Tahun 2020 merupakan tahun yang spesial bagiku. Aku menyelesaikan studi pascasarjanaku di Korea Selatan dan mendapat pekerjaan pertamaku. Ketika melihat kembali dan merenungkan bagaimana Tuhan memimpin jalanku hingga aku mendapatkan pekerjaan ini, sungguh aku berterima kasih atas pimpinan-Nya dalam hidupku.
Beberapa hari lalu foto hitam putih dengan judul “adversity” muncul di linimasa Instagramku. Foto tersebut diunggah oleh seorang influencer yang menceritakan kondisi sulit sebagai minoritas yang pernah ia alami selama duduk di bangku sekolah. Ia bersyukur karena melalui masa sulit tersebut ia bertumbuh menjadi pribadi yang kuat.
Adikku bernama Danny, usianya 25 tahun. Dia anak yang istimewa dengan retardasi mental, tapi satu yang kuingat adalah dia selalu tersenyum apa pun yang terjadi. Saat bicara, pasti gigi-giginya akan terlihat. Walau sering dimarahi, atau kadang dipukul, dia tetap saja bisa tertawa. Rumah kami pun selalu ramai kalau ada Danny.
Kita mungkin familiar dan paham makna dari kutipan di atas. Mulai dari lahir, mengalami masa kanak-kanak, remaja, hingga dewasa, ada begitu banyak pilihan di hadapan kita, dan dalam waktu tertentu kita ‘dipaksa’ untuk memilih satu di antaranya.
Kita terbiasa mendoakan perencanaan kita. Dalam doa, kita berharap pertolongan Tuhan atas rencana itu. Lalu, mungkin kita berpikir, jika rencana itu sudah kita doakan, tentunya Tuhan akan membuat semuanya lancar dan sukses.
Aku juga pernah berpikiran begitu. Saat aku mendoakan semua rencanaku, Tuhan akan menjadikan semuanya lancar. Suatu ketika, aku berdoa agar Tuhan melancarkan rencanaku mengurus paspor.
Bagaimana kalau kelulusan kamu ditunda satu semester?
Begitulah pertanyaan dari dosen pembimbingku di bulan Oktober tahun lalu. Beliau memberiku waktu 3 minggu untuk memutuskannya. Aku terdiam dan hanya bisa berpikir dalam hati. Rencanaku, aku akan lulus di Februari 2020, lalu mencari lowongan pekerjaan. Jika rencana ini lancar dan aku diterima kerja, maka itu akan jadi pekerjaan pertamaku setelah hampir 10 tahun aku duduk di bangku perkuliahan.
Kita hidup dalam dunia yang telah berteman akrab dengan penderitaan. Ketika dosa masuk ke dalam dunia ini, dimulailah konsekuensi yang saat ini kita tanggung. Ada derai air mata kepedihan, jerit kesakitan, dan berbagai luka kehancuran.
Sejak SMP aku bercita-cita menjadi seorang Psikolog Anak. Profesi itu adalah dambaan bagiku karena aku bisa menolong para orang tua yang kesulitan menghadapi anak-anak mereka, sekaligus membangun kesadaran akan pentingnya kesehatan psikis anak-anak yang berpengaruh terhadap masa depan mereka.
Tidak ada orang yang ingin merasakan kehilangan. Bahkan, banyak yang berpikir bahwa kehilangan akan menghasilkan rasa sakit dan tidak perlulah menjadi bagian hidup manusia. Namun, tidak bisa kita pungkiri, semua orang pasti akan merasakan kehilangan.