Posts

Pelayanan di Balik Layar

Oleh Queenza Tivani, Jakarta

“Hebat banget sih pemimpin pujian itu, ingin rasanya aku menjadi seperti dia.”

Itulah kalimat yang terlintas di benakku tatkala aku melihat seorang pemimpin pujian, pemain musik, penari, ataupun anggota paduan suara yang bisa tampil dengan memukau di depan jemaat. Suara mereka yang merdu mampu mengajak jemaat untuk memuji Tuhan. Mereka juga tampil dengan lincah dan tampak sangat percaya diri. Setiap tindakan mereka di atas mimbar itu seolah menjadi sebuah kesaksian yang begitu hidup bagi para jemaat yang hadir di kebaktian.

Aku kagum dengan pelayanan yang mereka lakukan. Tapi, tanpa kusadari kekagumanku ini membuatku jadi membandingkan pelayanan yang mereka lakukan dengan pelayananku.

Sewaktu kuliah dulu, selama hampir dua tahun aku melayani di persekutuan kampus. Tapi, pelayananku bukanlah seperti mereka yang kukagumi. Pelayanan yang kulakukan adalah menjadi operator multi-media, menempelkan poster ajakan kebaktian tiap Senin pagi di kampus, menyediakan air minum bagi pembicara, juga menata Alkitab yang nantinya akan dibagikan di awal kebaktian. Pelayananku adalah pelayanan yang dilakukan di balik layar, tidak terlihat oleh orang banyak.

Di dalam hatiku, ada rasa tidak puas terhadap pelayanan yang kulakukan. Tidak seperti para pelayan di depan mimbar yang sering diberikan tepuk tangan ataupun ucapan terima kasih secara langsung, pelayanan yang kulakukan ini sepi dari apresiasi. Tak ada tepuk tangan ataupun ucapan terima kasih yang kuterima dari para jemaat. Jadi, aku pun merasa minder karena kupikir pelayananku ini bukanlah pelayanan yang berarti.

“Ketika kebaktian berjalan lancar setiap minggunya, adakah siapa yang bertanya siapa yang menyiapkannya? Atau, adakah yang bertanya siapa yang membawa peralatan kebaktian dan Alkitab dari gudang ke depan pintu masuk?” tanyaku dalam hati.

Aku mendapati bahwa dalam pelayanan yang kulakukan itu aku lebih sering mendapatkan tudingan daripada apresiasi. Ketika layar LCD mendadak mati atau slide pujian terlambat berganti, respons yang muncul seringkali adalah tudingan: “Siapa sih yang jadi operatornya?” Seolah mereka hendak berkata: “Bisa gak sih kamu kerjakan tugasmu lebih baik lagi?” Tapi, ketika segalanya berjalan lancar, hampir tidak ada apresiasi ataupun sekadar ucapan terima kasih yang diberikan kepadaku.

Pemahaman bahwa pelayananku ini kurang berarti dibandingkan para pelayan mimbar ini membawaku kepada rasa iri hati dan rendah diri. Akhirnya, aku kehilangan gairah dalam melayani. Pelayanan hanya menjadi sekadar rutinitas mingguan yang kulakukan. Lama-lama pelayananku jadi terasa hambar. Saat teduh pun kulakukan ala kadarnya, hanya sekadar aktivitas supaya ketika ditanya oleh kakak pembimbing rohaniku aku bisa menjawab: “Aku sudah saat teduh kok.”

Hingga suatu ketika, aku mendengar khotbah di kampus dan sebuah ayat dari Kolose 3:23 menjadi poin pembahasannya.

“Apa saja yang kamu kerjakan untuk tuanmu, lakukanlah dengan sepenuh hati. Karena kamu sebenarnya sedang melayani Tuhan – bukan manusia” (Terjemahan Sederhana Indonesia).

Sebenarnya ayat ini sudah sangat sering kudengar. Aku bahkan sudah hafal. Namun, kali ini, ayat ini membuat air mataku mengalir. Aku tertegur dan mendapati bahwa betapa aku hanya ingin mencari pujian manusia. Alih-alih mempersembahkan seluruh pelayananku untuk Tuhan, aku malah berfokus pada apresiasi dari manusia. Ketika aku tidak dipuji oleh teman-teman dan pembimbingku atas pelayanan yang kulakukan, aku menjadi sedih dan juga kecewa.

“Lakukanlah dengan sepenuh hati, karena kamu sedang melayani Tuhan, bukan manusia”. Sejak khotbah itu kudengar, kalimat ini terus kuucapkan dalam hatiku setiap kali aku mengerjakan pelayananku yang di balik layar. Seiring berjalannya waktu, akhirnya aku dapat menerima dan menyadari bahwa pelayanan yang kulakukan seharusnya adalah bentuk ungkapan syukurku kepada Tuhan. Yang harus aku ketahui adalah pelayanan ini adalah milik Tuhan, aku hanyalah pekerja-Nya. Sudah seharusnya yang mendapatkan pujian dan kemuliaan dari pelayananku adalah Tuhan itu sendiri.

Orang yang melayani di belakang layar mungkin tidaklah sepopuler orang-orang yang mendapatkan kesempatan untuk melayani di depan mimbar. Namun, kehadiran orang-orang di balik layar ini bukan berarti bahwa mereka itu tidak penting. Di dalam sebuah kebaktian, penyedia minuman untuk pembicara, orang yang mengangkat mimbar, orang yang membersihkan ruangan kebaktian, juga operator sound-system dan multimedia, mereka juga memerankan tanggung jawab yang penting. Tanpa mereka yang memerhatikan detail-detail terkecil, mungkin kebaktian tidak akan berjalan dengan lancar.

Ketika ruangan kebaktian kotor, mungkin jemaat yang akan beribadah menjadi kurang nyaman. Ketika bunyi mic dan pengeras suara tidak pas, mungkin jemaat menjadi kurang khusyuk. Ketika tidak ada air minum yang tersedia bagi pengkhotbah, mungkin pengkhotbah itu akan mengalami suara serak. Pada akhirnya, aku mendapati bahwa orang-orang yang tidak tampil di depan layar pun memiliki peranan yang penting, peran yang saling bersinergi untuk menciptakan pelayanan yang berkenan pada Tuhan.

Aku belajar bahwa pelayanan, apapun tugas dan tanggung jawabnya, itu adalah kesempatan berharga dari Tuhan dan sudah seharusnya untuk kemuliaan Tuhan saja. Siapapun itu, entah itu pelayan mimbar atau pelayan di balik layar, kita harus memberikan apapun yang terbaik yang bisa kita berikan. Lakukanlah semuanya itu untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.

Sebagai seorang yang dulu melayani di balik layar, aku juga belajar untuk terus bersikap rendah hati dan tidak mencari pujian. Setiap orang yang melayani dengan sikap rendah hati akan selalu menghargai pelayanan sebagai sebuah privilege atau kesempatan istimewa dari Tuhan, dan tentu dia tidak akan mencuri kemuliaan Tuhan melalui pelayanan yang dikerjakannya.

Melalui tulisan ini, aku pun hendak menyuarakan kekagumanku kepada setiap pelayan Tuhan yang melayani dengan rendah hati. Tulisan ini sama sekali tidak ingin menyudutkan orang-orang yang melayani di depan mimbar, justru aku merasa kagum karena melalui pelayanan inilah jemaat turut dibantu untuk menikmati hadirat Tuhan.

Setiap orang diberikan Tuhan talentanya masing-masing. Tetapi, hendaklah kita melakukan semuanya dengan sikap rendah hati dan tidak mencari pujian untuk diri sendiri. Baik pelayanan yang kelihatan maupun tidak kelihatan, biarlah yang ditampilkan dari setiap pelayanan kita adalah kemuliaan Kristus, seperti yang tertulis dalam Yohanes 3:30: “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.”

Baca Juga:

Saat Tuhan Mengajarku untuk Mengasihi Keluarga yang Berbeda Iman Dariku

Kasih. Kita sering mendengar kata ini. Mudah diucapkan, tapi sulit dipraktikkan. Inilah kisahku ketika Tuhan mengajarku untuk mengasihi keluarga besar ayahku yang berbeda iman dari kami.

Selamat Hari Ibu, Ayah!

Oleh Queenza Tivani, Jakarta

Timeline media sosialku hari ini penuh dengan foto ibu dan anak yang disertai kalimat-kalimat nan indah dan romantis. Wajar saja, karena hari ini adalah tanggal 22 Desember, hari ibu nasional di Indonesia. Aku menatap sekilas wajah-wajah yang tampak bahagia di foto mereka. Perasaanku pun jadi campur aduk.

Selama bertahun-tahun, aku selalu ingin menghindari tanggal 22 Desember. Rasa senang dan bahagia yang kurasakan hari itu bisa tiba-tiba menguap, berganti menjadi rasa hampa. Aku tidak pernah bisa memberi hadiah ataupun ucapan “selamat hari ibu” pada ibuku, karena sejak aku berusia 5 tahun, ibuku telah tiada. Aku pun akhirnya dibesarkan oleh ayahku, yang selama 17 tahun lebih selalu bekerja keras untuk memenuhi semua kebutuhanku secara material.

Tapi, mungkin karena dia terlalu sibuk, ayahku jadi lupa bahwa sebenarnya aku tidak hanya membutuhkan materi, tetapi juga kasih sayang dan perhatiannya. Setiap harinya, setelah mengantarkanku ke sekolah, dia mulai bekerja dari pagi hingga malam hari. Jika hari libur tiba, aku tidak bisa bertemu dengannya walaupun kami tinggal dalam rumah yang sama. Ayah sangat sibuk bekerja. Akhirnya, aku pun tumbuh menjadi seorang anak perempuan yang penuh kepahitan karena kehilangan kasih sayang, kasih dari seorang ibu dan ayah.

Setiap kali ada orang yang dengan bangganya bercerita tentang ayah atau ibu mereka, aku merasa sedih sekaligus marah. Aku jadi bertanya-tanya: mengapa hidupku seperti ini? Mengapa aku tidak punya orang tua yang melimpahiku dengan kasih sayang? Mengapa Tuhan mengambil ibuku begitu cepat? Mengapa harus ibuku? Lalu, mengapa Ayah lebih memilih sangat sibuk bekerja? Kehausan akan kasih sayang tersebut membuatku mencari jalan sendiri untuk menemukannya di luar Tuhan, dan tentunya juga di luar rumah. Di usiaku yang beranjak remaja, aku pun terseret pada pergaulan yang salah dan pornografi.

Aku merahasiakan pergumulanku dalam-dalam. Tak ada seorang pun yang tahu. Akibatnya, aku menjadi orang yang berbeda antara di dalam rumah ataupun di luar. Sekilas, orang mengenalku sebagai anak perempuan yang baik, rajin ke gereja, dan cukup aktif melayani Tuhan. Mereka tidak tahu bahwa di balik aktivitas itu, imanku rapuh, semua aktivitas itu kumaknai sebagai sekadar rutinitas yang kulakukan semata-mata karena aku tinggal di tengah lingkungan orang Kristen.

Ketika mengikuti sekolah Minggu, guru sekolah Mingguku selalu berkata bahwa Allah adalah Bapa yang baik, Bapa yang mengasihi manusia, hingga melalui Yesus, Dia rela mati di kayu salib demi menebus dosa kita semua.

Namun, dengan semua pengalaman yang kualami, hal tersebut sangat tidak masuk akal buatku. Aku tidak bisa mengatakan bahwa Bapa itu baik. Yang aku tahu itu memang Yesus adalah Tuhan, tapi sulit sekali untuk memanggil-Nya sebagai Bapa yang baik. Bagaimana mungkin Yesus bisa menjadi Bapa yang baik ketika Dia mengambil Ibu dari hidupku? Bagaimana mungkin Yesus menjadi Bapa yang baik ketika dia memberikanku ayah yang tak bisa memberi perhatian dan kasih sayang padaku. Bukankah katanya orang tua adalah wakil Allah di dunia?

Hingga aku beranjak dewasa, aku masih tetap ragu bahwa Tuhan adalah Bapa yang baik. Segala kepahitan yang tak terselesaikan di hatiku pun perlahan berubah menjadi dendam kepada ayahku. Aku membencinya karena dia tidak bisa memberikanku kasih sayang, juga tidak bisa menjadi pengganti ibu yang baik buatku.

Namun, Tuhan tidak membiarkanku larut terus menerus dalam kepahitan ini. Melalui sebuah peristiwa di tahun pertama kuliahku, titik terang perubahan hidupku mulai terlihat. Dalam sebuah doa di acara KKR yang diselenggarakan oleh kampusku, aku mendengar suara-Nya berbisik lembut dalam hatiku. “Hai anakku, aku mengasihimu.” Aku coba menepis suara itu dan menganggapnya hanya halusinasiku saja. Tapi, suara itu terus memanggil dan memanggil, hingga di dalam pikiranku tiba-tiba terlintas sebuah ayat, “Hai anak-Ku yang Kukasihi, datanglah kepadaku, Aku akan memberikan kelegaan padamu.” Dengan gentar, aku berdoa dalam hati. Aku menangis dan dalam doaku aku memohon ampun karena selama ini, di balik aktivitas rohani yang kulakukan, aku enggan menerima Tuhan dalam hatiku. Kemudian, aku pun berkomitmen untuk sungguh-sungguh mengikut-Nya. Saat itu juga, aku merasakan ada kedamaian di dalam hatiku.

Sejak peristiwa itu, perlahan-lahan hidupku mulai berubah. Aku ditolong oleh kakak seniorku sebagai bagian dari pembinaan pasca KKR. Dia rutin menanyai keadaanku, juga mengajakku untuk berdoa bersama. Perlahan-lahan, aku jadi semakin tertarik dan haus akan firman Tuhan. Setiap hari aku menyirami jiwaku dengan firman-Nya melalui doa dan saat teduh. Saat imanku menjadi teguh di dalam Tuhan, aku pun dipulihkan dari pergaulanku yang salah dan juga dosa pornografi. Tapi, aku sadar bahwa iman dan semangatku pada Tuhan juga harus kuwujudkan dalam tindakan. Aku belajar untuk menerima kenyataan dan mengampuni masa laluku. Aku sadar bahwa kepergian ibuku saat aku masih kecil adalah bagian dari rencana Tuhan yang baik. Dan, tugasku adalah mengimani dan mengamini bahwa ada rancangan indah yang Tuhan sediakan untukku di masa depan (Yeremia 29:11).

Relasiku dengan ayahku yang retak selama bertahun-tahun pun mulai kuobati walaupun rasanya sangat sulit. Aku butuh waktu hampir satu tahun untuk benar-benar bisa memaafkan ayahku. Selama masa itu, minimal satu minggu sekali, aku coba untuk menelponnya dan mengobrol minimal satu menit. Awalnya sulit, tapi lama-lama aku jadi terbiasa. Lambat laun, obrolan singkat tersebut menjadi lebih panjang dan akrab, hingga akhirnya aku sadar bahwa selama ini cara pandangku terhadap ayah telah salah. Ayah punya cara tersendiri untuk menyayangiku. Mungkin Ayah adalah ayah jarang menyapaku, ataupun membelai rambutku. Tapi, dalam kerja kerasnya yang menyita waktu, dia bahkan selalu mengingatku dalam doa-doanya. Ayah tidak benar-benar meninggalkanku. Ayah mengutarakan bahasa kasihnya melalui peluh keringat dan perjuangan untuk memenuhi kebutuhanku. Ayah adalah ayah yang baik dan setia.

Ketika aku sadar akan peranan Ayah dalam hidupku, aku juga mulai belajar untuk menyebut Tuhan sebagai “Bapa yang baik” dalam doa-doaku. Tuhan adalah Bapa yang selalu membuka tangan-Nya lebar-lebar untuk memelukku yang dulu adalah anak terhilang. Bapa begitu menyayangiku, bahkan ketika aku memberontak terhadap-Nya.

Sekarang, ketika perayaan hari ibu nasional, aku tidak lagi berkecil hati. Tanggal 22 Desember tidak lagi menjadi hari yang ingin kuhindari. Di hari ibu ini, aku bukan saja ingin mengucapkan selamat kepada ibuku yang telah berada di surga, tetapi juga kepada ayahku.

“Selamat hari ibu, ayah terhebat! Ayah yang tidak malu untuk menjalankan peran seorang Ibu bagi anaknya. Ayah yang bekerja keras, berpeluh keringat, demi melihat anakmu berbahagia. Ayah yang terkadang harus pulang larut malam karena mencari pekerjaan tambahan. Anakmu ini pernah membencimu karena berpikir kalau Ayah terlalu menyayangi pekerjaan. Tapi, aku tidak sadar kalau Ayah selalu menyebut namaku dalam doamu. Aku mengasihimu Ayah. Terima kasih untuk kasihmu bagiku.”

Jika hari ini kamu masih bisa berkata “I love you” kepada ayah dan ibumu, lakukanlah itu sekarang, karena kita tidak pernah tahu sampai kapan kita bisa terus hadir dan bersama-sama dengan mereka. Lakukanlah apa yang baik, yang berkenan kepada Tuhan dan yang menyenangkan hati mereka sebelum kesempatan itu hilang.

“Kesudahan segala sesuatu sudah dekat. Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa. Tetapi yang terutama: kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa” (1 Petrus 4:7-8).

Baca Juga:

Aku, Ambisiku, dan Rencana Tuhan

Aku adalah seseorang dengan ambisi selangit. Sejak SMA aku sudah menyusun setiap rencana kehidupanku di masa depan dengan detail. Namun, ketika ambisiku untuk meraih kesuksesan dijawab Tuhan dengan banyak kegagalan, di sinilah aku belajar bahwa ada satu hal yang kulupakan ketika aku begitu terobsesi untuk mengejar ambisi.