Posts

Setelah Divonis Sakit, Aku Belajar Merawat Tubuhku

Oleh Raganata Bramantyo, Jakarta

Sejak kuliah dulu, aku bukanlah seorang yang peduli dengan kesehatan. Aku selalu tidur larut malam, makan tidak teratur, dan tidak pernah berolahraga. Kupikir banyak tertawa dan makan buah sudah cukup untuk membuat tubuh sehat, lagipula Alkitab pun berkata kalau hati yang gembira adalah obat.

Hingga suatu ketika aku merasa ada yang tidak beres dengan tubuhku. Waktu itu tahun 2015 di mana aku pergi magang selama sebulan di Jakarta. Di tempat magang itu, aku menjadi perokok pasif karena rekan seruanganku adalah perokok semua. Sebenarnya aku bisa saja mengajukan keberatan dan pindah ke ruangan lain. Tapi, karena aku orangnya tidak enakan, aku berusaha bertahan di ruangan itu. Saat magang hampir usai, aku jatuh sakit. Kupikir sakit itu hanyalah flu dan radang tenggorokan biasa. Tapi, seminggu, dua minggu, hingga sebulan, sakit itu tidak kunjung sembuh. Aku mencoba berobat ke dokter umum, tetapi hasilnya tidak baik. Radang di tenggorokanku tetap saja kambuh.

Barulah saat aku pergi ke dokter spesialis THT (Telinga, Hidung, dan Tenggorokan), aku mengetahui kalau aku mengidap Nasofaringitis, sebuah penyakit yang menyerang rongga tenggorokan. Penyakit ini terjadi karena kombinasi banyak faktor, salah duanya adalah menjadi perokok pasif dan gaya hidup yang tidak sehat. Kata dokter, obat hanyalah faktor pendukung. Yang paling utama kalau aku mau sembuh adalah aku harus mengubah pola hidup. Baiklah, aku bertekad mengubah pola hidupku jadi lebih sehat. Aku mulai berolahraga, menghindari begadang, dan mengatur pola konsumsiku. Tapi, segera setelah gejala-gejala sakit itu hilang, aku pun abai dengan komitmenku. Aku kembali pada pola kehidupan yang tidak sehat.

Memasuki tahun 2018, tubuhku kembali menunjukkan sinyal tidak baik. Kali ini perutku selalu kembung, seperti sebuah balon gas yang tidak bisa keluar angin. Sangat tidak nyaman. Aku coba membeli obat-obat yang umum dijual di apotek, tapi tidak membantu. Akhirnya, aku pun kembali ke dokter. Sekarang aku didiagnosis mengalami penyakit yang bernama Gerd (Gastroesophageal Reflux Disease), sebuah kondisi di mana asam lambung telah naik hingga ke kerongkongan. Efek penyakit ini bisa berbahaya. Sembari mengonsumsi obat-obatan yang sudah diberikan dokter, aku perlu segera memperbaiki gaya kehidupan.

Sampai di titik ini aku merasa ditegur hebat. Melalui dua penyakit, Tuhan seolah mengingatkanku bahwa merawat tubuh asal-asalan itu bukanlah sesuatu yang berkenan kepada-Nya. Tubuh ini laksana sebuah rumah; dia harus disayang, dirawat, dan diperlakukan dengan bijak. Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus berkata:

Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah,–dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” (1 Korintus 6:19-20).

Kali ini ayat yang sejatinya sudah sering kudengar ini menyentakku. Dalam ayat itu, Paulus menekankan bahwa tubuh ini adalah pemberian dari Allah. Pengorbanan yang Kristus lakukan di kayu salib sejatinya tidak hanya membeli lunas tubuh rohani kita dari dosa, melainkan juga tubuh jasmani kita. Ketika seorang Kristen ingin kehidupan imannya bertumbuh, maka antara sisi jasmani dan rohaninya seharusnya tidak berat sebelah. Ketika seseorang ingin sehat secara rohani, maka dia pun harus mengupayakan kesehatan secara jasmaninya. Melalui tubuh yang Tuhan karuniakan kepada kita, Tuhan ingin supaya kita memuliakan-Nya. Namun, bagaimana caranya kita memuliakan Tuhan kalau kita sendiri asal-asalan merawat tubuh yang sudah Dia berikan buat kita?

Aku sadar, bahwa dalam kehidupan berimanku kepada Kristus, selain aku perlu merawat tubuh rohaniku, aku pun perlu bertanggung jawab atas tubuh jasmaniku. Allah telah menciptakanku baik, segambar dan serupa dengan-Nya, masakan aku tidak merawatnya sebaik mungkin?

Aku berdoa kiranya dalam hari-hari ini aku dapat melalui proses pengobatan dengan baik dan konsisten menjalani gaya hidup yang sehat, supaya melalui tubuh yang fana ini, Tuhan boleh dimuliakan.

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Di Saat Aku Berdukacita, Tuhan Menghiburku

Ketika Tuhan memanggil pulang kedua orangtuaku, aku kecewa dan sedih pada Tuhan hingga aku ingin menjauhi-Nya. Namun, terlepas bagaimana perasaanku saat itu, Tuhan adalah baik, dan Dia tak pernah sekalipun meninggalkanku.

Saat Tuhan Berkata Wanita Itu Bukan Untukku

Oleh Raganata Bramantyo, Jakarta

Di dalam kehidupan ini, tidak semua hal bisa terjadi sesuai dengan keinginan kita. Itu adalah fakta yang tidak dapat kita pungkiri. Demikian juga dengan halnya pasangan hidup. Apa yang kita anggap terbaik bagi kita, belum tentu memang yang terbaik dari Tuhan. Inilah sekelumit kisahku yang ingin kubagikan kepadamu.

Sewaktu kuliah dulu, aku tertarik dengan seorang perempuan bernama Rosa*. Kami bertemu pertama kali di sebuah persekutuan perdana yang diselenggarakan untuk mahasiswa baru. Di pertemuan itu, setelah kami berkenalan, aku merasa ada sesuatu yang membuat Rosa begitu spesial. Dia adalah tipe wanita yang sangat pas dengan kriteriaku! Rambutnya panjang, kepribadiannya melankolis, nada bicaranya tenang, dan selalu mampu berpikiran optimis. Sejak saat itu, aku pun berusaha mendekatinya.

Memasuki semester kedua kuliah, karena sering bertemu dan sama-sama melayani di persekutuan, kami pun jadi bersahabat. Di saat libur aku sering berkunjung ke rumahnya hingga aku pun mengenal keluarganya dengan erat. Seiring waktu, bermula dari persahabatan itu, rasa tertarikku kepadanya pun mulai tumbuh menjadi rasa cinta, dan aku ingin sekali mengakui perasaanku padanya. Tapi, aku menundanya dan menyimpan rasa ini dalam-dalam karena Rosa pernah bersaksi di persekutuan bahwa dia berkomitmen tidak ingin berpacaran selama kuliah.

Di tahun 2016 lalu, kuliahku sudah menginjak semester 8 dan dalam hitungan bulan aku akan segera lulus. Aku tidak ingin kehilangan kesempatan. Aku takut apabila sudah lulus nanti, aku akan bekerja ke luar kota sehingga tidak akan bertemu dengan Rosa lagi. Jadi, dengan gemetar dan penuh persiapan (sebelumnya aku belum pernah berpacaran), aku pun memberanikan diri untuk menyatakan perasaanku pada Rosa. Dalam hati aku merasa takut apabila keputusan ini akan mempengaruhi hubungan persahabatan kami. Tapi, aku tetap memutuskan untuk melakukan ini dengan asumsi lebih baik berkata jujur sebelum kesempatan untuk bertemu tatap muka hilang.

Setelah mendengarkan curahan perasaanku, Rosa tidak marah, malah dia merasa terharu. Tapi, dia mengatakan bahwa dia belum siap untuk membina relasi pacaran. Jadi, dia memintaku untuk menunggu hingga tiba waktunya dia siap membuka hatinya.

Di bulan November 2016, aku pun lulus dan diwisuda. Satu minggu setelah wisuda itu, aku pindah ke Jakarta untuk bekerja dan meninggalkan Rosa yang masih berkutat dengan skripsi di kota Jogja. Walaupun telah terpisah secara jarak, tapi aku selalu menyebut nama Rosa di dalam doaku. Sesekali, aku selalu menyempatkan diri untuk bertukar pesan ataupun meneleponnya. Dan, dia pun meresponsku dengan baik selayaknya sahabat.

Setelah tiga bulan bekerja, aku merasa bahwa aku harus membuat Rosa yakin bahwa aku adalah pasangan yang tepat untuknya. Jadi, setiap akhir bulan aku selalu menyempatkan diri untuk mendatangi Rosa di kampung halamannya di Jawa Tengah. Jumat malam aku berangkat menaiki kereta api kelas ekonomi, dan kembali ke Jakarta di Minggu malam. Seharusnya aku merasa lelah karena satu kali perjalanan ke rumahnya itu membutuhkan waktu sekitar 10 jam, bahkan lebih. Belum lagi ongkos yang harus kukeluarkan. Tapi, atas nama cinta, semua perjuangan ini tak terasa berat untukku.

Hingga akhirnya, di bulan Agustus 2017, aku memberanikan diri kembali untuk bertanya pada Rosa perihal ungkapan perasaan yang pernah kuungkapkan 18 bulan sebelumnya. Aku bertanya apakah di masa depan nanti Rosa mau membuka hatinya untukku atau tidak. Jika tidak, dengan senang hati aku akan mundur dari mengejarnya. Jika ya, maka aku mengajaknya untuk mulai sama-sama mendoakan perihal ini dan lebih intens membangun komunikasi. Secara mengejutkan, Rosa menjawab “ya”. Aku merasa begitu senang, dan kupikir ini adalah hal yang terbaik dari Tuhan.

Tapi, kebahagiaan yang kualami itu tidak berlangsung lama. Apa yang terucap di mulut Rosa rupanya bukan sesuatu yang berasal dari hatinya. Dua hari setelah pertemuan itu, Rosa ‘menghilang’. Dia berusaha menghindariku. Ketika aku meneleponnya, dia tidak menjawab. Atau, ketika aku mengiriminya pesan singkat, dia pun hanya membacanya tanpa membalas. Aku berusaha berpikir positif, tetapi sangat sulit. Aku sedih, juga galau. Pekerjaanku jadi kacau karena terus menerus memikirkannya. Belakangan, melalui orang terdekatnya aku tahu bahwa walaupun Rosa mengagumi perjuangan dan kebaikanku, dia tidak tertarik kepadaku. Dan, karena dia tidak ingin menyakiti hatiku yang telah bersusah payah mengujunginya di kampung halamannya, saat itu dia pun berkata “ya”.

Di tengah kondisi seperti ini, sangat sulit untukku berpikir positif. Aku merasa cintaku bertepuk sebelah tangan dan ingin sekali aku merasa marah terhadap Rosa yang seolah mempermainkan perasaanku. Tapi, aku berusaha untuk tidak menghakimi Rosa, karena mungkin saja ada pergumulan pribadinya yang tidak kuketahui. Selama beberapa bulan, aku terjebak dalam kondisi perih hati dan keheranan. Mengapa orang yang sudah kuperjuangkan selama bertahun-tahun ini malah mengecewakanku dan menghilang tiba-tiba? Aku merasa tidak terima pada Tuhan dan menganggap bahwa Tuhan yang salah.

Namun, di tengah rasa frustrasi itu, aku menemukan sebuah artikel yang isinya sangat menyentakku. Melalui artikel itu, aku jadi bertanya kepada diriku sendiri: mengapa aku ingin berpacaran? Dan mengapa aku begitu yakin bahwa si dia adalah orang yang terbaik untukku?

Aku mengambil waktu pribadi sejenak dan merenung. Menjawab pertanyaan pertama, aku mendapati bahwa selama ini motivasiku untuk berpacaran masih sangat bersifat egois. Harus kuakui bahwa seringkali aku merasa kesepian. Di saat teman-teman sebayaku sudah memiliki gandengan tangannya dan aku masih single, aku merasa minder. Belum lagi ejekan “jomblo akut” yang sering disematkan kepadaku oleh teman-temanku membuatku makin merasa bahwa hidupku itu kurang lengkap tanpa kehadiran seorang pacar. Berangkat dari pemikiran inilah akhirnya aku mulai menyelipkan modus di tengah persahabatanku dengan Rosa. Alih-alih bersahabat dengan tulus, aku malah mengharapkan ada timbal balik dari setiap pemberian dan usaha yang kulakukan untuk Rosa supaya kelak dia mau menerimaku sebagai pacarnya.

Dan, tanpa kusadari, dalam doa-doaku kepada Tuhan, aku jadi tidak lagi meminta-Nya untuk menguji dan membentuk hatiku. Malah, aku mengatur Tuhan dengan meminta-Nya supaya Rosa membuka hatinya untukku, supaya setiap usahaku mampu membukakan pintu hatinya. Secara tidak sadar, aku menciptakan sugesti dalam diriku bahwa Rosa adalah yang terbaik untukku. Aku jadi lupa bahwa sebenarnya yang paling tahu tentang kebutuhanku, termasuk soal pasangan hidup, adalah sang Penciptaku sendiri, yaitu Tuhan.

Sampai di titik ini, aku sadar bahwa kebenaran yang harus aku pegang sebagai seorang pemuda Kristen adalah sebuah iman bahwa dengan ataupun tanpa pasangan, anugerah Tuhan itu selalu cukup buatku. Artinya, dengan ataupun tanpa pasangan, itu tidak mengurangi harga diriku di hadapan Allah. Firman-Nya berkata bahwa Allah mengasihiku dengan kasih yang kekal (Yeremia 31:3). Jadi, walaupun teman-teman sering mengejekku “jomblo akut”, aku tetap berharga di mata-Nya dan dikasihi-Nya. Kasih Allah kepadaku tidak ditentukan dari apakah aku memiliki pasangan atau tidak. Yang perlu kulakukan saat ini adalah mengucap syukur dan memaksimalkan masa single yang sekarang ini kualami.

Kebenaran ini pada akhirnya memampukanku untuk memiliki paradigma baru tentang pasangan hidup. Bahwa apa yang menurutku terbaik buatku, belum tentu yang terbaik menurut Tuhan dan tidak semua hal di dunia ini dapat terjadi seturut dengan keinginanku. Tuhan memiliki cara kerja-Nya sendiri yang tentu jauh di luar jangkauan pemikiran manusia, namun sudah pasti yang terbaik untukku.

Saat ini, aku tidak lagi malu menjalani kehidupanku sebagai seorang pemuda single. Malah, aku bersyukur bahwa masa single yang kualami ini bisa menjadi kesempatan untuk berkarya lebih. Aku memiliki lebih banyak waktu untuk mengembangkan talenta dan pekerjaan yang saat ini dipercayakan kepadaku. Aku memiliki kesempatan untuk bergaul dengan lebih banyak orang melalui komunitas-komunitas yang aku ikuti. Semua ini adalah kesempatan berharga yang diberikan-Nya untuk melayani-Nya.

Masa single adalah masa yang indah, karena di masa inilah Tuhan sedang membentuk diriku untuk setia dan mengucap syukur dengan apa yang Dia berikan kepadaku. Ketika aku setia, kelak saat memiliki pasangan, tentu aku akan melihat dengan jelas bahwa belajar mengasihi Tuhan dan sesamaku semasa single akan menolongku untuk mengasihi pasanganku kelak setelah aku menikah.

“Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu. Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan” (Amsal 3:5-7)

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Ketika Pacarku Menjeratku ke dalam Dosa Percabulan

Aku adalah mahasiswi berusia 21 tahun. Kisah ini bermula 3 tahun lalu saat aku berkenalan dengan seorang pria di semester kedua kuliahku yang ternyata menjeratku ke dalam dosa percabulan.

Seberapa Sempurna Penyertaan-Nya?

Oleh Raganata Bramantyo Wijaya, Jakarta

Pernahkah kamu meragukan penyertaan Tuhan dalam hidupmu?

Aku pernah, bahkan dulu dalam banyak peristiwa, seringkali aku bertanya-tanya: apakah benar Tuhan sungguh menyertai hidupku?

Aku dilahirkan dari keluarga broken-home yang tercabik oleh masalah perceraian. Aku adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Karena masalah perceraian inilah aku dan kakak-kakakku tumbuh besar tanpa kasih sayang yang memadai dari kedua orangtuaku. Setiap hari kami disuguhi dengan makian dan pertengkaran. Hingga akhirnya, kakak pertamaku terjebak pergaulan bebas dan hamil di luar nikah saat dia baru saja duduk di kelas satu SMA. Karena ‘kecelakaan’ inilah kakak pertamaku diusir dari rumah dan tak kami tahu keberadaannya selama setahun lebih.

Tak jauh berbeda dengan kakak pertamaku, kakak ketigaku pun akhirnya meninggalkan sekolahnya dan melarikan diri dari rumah karena sudah tidak tahan lagi. Dengan berbekal ijazah SMP, dia mencari kerja dan tidak pernah pulang ke rumah selama enam tahun. Kakak keduaku berhasil menamatkan studinya di SMK, tetapi kehidupannya terjebak dalam pergaulan bebas.

Sejak kali pertama mengenal Yesus di tahun 2001, orang-orang di gereja selalu mengajarku untuk mendoakan keluargaku dan percaya akan rancangan Allah yang sempurna. Dengan tekun aku mendoakannya. Tapi, alih-alih mendapatkan secercah sinar harapan, keadaan malah terasa semakin suram. Di tahun ini, ayahku menjual rumah yang dibeli dengan uang bersama dan menggunakan uangnya untuk menikah lagi.

Ketika kabar ini sampai ke telingaku, seharusnya aku marah dan sedih. Tapi, entah mengapa aku merasa kabar ini bukanlah sesuatu yang perlu ditanggapi dengan perasaan negatif. Namun, pertanyaan “apakah benar penyertaan Tuhan sungguh sempurna” itu kembali terlintas di benakku.

Sejenak aku merenung. Memoriku memutar kembali berbagai rekam jejak peristiwa kehidupan yang pernah kulalui sepanjang hidupku. Namun, tiba-tiba otakku mengingat sebuah lirik lagu yang dulu pernah menjadi lagu favoritku. Refrain dari lagu berjudul “Arti Kehadiran-Mu Tuhan” ini berkata demikian:

Penyertaan-Mu sempurna, rancangan-Mu penuh damai
Aman dan sejahtera walau di tengah badai
Ingin ‘ku selalu bersama rasakan keindahan
Arti kehadiran-Mu Tuhan

Lirik lagu ini berbicara begitu dalam. Penyertaan Tuhan, juga rancangan-Nya adalah penuh damai dan sempurna. Hanya, seringkali aku dan mungkin juga kamu salah mengartikan penyertaan-Nya. Acap kali kita berasumsi bahwa ketika kita disertai Tuhan, maka kita akan diberikan jalan yang mulus, karier yang meroket, keluarga yang utuh, hidup yang penuh canda tawa, dan berbagai hal menyenangkan lainnya. Tapi, kita abai bahwa bukan itulah yang sejatinya Tuhan maksudkan dengan penyertaan-Nya.

Dia menyertai kita seturut dengan hikmat-Nya yang tak dapat diselami oleh pikiran manusia. Seperti kisah Ayub yang diizinkan-Nya untuk mengalami berbagai kemalangan, terkadang sulit bagi kita untuk memahami mengapa Tuhan mengizinkan hal itu terjadi pada Ayub. Akan tetapi, seperti kita ketahui bersama, bahwa ujian itu bukan ditujukan untuk menghancurkan Ayub, melainkan untuk membentuk Ayub menjadi seorang pribadi yang berkenan pada-Nya dan untuk menunjukkan pada manusia bahwa cara kerja Allah terkadang tak dapat dipahami oleh kerangka berpikir manusia.

Seperti lirik lagu di atas, ketika Tuhan menyertai kita, itu bukan berarti kita akan dihindarkan dari malapetaka ataupun berbagai masalah kehidupan. Badai kehidupan akan tetap ada, bahkan mungkin mengamuk dengan lebih dahsyat. Tapi, alih-alih tenggelam dalam amukan badai tersebut, penyertaan-Nya memampukan kita melalui setiap badai dengan rasa aman dan sejahtera hingga akhirnya kita tiba di garis akhir dan mengakhiri pertandingan hidup dengan sempurna. Penyertaan-Nya memampukan kita untuk selalu mengingat dan percaya bahwa Dia adalah Pribadi yang selalu bekerja di balik layar dan memberikan yang terbaik untuk kita.

Saat ini, walaupun keadaan keluargaku sepertinya terasa suram, tapi aku tak pernah putus asa berdoa. Aku selalu mendoakan keluargaku, bukan supaya keadaan berbalik 180 derajat dalam sekejap, tetapi supaya Tuhan berkenan menyatakan apa yang menjadi rancangan-Nya dalam kehidupanku dan menjadikanku alat untuk kemuliaan nama-Nya. Aku sadar bahwa ketika aku memberi diriku menjadi pengikut-Nya, kehidupan ini bukan lagi milikku sendiri, melainkan adalah kepunyaan-Nya (2 Korintus 5:17).

Saat aku berdoa, mungkin Tuhan tidak mengubah keadaan menjadi baik, walaupun aku tahu ini bukanlah hal sulit untuk Tuhan lakukan karena Dia adalah Allah yang Mahakuasa. Tapi, alih-alih mengubah keadaan keluargaku menjadi amat baik dalam sekejap seperti sulap, Tuhan ingin supaya aku mengubah pola pikirku terlebih dahulu. Tuhan ingin aku tetap berpengharapan. Tuhan ingin aku tetap gigih bekerja. Tuhan ingin aku tetap mengasihi dan menjalin komunikasi dengan ayahku walaupun aku tahu ini berat dilakukan. Dan, tentunya aku tahu bahwa Tuhan ingin aku belajar menjadi semakin serupa dengan-Nya, seperti firman-Nya yang berkata: “Hendaklah kamu sempurna, seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna” (Matius 5:48).

Di tengah keadaan hidupku yang jauh dari sempurna, aku tetap percaya dan berani menyongsong tahun 2018 dengan keyakinan penuh bahwa penyertaan-Nya adalah penyertaan yang sempurna.

Baca Juga:

5 Hal yang Bisa Kita Lakukan untuk Memaksimalkan Resolusi Tahun Baru

Tidak mudah memang untuk berfokus pada resolusi tahun baru yang kita buat, tetapi itu bukan berarti mustahil untuk dilakukan. Oleh karena itu, apabila kamu memiliki resolusi tahun baru, inilah 5 hal yang bisa kamu lakukan untuk memaksimalkan resolusi tersebut.