Posts

Tolong! Aku Ingin Bebas dari Overthinking

Oleh Rachel Moreland
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Help! I Can’t Stop Overthinking

Tanganku bergetar, aku lalu membuka ponselku dan mencari tahu mengapa.

Googling.

Beberepa detik kemudian, aku membaca satu artikel tentang tumor otak.

Sakit kepala? Iya.

Penglihatan sedikit terganggu? Iya.

Nah, kamu mengalami dua gejala ini!

Tapi, ada gejala-gejala lain yang ditulis di artikel itu tidak aku alami.

Tapi, kamu sudah mengalami dua gejala loh! Kamu harus ke dokter. Gimana kalau ternyata kamu terkena tumor otak?

Setelah beberapa minggu mengalami gangguan penglihatan, aku pun menghubungi dokter. Aku merasa seperti hendak dihukum mati. Pikiran ini terus menghantuiku dan sulit untuk tidak memikirkannya.

Bagaimana jika ternyata kamu terkena tumor otak? Stop!

Mungkin tumor otak itulah sebabnya kamu mengalami gangguan penglihatan. Stop sekarang juga!
Pikiranku terus berpikir yang tidak-tidak. Tiap kali pikiran itu datang, aku selalu berkata “stop”. Aku tidak ingin pikiran-pikiran ini membuatku berpikir semakin buruk.

Dengan derai air mata, aku memohon kepada sang dokter untuk melakukan tes atau uji lab. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi supaya ketakutanku hilang.

Setelah menjalani tes selama satu jam, aku malu karena hasilnya. Seluruh waktu dan energiku dihabiskan untuk khawatir. Sakit kepala dan gangguan penglihatanku ternyata terjadi karena tekanan pikiran, atau stress.

“Stress?” aku membuang ingusku ke tisu.

“Iya. Kamu butuh istirahat lebih,” kata dokter itu seraya menyerahkan lebih banyak tisu kepadaku. Lalu, dia memberiku beberapa nasihat.

“Jika kamu terus memikirkan hal-hal yang buruk, kamu akan mendapati itu terjadi.”

Dokter itu menambahkan, ketakutan kita memiliki kekuatan untuk mengarang sesuatu menjadi ada. Jika kita membiarkan imajinasi kita tidak terkendali, itu dapat menyebabkan masalah buat kta.

Mungkin kamu belum pernah mengalami kepanikan seperti yang kualami, tapi tentu ada suatu hal dalam hidupmu yang membuatmu khawatir terus-menerus: relasimu, pekerjaanmu, kesehatanmu, keuanganmu, pergumulan hidupmu.

Semakin kita fokus kita berlebihan kepada suatu hal, semakin besar juga kesempatan untuk si musuh menekan kita dengan kekhawatiran, sama seperti ketika imajinasiku akan sakitku akhirnya mengantarku ke dokter.

Masalah pola pikir yang destruktif ini sudah ada dalam hatiku selama beberapa waktu, dan aku telah belajar kalau aku bisa mengendalikan pikiran dan imajinasiku—kita harus melakukannya! Kenyataannya, perasaan kita bisa saja mengarahkan kita pada jalan yang salah dan tidak selalu perasaan itu harus dipercaya. Ketika aku menyadari betapa banyaknya waktuku terbuang hanya untuk mendengarkan suara-suara dari pikiranku alih-alih suara Tuhan, aku tahu aku harus berubah. Aku perlu belajar untuk mendengar dan menerima suara-suara yang benar.

Mengendalikan imajinasi kita

Imajinasi kita adalah bagian yang indah, luar biasa, dan inspiratif dari diri kita. Imajinasi kita adalah tempat lahirnya ide-ide brilian, keren, dan kreatif.

Tapi, imajinasi itu bisa juga membelenggu kita jika kita membiarkannya tidak terkendali.

Kawan, dengarkanlah aku. Ada pertempuran yang sedang terjadi sekarang ini. Dan, pertempuran itu bukanlah pertempuran fisik (Efesus 6:12). Musuh-musuh kita berusaha mengisi pikiran kita(2 Korintus 10:3-5). Tapi, syukurlah karena kita tidak perlu takut. Tuhan memiliki tujuan bagi setiap kita, tujuan yang mulia. Tuhan telah mengungkapkan janji-Nya kepada kita (Yeremia 29:11, Ibrani 13:5, 1 Petrus 5:6-7). Sekarang yang perlu kita lakukan adalah mengatakan itu semua kepada diri kita.

Aku tidak tahu cara lain yang lebih hebat untuk mengalahkan pikiran negatif selain dari merenungkan firman Tuhan. Firman Tuhan menolong kita mengambil alih kendali pikiran dari hal-hal buruk kepada hal-hal yang baik.

Kita harus berhenti mendengarkan pikiran kita yang mengembara ke mana-mana dan mulai mendengar apa yang Tuhan katakan, tentang rencana-Nya bagi kita.

Jika ada suatu hal yang telah kupelajari dari peristiwa-peristiwa aku dilanda kepanikan, itu adalah pemahaman bhwa hidup kita cenderung mengikuti apa yang kita pikirkan. Keberanian dan ketakutan datang dari pikiran kita sendiri.

Daripada menjadikan kekhawatiran sebagai penggerak dari tiap tindakanku, aku mau doa dan komitmen rohaniku menjadi respons utama yang kulakukan ketika hidup berjalan tidak sesuai rencana.

Aku tidak mengajak kita untuk mengabaikan saja masalah-masalah kita. Hanya, kita perlu bersikap realistis dan hadapilah tiap masalah dengan solusi-solusi praktis dan hikmat Alkitab. Namun, kita juga perlu mengingatkan diri kita untuk selalu terhubung dengan Tuhan. Suara Tuhan sajalah yang seharusnya menggerakkan hidup kita.

Sekarang aku bergulat dengan kebenaran ini. Aku sedang berproes untuk menuju tempat di mana aku bisa melihat masalah-masalahku lebih luas dan tidak menjadi terpuruk karenanya. Aku mau berpegang teguh pada janji Tuhan. Melalui Alkitab, Tuhan telah berjanji akan menjaga setiap anak-anak-Nya, dan aku pun tahu Dia akan menjaga dan mengangkatku melewati setiap kesulitan yang kuahdapi. Jadi, aku akan berusaha mengingat kebenaran ini.

Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engku dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau. Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal. Rancanganku adalah rancangan damai sejahtera untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan. (Ibrani 13:5, Yeremia 31:3, Yeremia 29:11).

Baca Juga:

Pelayanan, Sarana Aku Bertumbuh di dalam Tuhan

Apa yang kamu lakukan ketika diberi kesempatan melayani?

3 Tanda Hidupmu Dikendalikan oleh Perasaanmu

Oleh Rachel Moreland
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Signs Your Emotions Are Ruling Your Life

Butuh perjuangan berat untukku tidak segera membalas chat yang dikirim kepadaku. Kumatikan ponselku. Aku tidak akan membiarkan emosiku mempengaruhi tindakanku. Aku tidak ingin jadi orang yang ceroboh karena melontarkan kata-kata yang tidak tepat saat emosiku sedang tidak stabil.

Aku tahu chat dari temanku itu sebenarnya tidak berarti apa-apa. Tapi sebagai orang dengan kepribadian INFJ, aku pun tahu bahwa aku mudah terbawa emosi dan perasaan. Oleh karenanya, aku menjaga diriku agar aku tidak mudah terbawa oleh emosi itu.

Kawanku, emosi adalah hal yang sangat penting, tetapi kita tidak bisa membiarkannya mengendalikan hidup kita. Mungkin beberapa di antara kita adalah orang yang mudah “baper”, dan mengendalikan emosi adalah hal yang amat sulit. Tapi, inilah pelajaran berharga yang telah kupelajari selama beberapa tahun belakangan.

Belajar untuk mengendalikan emosi akan memberikan kepenuhan di setiap aspek kehidupan kita. Lagipula, hidup kita sesungguhnya tidak ditentukan dari perasaan kita sendiri. Jadi, bagaimana caranya kita tahu apabila hidup kita sudah dikendalikan oleh emosi kita sendiri?

1. Kita seketika bereaksi tanpa berpikir

Ketika emosiku telah mengendalikan diriku, aku sering mendapati diriku seketika bereaksi (kadang reaksi yang sebetulnya tidak perlu) ketika situasi sedang ‘panas’. Biasanya itu terjadi ketika aku mendapatkan balasan email yang tidak menyenangkan dari rekan kerjaku, atau mendapati piring-piring kotor menumpuk di dapur. Mudah rasanya untuk segera meluapkan emosiku dan mengatakan kata-kata pertama yang muncul di benakku.

Segera menghakimi orang lain kadang jauh lebih mudah daripada berusaha menunjukkan kasih dan memberi ruang untuk percaya kepada mereka. Tapi, aku menantang diriku untuk menghindari reaksi emosi yang buruk semacam itu. Aku belajar untuk bagaimana aku dapat merespons dengan positif alih-alih meremehkan.

Aku dan suamiku menciptakan beberapa “peraturan” yang harus kami pertahankan jika suatu saat kami bertengkar. Salah satu aturannya adalah “Jangan memantik kebakaran yang nanti akan sulit dipadamkan.” Dalam kata lain, kami tidak boleh ceplas-ceplos, bicara tanpa berpikir ketika emosi kami sedang meninggi. Bisa saja perkataan yang diucapkan itu nantinya malah menyakiti hati kami dan perlu upaya keras untuk dapat saling memaafkan.

Bereaksi secara spontan rasanya adalah respons alami, tetapi memahami bahwa perasaan kita tidak seharusnya mengatur hidup kita adalah langkah pertama untuk mencapai kehidupan emosional yang lebih sehat. Selagi menanti situasi yang panas menjadi dingin, aku memohon Roh Kudus untuk menunjukkan kepadaku akar dari reaksi emosionalku. Mengundang Tuhan untuk hadir dalam tiap reaksi yang kuberikan menolongku untuk dapat merespons dengan lebih baik lagi setiap kali aku mengalami gejolak emosi.

2. Kita begitu percaya akan perasaan kita seolah-olah itu adalah kenyataan

Satu hal yang konselorku ajarkan adalah perasaan itu sesungguhnya tidak benar atau salah, perasaan hanyalah perasaan. Temanku, ketika aku membagikan tulisan ini, aku juga ingin memberitahumu bahwa perasaan kita tidak selalu dapat dipercaya. Pada kenyataannya, perasaan kita seringkali berbohong pada kita. Kita menemukan kebenarannya di Yeremia 17:9 yang mengatakan bahwa hati adalah sumber kelicikan: “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatnya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?”

Masalah dapat terjadi ketika perasaan kita membuat kita tidak lagi mampu melihat kenyataan di depan kita. Dalam kata lain, kita telah menjadikan perasaan kita sebagai berhala kita, dan kita mulai mempercayai perasaan itu lebih daripada kita percaya akan apa kata Tuhan buat kita. Jika kita tiba dalam momen seperti itu, itulah saatnya buat kita melakukan proses soul-searching, atau pencarian jiwa. Tapi, alih-alih mengikuti apa yang hatiku katakan, aku perlu mengikuti teladan Yesus dan mengupayakan buah-buah roh—yang di dalamnya juga terkandung penguasaan diri—dihasilkan dalam hidupku (Galatia 5:22-23).

3. Kamu merasa tidak terkendali

Ketika emosi kita mempengaruhi kita, kadang kita bisa saja jadi berperilaku seperti anak-anak, atau kita menarik diri dari situasi yang sedang kita hadapi. Emosi kita dapat secara langsung mempengaruhi pikiran dan tindakan kita, dan kadang-kadang dengan cara yang tidak sehat.

Jika kamu membaca tulisan ini, aku yakin kamu memiliki tingkat kecerdasan emosi yang cukup untuk mengenali apakah emosimu sedang bergejolak atau tidak. Tapi, jika ada di antara kamu yang merasa kesulitan mengendalikan emosimu, kamu perlu mencari tahu apa yang kira-kira menjadi penyebabnya. Apakah itu gejala FOMO (Fear of Missing Out) yang sering membuatmu merasa putus asa ketika kamu menjelajahi Instagram, atau perasaan tertolak ketika lawan bicaramu di telepon hanya merespons dengan hening. Sangat penting untuk mencari tahu apa yang jadi penyebab gejolak emosi kita, karena ketika kita tahu apa yang jadi penyebabnya, kita dapat lebih cepat menyerahkannya pada Tuhan dan kita dapat segera mengendalikan emosi tersebut.

Di hari-hari ini, ketika budaya kita mendorong kita untuk semakin terbuka tentang perasaan kita—sesuatu yang dibutuhkan untuk membina suatu relasi-—dalah penting untuk kita belajar hidup melampaui apa yang kita rasakan.

Menyadari emosi diri kita sendiri itu penting untuk perkembangan diri kita. Namun, kita tidak dapat mengizinkan emosi kita menentukan jalan mana yang hendak kita ambil. Kita perlu bertanya pada diri kita sendiri: Apakah aku membiarkan emosiku mengendalikanku? Apakah perasaanku membawaku ke jalan yang salah? Jika jawabannya adalah ya, kita mungkin perlu memikirkan kembali di mana kita meletakkan peran emosi dalam kehidupan kita.

Dan, jika kamu mendapati dirimu merasakan salah satu dari ketiga poin yang kutuliskan, jangan khawatir. Aku ada di sini bersamamu. Emosi adalah salah satu bagian yang menjadikan kita manusia. Kita tidak perlu berusaha menghilangkan perasaan itu dengan menguburnya dalam-dalam, tapi kita bisa membawa seluruh perasaan dan emosi kita kepada Bapa yang penuh kasih, yang mau menuntun dan menantang kita untuk menjalani hidup yang terbaik buat kita.

Tuhan ingin kita menyerahkan segala aspek kehidupan kita kepada-Nya, termasuk emosi kita. Semakin kita mencari tuntunan Tuhan dalam kehidupan emosional kita, semakin kita dapat bertumbuh dengan kepekaan untuk mengetahui perasaan mana yang dapat kita percayai dan perasaan mana yang harus kita pakukan di kayu salib.

Jadi, janganlah takut, kita semua sedang melalui perjalanan emosional yang kita sebut sebagai kehidupan. Dan yang paling utama adalah kita semua sedang menempuh perjalanan menuju pemulihan yang sejati bersama Yesus. Jadi, yuk katakan ini bersamaku: “Emosiku bukanlah raja atas hidupku. Tidak ada raja apapun dalam hidupku selain Yesus.”

* * *

Tentang penulis:

Rachel adalah warga negara Amerika Serikat yang tinggal di Edinburgh, Skotlandia. Dia adalah penggemar digital media dan juga seorang penulis. Kamu bisa membaca lebih banyak karya-karyanya tentang iman dan kesehatan mental di blognya, With Love from Rachel. Ketika Rachel tidak sedang menulis, dia meluangkan harinya untuk mencari secangkir kopi terbaik di sebuah kafe yang nyaman, merencanakan tujuan perjalanan selanjutnya, dan menikmati hidupnya besama James, suaminya.

Baca Juga:

Ketika Aku Terjerat Dosa Memegahkan Diri

Aku pernah melayani dengan semangat, namun tanpa kusadari pelayanan ini membuat celah bagiku untuk memegahkan diri. Pelayanan tak lagi kulakukan buat Tuhan, tapi untuk diriku sendiri.