Posts

Allah Imanuel, Menyertaiku dan Masa Depanku

Oleh Novita Sari Hutasoit, Tangerang

Aku bersama rekan sekerjaku sedang berkomitmen untuk membaca Alkitab secara keseluruhan. Di suatu sore, aku melanjutkan pembacaan Alkitabku di Keluaran 33.

Keluaran 33 bercerita tentang Musa yang memohon penyertaan Tuhan untuk berjalan bersama-sama bangsa Israel di padang gurun menuju tanah Kanaan. Bangsa Israel adalah bangsa yang tegar tengkuk. Meskipun Tuhan telah menunjukkan banyak mukjizat dan memelihara mereka, bangsa Israel tetap saja bersungut-sungut. Bahkan, di Keluaran 32 tertulis bahwa bangsa Israel memalingkan diri dari Tuhan dengan membuat anak lembu emas dan sujud menyembah kepadanya.

Akibat perbuatan mereka, Tuhan tidak berkenan untuk menyertai bangsa Israel. Namun, mendengar ancaman dari Tuhan, bangsa Israel pun berkabung dan Musa memohon agar kiranya Tuhan tetap berkenan menyertai mereka. Ada bagian yang menarik di pasal ini. Di pasal 33 ayat 15, Musa berkata, “Jika Engkau sendiri tidak membimbing kami, janganlah suruh kami berangkat dari sini.” Musa memahami betul bahwa kehadiran Tuhan di tengah bangsa Israel adalah yang terpenting, hingga dia pun memohon agar kiranya Tuhan sudi beserta dengan mereka. Tanpa kehadiran Tuhan, mustahil bagi bangsa Israel untuk lari dari kejaran kereta Firaun dan juga menghadapi tantangan-tantangan lainnya.

Keluaran 33 mengingatkanku kembali akan perjalanan hidupku sepanjang tahun ini. Ada banyak hal yang aku syukuri, tapi ada juga hal-hal yang kupertanyakan. Misalnya, tahun ini aku dinyatakan lulus untuk melanjutkan pendidikanku setelah sekian lama aku mendoakannya. Namun, di tahun ini juga aku banyak dikecewakan oleh orang-orang yang aku kasihi. Aku pun bertanya, apakah yang akan terjadi di tahun depan? Semua bisa berubah tiba-tiba dan aku ragu untuk menghadapi tahun depan.

Aku pribadi adalah orang yang sistematis, aku punya perencanaan dalam segala hal. Di akhir tahun seperti ini, aku membuat berbagai perencanaan untuk ke depannya, tetapi aku malah jadi sulit menikmati kehadiran Tuhan dalam tiap perencanaan yang kubuat. Aku sibuk memikirkan bagaimana caranya supaya apa yang kurencanakan terwujud tanpa mempercayai bahwa Tuhan akan menyertai perjalananku. Agaknya, aku seperti bangsa Israel yang meragukan penyertaan Tuhan, padahal dalam perjalananku di tahun ini dan tahun-tahun sebelumnya, Tuhan telah menyertaiku.

Jika ada di antara kamu yang juga mengalami sepertiku, marilah kita mengingat kembali bahwa meskipun apa yang kita inginkan tidak berjalan seturut kemauan kita, Tuhan selalu menyertai perjalanan kita. Seperti bangsa Israel di padang gurun yang diberkati Tuhan dengan burung puyuh, roti mana, tiang api, dan tiang awan, Tuhan pun dalam pemeliharaan-Nya yang sempurna akan menyediakan segala yang kita butuhkan.

Pemeliharaan Tuhan tidak selalu terwujud lewat hal-hal yang spektakuler. Ketika kita diberi kesehatan, bisa menikmati pekerjaan dan pelayanan, serta dikelilingi oleh keluarga dan sahabat yang mendukung, itu adalah salah satu dari sekian banyak bukti pemeliharaan-Nya buat kita.

Di penghujung tahun ini, seiring kita juga menyiapkan diri untuk menyambut Natal, kiranya kita tidak hanya sibuk oleh hal-hal lahiriah, tetapi juga menyiapkan hati kita agar Sang Juruselamat yang kita rayakan kelahiran-Nya, lahir dan memerintah pula dalam hati kita. Sang Juruselamat tidak hanya hadir saat bulan Desember, Dia senantiasa hadir menyertai kita. Nabi Yesaya dalam nubuatannya pun mengatakan bahwa Juruselamat itu akan dinamakan Imanuel, yang berarti Allah selalu menyertai kita.

Kesetiaan Allah sebagaimana ditunjukkan-Nya kepada bangsa Israel tidak pernah berubah sampai kepada hari ini, Dia pun menyertai kita senantiasa.

Menutup tulisan ini, ada sepenggal lirik lagu yang ingin kubagikan:

Pardon for sin and a peace that endureth,
Thine own dear presence to cheer and to guide;
Strength for today and bright hope for tomorrow,
Blessings all mine, with ten thousand beside!
“Great is Thy faithfulness!”

Lirik lagu ini adalah doaku untuk bersyukur atas semua hal yang terjadi di tahun ini, sekaligus juga menjadi pengharapanku untuk menjalani tahun yang baru.

Kepada sahabat-sahabatku, juga semua pembaca, selamat menyambut Sang Juruselamat dengan hati yang terus mengimani Dia, Imanuel.

Baca Juga:

Mengapa Kita Perlu Bersyukur atas Peristiwa Natal?

Menjelang Natal, tak jarang aku mendengar khotbah-khotbah diwartakan dari atas mimbar, “Kita harus bersyukur atas peristiwa Natal.” Sejenak aku berpikir, mengapa kita perlu bersyukur atas Natal? Adakah hal istimewa yang sungguh menjadikan Natal sebagai peristiwa yang patut disyukuri?

Apakah yang Kupercayai Sungguh Membuatku Berbeda?

Oleh Savannah Janssen
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Does What I Believe In Really Make A Difference?

Beberapa tahun lalu, ketika aku sedang memimpin kelompok studi Alkitab, seorang perempuan bertanya, “Guys, apa kalian sungguh percaya apa yang kita baca? Jika iya, apakah itu membuat perubahan dalam hidup kita?”

Teman-teman yang lain terkejut dengan pertanyaan itu, tapi kemudian pertanyaan-pertanyaan lain yang serupa pun terlontar. Mereka mengakui kalau pertanyaan seperti itu—pertanyaan yang real dan penting—sering muncul dalam perjalanan iman mereka. Mengajukan pertanyaan dan merasakan keraguan tidaklah salah, itu bisa menolong kita kepada cara pandang dan pengetahuan yang baru tentang Tuhan. Pernahkah kamu berpikir:

Apakah iman yang kuanut sungguh membuat perubahan dalam hidupku?

Apakah dengan menjadi orang Kristen, aku jadi orang yang ‘lebih baik’?

Apakah orang-orang melihat hidupku berbeda karena aku percaya pada Tuhan?

Aku pernah bertemu dan mengenal orang-orang bukan Kristen yang begitu baik dan jujur. Sedihnya, ada di antara mereka yang berkata, “Aku tahu orang-orang yang tidak religius, dan mereka lebih baik daripada semua orang Kristen yang kutahu.” Mendengar kalimat itu rasanya sakit…tapi, mereka ada benarnya.

Panggilan kita sejatinya begitu jelas: Orang Kristen harus berbeda karena apa yang kita percayai. Alkitab memanggil kita untuk menjadi pelita dan garam dunia (Matius 5:13-16). Jadi, tentu hidup kita dipanggil untuk membuat perbedaan yang mendasar dan kekal. Tapi, bagaimana? Alkitab memberi kita dua cara untuk membuat hidup kita terlihat berbeda:

1. Bagaimana kita memperlakukan diri kita sendiri

Pernahkah kamu mengizinkan dirimu ditentukan dari ekspektasi orang-orang lain kepadamu? Beberapa kali dalam hidupku, aku mengizinkan ekspektasi orang lain membentukku menjadi orang yang sebenarnya tidak kuinginkan. Ketika itu terjadi, aku lupa bahwa Tuhan yang menciptakanku telah menentukan siapa diriku, bukan orang lain.

Tuhan memanggil kita kepada standar yang lebih tinggi, sebagaimana tertulis: “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib” (1 Petrus 2:9).

Meskipun kita hancur, meskipun kita gagal berkali-kali, tapi karena pengorbanan Kristus, Tuhan menyambut kita tanpa syarat ketika kita bersedia kembali kepada-Nya. Tuhan memanggil kita orang terpilih, kudus, dan istimewa. Lebih lagi, relasi kita dengan Tuhan mendorong kita mengubah diri kita menjadi pribadi yang telah Dia tetapkan untuk kita.

Tuhan menawarkan kesempatan yang baru setiap hari. Tuhan melihat kita dengan mata yang penuh kasih dan Dia tidak menyimpan segala kesalahan masa lalu kita. Karena anak-Nya, kita mendapatkan pengampunan dari hukuman (Roma 8:1-2). Tuhan mengejar kita dengan kasih yang tak bersyarat.

2. Bagaimana kita memperlakukan orang lain

Kita mengasihi karena Tuhan telah lebih dulu mengasihi kita (1 Yohanes 4:19). Kita diciptakan karena kasih dan untuk mengasihi. Pernahkah kamu begitu mengasihi seseorang hingga kamu pun mulai menikmati apa yang mereka nikmati pula? Ketika kita mengasihi seseorang, secara alami kita bertumbuh untuk memedulikan apa yang mereka pedulikan.

Ketika kita dekat dengan Tuhan, kita akan menikmati hal-hal yang Tuhan juga nikmati. Kita mulai menyadari ada kebutuhan di sekitar kita. Kita mulai melihat dunia dari kacamata Tuhan, dan mulai menghidupi kasih Tuhan untuk anak-anak-Nya. Ini bukanlah pilihan, tetapi perintah yang murni dari Tuhan yang adalah kasih.

“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tau, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yohanes 13:34-35).

Karena kita telah menerima kasih Allah, iman kita pun seharusnya mampu mendorong kita untuk memperluas kasih kita kepada orang lain, sebab dunia ini menyaksikan kita.

Salah satu ciri dari kasih Allah adalah kemurahan hati-Nya yang melimpah (Matius 7:11; Lukas 15:22-24). Jika Tuhan kita murah hati, kita pun seharusnya demikian. Sebagai contoh, kita bisa bermurah hati dengan memberikan waktu kita. Di zaman ketka segalanya serba terburu-buru, meluangkan waktu berkualitas dengan seseorang bisa jadi hal yang sulit. Tapi, kita tahu bahwa segala yang kita miliki bersal dari Tuhan, jadi marilah kita dengan murah hati memberikan waktu kita ketika ada orang-orang yang butuh pertolongan. Ketika kita dengan murah hati memberikan apa yang kita anggap berharga, kita sedang menghidupi konsep kasih yang kita anut.

* * *

⠀⠀⠀

Relasi kita dengan Tuhan harus membuat perbedaan yang tampak dalam kehidupan kita, sebagaimana kita dipanggil untuk tidak menjadi serupa dengan dunia. Ketika dunia meminta kita untuk membenci, Tuhan meminta kita untuk mengasihi (Matius 5:39043). Ketika ada keputusasaan, kita dipanggil untuk membawa harapan (Ibrani 6:19). Orang-orang yang miskin, lemah lembut, berduka, murni hatinya, dan yang teraniaya, merekalah yang akan mendapatkan kerajaan surga (Matius 5:3-10).

“Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Markus 10:45).

Intinya, hidup beriman harus memberi perbedaan. Mengapa? Karena hidup kita adalah refleksi dari harapan yang mendasar, kebenaran yang abadi, kedamaian yang tak terbandingkan, sukacita yang tetap, dan kasih yang tak bersyrat. Ketika orang-orang melihat kehidupan kita, mereka harus melihat cara kita memperlakukan diri kita dan orang lain adalah aktivitas yang memberi dampak, bukan untuk diri kita sendiri, tetapi untuk tujuan Tuhan.

Baca Juga:

Menghidupi Sisi Terang Pelayanan dalam Anugerah Tuhan

Pelayanan tidak selalu berjalan mulus, kadang ada pergumulan yang harus kita hadapi. Meski begitu, kita harus terus memberi diri kita melayani.