Posts

Sebuah Pengingat Mengapa Aku Diutus Pergi Jauh

Sebuah cerpen oleh Cristal Pagit Tarigan

“Kamu yakin bakalan pergi? Gak usah muluk-muluk lah soal hidup. Bapak rasa kamu belum semandiri itu selama ini. Tapi, kalau kamu memang mau pergi sejauh itu, jangan sampai nanti kamu nyusahin orangtua atau diri sendiri.”

Mendengar kata-kata itu, aku merasa seakan duniaku runtuh. Rasanya sakit sekali tidak didukung oleh orang tuaku, dan aku merasa mereka tidak mengenalku. Padahal aku sudah berusaha memperbaiki hidupku selama beberapa tahun terakhir sejak aku menerima Yesus.

Belum lagi perkataan dari teman-teman dan keluargaku lainnya yang turut menyakiti hatiku.

“Gue shock sih, dengar kabar kalau lo tiba-tiba mau pergi ke sana dengan alasan mau melayani. Soalnya lo aja masih sering banyak ngeluh. Yakin lo, San?” Dia adalah salah seorang teman yang sudah cukup lama kukenal.

“Eh! Kata Ibu, Santi mau ikut volunteer tenaga medis ke Pedalaman ya? Pelayanan sih pelayanan San. Tapi, kamu yakin? Bukan cuma mau eksplor tempat aja, nih? Katanya pulau itu cantik, sih. Jangan sampai setengah-setengah lho, takutnya nanti ngerepotin keluarga.” Demikian ucapan bibiku yang datang ke rumah untuk membicarakan hal itu, tanpa basa-basi.

Belum saja aku pergi, sudah banyak kata-kata yang bukan berupa dukungan, melainkan kata-kata yang membuatku harus menahan air mata di depan mereka.

Kupikir tidak ada yang akan mendukungku. Namun, ada satu sahabat yang mendukungku, yang percaya kalau aku tidak salah dengan apa yang sedang kurasakan—tentang bagaimana Tuhan memang memanggilku melayani sebagai volunteer di daerah itu. Dia adalah Konnang.

“Gapapa San. Wajar kok semua orang, bahkan orang tuamu tidak mendukungmu. Kan memang tidak banyak orang yang dipanggil atau dipilih Tuhan untuk pelayanan seperti ini. Restu orang tua memang penting, tapi kalau suara Tuhan untuk kamu pergi lebih kuat, percayalah Tuhan akan membuktikan kalau Dia sendiri yang akan turun tangan untukmu.”

Kata-kata itu membuatku semakin yakin bahwa aku tidak salah dengan keputusanku.

Itulah sekelumit pergumulan yang kuhadapi sebelum keberangkatanku mengikuti apa yang jadi panggilan hatiku. Namaku Santi. Aku seorang tenaga medis yang bekerja di sebuah rumah sakit di kotaku. Tapi suatu hari, aku memutuskan berhenti untuk ikut sebuah pelayanan misi di sebuah pulau, tepatnya di suatu tempat terpencil di Indonesia. Bukan tanpa alasan aku memutuskannya.

Dulu, kehidupan sebagai orang Kristen memang biasa-biasa saja. Aku hanyalah seorang jemaat yang rajin ke gereja dan jarang terlibat dalam kepengurusan pelayanan. Tapi, pertemuanku dengan Yesus beberapa tahun lalu adalah alasan yang membuatku mengambil keputusan ini. Sejak hari itu, ada dorongan di hati untuk lebih peduli dan lebih aktif di beberapa kegiatan rohani yang kuyakin pastilah itu buah dari mengenal-Nya.

“Tapi, pertemuan dengan Yesus sekalipun tidak membuat kita langsung berubah 100%. Begitu pun dengan pandangan orang lain soal hidup kita yang lama, San,” tambah Konnang.

Karena ucapan itu, aku sedikit lebih lega untuk menanggapi kalimat-kalimat yang belakangan ini aku dengar dari orang-orang yang sebenarnya kuharapkan untuk mendukungku. Mereka tidak sepenuhnya salah, namun tidak juga benar untuk langsung menghakimiku lebih dulu.

Akhirnya, dengan restu setengah hati dari orang tuaku, aku berangkat.

Aku pun sampai di sebuah pulau yang penduduknya sama sekali tidak terlalu mengenal kecanggihan teknologi dan modernisasi kota. Kutatap mereka semua yang menyambut kedatangan timku. Saat itu hatiku bergetar, seakan berkata “inilah jawaban mengapa aku pergi.”

Lusuh, kumuh, kurang gizi, dan tanpa alas kaki. Seperti kurang diurus. Namun, senyum mereka seakan menyampaikan harapan bahwa kedatangan kami membawa dampak yang berarti buat hidup mereka.

Hari-hari di sana tidak mudah untuk kulalui. Jatuh bangun kualami, namun aku tetap kuat bertahan menyelesaikan sebuah misi yang sudah Tuhan percayakan ini. Tempat untuk mengobrol selain Tuhan, tetaplah Konnang, sahabatku yang Tuhan kirimkan untuk menemani perjalanan kisah ini. Dan Konnang tidak pernah melupakanku, sekalipun aku pergi ke tempat terpencil ini.

“Halo! Selamat Tahun baru, ya! Gak kerasa banget kita udah dua tahun gak ketemu, San. Apa ceritamu kali ini? “ tanya Konnang tanpa basa-basi mengawali pembicaraan kami.

“Selamat tahun baru, Konnang!” Aku menjawabnya dengan semangat. “Iya, ya. Gak kerasa aku udah dua tahun di sini, dan sisa waktuku sebagai volunteer tinggal enam bulan lagi. Tapi, tau gak sih, Nang, kadang aku masih belum percaya kalau aku bisa sampai di tahap ini. Kalau bukan karena pertolongan Tuhan, aku pasti udah pulang sejak lama. Tapi, pengharapan itu emang jadi alasan yang mengalahkan semua kekhawatiran dan ketakutanku, Nang. Dan buahnya, semakin hari aku merasa semakin kuat.”

Begitu jawabku. Aku pun menyadari, semakin banyak kata-kata bijak yang dapat kuucapkan, dan aku tahu kata-kata itu lahir dari semua pengalamanku ini.

“San, tau gak apa yang paling menarik dari kisahmu? Dulu, aku bilang ke kamu biar Tuhan yang membuktikan kalau Dia yang akan turun tangan dalam perjalananmu. Waktu itu aku hanya menyemangatimu untuk mengambil keputusan. Tapi, rasanya sekarang aku makin mempercayai hal itu buat hidupku, sekalipun pasti perjalanan ceritaku dan ceritamu berbeda.”

Ya, benar! Apa yang Konnang katakan sungguh benar.

Enam bulan kemudian, aku pulang ke kampung halamanku. Masa melayaniku di tempat terpencil itu sudah habis.

Dan ketika aku baru saja sampai di bandara kota tempat tinggalku, keluarga dan orang-orang yang kurindukan langsung memelukku dengan hangat. Air mata mereka pun turut membasahi baju putih yang kukenakan hari itu. Mereka menyambutku dengan sangat hangat. Dan aku bersyukur, mereka juga bangga atas apa yang telah kulakukan.

Bertahan dan bermegah dalam kesengsaraan memang tidak mudah, tapi ketaatan dan ketekunan akan menjadikan kita berpengharapan. Dan pengharapan dalam Yesus tidak mengecewakan.

Terima Kasih Yesusku, karena Engkau menjadi pembelaku. Karena Engkau juga, aku tidak perlu membuktikan apapun kepada siapapun.

Malam itu, seperti biasanya aku menulis. Kututup buku journey-ku dengan kalimat itu sambil tersenyum bangga mengingat kasih setia-Nya yang tidak pernah ada habisnya.

Lepaskan Khawatirmu Supaya Kamu Mendapat Kedamaian

Oleh Marta Ferreira
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Trade Your Worries For God’s Peace

Kupikir aku adalah orang yang punya ingatan bagus. Orang-orang sering berkata, “Ingetin aku ya….”. Tapi sekarang, aku terkejut karena betapa mudahnya aku melupakan apa yang seharusnya amat penting—siapa Tuhanku—ketika perasaan insecure dan kebohongan menghampiri pikiranku.

Ketika gelombang pandemi pertama kali menjangkau negaraku, Inggris dan kami menjalani lokcdown, aku berusaha keras untuk menyesuaikan diri. Lalu, ketika kebijakan karantina skala besar dicabut dan aku mulai menata rutinitasku lagi, rupanya wilayah tempat tinggalku harus menjalani sekali lagi lockdown. Seketika perasaan senang dan bebas terbenam kembali.

Aku orang yang suka bersosialisasi dan menikmati pertemuan dengan orang-orang sepanjang minggu, dan betapa senangnya aku ketika bisa beraktivitas secara normal kembali. Tapi, sekarang aku tidak bisa lagi mengikuti ibadah daring bersama dua temanku di rumah, atau pergi nongkrong di akhir minggu dengan rekan gereja. Yang kulihat adalah: aku akan kembali terisolasi.

Menemukan harapan di tengah kesuraman

Naluri alamiahku ketika menghadapi kabar buruk adalah khawatir, over-thinking, dan panik. Pagi itu, aku tidak mampu mengendalikan perasaanku dan pikiranku dengan cepat dipenuhi ketakutan. Tidakkah aku berdoa? Ya, aku berdoa. Tapi, doa yang kunaikkan bukan berasal dari hati, itu doa yang didasari putus asa dan kesuraman. Sebuah doa yang kunaikkan dalam ketakutan, bukan rasa percaya.

Namun, saat aku mulai berdoa, secercah cahaya muncul perlahan di tengah badai pikiranku. Untuk setiap kekhawatiranku, aku mulai mengingat ayat-ayat Alkitab. Semakin aku berdiam dalam pikiran yang tenang, lebih banyak inspirasi dari Alkitab yang kuingat. Aku pun kembali teringat akan siapa Bapa dan firman-Nya. Hatiku tak lagi bergejolak, kendati pikiranku masih terasa kalut. Ada setitik kedamaian yang mulai kurasa.

Ratapan 3:21-25 berkata:

Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap:
Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya,
Selalu baru tiap pagi;
Besar kesetiaan-Mu!
“Tuhan adalah bagianku,” kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya.
TUHAN adalah baik bagi orang yang berharap kepada-Nya, bagi jiwa yang mencari Dia.

Kitab Ratapan dipenuhi jeritan hati dari nabi Yeremia yang melihat Israel, bangsanya dihancurkan dan dijarah oleh bangsa asing. Yeremia sudah mencoba memperingatkan Israel berkali-kali bahwa Tuhan memanggil mereka untuk kembali dan percaya hanya pada Allah, tetapi Isral mengabaikan seruan itu.

Namun, terlepas dari kondisi kehancuran tersebut, Yeremia tetap menaruh harapan. Meskipun di sekelilingnya hanya ada kesuraman, dia tetap memiliki harapan. Mengapa? Karena Yeremia mengetauhui siapa Allah—harapan kepada-Nya tidaklah tergantung pada keadaan dunia yang berubah-ubah, tetapi kepada Allah yang kasih dan kedaulatan-Nya senantiasa tetap. Allah yang berdaulat dan telah berjanji untuk menyambut siapa saja yang mencari dan berpaling pada-Nya. Allah yang turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi yang mengasihi Dia (Roma 8:28).

Hari itu aku diingatkan kembali bahwa harapan kita terletak pada Allah yang sama. Bagiku, itu artinya aku bisa tetap berharap sekalipun pada kenyataannya semua usaha untuk menekan laju penyebaran virus tidak berhasil. Aku bisa tetap punya harapan meskipun aku harus mengalami lockdown kembali, atau meskipun aku khawatir kalau hari-hariku di depan akan menjadi kelam. Seperti nabi Yeremia, kendati keadaan di sekelilingnya suram, aku tahu aku bisa tetap punya harapan. Aku hanya perlu membangkitkan ingatanku akan apa yang menjadi alasanku untuk berharap.

Cara-cara untuk mengingat kembali kebaikan Allah

Kabar baiknya adalah, Tuhan tahu betapa kita ini pelupa. Karena itu, Dia memberi kita instruksi dalam Ulangan 6:6-9 agar umat-Nya menjaga perintah-perintah-Nya dalam hati mereka dengan cara membicarakannya dengan orang-orang di sekitar, menuliskannya di depan pintu, dan mengingatnya senantiasa.

Perintah Allah adalah tanda dari kasih-Nya. Mengaplikasikan apa yang Allah perintahkan pada umat Israel di masa lampau dapat menolong kita mengingat dan berharap pada janji-Nya. Inilah tiga cara sederhana untuk mempraktikkan Ulangan 6:6-9:

1. Arahkan orang lain pada kebenaran dengan kata-kata sederhana

Kita bisa mengingatkan teman-teman atau orang terdekat kita dengan cara mengirimkan mereka chat atau pesan yang berisikan hikmat Alkitab.

Di hari ketika aku mendapat kabar tentang lockdown kedua, kiriman ayat dan doa dari temanku memberikan perbedaan yang signifikan buatku.

2. Kelilingi dirimu dengan firman Tuhan

Aku menuliskan beberapa ayat dan menempelnya di dinding, atau menjadikannya sebagai lockscreen ponselku. Aku memilih ayat-ayat yang menolongku untuk berfokus pada-Nya.

3. Fokuskan pandanganmu pada kebenaran

Meskipun aku sudah mengelilingi diriku dengan banyak ayat, itu tidak berarti aku selalu membaca dan mengaplikasikan maksud ayat tersebut. Namun, ayat-ayat itu selalu menolongku untuk mengingat Allah dan merasa terhibur ketika aku mulai tergoda untuk khawatir.

Banyak kesempatan selama lockdown kedua ini, ketika aku merasa putus asa, merindukan teman-teman, atau aku berkeluh-kesah, gambaran visual dari 1 Tesalonika 5:16-18 datang ke benakku. Aku meminta agar Tuhan menolongku “bersukacita senantiasa, tetap berdoa, dan mengucap syukur dalam segala keadaan”. Saat aku berdoa, aku menyadari ada perubahan cara pandangku. AKu menemukan kekuatan dan motivasi untuk menjalani hari-hariku dengan sukacita dan mulai memperhatikan kebutuhan orang lain.

Menulis ayat-ayat dan menempelkannya di dinding adalah baik, tetapi yang paling penting adalah Allah sendiri memberikan Roh-Nya untuk tinggal bersama kita. Roh itu menolong kita untuk berdoa (Roma 8:26-27) di dalam kelemahan kita, dan Roh jugalah yang memimpin pikiran kita kepada kebenaran yang perlu kita ingat. Kesetiaan Tuhan tak hanya terlihat dari apa yang kita baca di Alkitab, tapi juga melalui pengalaman-pengalaman hidup yang telah kita lalui. Dia akan menolong kita memilih pemahaman yang benar akan pencobaan, dan mengingatkan kita akan harapan yang kekal, yang tidak akan mengecewakan kita.

Sekarang aku tidak sedang berkata kalau aku telah berhasil mengatasi kekhawatiranku dengan sempurna, tapi pengalaman ini menolongku untuk lebih percaya diri dalam melangkah. Aku masih terjebak dalam lockdown dan banyak hal tetap terasa berat, tetapi aku tahu Tuhan campur tangan dan mampu memberiku damai sejahtera. Aku berdoa agar Tuhan menguatkanku dan menolongku untuk selalu mengingat siapa Dia. Aku percaya Dia akan melakukannya tak cuma untukku, tapi juga kepada setiap orang yang meminta pada-Nya, sebab Tuhan adalah setia.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Ketika Impian Suksesku Kandas

Kondisi pandemi membuat pekerjaanku terguncang, tetapi aku percaya Tuhan tidak tidur, dan melalui kuasa-Nya yang tidak terbatas, Dia menerbitkan kembali sinar harapan yang telah padam kepada orang-orang yang terdampak pandemi.

Di Tengah Kekhawatiranku, Tuhan Memberikan Kedamaian

Oleh Calvin Woo, Malaysia
Artikel asli dalam bahasa Inggris: God Met Me In The Midst Of My Anxieties

Apa yang harus kulakukan setelah lulus kuliah nanti? Pekerjaan apa yang harus aku lamar? Haruskah aku memulai usahaku sendiri? Haruskah aku melanjutkan studiku? Apakah sekarang waktu yang tepat untuk berpacaran?

Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah pertanyaan biasa yang kita semua pasti pernah pertanyakan di suatu fase dalam hidup kita. Tapi, karena alasan yang aku sendiri tidak mengetahuinya, pertanyaan-pertanyaan itu sangat membuatku merasa terganggu hingga mempengaruhi kesehatan mental, fisik, dan emosiku.

Kala itu hidupku sedang berada di persimpangan jalan dan aku mencoba mengambil keputusan. Tapi, aku merasa sangat khawatir dan cemas tentang masa depanku hingga hatiku pun rasanya tidak karuan. Aku merasa tidak berdaya karena aku tidak dapat mengendalikan seluruh aspek kehidupanku, dan aku pun mulai mempertanyakan diriku dan juga kemampuan-kemampuanku.

Aku merasa begitu kewalahan sehingga aku tidak bisa makan dengan nikmat atau tidur nyenyak di malam hari. Aku terus berusaha mencari jawaban atas pertanyaanku. Aku lalu bercerita kepada teman-teman dan keluargaku, berharap itu dapat memberikan sedikit kelegaan dalam hatiku. Tapi, pertanyaan-pertanyaan itu terus datang dan pergi seperti ombak di pantai, membuat hidupku tidak produktif karena aku tidak dapat fokus kepada diriku sendiri, orang yang kukasihi, dan juga Tuhan. Aku berusaha sangat keras untuk mengatasi pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab itu. Aku menyibukkan diriku dengan melakukan hal lain seperti menonton televisi, drama, dan liburan ke pantai. Aku coba untuk melarikan diri dari pikiran-pikiranku sendiri, tapi entah bagaimana segala kekhawatiran itu selalu dapat merangkak masuk kembali.

Di suatu malam, aku sedang sendirian di kamarku, bergumul dengan pikiran-pikiran dalam benakku. Aku memutuskan untuk berseru kepada Tuhan.

“Tuhan, aku lelah! Tolong keluarkan aku dari badai ini. Bicaralah kepadaku dan tunjukkan jalan-Mu.”

Air mata pun membasahi wajahku. Aku tersesat dan tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku butuh sesuatu untuk membimbingku dan memberiku arah.

Diamlah

Beberapa minggu kemudian, aku pergi ke luar negeri. Hatiku masih terasa berat, tapi tiba-tiba aku terdorong untuk pergi hiking ke hutan. Pikiranku pun dengan cepat menyusun rencana bagaimana bisa sampai ke sana di pagi hari.

Ketika aku berjalan memasuki hutan, aku seolah memasuki dimensi yang lain. Pohon-pohon yang tumbuh tinggi menjulang membuatku menatap takjub, dan aku merasa kehilangan kata-kata. Cahaya dari matahari menembus lebatnya hutan dan menyentuh wajahku. Aku menutup mataku, mendengar gemericik aliran sungai. Dan untuk pertama kalinya selama berbulan-bulan, aku mengambil nafas dalam-dalam.

Aku terus berjalan hingga ke tengah hutan dan menemukan sebuah anak sungai dengan pohon-pohon raksasa yang tumbuh di sekitarnya.

Aku duduk, menutup mataku, menyesap keindahan ciptaan Tuhan. Di dalam ketenangan yang tak biasanya aku rasakan ini…

Aku mendengar suara bisikan yang menegur hatiku.

“Diam! Tenanglah!”
(Markus 4:39).

Meski mataku tertutup, tetapi kemudian air mata turun membasahi pipiku. Aku merasakan kedamaian yang luar biasa dan kelegaan dari belenggu kekhawatiran yang menjeratku. Kelegaan yang kurasakan itu rasanya sulit dilukiskan dengan kata-kata, dan hanya bisa kuungkapkan dengan air mata yang dipenuhi rasa syukur dan sukacita.

Di hutan yang tenang, aku berdoa dan bersyukur kepada Tuhan atas kasih-Nya yang besar bagiku. Aku tahu bahwa perjalananku ke tengah hutan ini dipakai-Nya supaya aku menyaksikan kebesaran dan kekuatan Tuhan. Aku merasa seperti dirangkul oleh pepohonan di sekitarku, dan aku merasakan kasih Tuhan mengalir di hatiku.

Selama beberapa bulan terakhir aku berusaha mencari-cari jawaban atas pertanyaan hidupku, dan segala usahaku untuk mendapatkannya hanya membuat hatiku semakin kacau. Tetapi di dalam ketenangan hutan hari itu, aku akhirnya dapat mendengar suara Tuhan di tengah badai yang melanda hidupku.

Seiring aku terus berjalan menyusuri hutan, aku merenungkan pengalamanku yang luar biasa, dan melalui pengalaman itulah Tuhan mengingatkanku akan kasih dan kebaikan-Nya yang begitu besar. Kala aku menatap pepohonan dan menyaksikan cahaya matahari turun menembus dedaunan, aku diingatkan akan kemahakuasaan Tuhan yang terwujud dalam ciptaan-Nya, dan juga dalam hidupku.

Tuhan mengendalikan segala sesuatu

Sebagai pengikut Kristus, kita tidak dijanjikan untuk menjalani kehidupan yang bebas dari masalah, tetapi kita tahu bahwa segala tantangan yang kita hadapi adalah sebuah proses untuk menguatkan iman kita di dalam-Nya (Yakobus 1:2-4). Tantangan dan kesulitan di dalam perjalanan kita bersama Tuhan mengajari kita untuk bersandar kepada-Nya di kala masa sulit terjadi. Sederhananya, tantangan terkadang diperlukan untuk menjaga agar kita selalu di dalam Tuhan. Dan ketika tantangan itu datang, kita tahu bahwa kita memiliki tempat perlindungan di dalam-Nya.

Ketika masalah, kekhawatiran, keraguan, dan pencobaan memenuhi isi kepala kita, rasanya mudah untuk membiarkan emosi dan perasaan menentukan tindakan kita, tapi kita perlu tahu bahwa kita dapat bersikap tenang sebab kita memiliki Tuhan (Mazmur 46:10). Dialah Tuhan yang kepada-Nya samudera dan ombak taat, dan apapun yang kelak terjadi, Dia telah mengatasinya terlebih dulu. Tapi, kita tidak dapat mendengar suara-Nya yang memberi penghiburan apabila kita terus berusaha menyelesaikan masalah kita sendirian—seperti yang aku lakukan selama beberapa bulan dulu. Hanya ketika kita berdiam diri dan tenang, kita dapat mendengar Tuhan.

Di dalam tulisan ini aku sama sekali tidak bermaksud bahwa kamu harus pergi ke hutan. Tetapi, kita semua dapat mengambil waktu pribadi dan menemukan tempat yang tenang untuk menghormati Tuhan dan berelasi kembali dengan-Nya. Alih-laih mencoba mengendalikan segalanya dalam kehidupan kita, kita perlu untuk melambatkan sedikit langkah kita.

Cobalah untuk meluangkan 15 sampai 20 menit pertama dalam harimu untuk membaca firman Tuhan dan berdoa (dan tentunya, singkirkan ponselmu!). Inilah langkah awal yang baik untuk memulai terhubung kembali dengan Tuhan. Perlahan, seiring kamu mencoba cara ini atau cara lainnya, kamu akan menemukan cara apa yang paling cocok buatmu untuk menikmati waktu-waktu teduh pribadi dengan Tuhan.

Seringkali kita merasa khawatir dan cemas ketika kita kehilangan kendali atas keadaan hidup kita. Ketika badai kekhawatiran melanda, kita perlu melambatkan sejenak langkah kita, mengambil nafas dalam-dalam dan berdoa. Kita perlu merendahkan diri kita di hadapan Tuhan. Mencari-Nya, menyerahkan kehidupan kita kepada-Nya dan menjadikan-Nya sebagai prioritas yang pertama dalam setiap hal di hidup kita. Tuhan mengendalikan segala sesuatu, dan Dia selalu berada bersama kita di setiap langkah yang kita ambil. Ketika kita mengizinkan Tuhan menjadi kapten yang menakhodai hidup kita, kita tahu ke manapun Dia membawa kita, kita aman.

Ketika Tuhan menegurku di tengah hutan, aku belajar untuk melepaskan kendali atas diriku sendiri dan menyerahkan hidupku kepada Tuhan. Proses ini bukanlah hal yang mudah. Tetapi, meskipun aku masih menanti jawaban-jawaban mengenai apa yang harus kulakukan untuk hidupku, aku tahu bahwa Tuhan itu setia dan akan memimpinku ke jalan yang benar. Inilah yang memberikan penghiburan bagi hatiku.

Baca Juga:

Ketika Jumlah Jemaat di Gerejaku Menyusut

Jumlah jemaat aktif di gerejaku sekitar 300 orang. Kami saling mengenal satu sama lain dan berelasi dengan baik. Namun, belakangan ini konflik yang muncul tidak kunjung selesai hingga sekitar 100an jemaat memilih undur diri. Jumlah jemaat di gerejaku kini menyusut.