Posts

Kala Doa dan Harapan Tak Selalu Sejalan

Oleh Olyvia Hulda, Sidoarjo

Aku ingin begini.. aku ingin begitu.. ingin ini ingin itu banyak sekali..
Semua semua semua dapat dikabulkan, dapat dikabulkan dengan kantong ajaib ..

Anak-anak 90’an pasti tidak asing dengan lirik lagu dari film kartu Doraemon. Jika dulu kita cuma dengar dan nikmati saja iramanya, saat kita dewasa mungkin kita menyadari bahwa lirik lagu tersebut benar-benar mengungkapkan naluri manusia yang memiliki berbagai keinginan dan berusaha mewujudkannya dengan berbagai cara. Rumus yang umum kita kenal ialah bila keinginan dikabulkan, tentu akan dapat membuat hati merasa gembira.

Tapi, apakah punya keinginan itu salah? Tentulah tidak. Mengingini sesuatu adahal hal yang baik. Bahkan, Tuhan Yesus pun berkata dalam sabda-Nya, “Mintalah maka kamu akan diberi” (Matius 7:7). Perkataan ini tentu sangat menggembirakan bagi kita. Bagaimana tidak, Tuhan berjanji akan memberikan apa yang kita minta! Atas dasar janji inilah, orang-orang percaya mulai menaikan permohonannya pada Tuhan; bahkan ada juga yang mengadakan doa beberapa hari, agar permohonannya dapat dikabulkan. Ada pula berdoa yang disertai berpuasa, seperti yang dilakukan Daud Ketika memohon anaknya agar tetap hidup (2 Samuel 12:16).

Pada perikop itu diceritakan Daud ditegur oleh Natan atas dosanya berzinah dan membunuh. Daud tidak akan mati, tetapi dia menerima konsekuensi dari dosanya berupa anak yang dikandung dari perbuatan zinahnya akan mati (ayat 14). Daud tidak ingin anak itu mati sehingga dia berdoa puasa memohon agar nyawa sang anak tidak dicabut, namun pada hari ketujuh sang anak itu mati (ayat 18).

Kisah Daud di sini dan janji Kristus terkesan seperti berkontradiksi.. Demikian pula dengan Yesus sendiri, yang memohon agar cawan dilalukan dari pada-Nya (Matius 26:39), dengan arti, sisi manusiawi Yesus mengalami ketakutan yang luar biasa menjelang penyaliban. Namun, pada akhirnya, baik pada Daud maupun Yesus, permohonan tersebut tidak dikabulkan oleh Allah Bapa. Ada pula pengalaman dari Rasul Paulus, yang meminta pada Tuhan agar dapat ‘mengusir roh jahat’ yang sering mengganggunya, namun Tuhan tidak mengabulkannya (2 Korintus 12:7-9).

Doa-doa yang tak dijawab ini mungkin membuat kita meragukan janji Tuhan dan merasa tak perlu berdoa meminta, namun pada Matius 6:8 tertulis janji yang lain bahwa Tuhan mengetahui apa yang kita perlukan, lebih dari diri kita sendiri. Terkadang, kita tidak tahu apa yang menjadi kebutuhan kita yang sebenarnya. Lebih tepatnya, kita tidak tahu mengenai diri kita sendiri secara sempurna; hanya Tuhanlah yang mengetahuinya, sebab DIA pencipta kita.

Anggapan bahwa kita sendirilah yang paling tahu akan membuat kita sulit menerima jawaban Tuhan. Hal ini juga terjadi pada diriku. Sejujurnya, aku sempat marah pada Tuhan atas jawaban doa yang tidak sesuai dengan keinginanku. Waktu itu, aku berdoa agar aku dapat pergi ke luar negeri, untuk studi banding bersama dengan teman-teman sepelayanan. Namun karena pandemi, keberangkatan kami pun dibatalkan.

Rasa kecewa menyelimutiku. Kegiatan kerohanian seperti berdoa, saat teduh, membaca Alkitab, serasa membosankan dan muak untuk dilakukan. Namun kisah Daud dan Paulus sungguh menyadarkanku, bahwa bukan akulah yang mengendalikan apa yang aku inginkan. Semuanya karena Tuhan mengerti apa yang menjadi kebutuhan utamaku, lebih dari pada diriku sendiri. Mungkin, ada hal yang lebih utama dan penting dari kegiatan studi banding tersebut untuk aku kerjakan.

Sungguh menyedihkan dan menyakitkan bila kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan dan dambakan; apalagi kita telah berdoa (bahkan berpuasa) demi pergumulan kita tersebut. Bila perasaan sedih dan kecewa ini tidak diselesaikan maka dapat mengakibatkan iman kita menjadi lemah. Dan pada akhirnya, kita akan menjadi negative thinking dengan Tuhan dan Firman-Nya. Bila hal ini pun tidak dapat diselesaikan, maka akan sulit untuk membangun hubungan yang erat dengan Tuhan.

Selama 3 tahun aku bergumul dan berusaha untuk berdamai dengan kehendak Tuhan, serta berusaha untuk membaharui pikiran dan pengenalanku akan Tuhan dan rencana-Nya dalam hidupku. Di tengah-tengah pergumulanku, aku dikuatkan melalui komunitas-komunitas rohani yang aku ikuti, baik di dalam maupun luar gereja.

Salah satu statement yang cukup menguatkanku adalah “Desire and Happiness cannot lives together” . Memang ada perasaan gembira ketika sebuah keinginan kita dikabulkan atau dijawab sesuai dengan harapan kita. Namun, aku belajar dari kisah raja Salomo, di mana dia hidup untuk melakukan segala keinginannya, bahkan sesuai harapannya, pada akhirnya jatuh pada kesia-siaan (Pengkhotbah 1-3).

Aku menyadari bahwa dengan tidak dikabulkannya keinginanku, Tuhan sedang membawaku untuk menikmati proses lain yang membawaku menikmati persekutuan yang lebih erat dengan-Nya. Dari kecewa aku belajar untuk menerima. Dari menerima, aku pun belajar untuk percaya. Mungkin saja jika segala yang kuinginkan terkabul segera, bisa saja aku jatuh ke dalam kesia-siaan dan kehampaan.

Aku bersyukur, pengalaman-pengalaman ini menolongku memetik hal-hal baik. Yakni di antaranya:

1. Tuhan adalah Sang Pencipta, dan kita adalah ciptaan-Nya. Kita tidak bisa, bahkan tidak berhak mengatur Tuhan dengan dalil dan ‘proposal’ yang dibuat dengan doa. Permohonan kita yang dikabulkan, adalah bagian dari rencana-Nya, bukan karena kehebatan doa kita.

2. Tuhan lebih tahu apa yang kita butuhkan, bahkan di saat kita tidak sadar/tidak tahu akan kebutuhan kita. Bila itu tidak atau belum dikabulkan, tidak perlu kecewa berlarut-larut, dan kita berusaha untuk lebih mengenal kebutuhan diri kita sendiri—yang dituntun Roh Kudus tentunya. Hal ini dapat dilakukan dengan berdiskusi di komunitas kita, ataupun pergi ke konselor/mentor yang kita percayai.

3. Belajar untuk menguatkan hati, bahwa apa yang diperbuat Tuhan selalu baik, sekalipun kita tidak memahami dimana letak baiknya. Aku belajar dari nabi Yeremia mengenai hal ini. Ada banyak sekali ayat-ayat di kitab Ratapan yang telah menolongku waktu itu, sampai sekarang.

Kiranya Roh Kudus selalu memberikan semangat dan kekuatan dalam hati kita dalam menghadapi hal yang tidak kita harapkan dan inginkan. Amin.

Tips Jitu Lawan Ekspektasi Bodong: Selaraskan Hatimu sama Tuhan

Oleh Jovita Hutanto, Jakarta

Ekspektasi. Bicara masalah ekspektasi, aku adalah orang yang tergolong dalam grup si pemimpi besar. Mimpinya berada di langit, tapi kenyataannya hanya bertapak di bumi. Kira-kira sejauh itulah ekspektasi dan realitaku. Oleh sebab itu, tidak jarang aku kecewa dengan kehidupan keseharianku, karena realitanya tidak sesuai dengan ekspektasi aku. 

Semakin besar gap antara ekspektasi dan realitanya, semakin tinggi rasa galaunya. Apakah ini akhirnya sering membuatku mengeluh? Pastinya (ngaku dulu hehe). Mungkin ada beberapa dari teman-teman yang bisa relate sama masalah “ekspektasi dan realita” ini. Kabar baiknya, aku punya beberapa kakak senior andalan yang sering memberikan masukan yang sangat bermanfaat dan tentunya relatable buat generasi kita ini. Kalau aku rangkum, ada 3 poin yang mereka sampaikan, boleh ya aku sharing juga di sini.

1. Stop comparing yourself to the others

“Berhenti membandingkan diri kalian dengan orang lain.”

Ini adalah masukan yang sering aku dapat dari kakak-kakak seniorku yang juga teman-teman baikku. Karena umur mereka lebih tua, dan pengalaman hidupnya jauh lebih banyak, mereka selalu mengingatkanku untuk tidak membanding-bandingkan diriku dengan orang lain. Social media is a lie. Percaya ga percaya, ekspektasi kita di zaman ini seringkali datangnya dari hasil scrolling kita di media sosial setiap harinya. Waktu diajak ngobrol sama kakak-kakak seniorku, mereka menegur, “Aduhh.. Lu kurang kerjaan ya, ini mah lu kebanyakan liat Instagram!” 

Aku baru sadar, ternyata kekecewaanku itu datangnya karena ke-iri-an melihat momen kebahagiaan teman-temanku di sosmed. Tetapi, kita tahu dong bahwa 99% postingan orang merupakan momen terbaik dalam hidupnya. Apakah mereka akan memperlihatkan seluruh realita hidupnya termasuk permasalahan hidupnya? Jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah ada yang menceritakan keburukan dan kegagalan hidupnya. Social media can be toxic jika kita tidak dapat mengolah informasinya, apalagi menjadikan apa yang diunggah orang lain patokan ekspektasi kita.

2. Know yourself before God

Kenali diri kita yang sesungguhnya di hadapan Tuhan, bukan di hadapan teman-teman yang ada di media sosial kita. Apa yang mereka capai, belum tentu apa yang harus kita capai.

Everyone has his/her own different stories. Jadi simpelnya, kita harus tahu apa yang menjadi porsi kita. Memang ada kalanya kita sudah mengerjakan semaksimal mungkin, tapi ternyata hasilnya masih tidak sesuai ekspektasi kita juga. Mungkin pertanyaannya adalah: apakah keinginan kita sudah sesuai dengan porsi kita? Kalau memang tidak tercapai, mungkin kata Tuhan memang bukan porsi kita, dan perlu di-review ulang di hadapan Tuhan. Setiap orang sudah diberikan Tuhan porsinya masing-masing dengan pertanggungjawabannya masing-masing juga. Semakin besar porsinya, semakin besar tanggung jawabnya, sehingga tidak perlu iri hati. 

“Hidup ini harus banyak bersyukur baru bisa hepi. Ngiri ga akan ada habisnya. Lu harus lihat ke dalam diri lu sendiri dan refleksi sama Tuhan,” kata kakak-kakak seniorku. Ternyata lihat ke dalam diri itu ga mudah, karena apanya yang mau dilihat, ya? Dan bagaimana kita tahu standar kesuksesan untuk diri kita? Untuk memudahkan, melihat ke dalam diri artinya menyesuaikan ekspektasi kita dengan porsi yang sudah Tuhan berikan pada kita.

3. Discernment is the key to understanding what God wants in our lives, therefore we know our expectations

Berat kan ya definisinya, karena kalau poin ini sih, aku belajar dari beberapa kakak yang sudah sangat senior. Apa sih discernment itu? Jadi, dalam konteks Kristiani, discernment merupakan sebuah kearifan dan ketajaman dalam mengetahui mana yang tepat dan mana yang tidak untuk diri kita melalui tuntunan Roh Kudus. Kearifan ini sebuah skill yang dibutuhkan untuk mengerti maunya Tuhan dalam hidup kita, sehingga kita tahu doa seperti apa yang perlu kita panjatkan dan panggilan atau goals seperti apa yang harus kita tuju. Dengan adanya discernment, tentunya akan lebih jarang doa permohonan berakhiran no, karena keinginan dan ekspektasi kita sudah selaras sama hati Tuhan. Kalau sudah satu hati dan satu tujuan sama Tuhan, pasti ekspektasi dan realita 75% sesuai. Tidak 100% sesuai, tapi sebagian besar pasti sesuai, terbukti dari kisah para raja dan nabi di perjanjian lama. Salah satu nya cerita Yusuf:

“Tetapi sekarang, janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu. Karena telah dua tahun ada kelaparan dalam negeri ini dan selama lima tahun lagi orang tidak akan membajak atau menuai…” (Kejadian 45:5-7).

Yusuf mengerti porsi dan panggilannya. Meskipun ia dijual menjadi budak raja Mesir, ia tidak pernah mengeluh ataupun menyesali masa-masa susahnya karena ia tahu bahwa Tuhan mempersiapkan dirinya untuk mendatangkan kebaikan bagi teman sebangsanya. Apa ga kurang pahit pengalamannya dijual oleh saudaranya menjadi budak? Apa lalu ia menyesali kehidupannya? Tidak, walau di awal ia mungkin tidak mengerti maksud dan rencana Tuhan, namun ia tidak pernah merasa iri dengan kakaknya ataupun meratapi nasibnya. Ia tetap mengerjakan yang terbaik, dan sampai pada akhirnya fokus Yusuf juga tetap pada porsi dan panggilannya—”memelihara kehidupan” Israel, supaya tidak mati kelaparan. Sehingga apa yang perlu ia keluh kesahkan di balik cerita pahitnya? Tidak ada, karena ekspektasi Yusuf dan realita yang dijalankannya sesuai 100%. Ia tahu betul bahwa inilah porsi yang diberikan dari Allah sendiri untuk dirinya (Kejadian 45:6, “Allah menyuruh aku mendahului kamu”). Jangan terbalik ya man-teman, yang menyesuaikan supaya terjadinya sebuah keselarasan hati bukan merupakan kompromisasi Tuhan yang mengikuti kemauan kita, tapi merupakan kerelaan hati kita yang mau mengikuti hati Tuhan. 

Aku sering dengar orang bilang, “Udehhh, ikuti kata hati aja.” Nah loh, hati siapa nih ini? Hati kita sendiri atau hati Tuhan? Karena kalau belum sehati sama Tuhan, kata hati kita kan belum tentu kata hati Tuhan. Hehe.. Oleh sebab itu, di sinilah pentingnya peran discernment, menyelaraskan dan menyatukan kedua hati supaya kedua belah pihak happy dan endingnya happily ever after. Walaupun idenya cukup mengawang, ternyata the gift of discernment ini lumayan bisa dilatih dan diterapkan dengan bantuan ilmu Psikologi. Ada 3 tahap discernment, yaitu: awareness, understanding, dan action.

Tahap 1: Awareness

Awareness itu boleh diibaratkan mobil polisi yang lagi ngiung-ngiung saat kejar maling atau kawal orang penting. Sama seperti lampu siren ini, seluruh indra kita harus dalam keadaan alert (siap siaga). Bukan hanya peka, tapi kita harus lebih peka dari biasanya—peka akan diri kita, sekeliling kita, dan suara Tuhan. Hal yang paling membantu adalah, menuliskan apa yang menjadi realita kita, keinginan kita, dan juga berdiskusi dengan orang di sekitar kita. Lalu bagaimana sih kita bisa dengar suara Tuhan? Suara Tuhan yang paling jelas dan mutlak benar ya hanya ada di Alkitab. Jadi jangan sampai tidak dibaca Alkitabnya. Di dalam tahap inilah, kita banyak-banyak mendengar dan mengobservasi.

Tahap 2: Understanding

Di tahap kedua ini, kita mulai mengolah semua informasi yang kita terima dari pemikiran kita, pendapat orang-orang di sekitar kita, dan penginterpretasian kita terhadap suara Tuhan. Tahap kedua ini cukup tricky, karena dapat menjebak jika kita salah menganalisis dan menginterpretasikan informasi yang kita dapat. Di sinilah diperlukannya ketajaman kita dalam memilih apa yang tepat untuk diri kita. Selain itu, kita perlu berdoa untuk memohon kebijaksanaan Tuhan. Kalau kata ai (tante-tante) yang pernah aku temui di retret gereja, “eh, kalau lu lang (orang) tu dekat-dekat sama Tuhan, doa doa, lu pasti lasa-lasa (rasa-rasa) itu Tuhan maunya cemana (gimana).” Siap ai!

Tahap 3: Action

Tahap terakhir adalah tahap pengambilan keputusan yang mudah-mudahan sudah selaras sama hati Tuhan. Sekalipun kita salah menganalisa dan mengambil keputusan, kalau intensi kita tulus bertujuan untuk mengikuti mau Tuhan, jangan khawatir, Tuhan pasti arahkan kembali ke jalan yang benar. Tuhan tidak sekejam itu untuk membiarkan kita jatuh selamanya.

Memang saat direalisasikan, menyelaraskan hati sama Tuhan itu tidak mudah, alias sulit. Menyelaraskan hati dengan orang rumah yang kelihatan aja susah, apalagi sama Tuhan ya yang wujudnya aja tidak bisa dilihat. Tidak kalah sering juga interpretasi kita akan jawaban tidak dari Tuhan dianggap sebagai hal yang memang belum waktunya sangking mengharapkan terwujudnya keinginan kita. Wajar dan lumrah banget kok… Tapi aku percaya, jika kita lebih aware, understand, and act accordingly, keinginan kita lama-kelamaan akan lebih sesuai dan selaras dengan kemauan Tuhan. Meminjam bahasa motivator, investasikan masa mudamu menyatukan hati dengan Tuhan, sudah terlalu banyak ekspektasi bodong karena kesalah-kaprahan anak muda akan porsinya.

Dalam Peliknya Masalah Kemiskinan, Kita Bisa Berbuat Apa?

Oleh Yuliana Martha Tresia, Depok

Masih jelas tergambar dalam pikiranku kondisi pemukiman di kolong jembatan di daerah Ancol, Jakarta Utara yang kukunjungi sebulan lalu. Mayoritas warganya bekerja sebagai pemulung. Rumah-rumah mereka didirikan seadanya, bukan tergolong rumah yang sehat. Anak-anak berkerumun dan mengenakan pakaian yang lusuh berdebu. Apakah mereka sekolah? Kebanyakan tidak. Apakah mereka mendapatkan akses kesehatan? Tidak juga.

Itulah sedikit gambaran dari kemiskinan, suatu fenomena yang mengakar dan menyebar tak hanya di Jakarta, tetapi juga di wilayah lain Indonesia, bahkan juga di dunia. Kemiskinan adalah masalah yang pelik, dan mungkin juga membuat kita bertanya-tanya: apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasinya dan menolong mereka yang kurang beruntung?

Pertanyaan seperti ini pernah membuatku bingung. Buatku, kemiskinan adalah sebuah realita yang terlalu besar—too cruel to be complicated. Sejak aku masih duduk di bangku SMA, hatiku selalu tergerak ketika bersentuhan dengan realita kemiskinan. Aku merasa gelisah jika melihat anak-anak mengemis di lampu merah ataupun kalau aku menonton tayangan reality show di TV yang menyoroti kemiskinan. Namun, waktu itu aku tidak tahu langkah nyata apakah yang sejatinya bisa kuperbuat sebagai kontribusiku untuk mengentaskan kemiskinan tersebut.

Sewaktu duduk di SMA dulu, aku mengagumi Bunda Teresa, seorang biarawati yang mengabdikan hidupnya untuk melayani orang-orang miskin. Teladan yang diberikan oleh Bunda Teresa membuatku semakin terpanggil untuk melayani mereka yang paling miskin di antara orang-orang miskin. Mengikuti panggilan ini, aku pun bergumul untuk belajar mengenai kemiskinan lebih banyak melalui Ilmu Sosiologi. Dalam rencana-Nya, Tuhan ternyata membukakan jalan dengan kelulusanku di jurusan Sosiologi.

Selama tiga setengah tahun belajar Sosiologi, aku menyadari bahwa jurusan ini memberiku pemahaman tentang kemiskinan dari sudut pandang yang amat kaya, yaitu kemiskinan dari sisi makro dan mikro. Melalui ambil bagian sebagai relawan dalam berbagai acara kemanusiaan, aku memahami bahwa ternyata kemiskinan bukan melulu soal ekonomi, tapi juga ada faktor pendidikan, lingkungan, kesehatan, gender, dan sebagainya.

Setelah lulus kuliah, aku pun bekerja di sebuah yayasan yang bergerak di bidang pelayanan terhadap kaum miskin. Sehari-harinya, aku bertanggung jawab untuk mempublikasikan konten-konten terkait pelayanan sosial-kemanusiaan yang kami lakukan. Tapi, dalam beberapa kesempatan aku pun diterjunkan ke lapangan untuk melayani orang-orang miskin secara langsung.

Sejak masa SMA hingga hari ini, aku rasa aku telah melakukan banyak hal sebagai upaya untuk mengentaskan kemiskinan. Aku mengikuti berbagai kegiatan kemanusiaan, berdonasi, sampai bekerja di yayasan yang melayani orang-orang miskin. Namun, dalam hati aku sempat merasa bahwa aku belum berdampak apa-apa bagi masalah kemiskinan di Indonesia. Aku pernah membandingkan diriku dengan teman-teman lain yang kupikir karyanya jauh lebih banyak dan baik daripada aku. Dalam hati aku bertanya-tanya, apa benar masyarakat pra-sejahtera yang kutolong selama ini juga memang merasa tertolong? Aku merasa pertolongan yang kuberikan itu begitu terbatas, minimal, dan hanya sementara. Aku tetap merasa bahwa kemiskinan ini terlalu sulit untuk diatasi.

Namun, dalam perenunganku, aku mendapati bahwa Tuhan menegurku: mengapa harus mendambakan hal-hal besar dan tidak bersyukur untuk hal-hal kecil yang sudah kulakukan? Aku sadar bahwa pikiranku berpikir terlalu jauh hingga aku lupa bahwa setiap orang memiliki bagiannya masing-masing. Ada yang Tuhan percayakan hal-hal besar, tapi ada pula yang dipercayakan hal-hal kecil.

Pikiranku yang terlalu berfokus pada dampak membuatku melupakan satu hal yang amat penting. Paulus menuliskan demikian:

“If I give all I possess to the poor and give over my body to hardship that I may boast, but do not have love, I gain nothing” (1 Corinthians 13:3 NIV).

Atau dalam Alkitab terjemahan bahasa Indonesia tertulis:

“Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku” (1 Korintus 13:3).

Perkataan Rasul Paulus di atas kembali menegurku. Yang terpenting dalam pelayanan kepada orang-orang miskin bukanlah tentang seberapa besar karya yang sudah kita perbuat, melainkan lebih kepada sikap hati kita: adakah kasih yang mendalam yang terus dipertahankan untuk mereka yang tidak berpunya di sana?

Hari itu aku menyadari bahwa satu hal sederhana yang bisa aku dan kita semua lakukan untuk menghadapi peliknya masalah kemiskinan adalah dengan mengasihi. Kita bisa mulai mengasihi mereka dan kemudian kasih inilah yang akan menggerakkan kita menuju aksi-aksi nyata selanjutnya. Cara pertama untuk mulai mengasihi adalah dengan berdoa. Dalam refleksiku bersama Tuhan, aku sadar bahwa doa yang tulus bagi seorang anak kecil yang kita lihat memulung di pinggir jalan pun bisa merupakan sebuah tanda kasih yang besar. Kita bisa berdoa untuk masalahan kemiskinan yang terjadi dan juga berdoa supaya Tuhan menolong mereka yang terjerat dalam kemiskinan.

Kok hanya berdoa? Doa bukanlah alasan bahwa kita tidak mau berbuat apa-apa, melainkan doa adalah tanda keberserahan penuh kita kepada Tuhan yang jauh lebih berkuasa atas masalah kemiskinan yang pelik dan yang tak bisa kita selesaikan sendirian. Kita harus mengakui bahwa menolong seseorang keluar dari kemiskinan bukanlah pekerjaan yang sepele. Kita membutuhkan intervensi tangan Tuhan, dan itu dimulai dengan doa.

Aku belajar untuk mendasari setiap pelayananku dengan doa dan kasih yang besar. Segala sesuatu yang dilakukan dengan kasih yang besar tentu berarti lebih di mata Tuhan dan akan memberi dampak kepada mereka yang hidup dalam kemiskinan.

Mungkin tidak banyak dari kita yang memang hidupnya terpanggil untuk melayani orang-orang miskin secara langsung. Tapi, aku percaya bahwa kita semua dipanggil oleh Tuhan untuk mengasihi semua orang, termasuk orang-orang yang miskin, sebagaimana Tuhan sendiri bersabda: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius 25:40).

Hari ini, di tengah peliknya masalah kemiskinan yang sepertinya tak ada ujungnya, maukah kamu berdoa kepada Tuhan dan meminta hati yang mau mengasihi dengan kasih yang besar?

Baca Juga:

3 Hal yang Kupelajari Ketika Temanku Meninggalkan Gereja Karena Konflik

Ketika seseorang meninggalkan gereja karena sebuah konflik, sangatlah mudah untuk menyembunyikan masalah itu dan berpura-pura seolah semuanya tidak pernah terjadi. Tapi, pertanyaannya adalah: siapa yang mau merendahkan dirinya untuk mengakui bahwa mereka telah salah dan meminta maaf?