Posts

Meruntuhkan Rasa Egois untuk Menjadi Seorang Pemimpin

Oleh Irene, Surakarta

Memimpin. Satu kata yang sederhana namun sulit dilakukan. Banyak orang ingin menjadi pemimpin dan punya otoritas. Namun, tak semua paham bahwa arti memimpin yang sesungguhnya adalah melayani.

Oktober 2018 adalah bulan pertamaku menjadi seorang pemimpin. Bukan pemimpin besar layaknya petinggi perusahaan, namun aku dipercaya untuk memegang belasan anak di kantor cabang. Syok, bingung, takut. Semuanya menjadi satu. “Duh, entar gimana ya, apa mereka mau manut [menurut] sama aku? Kalau aku dibantah gimana? Gimana kalau mereka nggak suka dengan caraku memimpin dan kemudian membenciku?”

Pikiran buruk itu terus bertengger. Hari demi hari dengan posisi baru benar-benar tak mudah dilalui. Jika dulu aku hanya memikirkan diri sendiri, kini aku harus memikirkan orang lain yang tak lain adalah anak buahku. Namun dalam proses itu, selalu ada saja kerikil yang membuatku tersandung. Kadang mereka tidak mengindahkan teguranku. Ketika aku mencoba bersikap lebih keras, aku malah dicap galak dan terlalu kaku. Memang dalam beberapa kesempatan aku terbawa emosi, alhasil anak buahku yang sejatinya juga adalah teman-temanku menjauh. Mereka menganggapku sebagai pemimpin yang tak mau memahami.

Belajar dari kesalahan tersebut, aku pun teringat akan Matius 20: 25-27 di saat Yesus memberikan perumpamaan kepada anak-anak Zebedeus soal memerintah dan melayani. Yesus memberikan penjelasan bahwa ketika kita menjadi pemimpin, kita harus berani melayani dan menolong orang lain, bukan menggunakan ‘kekerasan’ atau memanfaatkan kekuasaan agar semata-mata kita ditaati.

“Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata: ‘Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu.”

Nats tersebut mendorongku untuk berefleksi. Menjadi pelayan tidaklah mudah. Ada rasa gengsi, juga emosi ketika nasihatku tidak diindahkan. Ketika itu terjadi, aku malah bersikap, “Ya sudahlah, terserah”, atau bahkan menggunakan kritikan dengan kata-kata pedas. Meski maksudku baik, untuk mendisiplinkan mereka, tetapi cara tersebut tidaklah tepat. Ekspresi, nada bicaraku lebih mudah dilihat dan dicerna oleh mereka ketimbang maksud hatiku. Aku pun lantas belajar untuk membuka diri akan kritikan yang masuk serta mengevaluasi perjalanan kami. “Mbak, jangan terlalu pedas kata-katanya kalau negur,” kata salah seorang kolegaku. Dengan pertolongan Tuhan, perlahan aku bisa bersikap lebih tenang. Jika dulu aku hanya memikirkan soal target, kini aku lebih bisa memahami jika ada anak buahku yang kesulitan saat bekerja atau jatuh sakit. Aku rela menggantikan pekerjaan temanku di saat mereka sakit dan tak bisa masuk.

Aku belajar untuk mengerti sedikit demi sedikit posisi anak buahku masing-masing. Jika dulu aku hanya cuek, kini aku berani berinisiatif dan maju ke atasan dan menyampaikan keluh kesah mereka demi terciptanya perubahan yang lebih baik. Jika dulu aku merasa sebagai yang paling benar, kini aku bersedia menerima saran dan kritikan serta mengaku salah jika memang aku melakukannya. Pun aku kini bersedia bekerja lebih keras meskipun harus mengorbankan libur dan waktu luang demi memutar otak dan berlembur ria.

Apakah aku masih merasa takut? Jawabannya adalah iya. Namun aku percaya bahwa Tuhan membimbingku. Di dalam doa yang aku daraskan, aku mengungkapkan isi hatiku kepada-Nya dan melalui Ia, aku dikuatkan agar tidak takut lagi seperti yang tertulis dalam Yesaya 41: 10: “Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan.”

Aku percaya bahwa inilah ini proses dari-Nya yang harus aku jalani sebagai seorang wanita yang berkarier. Aku yakin bahwa bekal ini adalah pengalaman berharga yang sungguh bernilai di masa mendatang. Ini bukanlah teori manajemen krisis atau manajemen karyawan yang dulu aku pelajari selama menjadi mahasiswi Ilmu Komunikasi.

Ini adalah dunia nyata, tempat di mana aku belajar menyelesaikan masalah dan menenangkan orang lain, tempat di mana aku tertawa dan membagikan keluh kesah, tempat di mana aku belajar melayani dan meruntuhkan egoisme meskipun dalam keluhan. Dan jika aku setia melakukan yang terbaik dalam memimpin teman-temanku, maka aku yakin bahwa suatu saat nanti, aku akan mampu menjalankan peran yang lebih besar seperti yang tertulis dalam Lukas 16: 10: “Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.”

Proses menjadi pemimpin yang melayani tak akan mudah. Akan ada banyak godaan, jalan terjal, tantangan dan overthinking di dalam otak. Namun proses ini sungguh akan membuat kita menjadi pribadi yang dewasa. Mari kita belajar bersama dan saling mendoakan agar kita mampu menjalani hari-hari menjadi seorang pemimpin yang teguh dan mengayomi.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Serba-serbi Kesehatan Mental: Tren, Fakta, dan Jalan untuk Mengasihi Diri

Kesadaran akan pentingnya kesehatan mental makin meningkat, tapi dampaknya ada orang-orang yang merasa cocoklogi. Sedikit-sedikit mendaulat diri punya ‘sakit mental’. Bagaimana seharusnya kita memahami isu ini?

Belajar Mengasihi Mereka yang Tak Seiman

Oleh Irene, Surakarta

Kaget. Itulah perasaanku tatkala masuk ke dunia kerja pada tahun 2017 silam. Bukan hanya karena target-target yang harus dicapai, melainkan juga karena teman-teman sekantor yang tak seiman denganku.

Aku tumbuh di lingkungan Kristiani. Sejak kecil hingga kuliah, aku hidup bersama orang-orang seiman. Bak katak dalam tempurung, aku hampir tak pernah memiliki teman dari agama lain selain Protestan dan Katolik. Dan, hal inilah yang secara tidak langsung membuatku mengeksklusifkan diri dan memercayai stigma yang salah tentang agama lain, bahwa mereka mungkin tidak suka dengan orang Kristen

Aku takut saat masuk ke dunia kerja, karena di sini mau tidak mau aku harus bergaul dengan teman-teman baru yang 90 persen bukanlah orang Kristen. Jujur, pertama kali masuk, ada rasa takut akan diskriminasi dari mereka. “Bagaimana jika nanti aku dikucilkan dan tak punya teman? Bagaimana jika mereka tak mau menerima aku dan aku tidak bisa beradaptasi lalu dianggap aneh?” Pikiran-pikiran itu berkecamuk di dalam diriku.

Namun aku teringat bahwa sebagai seorang Kristen, aku harus berani menunjukkan kasih kepada sesama meskipun kami tak seiman, seperti dalam pesan Yohanes. Dalam suratnya, Yohanes mengatakan bahwa kita diutus untuk mengasihi karena kasih itu sendiri berasal dari Allah, Tuhan kita. “Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Dan perintah ini kita terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya.” (1 Yohanes 4:7 dan 1 Yohanes 4:21)

Perlahan, aku pun mulai membuka diri. Sedikit demi sedikit, aku mulai berani menunjukkan identitasku sebagai seorang Kristen seperti berdoa sebelum makan di samping teman-teman kantorku. Ketika hari raya mereka tiba, aku menunjukkan kasih dalam rupa mengucapkan selamat lewat pesan singkat terlebih dahulu meskipun seringkali mereka tak melakukan hal yang sama kepadaku. Aku juga belajar menjadi pribadi yang ramah dan tidak menghakimi mereka lewat tindakan maupun dari dalam hatiku sendiri.

Berulangkali, aku mengingatkan diriku sendiri bahwa aku pun manusia biasa yang seringkali berbuat salah. Menjadi Kristen, tak berarti aku lepas begitu saja dari dosa dan lebih baik daripada mereka. Aku tak berhak menghakimi mereka dan melabeli mereka jahat, hanya karena mereka tak seiman denganku atau hanya karena penampilan mereka, seperti pesan Rasul Paulus (Roma 14: 4): “Siapakah kamu, sehingga kamu menghakimi hamba orang lain? Entahkah ia berdiri, entahkah ia jatuh, itu adalah urusan tuannya sendiri. Tetapi ia akan tetap berdiri, karena Tuhan berkuasa menjaga dia terus berdiri.”

Ketika aku melakukan hal-hal baik, mereka pun mulai membuka diri. Teman-teman kantorku jadi mulai bertanya tentang imanku dan aku pun menjelaskannya dengan antusias. Bukan hanya itu saja. Mereka pun juga mulai ikut mengucapkan Selamat Natal dan Paskah kepadaku dan teman-teman Kristen lain yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Kami pun saling belajar tentang arti toleransi yang sesungguhnya. Oleh karena kami bekerja di media yang harus masuk di tanggal merah, aku dan teman-teman Kristen pun berkorban masuk kantor di saat mereka merayakan hari raya. Begitu pula sebaliknya.

Kini setelah 3 tahun aku bekerja, aku memiliki banyak teman yang tak seiman denganku. Aku bersyukur, suasana kantor yang dulu menegangkan bagiku, kini menjadi semakin cair dari hari ke hari. Lewat mereka, aku juga belajar mengasihi, membuka diri, menghapus stigma negatif yang selama ini aku percayai serta bertoleransi dengan umat dari agama lain. Kami saling bertukar cerita, suka dan duka bahkan pergi bersama dan berbagi canda tawa di tengah-tengah perbedaan yang kini tak lagi menjadi tembok pembatas di antara kami.

Bagiku, inilah tantangan utama kita sebagai seorang Kristen di zaman ini. Memang begitu sulit untuk terlebih dahulu mengasihi mereka yang ‘berbeda’ dengan kita. Bahkan seringkali, kita merasa sebagai yang paling benar di antara umat agama lain. Namun Tuhan Yesus sendiri pernah menegur kita bahwa jika kita mengasihi mereka yang sudah mengasihi kita, apakah upah yang kita dapatkan? “Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian? Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.” (Matius 5: 46 – 48).

Oleh karena itu, seperti dalam hukum utama Kitab Suci dalam Surat Yakobus 2: 8-9, marilah kita mengamalkan kasih kepada siapapun yang kita temui. Tak peduli apapun agamanya, apapun ras dan sukunya, berusahalah memberikan kasih lewat salam, sapaan yang ramah dan tidak menghakimi demi terwujudnya nilai-nilai Kristiani:“Akan tetapi, jikalau kamu menjalankan hukum utama yang tertulis dalam Kitab Suci: ‘Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri, kamu berbuat baik. Tetapi, jikalau kamu memandang muka, kamu berbuat dosa, dan oleh hukum itu menjadi nyata, bahwa kamu melakukan pelanggaran.”


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Ketika Bertahan Adalah Sebuah Pergumulan

Bertahan dan memelihara komitmen untuk melayani di komunitasku sempat terasa begitu berat. Aku ingin menyerah dan keluar saja, tetapi Tuhan menguatkanku tetap bertahan, hingga sekarang aku melihat buahnya.