastikan  apa yang kita imani tergenapi. Namun, Tuhan adalah Tuhan, Dia alpha dan omega, Dia lebih tahu apa yang terbaik bagi kita dan tidak selamanya kita dibiarkan-Nya dalam keterpurukan.

Jika saat ini kita dalam kegagalan dan terpuruk, tetaplah beriman kepada Tuhan serta terus melekatkan diri dalam persekutuan atau hal-hal yang membangun iman kita. Aku pribadi juga masih terus berusaha memelihara iman sekalipun harus menghadapi konsekuensi dan mengupayakan bangkit dari kegagalan.

Berat dan rasanya mungkin ingin menyerah, tetapi penyertaan Tuhan terhadap Yusuf menjadi tanda bahwa Dia yang setia tidak akan meninggalkan kita. Perlu juga kita sadari pentingnya persekutuan, kelompok tumbuh bersama, dan peran kakak rohani yang menguatkan iman kita di kala kita di padang gersang. Mereka mungkin tidak bisa membantu seperti yang kita harapkan, tetapi dapat membuat kita terarah pada jalan Kristus sehingga kita tidak terperosok dan terkungkung dalam kesesakan.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Saat Mengabdi, Ingatlah Selalu Kebaikan Tuhan

Oleh Cynthia Sentosa, Surabaya

Akhir dan awal tahun identik dengan dua hal: kaleidoskop dan resolusi. Jika resolusi bicara soal komitmen masa depan, kaleidoskop bicara masa lalu. Aku sendiri termasuk orang yang suka membuat keduanya, bagaimana denganmu?

Tahun ini aku merencanakan beberapa komitmen seperti target skripsi, liburan, menulis, dan rencana lainnya. Tetapi, aku kemudian menyadari bahwa di antara komitmen-komitmen yang aku buat ternyata aku melewatkan sebuah komitmen penting, yaitu menjadi abdi Allah. Komitmen ini muncul pertama kali di tahun 2019. Kala itu aku ingin menjadi abdi Allah yang taat dan setia. Namun, semakin bertambah tahun ternyata mempertahankan komitmen ini tidak semudah mengucapkannya. Berulang kali aku lupa bahwa menjadi abdi Allah berarti seluruh hidupku adalah untuk Allah, bukan untuk kenikmatan dunia.

Kamu mungkin bingung, dari sekian banyaknya komitmen yang bisa dijabarkan dengan sederhana, mengapa aku memilih komit untuk menjadi abdi Allah? Aku mengajakmu untuk melihat kembali pada Ibrani 11. Dalam satu pasal itu, Paulus menceritakan tokoh-tokoh di masa Perjanjian Lama yang melaluinya kita dituntun untuk melihat penyertaan Tuhan kepada para abdi-Nya. Meskipun para tokoh itu mengalami banyak pencobaan, mereka tidak menyerah. Inilah yang hendak disampaikan oleh penulis kitab Ibrani agar para pembacanya tetap berkomitmen menjadi abdi Allah. Tidak hanya penulis kitab Ibrani, beberapa pemazmur termasuk Daud juga menyampaikan yang sama. Ketika mereka mengingat kasih setia Allah yang tetap di tengah ketidaksetiaan Israel, hati mereka pun penuh ucapan syukur.

Abdi bisa dipahami juga sebagai hamba. Dalam Perjanjian Lama, kata Ibraninya adalah eyed’, merujuk pada budak, hamba, atau pelayan. Artinya, seseorang bekerja untuk keperluan orang lain, untuk melaksanakan kehendak orang lain. Pada masa kuno, menjadi hamba berarti hidup mati dimiliki oleh tuannya. Tugas hamba hanyalah satu: melaksanakan apa mau tuannya. Ketika Kristus datang ke dunia, Dia datang bukan untuk dilayani, melainkan melayani kita agar kita semua beroleh penebusan (Markus 10:45). Panggilan untuk menjadi hamba telah diteladankan oleh Allah sendiri dan ini bukanlah panggilan atau status yang hanya diberikan kepada orang-orang tertentu. Kita semua dipanggil-Nya untuk menjadi hamba yang bekerja bagi kerajaan-Nya (2 Timotius 4:1-5). Salah satu peristiwa dalam Alkitab yang menunjukkan bagaimana respons seorang hamba adalah ketika Maria didatangi Roh Kudus. Maria lalu menjawab, “Aku ini hamba Tuhan. Jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Lukas 1:38).

Menjadi abdi atau hamba Tuhan, berarti menyerahkan diri sepenuhnya untuk tunduk pada kehendak Allah. Bukan agar kita hidup sengsara, tetapi agar kita hidup dalam jalan dan ketetapan-Nya (Matius 11:29-30).  Kuakui tidak selalu mudah untuk melakukan ini. Salah satu yang kulakukan untuk setia mengabdi adalah dengan membuat kaleidoskop. Kuingat dan kusadari kembali kehadiran Tuhan dalam perjalanan hidupku. Tak hanya di tahun ini, tapi juga di tahun-tahun sebelumnya. Semua ingatan akan kebaikan-Nya itulah yang menolongku semakin semangat untuk hidup dalam komitmen karena aku telah melihat bagaimana kasih Tuhan terus menyertaiku menghadapi tantangan sehingga aku bisa ada sampai hari ini semua karena anugerah Tuhan.

Teman-teman, kita yang telah percaya kepada Kristus telah dipilih-Nya menjadi abdi Allah yang melayani Dia dan sesama kita, juga hidup bagi Dia. Abdi Allah adalah panggilan istimewa yang diberikan bagi kita, jangan sampai kita sia-siakan kepercayaan yang Tuhan sudah berikan kepada kita. Akan ada momen ketika kita tergoda untuk melupakan status kita sebagai abdi Allah, tetapi ketika momen itu terjadi mari kita kembali mengingat masa ketika kita pertama kali berkomitmen—apa yang memotivasi kita menjadi abdi Allah? Karena kita telah merasakan kasih Allah bukan?

Ada cara sederhana untuk memelihara komitmen. Cobalah buka galeri hp kita untuk membuat kaleidoskop. Kita juga bisa membuka notes kita untuk mengecek kembali komitmen-komitmen yang sudah kita buat. Aku rindu setelah kita sama-sama membuat kaleidoskop dan resolusi, kita akan menemukan sebuah kesimpulan bahwa kasih setia Tuhan selalu ada bersama kita dan kiranya setiap kita dapat mengatakan: Aku ini abdi Allah? Ya, aku abdi Allah dan aku tidak menyesal dengan keputusanku! Aku akan berkomitmen untuk menjadi abdi Allah seumur hidupku. Kiranya Tuhan menolongku.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Cek Ulang: Di Mana Peran Tuhan dalam Resolusimu?

Oleh Cristal Pagit Tarigan, NTT 

Hey pembaca setia WarungSaTeKaMu! Selamat tahun baru semuanya! Tidak terasa setahun berlalu begitu cepat dan kita sudah memasuki tahun yang baru lagi. Pastinya, kita memiliki harapan baru untuk kita wujudkan dalam tahun ini, atau biasa kita sebut “resolusi”.

Ngomongin soal resolusi dan harapan, ada yang menuliskannya, ada yang tidak; ada yang mempublikasikannya, diceritakan, tapi ada juga yang tidak. Namun, aku yakin jauh di dalam lubuk hati masing-masing, kita semua berharap hal-hal baiklah yang akan terjadi sepanjang setahun ke depan.

Untuk Dia, dan bersama Dia

Tahun lalu banyak gagalnya deh…

Ini harapan tahun lalu, masukin lagi deh di tahun ini…

Ada banyak banget suara dalam pikiranku. Ketika aku membuat resolusi, aku bertanya-tanya: bagaimana selama ini aku memandang Tuhan? Apakah Tuhan ikut hadir di sana? Apakah aku berjalan bersama-Nya, atau hanya mengharap Dia mengabulkan keperluan dan keinginanku?

Jujur, saat menulis ini, aku sendiri sedang mempertanyakan semua hal di atas kepada diriku sendiri sambil kucoba menjawabnya dengan terus terang.

Tahun 2023 lalu terkadang hubunganku dengan Tuhan sepertinya terasa transaksional. Aku menjadikan Tuhan seakan-akan sebagai menteri kesehatan, keuangan, dan pertahananku. Aku berelasi dengan-Nya, menjadikan persekutuanku sebagai cara ‘memaksa’-Nya untuk ikut apa mauku… dan kulupakan apa yang jadi kerinduan-Nya buatku.

Disiplin rohani yang kulakukan pelan-pelan menjadi kendor karena alasan yang kubuat sendiri. Di tengah kesibukan, kupakai waktu bermain hp terlalu lama hingga larut malam. Karena mengantuk, saat teduh pun “besok saja deh.” Ini hanyalah salah satu contoh ketidaktaatan yang seringkali menutup pintu-pintu berkat, yang membuatku gagal dalam merealisasikan setiap harapan yang seharusnya bisa kuraih. Kok bisa begitu? Sederhananya, ketidaktaatan membuat kita tidak lagi fokus kepada tujuan awal. Keberadaan Tuhan pun kita jadikan samar dalam proses hidup kita, sampai akhirnya kita hilangkan peran-Nya. Kadang juga saat hidup kita baik-baik saja, kita mulai membangun kerajaan kita sendiri. Kita ambil alih peran Tuhan sehingga hasilnya pun berantakan.

Kalau teman-teman pernah membaca artikel berjudul “Tuhan Utus, Tuhan Urus“, itu adalah artikel pertamaku di WarungSaTeKaMu. Kala itu aku baru dua minggu tinggal di desa terpencil di provinsi NTT sebagai guru pedalaman. Aku begitu bersemangat, dan kini sudah dua tahun aku menjalani panggilanku. Sebagai kesaksianku, sekalipun aku tahu apa yang menjadi panggilan Tuhan dalam hidupku, tapi ada masa-masa di mana aku merasa sangat menderita—ingin pulang, bahkan berkali-kali aku menanyakan apakah memang di sini panggilanku, dan wadahnya melalui pekerjaanku saat ini sudah tepat? Kondisi di pedalaman yang tidak seperti diharapkan membuatku memikirkan keraguan ini. Entah karena lingkungannya, anak-anak yang kulayani, atau rekan kerja yang kadang sangat menjengkelkan.

Sampai akhirnya aku sadar satu hal… Hanya ketika kita taat dan fokus pada Tuhan, kita akan menemukan damai sejahtera. Damai yang tidak bisa ditemukan di dunia ini, hanya ada di dalam Dia. Damai yang bukan tergantung kondisi, tapi bagaimana kita tetap beriman kepada-Nya yang membuat kita memperoleh sukacita itu.

“Kalau kita tahu kita menderita karena kebenaran, tidak apa-apa. Jangan sampai sudah menderita, tapi tidak di dalam Tuhan pula.”

Kutemukan kalimat ini yang pesannya benar-benar menamparku. Betapa pentingnya hubungan di dalam Tuhan itu. Hubungan menentukan pengenalan, dan pengenalan kepada Kristus menentukan kenyamanan menjalani hidup serta pola pikir yang berubah.

Teman-teman, tahun ini mungkin banyak sekali resolusi yang sudah kita buat. Sekalipun demikian, kita tetap saja tidak tahu apakah akan lebih banyak berkat daripada cobaan; sukacita daripada dukacita; tawa daripada tangis; pertemuan daripada perpisahan; mendapat daripada melepaskan, dan begitu banyak hal lainnya.

Satu hal yang pasti, Dia, Kristus tidak akan meninggalkan kita berjalan sendirian. Bisakah Tuhan memberikan yang baik saja? Sebenarnya bisa saja, tapi hal itu tidak akan pernah membuat kita belajar dan naik kelas. Maka, Dia akan selalu izinkan banyak hal yang tidak enak agar kita terus bergantung kepada-Nya, melihat kuasa-Nya, dan semakin menyatakan kemuliaan-Nya.

Jadi, yuk, kita cek ulang di mana kita meletakkan peran Tuhan? Sebaik apapun resolusi tanpa Dia, semua hanya akan jadi kesia-siaan.

Semoga bukan hanya tahun yang baru ya, tapi kita juga harus turut ikut baru. Percuma tahun baru kalau diri kita masih terus hidup dalam manusia lama kita. Hehehehe😊

Selamat menjalani hidup kita bersama Tuhan, setiap hari.

“Kasih karunia, rahmat dan damai sejahtera dari Allah Bapa, dan dari Yesus Kristus, Anak Bapa, akan menyertai kita dalam kebenaran dan kasih.” (2 Yohanes 1:3).

Kasih Karunia Tuhan dalam Pencarian Pekerjaanku

Oleh Yosheph Yang

Kurang lebih enam bulan lalu, aku menulis tentang bagaimana pentingnya janji Tuhan, iman, dan kesabaran dalam penantian penggenapan janji-Nya. Ceritaku tentang ini bisa dibaca di sini. Dengan berpegang pada janji Tuhan dan melalui kasih karunia-Nya, aku diterima sebagai dosen tetap dengan jaminan pensiun di salah satu universitas negeri di Korea Selatan. Di artikel ini, aku akan menceritakan bagaimana Tuhan memimpin langkahku dalam menjadi dosen.

Di awal masa studi doktoralku, aku tidak terlalu berpikir untuk menjadi dosen setelah lulus. Aku lebih kepikiran untuk bekerja di institusi penilitian dan semacamnya dibandingkan dengan bekerja di bidang akademik. Menjelang akhir masa studi doktoralku, keinginan untuk menjadi dosen mulai muncul. Dikarenakan bidang penelitianku yang sangat terkait dengan rahasia negara, kemungkinan aku untuk diterima di lembaga penelitian di luar negeri sangat kecil. Mentor rohaniku di saat studi doktoralku juga menceritakan jika aku diterima sebagai dosen, aku akan memiliki banyak interaksi dengan mahasiswa sehingga dapat memberitakan Kristus kepada mahasiswa yang membutuhkan. Pergumulanku menjelang kelulusan doktoralku juga dapat dibaca di sini.

Setelah lulus dari studi doktoralku, aku diterima sebagai dosen tanpa tenur (jaminan menjadi dosen tetap) di salah satu universitas swasta di Korea Selatan. Selama masa kerjaku di universitas tersebut, aku telah mengirimkan 9 aplikasi di dua tahun pertama. Tidak ada universitas yang mau menerima dikarenakan aku orang Indonesia. Sebagai orang asing di Korea, sangat tidak mudah bagiku untuk mendapatkan pendanaan riset dari pemerintah Korea.

Mentor rohaniku mengatakan kepadaku bahwa Tuhan akan membukakan pintu buatku. Beliau menceritakan kisahnya sebagai satu-satunya pelamar untuk pekerjaan yang beliau daftar di masa lalu. Aku sedikit skeptik mendengar cerita tersebut. Bagaimana mungkin aku menjadi satu-satunya pelamar untuk pekerjaan sebagai dosen yang sangat banyak peminatnya? Bagaimana aku bisa bersaing dengan orang Korea lainnya?

Aku mengakui ketidakpercayaanku dan menuangkan segala permasalahanku kepada Tuhan. Kurang lebih isi doaku adalah seperti ini.

Tuhan, Engkau sangat mengerti situasi pekerjaanku sekarang. Sebagai orang asing di Korea, sangat tidak mudah bagiku untuk mendapatkan pekerjaan sebagai dosen dengan jaminan tenur. Di Indonesia sendiri, tidak banyak lapangan pekerjaan yang sesuai dengan bidang penelitianku. Walaupun ada, aku harus mengorbankan gaji dan penelitianku jika pulang ke Indonesia. Apabila rencana Tuhan buatku adalah bekerja di Indonesia, tolong ubah hatiku dan bukakan jalanku. Bantu aku mempercayai-Mu sebagaimana Engkau telah membawa aku sejauh ini. Apabila rencana-Mu bagiku adalah bekerja di Korea, tolong pimpin jalanku. Jika rencana-Mu bagiku ada bekerja di Korea, tolong berikan aku pekerjaan sebagai dosen di universitas negeri yang tidak banyak memaksakan publikasi dan pendanaan riset sehingga aku bisa memiliki waktu yang lebih untuk pemuridan mahasiswa lainnya.

Di masa pencarian pekerjaan, aku memegang janji Tuhan di Yesaya 30:18, “Sebab itu Tuhan menanti-nantikan saatnya hendak menunjukkan kasih-Nya kepada kamu; sebab itu Ia bangkit hendak menyayangi kamu. Sebab Tuhan adalah Allah yang adil; berbahagialah semua orang yang menanti-nantikan Dia!”

Tuhan menantikan saat yang tepat untuk memberikan yang terbaik. Karena kita berharga bagi Kristus, Ia akan memberikan yang terbaik buat kita. Sering sekali Tuhan memakai masa penantian ini untuk membentuk karakter kita bertumbuh menyerupai Kristus.

Di awal bulan Mei 2023, tiba-tiba ada lowongan sebagai dosen dengan jaminan tenur di salah satu universitas negeri di Korea. Lebih spesifik lagi, lowongan ini hanya terbuka bagi warga negara asing atau orang Korea dengan multi-kewarganegaraan. Banyak dosen-dosen lain di sekitarku yang menyarankanku untuk mendaftar di posisi tersebut.

Setelah mengirimkan pendaftaranku, aku mendapatkan informasi bahwa aku lolos untuk wawancara departemen. Di masa wawancara tersebut, aku juga bertemu dengan orang asing lainnya. Beliau memiliki banyak pengalaman dibanding aku dan telah memiliki banyak publikasi. Salah satu hal yang aku cukup baik dibanding beliau adalah kemampuan bahasa Koreaku. Aku berdoa kepada Tuhan supaya aku tidak melihat situasi sekitarku dan bisa lebih fokus kepada pimpinan Tuhan.

Dikarenakan universitas yang aku daftar ini adalah universitas negeri, minimal satu orang akan dipanggil untuk wawancara terakhir dengan para petinggi universitas. Dan, rektor universitas yang aku daftar ini berasal dari jurusan yang aku daftar. Beliau telah mendengar tentang aku dari para dosen di jurusan ini. Wawancara terakhirku berlangsung hanya 5 menit. Melalui kasih karunia Tuhan, aku diterima di posisi ini.

Setelah diterima, aku menanyakan kepada kepala jurusan mengapa mereka membukakan lowongan untuk orang asing. Beliau mengatakan pada awalnya mereka pada awalnya menginginkan untuk menerima dosen Korea. Tetapi dikarenakan jumlah dosen Korea sudah banyak, pihak petinggi universitas hanya memperbolehkan menerima orang asing. Aku melihat ini semua sebagai bentuk pemeliharaan Tuhan di dalam kehidupanku. Di saat aku memerlukan pekerjaan sebagai dosen tetap, Tuhan menggerakan hati para petinggi universitas yang hanya memperbolehkan untuk menerima orang asing.

Aku sangat berterima kasih buat pimpinan Tuhan di kehidupanku. Saat pertama kali aku datang ke Korea di tahun 2015, tidak pernah terpikir bagiku untuk menjadi dosen. Kadang-kadang aku merasakan aku kehilangan satu tahun di masa pembelajaran insentif bahasa Korea di tahun pertama masa studiku. Tetapi, Tuhan menggunakan waktu pembelajaran tersebut dan persekutuanku bersama gereja Navigators Korea untuk meningkatkan kemampuan bahasa Koreaku. Yesaya 55:8-9 berkata, Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman Tuhan. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.”

Melihat Tuhan membukakan posisi di universitas negeri yang hanya menerima orang asing, aku mengalami bahwa tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Yeremia 32:27 juga berkata, Sesungguhnya, Akulah Tuhan, Allah segala makhluk; adakah sesuatu apa pun yang mustahil untuk-Ku?” Hal penting yang diinginkan Tuhan di dalam kehidupan kita adalah mempercayai-Nya dan menantikan Dia bertindak dalam ketekunan dan ketaatan dalam iman.

Ibrani 10:35-36, Sebab itu janganlah kamu melepaskan kepercayaanmu, karena besar upah yang menantinya. Sebab kamu memerlukan ketekunan, supaya sesudah kamu melakukan kehendak Allah, kamu memperoleh apa yang dijanjikan itu.”

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Mendoakan Rencanaku Bukan Berarti Tuhan Pasti Memuluskan Jalanku

Oleh Olyvia Hulda, Sidoarjo

Kita terbiasa mendoakan perencanaan kita. Dalam doa, kita berharap pertolongan Tuhan atas rencana itu. Lalu, mungkin kita berpikir, jika rencana itu sudah kita doakan, tentunya Tuhan akan membuat semuanya lancar dan sukses.

Aku juga pernah berpikiran begitu. Saat aku mendoakan semua rencanaku, Tuhan akan menjadikan semuanya lancar. Suatu ketika, aku berdoa agar Tuhan melancarkan rencanaku mengurus paspor. Selain berdoa, aku mempersiapkan berkas-berkas yang ada sesuai dengan panduan di aplikasi. Aku bolak-balik memeriksa berkasnya, memastikan tak ada satu pun yang tertinggal.

Namun, ketika aku datang ke kantor imigrasi, yang terjadi malah kebalikan dari doaku. Petugas menemukan kesalahan dalam data pribadiku dan aku harus memperbaikinya di kantor kecamatan. Aku diberi tenggat waktu 5 hari, sedangkan berkas di kecamatan yang kuurus baru bisa jadi dalam waktu 7 hari kerja. Singkatnya, rencana membuat pasporku ini gagal. Aku lalu mendaftarkan diri lagi, tapi malah kuota di kantor imigrasi di daerahku sudah penuh, ditambah lagi pendaftarannya cuma dibuka hari Senin-Jumat sampai jam 2 siang saja.

Kutunggu seminggu, dua minggu, dan hari-hari berikutnya tetap saja kuotanya katanya penuh. Di tengah kebingungan ini, aku jadi merenung: waktu aku mendoakan perencanaanku, motivasinya apa? Apakah aku kekeuh memaksa Tuhan menjadikan realita sesuai dengan yang kuharapkan, atau aku menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan? Berserah pada Tuhan dalam artian Tuhanlah yang memegang kendali atas apa yang telah aku rencanakan. Dalam upayaku membuat paspor, realita yang kuharapkan adalah: pengurusan berkas lancar, aku bisa mengurus di tempat terdekat, dan paspor bisa jadi dalam waktu singkat.

Aku lalu berdoa kembali, tapi kali ini dalam doaku aku belajar percaya akan kendali-Nya, sekalipun mungkin realita yang terjadi tidak sesuai dan semulus harapanku.

Opsi terakhir yang kuambil adalah aku mengurus paspor di kantor imigrasi kota lain, yang jaraknya ditempuh 5 jam perjalanan dari kotaku. Aku cukup menyesal karena harus merepotkan beberapa orang karena jauhnya perjalananku hanya karena mengurus paspor. Aku berdoa sekali lagi agar tidak ada masalah baru dalam pembuatan pasporku.

Memang, ketidaklancaran dalam pengurusan surat dapat disebabkan beberapa faktor. Namun melalui proses ini, aku jadi sadar yang bermasalah sebenarnya bukan cuma berkasnya, melainkan sikap hatiku yang sangat ‘ngotot’ dan memaksa. Aku percaya diri bahwa dengan mempersiapkan segala hal, semuanya pasti akan berjalan dengan lancar. Aku yakin bahwa berkas-berkasku sudah benar tanpa kesalahan, tapi malah setelah diperiksa rupanya ada kesalahan.

Aku jadi teringat suatu nats di kitab Amsal: Manusia mempunyai banyak rencana, tetapi hanya keputusan TUHAN yang terlaksana (Amsal 19:21 BIS). Kita bisa merancangkan strategi yang menurut kita paling bagus, tetapi itu tidak menjamin realita akan sama persis dengan rancangan kita. Oleh karena itu, Amsal mengajak kita untuk memandang pada Tuhan yang berdaulat. Amsal bukan mengajak kita untuk asal-asalan saja dalam membuat perencanaan, melainkan dalam perencanaan yang kita buat tersebut kita mengikutsertakan Tuhan dan mengikuti kebijaksanaan-Nya.

Aku belajar untuk rela dan menerima keadaan. Dalam hal ini, aku sudah berusaha semaksimal mungkin mengikuti prosedur yang berlaku, namun apakah hasilnya nanti pasporku bisa dibuat atau tidak, biarlah kehendak-Nya yang jadi. Aku merasa Tuhan mengizinkan kesalahan dan kendala terjadi agar aku belajar bahwa mendoakan perencanaan bukan berarti ‘mengatur Tuhan’ agar Dia mewujudkan rencanaku.

Aku bisa merasakan sukacita dan damai sejahtera, sekalipun perjalanan yang kutempuh jauh, panas, dan setibanya kantor imigrasi aku harus antre panjang dalam suasana ruangan yang pengap. Perjalanan lima jam ini meski jauh tapi menjadikanku dekat dengan orang tuaku dan temanku, juga bisa mengenal orang baru. Selain itu, pihak kantor imigrasi juga ramah dan mereka memiliki layanan pengiriman paspor sehingga nanti saat paspornya selesai aku tidak perlu kembali ke sini.

Pengalaman kecil dalam mengurus paspor ini membuatku sadar bahwa ketika rancanganku tak terlaksana, Tuhan senantiasa menyertai.

Apa perencanaan yang sedang kamu buat? Sembari kamu menyusun dan mendoakannya, serahkanlah semuanya kepada-Nya. Mungkin ketika rencana tersebut tidak berjalan lancar, kita bisa memilih untuk tetap percaya akan penyertaan-Nya.

Menyerahkan rencana kita kepada Tuhan dan percaya Dia memegang kendali tak selalu terasa mudah, terlebih di masa-masa sekarang ini ketika banyak aspek hidup kita terdampak oleh pandemi. Tetapi aku berdoa, kiranya kita semua dimampukan-Nya untuk memahami betapa panjang, dalam, dan lebarnya kasih Tuhan dalam hidup kita.

Baca Juga:

Marriage Story: Mengapa Relasi yang Hancur Tetap Berharga untuk Diselamatkan?

Membangun relasi berlandaskan komitmen itu sulit, tak melulu romantis. Tak ayal, banyak pernikahan berujung pada perceraian. Tapi, adakah jalan untuk memperbaiki relasi dan komitmen yang rusak?

Yuk baca artikel ini.

Bersyukur Atas Interupsi

Senin, 9 Januari 2012

Baca: Mazmur 33:10-15

Tuhan . . . meniadakan rancangan suku-suku bangsa; tetapi rencana Tuhan tetap selama-lamanya. —Mazmur 33:10-11

Saya menjalani hidup saya dengan perencanaan yang cukup baik. Saya mempunyai kalender yang mengingatkan saya tentang semua janji, rapat, dan hal-hal lain yang harus saya kerjakan. Namun tak dapat dihindari, interupsi demi interupsi mengubah drastis rencana saya; dan meski dapat membuat frustrasi, interupsi tersebut ternyata juga dapat bermanfaat.

Sejumlah kemajuan besar dalam rencanarencana Allah telah tercapai melalui “interupsi” terhadap keadaan yang rutin dan normal. Contohnya Maria. Seorang malaikat menginterupsi hidupnya dengan suatu pemberitahuan bahwa ia akan mempunyai seorang putra bernama Yesus. Karena ia masih perawan dan telah bertunangan, berita ini pastilah mengagetkan dan sangat mengusik hatinya (Luk. 1:26-31). Dan Saulus, seorang zelot Yahudi yang menyiksa jemaat Kristen mula-mula, sedang dalam perjalanan menuju Damaskus untuk menangkap lebih banyak pengikut “Jalan Tuhan” ketika ia dibutakan oleh Yesus sendiri (Kis. 9:1-9). Interupsi yang mengubah hidupnya ini membawa implikasi yang sangat besar bagi masa depan iman Kristen.

Pemazmur mengingatkan kita bahwa Tuhan dapat “meniadakan rancangan suku-suku bangsa” (Mzm. 33:10). Namun, terlalu sering kita menanggapi interupsi terhadap kehidupan kita yang tertata rapi itu dengan sikap frustrasi, jengkel, takut, dan ragu-ragu. Kejutan-kejutan yang Allah berikan dalam hidup kita dipenuhi dengan kesempatan. Marilah kita menyambut kejutan-kejutan tersebut sebagai daftar tugas yang baru dari Allah. —JMS

Tuhan, bila aku merasa tergesa-gesa hari ini,
Aku perlu mata-Mu untuk menolongku melihat
Bahwa ketika gangguan datang mengusik,
Itu adalah suatu kesempatan. —Sper

Carilah maksud Allah di balik interupsi yang Anda alami.